Sabtu, 11 Februari 2017

Bogor

Rekam jejak semakin menyeruak, seiring hujan jatuh dengan perasaan yang luruh.

Ekspektasiku berkata, hari ini aku akan menemui kota Bogor dengan langit yang lebih biru dari biasanya. Hingga nostalgia kata tak kan cukup untuk mewakilkan keindahannya.

Namun realitannya, yang ku temu hari ini adalah Bogor dengan gemericik hujan dan kabutnnya yang mulai menebal.

"Bogor selalu begitu Hana. Di musim hujan sudah semestinnya berkabut dan basah. Setelah ini pasti berganti dengan matahari, hanya perlu cukup sabar untuk menanti.

Aku tersenyum. Lalu menimang-nimang segala macam presepsi. Toh bukan sifatku juga untuk menawar keadaan. Memaksa hujan berhenti untuk di ganti dengan matahari buatku tak ada bedanya dengan memaksa bumi berhenti mengitari porosnnya.

Satu-satunnya hal yang bisa ku lakukan adalah aku harus terus membiasakan diriku dengan semuannya. Menyamarkan keadaan lewat hiruk pikuk aktivitas yang berjalan semestinya. Mencoba menciptakan cinta di kota tempat berdirinya istana kebun raya.

Tapi sekali lagi aku bilang terjebak itu bukan sesuatu yang menyenangkan, sesingkat apa pun waktunya. Salahkah jika aku mulai muak?

Kau pun pasti mengerti bahwa perasaan manusia selalu ada batasnnya. Terlihat baik-baik saja tak akan mengubah keadaan menjadi baik-baik saja.

Dan seperti biasannya saat aku sudah sampai di ujung batasanku dia datang. Dan mungkin ini yang terbaik di hari ini. Saat dia berjalan mengampiriku dengan payung hitamnya. Senyumnnya sedikit membuat udara tak sedingin kenyataannya.

Aku memepersilahkannya duduk.

"Pesanmu, apa benar?" Katanya sambil menggosok buku-buku jari yang memutih akibat udara yang menjadi dingin di luar kemauannya.

"Iya."

"Apa jogja tempat pelarian terbaik?"

"Bukan pelarian, hanya persinggahan."

"Kenapa? Apa Bogor kurang baik hingga harus memilih Jogja."

"Bukan. Jangan membandingkan keduannya seperti itu."

"Lantas? Apa Jogja yang lebih baik buatmu?"

"Manusia gak pernah tau apa yang terbaik buatnya."

"Aku tau tentangmu dan apa yang kamu rasakan. Tapi lari bukan suatu pilihan terbaik.."

"Sudah aku bilang manusia gak pernah tau apa yang terbaik buatnya."

"Haruskah menyerah?"

"Pada beberapa hal kita tidak bisa menembunyikan batasan."

"Batasan manusia tercipta saat dia menyerah pada keadaan yang ada."

"Kemana Hana ku? Kenapa harus bersembunyi. Kau bisa bercerita dan kita bisa memecahkah semua masalahnya." Lanjutnya.

"Kau tau? Terkadang seseorang ingin bercerita tapi terlalu malas karena berpikir masalahnya bukan konsumsi manusia."

"Jika itu maumu semoga ini bisa menyembuhkan sedikit laramu."

Dia mengambil gitarnya dan mulai bernyayi di tenggah luka yang mengakar.

Datanglah bila engkau menangis ceritakan semua yang engkau mau, percaya padaku aku lelakimu. Mungkin pelukku tak sehangat senja, ucapku tak menghapus air mata, tapi ku disini sebagai lelakimu.

Akulah yang tetap memelukmu erat saat kau berpikir mungkinkah berpaling . Akulah yang nanti menenangkan badai agar tetap tegak kau berjalan nanti.

Aku tersenyum. Sangat menyembuhkan aku rasa untuk saat ini.

"Jangan menangis. Bogor memang dingin, tapi bukan berarti dia tidak baik."

"Iya aku tau. Jogja pun tidak selalu lebih baik. Tapi aku rasa saat ini aku harus memberi jarak pada semuanya."

"Jadi kapan? Kapan kau akan pergi?"

"Setelah lulus nanti."

"Apa aku salah sati yang akan kau lupa? "

"Tidak. Kau malah satu-satunya yang akan ku ingat di kota seribu budaya itu."

Dia tersenyum.

"Jangan mencoba memakai topeng sepertiku. Jika sedih tunjukan sedihmu jangan bersembunyi di balik senyummu. Aku hanya membutuhkan ketenangan, dan Jogja satu-satunya kota yang bisa ku pikirkan."

"Baiklah, ku tunggu hingga kau kembali. Sahabat."

Aku pun tersenyum.

Kau tau, meninggalkan sesuatu untuk sesuatu yang baru terkadang tidak semenyenangkan permainan di dufan.

Tapi seseorang butuh waktu menepi dan membiarkan dirinya sendiri. Mencoba bercengkrama dengan nurani dan mengintropeksi.

Ini bukan akhir tapi ini awal. Awal untuk menjadi Hanamu yang dulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar