Senin, 24 Oktober 2016

Hujan, Langit dan Dia

Sore ini setelah  hujan aku memutuskan untuk berjalan-jalan. Sepertinya aku tidak punya hipotesa yang cukup jika kau tanya untuk alasan apa? Yang pasti mengusir penat.

Bau aroma tanah basah bekas hujan entah kenapa membuatku semakin mantap melangkah.

Kakiku terus ku pijakan, berjalan seolah tanpa tujuan. Meresapi setiap detik udara segar yang merasuk ke paru-paru

Ku hiraukan beceknya tanah yang kujejaki, kubangan air sisa-sisa hujan sore ini, dan berbagai macam hal yang bisa di temui.

Ku amati langit bekas mendung beberapa detik yang lalu. Betapa tingginya dia. Tapi dia tetap diam.

Betapa menakjubkannya dia, dan apa yang ada di dalamnya. Tapi dia tetap memilih diam.

Seketika aku malu. Kau tau? Apa yang aku dapat tidak ada seujung kuku dari apa yang langit punya. Tapi sifatku seolah melangit. Itu yang membuatku malu.

Ku tatap ia lagi. Terus ku pandangi ia dari atas bangku taman. Betapa mengahnya, betapa indahnya. Apa lagi sekarang semburat jingga mulai muncul, tanda matahari mulai masuk pada peraduannya.

Awan-awan mulai berarak membentuk pola-pola indah menyejukan mata. Ada satu yang tertangkap mataku. Awan itu berbentuk hati yang mengandeng awan lainnya.

Jadi terpikir, itu seperti aku dan cinta Rabbku yang selalu mendampingku. Walau terkadang lisan tak bisa di percaya, banyak perbuatan tercela, tapi tak sedikit pun cintaNya luntur untuk hambaNya.

Dia selalu seperti itu. MengingatNya untuk hal sedih atau senang selalu membuat kubangan di mataku. Betapa kecilnya aku, betapa tak berdayanya aku tanpaNya.

Jika apa yang ada di hidupku di tarik olehNya aku benar-benar bukan apa-apa dan siapa-siapa. Bahkan mungkin tak ada. Setiap jengkal nafas dan hidupku hanya Dia yang punya.

Maka aku mohon dengan sangat padaNya agar aku menjadi hamba yang selalu bersyukur kepadaNya.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar