Jumat, 02 Februari 2018

Merbabu dan Patahan Rusukku.

Pagi itu mendung masih mengelayuti mataku. Isi pesannya seolah merayuku untuk mengizinkan perjalannya mendaki ke merbabu.

"Kamu baru sembuh." Ujarku tak mau tahu.

"Tapi aku baik-baik saja." Dia tetap bersikukuh.

"Rusukmu patah satu bulan yang lalu!"

"Iya aku tahu, kan patahannya ada di kamu." Dia meledekku.

Aku harus bagaimana? Saat peringatan dianggap bualan. Ku matikan data ponselku. Kesal. Itu hal pertama yang ada di benakku sekarang.

"Buka pintu pagar." Sms nya masuk di kotak pesan.

Buru-buru ku buka jendela ruang tamu, dan benar saja sosoknya sudah berdiri tegap di depan pintu. Dia melambaikan tangannya, sambil memegang ponsel dengan casing warna biru.

"Mau apa?" Serbu ku saat sudah berada didepan pintu.

"Masuk. Di luar dingin."

"Tidak usah."

"Kenapa?"

"Latihan. Digunung lebih dingin dari ini."

Dia hanya tertawa. Dia pikir aku bercanda. Padahal jelas-jelas mataku mengancam dengan ancaman nyata.

"Eh, Fahri kenapa di luar aja?" Seru ibuku mengagetkan.

"Gak boleh masuk bu sama Hana." Dan akhirnya mau tidak mau, ku buka pintu gerbang, berbarengan dengan seringainya pertanda kemenangan.

Dia duduk di bangku kayu. Aku menatapnya masih dengan ancaman mautku.

"Aku gak di kasih minum?"

"Mau apa?"

"Gak usah repot-repot. Es cendol aja."

"Itu ngerepotin!" Ucapku sambil menyembunyikan tawa.

Ku taruh dua cangkir teh di meja kayuku. Dia mengambil satu dan meneguknya sambil sesekali melirik mataku.

"Kok dua?" Tanyanya.

"Satunya buat aku."

"Kenapa? Haus ya marah-marah mulu?" Dia masih dengan seringai yang membuatku salah tingkah untuk marah.

"Enggak."

"Udah apa. Gak capek emang marah-marah mulu?"

"Habis kamu."

"Lah aku kenapa?"

"Nyebelin."

"Kok nyebelin?"

"Iya, udah aku bilang jangan naik gunung dimusim kaya gini. Kamu tetep nekat. Mau cari apa sih disana? Penyakit?"

"Penyakit kok dicari. Penyakit mah di obatin." Dia tertawa.

"Aku kesana juga cuma mau cari refenensi tempat aja Han, buat bawa patahan rusukku. Kamu." Dia mencoba merayuku.

Lalu air mataku jatuh. Dia tidak tahu bagaimana khawatirnya aku.

"Lah...lah.. kok nangis? Jangan nangis dong. Aduhh. Eh jangan nangis dong."

"Yaudah sana pergi. Awas kalo gak pulang."

"Kenapa emang?"

"Gapapa."

"Ahh, kamu takut kehilangan yaaaa."

"Enggak."

"Bohong?"

"Iya. Enggak."

"Kalau ada aku dimarah-marah. Kalau pergi gak tega. Aku harus apa?" Wajahnya memelas.

Dan aku hanya membalasnya dengan tawa. Sambil sesekali melempar kacang ke wajahnya.

-Hana Larasati