Kamis, 16 April 2020

Jingga

Rebah tubuhmu dalam betangan sayapku,
Dalam senyap, dadamu berdebar hebat. 

Tangismu pecah di penghujung malam, memantik pedih dalam dekapan alam. 

Tarik lagi nafasmu panjang, yang hilang suatu hari nanti akan ingat jalan untuk pulang. 

Kemudian yang pergi akan ingat, dimana awal ia berdiri. 

Tapi pada masa itu, kau sudah sangat cantik dengan sinarmu. 
Sudah sangat bahagia dalam dekap langit biru. 

Jingga itu sudah direngut senja. Lalu air matanya mengalir, membuat riak sungai semakin deras terukir. Ia kehilangannya, karena ego yang menguasai dirinya. 

-Hana Larasati


Senin, 10 September 2018

Rindu

Rindu ini dengan angkuh merasuk ke nadiku. Bergerak tak mau tau dan mengobrak-abrik tatanan jatungku.

Kesal, marah, kecewa tak dilihatnya. Digantikan egoisme ingin disapa pemilik mata dengan tatanan rasi bintang semesta.

Aku rindu. Cukup sulit. Namun saat detik itu aku harus melupakanmu. Tuan Maret.

10 September 2018

-Hana Larasati

Minggu, 09 September 2018

Anyelir

Jika hilang baru bertanya dimana
Jika pergi baru dicari kemana.
Sewaktu ada tak terlihat mata.

Angkuh itu mengudara.
Ditengah elok pilihan yang tersedia.
Bak anyelir ditengah ribuan mawar merah merona. Tak terlihat pada mata-mata serakah sang tuan legenda.

Saat darah mengalir karena duri. Baru sadar yang indah menyakiti. Lalu anyelir itu dicari. Pada tuan yang tengah sakit hati.

9 September 2018
-Hana Larasati

Rabu, 11 April 2018

Perempuan

Lentera hitam memancarkan gurat mencekam. Ronanya tak bernyawa pada waktu matahari tenggelam.

Diibaratkan kaca, lentera sudah hancur tak bersisa. Sianarnya terengut dalam kecaman diam hati yang temaram.

Disudut pintu ada kamu yang menanggis. Aku hanya tersenyum sambil memegang gagang pintu.

"Bagaimana sekarang?" Ucapmu dengan mata yang menahan air mata supaya tak tumpah berantakan.

Dia pernah bercahaya, indah sekali. Lalu perlahan mati, terpelanting disana-sini.

"Bagaimana sekarang?" Tanyanya sekali lagi.

Perempuan itu masih diam sambil mengengam gagang pintu.

Hatinya lelah, bagai anai-anai roboh terkena angin malam.

"Jangan pergi sekarang." Ucapnya menahan tangan yang siap membuka pintu..

Perempuan itu masih diam. Lelahnya tak tertahankan. Tidak ada alasan lagi untuk menetap. Semuanya sirna pupus dihapus ketidak tegasan.

"Tetaplah menetap!" Teriaknya saat perempuan itu sudah pergi dengan tegap. Semua terlambat.

8 September 2018

-Hana Larasati

Senin, 05 Maret 2018

Perjumpaan

Dia terlihat gagah hari itu, dengan kemeja hitamnya dan rambut yang tidak lagi sebahu. Dia tersenyum saat menatap mataku yang hari ini memakai baju coklat muda.

Sepatu tinggiku membuatnya tersenyum mencibir. Dia bilang aku kaku jika memakai itu. Tapi aku terlihat cantik dengan dandanan sederhana.

Kami mengadiri acara pertemuan para dosen. Dia menawarkan lengannya untuk ku gengam, namun aku mengantupkan tanganku sembari bergeleng lembut.

Dia menepuk jidatnya pelan dibarengi dengan senyuman. Dia mempersilahkan ku jalan duluan dan dia mengikuti di sebelahku laksana adipati dan putri.

Aku tersenyum bahagia hari ini. Sebagian orang berkata kami tampak serasi hari ini. Dia tersenyum salah tingkah, sama denganku yang tak jauh beda.

Aku tak tahu, akan bertahan berapa lama perasaan kami sekarang. Yang aku ketahui hanya kami, adalah dua orang yang berjalan bersama Ridho Tuhan. Meski banyak salahnya, banyak ketidak tahuannya namun setiap derap langkah dan pilihan kami selalu mengikutsertakan Tuhan sang pencipta alam.

Entah, apakan aku rusuknya yang baik atau dia kah tulang punggungku yang kuat. Yang ku tahu kami hanya saling menjaga satu dan lainnya. Dibumbui dengan cemburu dan rindu sebagai pemanis jalan hidup.

-Hana Larasati

Jumat, 02 Februari 2018

Merbabu dan Patahan Rusukku.

Pagi itu mendung masih mengelayuti mataku. Isi pesannya seolah merayuku untuk mengizinkan perjalannya mendaki ke merbabu.

"Kamu baru sembuh." Ujarku tak mau tahu.

"Tapi aku baik-baik saja." Dia tetap bersikukuh.

"Rusukmu patah satu bulan yang lalu!"

"Iya aku tahu, kan patahannya ada di kamu." Dia meledekku.

Aku harus bagaimana? Saat peringatan dianggap bualan. Ku matikan data ponselku. Kesal. Itu hal pertama yang ada di benakku sekarang.

"Buka pintu pagar." Sms nya masuk di kotak pesan.

Buru-buru ku buka jendela ruang tamu, dan benar saja sosoknya sudah berdiri tegap di depan pintu. Dia melambaikan tangannya, sambil memegang ponsel dengan casing warna biru.

"Mau apa?" Serbu ku saat sudah berada didepan pintu.

"Masuk. Di luar dingin."

"Tidak usah."

"Kenapa?"

"Latihan. Digunung lebih dingin dari ini."

Dia hanya tertawa. Dia pikir aku bercanda. Padahal jelas-jelas mataku mengancam dengan ancaman nyata.

"Eh, Fahri kenapa di luar aja?" Seru ibuku mengagetkan.

"Gak boleh masuk bu sama Hana." Dan akhirnya mau tidak mau, ku buka pintu gerbang, berbarengan dengan seringainya pertanda kemenangan.

Dia duduk di bangku kayu. Aku menatapnya masih dengan ancaman mautku.

"Aku gak di kasih minum?"

"Mau apa?"

"Gak usah repot-repot. Es cendol aja."

"Itu ngerepotin!" Ucapku sambil menyembunyikan tawa.

Ku taruh dua cangkir teh di meja kayuku. Dia mengambil satu dan meneguknya sambil sesekali melirik mataku.

"Kok dua?" Tanyanya.

"Satunya buat aku."

"Kenapa? Haus ya marah-marah mulu?" Dia masih dengan seringai yang membuatku salah tingkah untuk marah.

"Enggak."

"Udah apa. Gak capek emang marah-marah mulu?"

"Habis kamu."

"Lah aku kenapa?"

"Nyebelin."

"Kok nyebelin?"

"Iya, udah aku bilang jangan naik gunung dimusim kaya gini. Kamu tetep nekat. Mau cari apa sih disana? Penyakit?"

"Penyakit kok dicari. Penyakit mah di obatin." Dia tertawa.

"Aku kesana juga cuma mau cari refenensi tempat aja Han, buat bawa patahan rusukku. Kamu." Dia mencoba merayuku.

Lalu air mataku jatuh. Dia tidak tahu bagaimana khawatirnya aku.

"Lah...lah.. kok nangis? Jangan nangis dong. Aduhh. Eh jangan nangis dong."

"Yaudah sana pergi. Awas kalo gak pulang."

"Kenapa emang?"

"Gapapa."

"Ahh, kamu takut kehilangan yaaaa."

"Enggak."

"Bohong?"

"Iya. Enggak."

"Kalau ada aku dimarah-marah. Kalau pergi gak tega. Aku harus apa?" Wajahnya memelas.

Dan aku hanya membalasnya dengan tawa. Sambil sesekali melempar kacang ke wajahnya.

-Hana Larasati

Kamis, 18 Januari 2018

Pecahan Kaca

Tanganku memegang pecahan kaca, yang entah siapa yang memecahkannya.

Aku merapikannya. Satu demi satu ku pasang dengan seksama.

Lalu tanganku luka. Namun pecahan kaca masih ku gengam dengan tangan yang berbeda.

Aku suka merapikan yang berhamburan. Menyusun yang berantakan. Menyambungkan semua yang pecah kembali walau tak akan sama lagi.

Tak ada yang kudapat, walau hanya ucapan selamat. Memang aku tak menuntut hak apa pun termasuk luka-luka yang memenuhi tanganku.

Aku hanya ingin tak ada orang yang merasakan hal sama seperti aku. Yang untuk memasuki hatinya kau harus memakai alas kaki karena banyak pecahan yang tak sempat di rapikan lagi.

-Hana Larasati