Selasa, 27 September 2016

Museum Wayang

Aku memandanginya yang sedang berpose di dekat sepasang ondel-ondel dengan aneh. Dia sadar dan langsung memarahiku.

"Hana! Fotoin ah!"

Lalu dia lanjut berpose kembali. Kali ini dengan satu kaki yang diangkat ke atas layaknya anak kecil yang ikutan little miss Indonesia.

Aku pun mengerutu sembari mengeluarkan handphone

"Malu-maluin tau gak sih Ncuk!" Ujarku memprotes.

"Tau." Katanya mantap.

"Makanya cepetan." Lanjutnya yang masih berpose seperti itu.

Aku pun menjepret 4 foto sekaligus. Dia berjalan menghampiri.

"Bagus gak?" Katanya

"Iya. Bagus." Jawabku sekenanya.

"Mau di fotoin juga gak?"

Aku pun menggeleng. Dalam hati berkata -lebih baik enggak karena fix gue masih waras dan gak mau jadi tontonan pengunjung lain.

Aku dan dia pun berjalan menelusuri museum wayang yang tidak terlalu ramai.

"Banyak ya wayangnnya."

"Iyalah ini kan museum. Kalo banyak cabe gua bingung." Katanya mengejek.

Aku hanya melirik sinis ke arahnya.

"Ini wayang dari jawa tengah, namanya wayang kulit. Nah kalo ini dari toraja." Katanya sambil menunjuk wayang-wayang yang tergantung di dinding.

"Oh.. gua kira wayang cuma ada di jawa sama sunda aja."

"Ya enggaklah. Makanya main sama anak komplek biar tau." Katanya terkekeh.

"Sejak kapan lu tau beginian?" Kataku yang mulai menatapnya.

"Kalo sejarah gua mah jago."

"Matrix ngulang." Kataku mengejek.

"Iya matrix ngulang." Dia tertawa. Tawa favorit ku dengan sepasang lesung pipi.

Aku masih terus mengikutinya dari belakang. Kita sekarang berjalan ke arah area wayang daerah jawa barat. Museum ini terliat agak kurang di perhatikan. Cat temboknya kusam dan penerangannya kurang.

"Kalo di museum wayang emang kaya gini. Banyak yang bilang bagusan museum fatahilah." ujarnya.

Aku mulai curiga dia bisa membaca pikiranku.

"Kumis."

"Apa?"

Aku baru saja ingin mengajukan pertanyaan, apa dia masih satu keturunan dengan Ki Joko Bodo? Tiba-tiba aku teringat om Ahmad.  Ayahnya yang ramah dan humoris, lengkap dengan kumisnya yang tebal. Aku berani bertaruh  70 % gennya itu mengikuti ayahnya. Karena mereka benar-benar mirip.

"Apaaan?" Ucapnya sekali lagi.

"Emmm... lu paranormal ya?"

"Bukanlah. Sial. Ngasal." Katanya terkekeh.

Aku pun ikut tertawa

"Lagian dari kemarin lu kaya tau apa yang lagi gua pikirin." Lanjutku.

"Emang ya?" Dia menoleh dan melempar sebuah senyum.

Aku menganguk dan kami memutuskan untuk tidak membahas hal itu. Kita berjalan semakin ke dalam. Aku sibuk melihat-lihat isi museum. Semakin siang pengunjung semakin bertambah.

Ada anak-anak kecil yang merengek pada ibunya agar keluar dari museum karena mereka takut dengan salah satu wayang yang bentuknya seram.

Ada turis-turis asing yang sedang membaca keterangan di bawah wayang daerah bali.

Ada beberapa anak sekolah yang sedang mencatat perihal wayang tersebut.

Dan ketika aku berbalik, ada dia yang sedang tersenyum menatapku.

"Kenapa sih?" Kataku bingung

Dia hanya tersenyum dan terus menatapku.
"Mikir jorok lu ya!!" Kataku memvonis

Sekarang dia malah tertawa dan berjalan mendekatiku.

"Gua emang bisa baca pikiran lu, Na." Katanya tiba-tiba, yang membuat aku terperanjat.

Kelar idup gue. Terus dia tau kalau aku selalu mikirin dia?

"Coba pikirin sesuatu." Perintahnya.

Aku memutuskan untuk memikirkan project UAS yang harus di kumpulkan minggu depan.

"Mikirin tugas ya?" Katanya langsung membuatku terkejut.

"Ah, hoki aja lu!"

"Bener?" Dia pun tergelak memamerkan tawa yang membahagiakan.

Aku pun menganguk.

"Itu tadi gua cuma nebak doang kok. Tenang aja."

"Yaiyalah. Ya kali beneran." Ucapku di ikuti dengan hati yang mulai berangsur-angsur lega.

-Sumpah, kalo di kampus ada mata kuliah tebak-pikiran-gue pasti nilai lu A semua. Batinku.

Setelah puas berkeliling di museum wayang. Kami pun memutuskan untuk ke museum Fatahilah.

"Yang gini-gini nih yang gua suka." Kataku saat kami memasuki bangunan beraksen lampau.

"Emang dasar anak IPA mental  IPS." Katanya mengejek.

Aku hanya mengerenyit sinis ke arahnya.

"Kan udah gua bilang, gua tau tempat-tempat bagus." Katanya.

"Enggak, gua lebih berterima kasih sama google maps." Kataku

Dia tertawa. Karena memang dari tadi kami hanya mengandalkan google maps untuk sampai sini. Si keras kepala itu ternyata memang tidak tau jalan dari bogor ke jakarta kota.

Museum Fatahilah ini isi bagus banget. Tapi sayang masih banyak yang buang sampah sembarangan.

"Sedih ya, ngeliatin tempat bersejarah kaya gini." Kataku kepadanya yang sedang asik melihat foto.

"Iya, padahal kalo kejaga makin bagus loh."

"Mereka tuh gak menghargai bangsanya sendiri apa gimana sih?" 

Dia menoleh.

"Shhh. Gak boleh ngejudge orang sembarangan."

"I don't know. I just find it kind a ironic."

"Yang pasti, tanamin aja dalam diri sendiri. Buang sampah sembarangan itu gak asik bro." Katanya sambil mengikuti gaya Marshall Sastra.

"Ya tapikan gak boleh seenaknya kaya gitu." Kataku masih tetap tidak setuju.

Seakan sudah paham dengan tabiatku dia pun menuntunku ke ruangan lainnya.

Aku rasa dia sudah hatam dengan perilakuku selama tiga tahun ini. Dia selalu tau pemikiran-pemikiranku, dan bagaimana caraku mengkritis sesuatu.

Dan dia selalu punya cara untuk menanggapi itu. Kami suka berdiskusi. Dia adalah salah satu orang yang bisa aku ajak berbicara secara proper.

For me, he has such a smart and beautiful mind.

"Kapan-kapan gini lagi yuk Han." Katanya ketika kami sampai di depan lukisan Bung Karno.

"Gini gimana?" Kataku.

"Ke museum. Tapi yang di sekitaran Jakarta aja."

"Kok gua agak gak yakin ya yang namanya 'kapan-kapan' itu bakal beneran ada." Kataku.

Dia hanya tersenyum menatapku.

"Keras kepala." Katanya sambil memukul kepala dengan botol air mineral yang kosong.

"Kumisss." Kataku sambil ingin membalasnya. Tapi dia berlari menjauh dan kami pun berkejar-kejaran di dalam museum.

Hal yang gila tapi entah untuk alasan apa aku sangat bahagia.

Ins : Dekat

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar