Kamis, 18 Februari 2016

Matahari II

"Hujan menjadi pengawal pertemuan kita. Di saksikan gigil dan dingin. Semoga pertemuan ini berkah, seperti setiap tetes air hujan yang turun menghujami bumi. "

Entahlah dia masih menjadi sosok yqng memikat. Sudah lama aku memperhatikanya dalam diam. Aku tau ini salah. Jatuh cinta diam-diam itu menyerahkan semuannya pada Allah bukan menyimpannya dan memikirkannya dalam hati seperti ini.

Aku masih mencuri pandang lewat derai hujan yang mulai menjadi tirai sangking lebatnya. Tuhan maafkan hambaMu yang tidak bisa menjaga matanya. Tapi makhlukmu itu sangat mempesona.

Sekarang dia mulai mendekap tubuhnya dengan tangannya untuk sedikit menghangatkan. Karena dingin mulai mengelayuti tubuh kokohnya. Rambutnya yang panjang sebahu sepertinya lepek tetkena cipratan hujan.

Cinta di pelataran keraton Jogja. Rasanya aku ingin sekali menulis tentang itu saat ini. Kita terjebak di tempat dan suasana yang pastinya akan membuat orang iri dengan kita. Hujan dan keraton.

"Dila, ayok pulang. Hujan udah sedikit reda." Lamunanku pecah ketika sahabatku berkata sembari mengandeng tanganku. "Ah.. mengapa engkau buru-buru reda, padahal aku masih mau terpenjara dengannya. Yang deraimu menjadi jerujinya." Rajukku kepada hujan.

Tuhan aku tau ini salah, tapi Engkau pun pasti lebih tau bahwa ini ujian yang susah. Susah bagi hambaMu yang baru mengikrarkan untuk berhijrah. Menghijab hati itu lebih susah dari menghijab jiwa. Karena itu adalah hal yang benar-benar paling jujur.

"Kamu kenapa aneh gitu sih Dil?"

"Aneh? Aneh kenapa?"

"Itu celingukan gitu, kaya ada yang dicari."

"Sebenernya sih ada."

"Rum, aku mau cerita boleh?" Lanjutku lagi. Sambil menatap mata Rumi.

"Boleh, cerita aja."

"Aku kayanya suka sama laki-laki pengidap LGBT deh."

"Astagfirullah....... tobat Dil tobat."

"Heh.. jangan salah sangka dulu. Maksudnya laki-laki pengidap LGBT itu laki-laki gagah berakhlak tauladan."

"Mas Fahmi maksudmu?"

"Kamu kok tau?"

"Ayam yang lagi joging juga tau. Mata kamu gak pernah lepas kalo ada dia."

"Hmm... aku tau ini salah Rum. Aku juga gak mau kaya gini. Aku mau istiqomah sama pilihanku buat menahan pandangan. Tapi kayanya setan lebih istiqomah buat ngerontokin ke istiqomahan aku deh."

"Jangan salahin setan, salahin diri kamu sendiri kenapa kalah sama setan. Setan mah emang udah tugasnya menjerumuskan manusia supaya masuk ke dalam neraka. Tugasnnya gak akan berhenti sampai kiamat tiba. Tinggal dari kamunya aja Dil mau kalah apa enggak sama makhluk yang derajatnya di bawah kita, umat manusia."

Mendengar ucapan Rumi aku pun berpikir. Sepertinya memang hatiku sudah benar-benar melenceng. Aku seakan melupakan bahwa Allah cemburu melihat perilakuku, yang terlalu mengistimewakan makhluknya.

Dalam dekapan malam yang gulita. Aku menangis memohon ampun atas semua perilaku ku.  Aku takut jika cintaNya pudar dari hatiku.

Tak lama berselang handphone ku berbunyi. Ternyata mas Fahmi yang menghubungiku.

"Assalamualaikum, mas. Ada apa?"

"Waalaikumusalam, mba. Enggak saya hanya ingin ngobrol aja sama mbanya."

"Ngobrol? Di jam 3:00 pagi seperti ini? Ndak salah mas?"

"Maaf ya mba. Ngehubunginnya di waktu yang gak wajar."

"Iya gapapa mas. Ada apa gitu tumben mau ngobrol sama saya. Eh iya kok mas kenal saya?"

"Gapapa mba. Karena kelas mba kan pasti habis kelas saya kalo ngampus jadi saya tau mba."

"Oh iya juga sih mas. Tapi aneh aja kok mas bisa kenal saya dari sekian banya murid yang ada."

"Mba juga kok kenal saya?"

"Ya masnya kan asdos. Siapa yang ndak kenal. Yang aneh kenapa mas kenal sama saya. "

" Saya memang memperhatikan mba dari dulu."

"Loh? Saya emang punya salah sama mas?"

"Ndak mba ndak. Saya kagum sama mba."

"Kagum? Bagusnya saya yang bilang begitu ke masnya. Mas  mah banyak yang bisa di kagumi lah saya, apa yang bisa kagumi mas? "

"Ya kan hati orang gak ada yang tau mba."

"Jujur saya pun kagum sama mas. Walaupun kita sepantaran tapi mas sudah jadi asisten dosen. Mas juga rajin ibadah. Saya juga memeperhatikan mas diam-diam."

"Hah yang bener mba? Kok saya gak tau."

"Namanya juga diam-diam mas ya pastinya mas gak tau. Tapi sekarang saya pensiun untuk mengagumi mas. Saya takut ada yang cemburu ketika saya lebih mengistimewakan makhluknya. Saya takut Allah cemburu."

"Saya gak terpikir itu ya mba."

"Saya gak mau jadi Zulaika mas, yang mengoncangkan iman Yusuf. Saya takut murkanya Allah jadi saya memilih pensiun dini untuk jadi pengemar mas."

"Benar kamu mba."

" Untuk pengakuan mas yang tadi saya belum bisa menangapi. Jika mas benar-benar serius perjuangkan saya di jalan yang baik ya mas. Di jalan yang di ridhoi Allah."

"Bagaimana caranya?"

"Menikah. Tidak ada solusi untuk dua insan yang sedang jatuh cinta selain menikah. "

"Saya belum mampu mba."

"Ya kalau begitu kamu harus merelakan saya."

"Saya gak bisa mba."

"Solusi terbaik adalah saling memperbaiki diri."

"Saya sepertinya mengambil solusi yang terakhir mba."

"Kalau kita jodoh pasti bertemu mas."

"Aamiin mba."

Percakapan kita pun ditutup oleh aamiin. Semoga aamiin mu dan aamiinku di ijabah oleh Allah. Bukan kah doa yang gotong royong lebih cepat di ijabah.

Selang dua tahun dari hari itu Fahmi melamarku. Matahari keraton Jogjaku yang dulu hanya bisa aku lihat dari jauh. Kini dia selalu ada ketika aku membuka mata di pagi hari.

Ketika Allah yang menjadi tujuan, maka apa yang kamu impikan akan menjadi kenyataan. 

Hal yang paling sulit memang menahan perasaan pada orang yang di suka dan menyukai kita. Ketika semua harus di hijab dalam taat. Merelakan perasaan yang ada, menahan semua nafsu. Bukan hal yang mudah tapi Dila dan Fahmi bisa melakukan itu. Karena mereka tau, ketika kita meninggalkan sesuatu karena Allah maka Allah akan menggantinya dengan sesuatu yang baik.

Diah Larasati & Muhammad Fahmi Gifahri
Semoga berkah dalam dekapan Allah.

-Hana Latasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar