Sabtu, 31 Oktober 2015

Iri itu pasti. Merasa tak berguna juga iya. Ketika belum ada yang bisa ku wujudkan dari jutaan mimpinya. Ketika ku patahkan segala angannya.

Sedih itu pasti. Kecewa juga iya. Ketika ku lihat raut kesedihan yang berusaha dia tutupi, diwajah rentanya karena cacian dan makian orang-orang yang tidak memiliki hati dan perasaan.

Selain berusaha dan berdoa aku bisa apa? Aku selalu yakin usaha dan cita-cita pasti terwujud pada waktunya. Janji Allah selalu benar dan aku meyakini itu.

Aku hanya berharap, semoga aku bisa mewujudkan cita-cita dan angannya. Semoga mereka bisa merasakan hasil jerih payahnya. Semoga aku bisa menyelamatkan mereka dari cibiran orang-orang dengan kesuksesanku. Aku hanya berharap itu Tuhan. Kasihan mereka aku tidak tahan lagi melihat kesedihan di wajah renta mereka. Semoga Kau mewujudkan permohonanku yang satu ini. :")

Jumat, 23 Oktober 2015

Aku Juga Berhak Bahagia

Masih di sini, dalam kamar yang tidak begitu besar.
Masih disini, mendengar lantunan tik tok tik tok jam dinding yang jarumnya makin lama makin jauh bergerak.
Masih di sini, dengan perasaan yang sama. Termenung, terdiam, merenung.
Bukan cinta yang membuat tetap disini tapi kenangan.

Masih disini, mencoba merangkak melawan takdir. Mencoba lari dari luka, mencoba menghapus segala sakit.
Tapi bayang itu tetap mengikuti. Entah apa salahku padanya.
Pergilah!!! Aku ingin bahagia! Aku berhak bahagia!
Pergilah!! Jangan datang lagi, jangan usik lagi. Aku suka hidupku sekarang. Aku suka hidupku saat ini. Biarkan aku bahagia, ku mohon dengan sangat!

Pergilah dengan perempuan yang kau pilih, biarkan aku bahagia dengan kehidupanku. Biarkan aku tertawa bebas tanpa sekat. Biarkan aku tersenyum tulus tanpa tangis di ujungnya. Biarkan aku berlari bersama sahabatku. Biarkan aku semakin dekat dengan Sang Pencipta ku. Aku mohon jangan ganggu aku.

Pergilah, pergilah dengan pilihanmu. Pergilah! Aku juga berhak bahagia disini. 😊

Hana Larasati

Rabu, 14 Oktober 2015

Bilal bin Rabah

Bilal bin rabah entahlah aku suka sekali nama itu, begitu pula kisah hidupnya. Seorang budak miskin berkulit hitam yang, dijamin masuk surga oleh Rasul.

Orang yang selalu di rendahkan diremehkan, bahkan di siksa ketika dia mengikrarkan dirinya memeluk agama islam.

Siapa sangka budak hitam itu sejajar dengan orang-orang beriman yang selalu bersama Rasulullah, yaitu para sahabat.

Kita tidak pernah tau kapan Allah akan mengangkat derajat seseorang. Tidak ada yang berpikir bahwa seorang budak di daulat menjadi pengumandang adzan pertama. Penyeru panggilan mulia.

Bilal bin rabah, orang yang dulunya di pandang sebelah mata, sering tak diangap keberadaannya kini sudah menjadi satu di surga bersama Rasulullah.

Selasa, 13 Oktober 2015

Cahaya itu Kembali.

Aku ingat senyum itu senyum yang terkembang di bibir manisnya. Sudah lama tak ku lihat senyum itu. Senyum yang sempat memudar, karena luka sayatan yang tidak ada obatnya.

Aku ingat tawa itu, tawa yang lahir dari wajah manisnya. Sudah lama tak ku lihat tawa itu. Tawa yang sempat tersekat karena jahatnya sikap yang dia terima.

