Rabu, 16 Agustus 2017

Kemerdekaan

Kemerdekaan  bukan hanya sekedar tentang merebut apa yang menjadi hak. Melainkan lebih dari itu, kemerdekaan adalah bagaimana menjaga apa yang sudah di peroleh, merakitnya menjadi lebih baik.

Bagaimana meneruskan perjuangan, tidak hanya dengan senjata tapi lewat suara. Tidak hanya dengan gerilya melainkan lewat aksi nyata.

Dan bagaimana mewujudkannya dengan cita-cita dan impian nyata. Kemajuan bukan hanya sekedar tugas anak mudanya, melainkan tugas semua masyarakat yang mengaku Indonesia.

-Hana Larasati

Sabtu, 12 Agustus 2017

Pelita

Dan lagi,
nurani terpenjara saat menatap bola matanya.

Dia sangat banyak tersenyum dan bertanya. Celotehnnya semakin meruntuhkan nuraniku.

Dia bertanya kepadaku perihal matematika, aku menjawabnnya sambil terus menatap matanya.

Sebelumnya ibunya bercerita, anaknya memiliki sebuah kelebihan, ku sebut saja begitu.
Susah ingat dan mudah lupa.
Dia sering terasing karena kelebihannya.

Banyak yang menyerah untuk mengajarinya. Ibunya datang padaku sambil berkata.

"Anak saya punya kekurangan. Dia susah ingat dan gampang lupa. Bicaranya pun belum lancar karena dia telat bicara. Sewaktu kecil dia pun pernah mengalami gagal jantung."

Aku tersenyum, tapi mataku tak bisa berbohong jika ini sangat menyakitkan.

"Setiap anak punya keistimewaannya sendiri bu."

Ibunya seperti memberi sinyal bahwa aku harus sabar dalam mengahadapinya.
Ku eja alif ba ta. Dan dia mengikuti walau agak lama.
Ku kenalkan A B C dan dia mengikutiku walau berbeda bunyi hurufnya.

Aku tidak tau harus mengartikan ini bagaimana? Dia adalah pelita, bagaimana pun wujudnya.

Minggu, 11 Juni 2017

Lorong Pisah.

Senja, akhirnya aku tau karma itu cepat datangnnya. Secepat kepakkan camar yang terbang pulang saat kau tiba dalam peraduan.

Saat ini aku duduk terhuyung menanti asa. Air mata sudah bosan keluar dari tempatnya. Lelah. Mungkin itu yang aku rasa dari dampaknya.

"Jadi, selama bersama ku hatinya masih tertahan di sana. Lalu, tawa itu? Pandainya ia dalam merekayasa." Batinku pilu.

Derap langkahnya bergemuruh di lorong-lorong. Satu persatu pintu kelas dia buka, demi mengetahui keberadaanku. Aku masih terduduk sayu, sambil menikmati hembusan anggin pengantar laraku.

Akhirnya dia tiba di pintuku, di bukanya perlahan dan dia masuk dengan langkah yang tenang. Sesaat dia duduk di sampingku. Menatap mataku yang kualihkan pada langit yang hampir kelabu.

"Kita harus bicara." Suaranya mengema dalam ruang yang tidak ada penghuninya.

Mataku masih menatap langit senja. Walau tidak menangis tapi manusia tetap punya sesak yang menghimpit dada.

"Kita benar-benar harus bicara." Ulangnya untuk kedua kalinya.

Seakan tuli, aku tetap tidak mengalihkan pandanganku pada senja yang mulai temaram.

"Kita harus bicara!" kali ini dibarengi dengan gebrakan meja. 

Aku bangkit. Ku tatap dalam matanya. Kualirkan segala rasa kecewa. Lalu aku berjalan melaluinya sambil membawa tas dan beberapa buku data.

Dia berlari mengejar, tapi aku lebih pandai menghindar.

"Aku mohon. Aku bisa jelaskan." Lolongnya dalam lorong-lorong tanpa tuan.

Aku pun berbalik. Menatapnya sejenak dan mulai berjalan menghampirinya.

Dia tersenyum, tapi keringatnya mengucur dari ujung kepala hingga ke hatinya.