Aku ingat binar mata itu, binar yang sama seperti binar bintang di langit. Sudah lama tak ku lihat binar itu, karena selama ini hanya air mata yang menetes dari dua mata indahnya.

Aku bingung, ada saja yang tega menyakiti hati wanita sebaik dia. Wanita yang ayu, sopan dalam kata, jujur dalam sikap, tidak pernah menyentuh dan di sentuh, selalu menjaga, tidak pernah menyakiti, polos.

Alhamdulillah dia yang lama sudah kembali, kembali menjadi seseorang yang lebih baik. Lebih berhati-hati dalam setiap langkah, lebih tidak mudah percaya.

Semoga senyumnya tetap mengembang di wajah manisnya. Wanita yang tidak memiliki dendam, behati baik, polos dab lugu. Semoga dia mendapatkan yang jauh lebih baik dari yang menyianyiakannya. Dia wanita baik. Aamiin.

Jumat, 09 Oktober 2015

Muazim Surau Ku.

Matahari sudah bersiap pulang ke peraduannya. Ayam ayam pun juga sudah pulang ke kandang. Gema solawat kian ramai menandakan sebentar lagi masuk magrib.

Tapi di sini masih hening, bukan karena tidak ada surau tapi tidak ada muazin di surau. Aku sering berkhayal andai Bilal bani Rabah ada disini. Ingin sekali ku dengar suara merdu panggilan muliannya.

Sebagai seorang hamba, tentu aku rindu untuk solat berjamaah atau hanya sekedar mebdengar suara adzan. Tapi apa daya tak ada muazim atau imam di surau kami.

Aku hamba Mu Tuhan yang rindu membaca iftitah dalam jamaah. Aku hamba Mu Tuhan yang berharap mendengar adzan di surau kecil itu. Aku hamba Mu Tuhan yang mau mendapatkan pahala solat berjamaah.

Kepercayaan ku berbuah benar. Setiap doa baik pasti akan di kabulkan. Allah mengirim muazim di surau kami.

Dia baru pindah satu minggu yang lalu, rumahnnya di sebelah rumahku. Laki-laki berperawakan tinggi tegap yang memiliki wajah teduh khas ahli surga yang menjadi muazin sekaligus imam untuk surau kami.

Awalnya dia bingung kenapa ada surau tapi tidak ada orangnnya, jangankan orang suara adzan di waktu -waktu solat pun tidak pernah terdengar.

"Mba, kenapa gak kedengaran adzan ya? Bukannya ini sudah masuk waktu zuhur?"

"Iya, di surau itu tidak ada muazinnya."

"Di sini cukup banyak anak laki-laki yang sudah baliq tidak adakah diantara mereka yang tertarik hatinya untuk sekedar mengumandangkan adzan?"

Aku pun hanya tersenyum miris. Mengenaskan memang, surau sepi tapi tongkrongan ramai. Suara adzan sunyi, tapi suara gitar nyaring terdengar. Kemudian laki-laki itu melanjutkan ucapannya.

"Andai pahala itu kelihatan ya Mba, pasti mereka berebut. Jangankan untuk adzan sekedar mengucap salam pun akan mereka lakukan tanpa segan."

Pemilik mata bening itu masih menatap miris keadaan surau kami. Tangan kurusnya mengusap halus hidung mancungnya. Kemudian dia tersenyum ke arahku.

"Bagaimana jika saya yang jadi muazinnya Mba, bersediakah Mba menjadi mamum saya?"

Aku riang bukan kepalang kerinduanku untuk berjamaah di rumah Mu kini menjadi kenyataan, bukan menguap dan hanya menjadi sebuah angan.

Muhammad Makky Ibrahim. Kini menjadi muazin dan imam pertama yang mengumandangkan adzan setelah sekian lamanya. Penyandang dua nama nabi itu berdiri tegak menghadap kiblat seraya mengucap takbiratul ikhram. Aku pun mengikuti di belakangnya sebagai ma'mum.

Awalnya kami hanya berdua, lama-kelamaan banyak yang ikut berjamaah bersama kami. Aku tau pasti dalam hati mereka juga rindu untuk solat di rumah Mu.

Alhamdulillah, Engkau mendatangkan muazin dan imam untuk surau kami. Walaupun hanya seorang anak laki-laki berumur 21 tahun. Tapi jangan di lihat umurnya lihatlah bagaimana keberanian dia untuk meraih surga.

Hana Larasati.

Rabu, 07 Oktober 2015

Cerita Bintang

Hai matahari, aku bintangmu hanya ingin menyapa. Sehat kah kau. Jarak kita terlampau jauh sekali ya.

Hai matahari mungkin sinarku kecil tak sebesar yang kau punya. Tapi aku mandiri, walau pun kecil sinarku bukan pinjaman.

Hai matahari walaupun aku terlihat kecil bila di bandingkan bulan tapi aku tidak pernah sendirian aku selalu di kelilingi teman temanku. Bintang-bintang lain, yang kalau beruntung kau bisa melihat kami membuat rasi.

Hai matahari aku bintangmu, yang dari jauh kau anggap kecil tapi jika kau mendekat mungkin ukuranku lebih besar darimu. Aku senang merahasiakan diriku dari tatapan luar.

Bukan aku ingin mereka bersuzon tapi aku hanya ingin memberikan pelajaran, bahwa menilai tidak cukup hanya melihat tampak luar meskipun kau sudah mengenalnya. Kenal kan belum tentu paham.

Hai matahari aku hanya ingin sekedar menyapa mu, sebagai sesama ciptaanNya.

Sabtu, 03 Oktober 2015

Matahari

Wajah manis khas laki-laki Jogja itu terbingkai indah di dalam kalbu. Hidung bangir dan tubuh kurus tinggi selalu membayangi. Ketegasan sikap dan konsisten dalam kata mempesonakan aku.

Matanya yang bisa di bilang, tidak sipit tidak juga besar tapi bening dan cemerlang indah seakan jalan pintas menuju hatinya. Baik budinya, santun perangainya, dan sopan dalam tutur katanya semakin menunjukan bahwa dia pria berkelas.

Setelan jins dan kaos serta rambut yang sedikit berantakan klop dengan kulitnya yang sedikit kecoklatan manis khas orang Indonesia. 

Memang bukan laki laki dengan penampilan yang bisa di temui di masjid. Tetapi lelaki itu seumur hidupnya menjauhi hal-hal yang dilarang Allah karena nasehat Ayahnya.

Sang Hafiz yang sudah menghafal lebih dari 5 juz. Menarik perhatianku. Di balik pebampilan yang berandalan ada ketakutan pada Sang Maha Pencipta. Itu yang membuatnya berbeda dan aku semakin terpesona.

Dia sosok yang mengiringku untuk selalu dekat pada-Nya. Tidak hanya mengingatkan tapi mencontohkan. Walaupun seorang hafiz tapi dia sangat humoris. Tidak terlalu kaku tidak juga sembarangan. Dia tau batas-batas karena dia paham  akan Agama.

Kita tidak pernah pacaran. Tidak pernah bersentuhan sebelum ijab kabul dilisankan. Mungkin sebagian orang berpikir itu kuno. Tapi itu yang dicontohkan Nabi.

Hatiku tertaut padanya, hatinya pun begitu. Tapi kita sepakat untuk menyimpannya rapat-rapat dan membiarkan tidak saling tau. Kesepakatan yang tidak pernah di lisankan tapi seakan berjalan mengikuti sekenarionnya.

Aku ingat betul nada suaranya ketika dia mengulang kembali wasiat ayahnya. "Seburuk apa pun yang kamu lakukan, ingatlah kamu menyandang nama Muhammad!" Nasihat ayah yang telah mencegah laki laki itu untuk tidak menempuh jalan maksiat seumur hidupnya.