"Aku menyesal. Iya oke, aku belum bisa melupakan perempuan itu. Tapi selama ini aku berusaha."

"Tidak ada manusia yang bisa lupa dengan sendirinya, kecuali amnesia." Kataku getir.

"Aku mohon maaf."

Aku terdiam cukup lama. Sangat lama hingga jam dinding menunjukan suaranya. Dia mencoba mendekat, tapi hatiku semakin menjauh.

"Kita bisa perbaiki semuanya." Lanjutnya tanpa putus asa.

"Percuma, aku gak bisa sama-sama dengan orang yang hatinya masih tertahan pada masa lalunya." Ujarku.

"Kita pisah?"

"Dari dulu kita juga bukan pasangan kan? Hanya dua orang yang kebetulan memiliki perasaan yang sama."

"Oh sorry, ralat. Hanya aku yang punya perasaan itu." Seringaiku.

Dia terdiam. Ku rasa apa pun yang dia katakan, tak akan merubah apa pun dalam keadaan ini.

"Aku sayang kamu Han."

"Tapi kamu juga sayang dia kan?"

Dia melorot jatuh. Tangan kanannya mengacak rambut yang sebahu itu. Matanya nanar, senyumnnya hilang, hatinya hancur dan harapannya lebur.

Aku berjalan menjauh, cardigan hitam ku berkelebat di tiup angin sore. Sekarang aku jadi lebih mirip kelelawar jahat perampas kabahagian orang.

Di lorong itu dia terus menatapku, dan aku semakin memantapkan langkahku. Di setiap perpisahan harus ada yang luka. Entah salah satunya atau keduanya. Tapi semua itu pasti ada. Seakan wajib hukumnya. Kali ini bukan aku yang terluka. Iya bukan aku. Batinku sambil menghapus titik air mata.

-Hana Larasati

Kamis, 08 Juni 2017

Pada Akhirnya Hanya Butuh Yang Cukup

Angin selalu membawa kesejukan tersendiri untuk penikmatnya. Obat untuk hati yang patah, senyuman untuk rindu yang buta arah dan kebahagian untuk mereka yang lapang hatinya.

Sore ini antara ashar dan senja Tuhan mengirimkan hadiah dari penantian yang panjang. Hadiah dari rindu yang lama tertahan, yang tak bergerak karena semua berasal dari perasaan yang sulit di ungkapkan.

Di temani hembusan angin, aku melihat matanya lagi Tuhan, mata yang aku kagumi sejak pertama kali kita bertatap. Dan senyumnnya bagaimana aku bisa melupakannya? Aku tidak tau sample galaksi mana yang Kau sematkan di bibir manisnya.

"Hana, di panggil Eki." Kata seorang sahabat ketika aku baru duduk dengan beberapa anak yatim.

"Kenapa?"

"Gak tau di panggil aja."

Aku langsung bergegas menghampirinya.

"Ada apa?" Kataku.

"Tuh yang kemarin di tanyain."

Seketika ku alihkan pandanganku. Dia tampak lebih gemuk, rambutnya di pangkas habis.

"Apa sih Ki." Muka ku seketika masam dan aku pun langsung bergegas pergi.

Ya Allah, bukan mau ku menghindarinya, tapi apalah aku di matanya. Begitu banyak yang indah di sekelilingnya. Jadi salahkah aku jika aku melindungi diriku dari perasaanku sendiri?

Aku mulai berbaur lagi dengan, beberapa anak yatim. Sesekali kita berbicara dan lebih banyak kita bercanda.

"Kamu gak suka sama gaya rambutku?" Katanya mengagetkan saat aku sedang bercanda dengan anak-anak yatim.

"Eh, Apa kabar?" Sedikit salah tingkah.

"Kamu masih belum berubah ya." Katanya yang sekarang mulai berbaur denganku.

"Berubah kenapa deh?"

"Kalau ditanya tuh jawab bukan balik nanya." Terdengar sedikit kesinisan dari nadanya.

"Aku bingung jawabnya." Kataku sambil tersenyum.

Dia hanya tersenyum.

"Sebentar lagi kita pisah." Matanya tak beralih dari mataku.

"Kita emang udah pisah."

"Kamu udah terbiasa ya."

"Biasa gak biasa harus terbiasa. Pertemuan di ciptakan untuk perpisahan."

Kita berjalan keluar, sedikit menikmati bintang dan banyak menceritakan kisah tentang hidup dan kehidupan.

"Kamu gak suka ya aku yang gini."

"Kenapa mikir gitu sih."

Dia hanya terdiam.

"Ada masanya, segala sesuatu berubah. Fisik, penampilan, pola pikir dan hal lainnya. Aku gak bisa nuntut perubah itu, dan kamu gak perlu merasa bersalah akan hal itu."

"Tapi di akhir cerita kamu, kamu tulis..."

"Ceritanya gak berakhir sampai situ. Ada tulisan lain di lembar baru."

"Tetep aja kamu suka yang kurus."

"Gak juga."

"Mantan kamu kurus."

"Berarti kamu suka yang putih ya."

"Enggak?"

"Mantan kamu putih."

"Hannn."

"Siapa yang mulai?"

Dia hanya tersenyum.

"Di akhir cerita nanti wajah, fisik, dan tipe-tipe yang menjadi idaman akan menjadi nomer kesekian. Karena pada akhirnya, kita hanya butuh pendamping, yang ketika bersamanya semua masalah terasa baik-baik saja. Yang ketika bersamanya, semua kesulitan tak semenakutkan seperti biasanya."

Dia terdiam dan kemudian tersenyum.

"Jadi gapapa aku botak, aku tembem, aku gemukan?"

"Gemukan = Bahagia. Berarti kamu bahagia sama aku. 😙"

Dan aku pun meninggalkannya pergi. Sekilas kulihat senyum tersemat di bibirnya.

"Tungguin aku Cungkring." Katanya sambil mempercepat langkahnya menujuku.

"Gak mau ah, kelamaan sama kamu bisa batal puasa aku."

"Kan aku cuma ngajak ngobrol gak ngajak makan es buah." Katanya.

"Dasar gak sadar diri. Kamu tuh manis!" Aku langsung menghilang ke balik pintu, tapi masih terdengar gelak tawanya.

Pada akhirnya kita hanya butuh yang cukup. Cukup mendengarkan, cukup memperhatikan, cukup mengayomi dan cukup berbagi kebahagiaan atau masalah bersama.

-Hana Larasati

Rabu, 07 Juni 2017

Angkatan 2013

Di hari ini aku belajar.
Apa yang terlihat mata tidak selalu memcerminkan apa yang ada di hati.

Dari mereka aku belajar, bahwa hal baik bisa di lakukan oleh siapa saja. Kampus ini bukan hanya sekedar tempat untuk belajar eksak, tapi juga pelajaran hidup.

Pelajaran untuk tidak cepat menilai. Pelajaran untuk tidak memetakan manusia. Setiap orang toh punya sisi baik dan buruknya.

Setan selalu salah, malaikat selalu benar dan manusia ada di keduanya. Jadi masih pantaskah kita untuk menghakimi orang lain hanya karena dia seorang perokok, berandal, dan hal lainnya.

Coba belajar untuk melihat seseorang dari sisi lain dirinya. Kamu juga tidak mau kan dinilai hanya dari sisi burukmu.

Di sini aku semakin terpana, bahwa beauty in the beast. 😊

Sabtu, 25 Februari 2017

Hujan dan Hal-hal yang Diabadikan

Sejujurnya dulu aku adalah orang yang paling patah,  saat kamu menginginkan kita pisah. -Boy Chandra 

Ku tutup lembar buku itu, tapi ku buka lebar pikiranku. Mencari-cari dimana kamu yang berdiam lama disudut sisi lain hatiku.  Lalu menikmati segala piringan hitam kenangan di tengah hujan. 

Untuk tuan yang sempat menyandang gelar cinta pertama.  Pertama-tamakan kan ku tanya  bagaimana kabarmu ? Dan bagaimana kabar perempuan itu? 

Tuan,  setelah kehilangan, pikiran pertama yang datang adalah aku akan hampa dan tidak memiliki jalan pulang.  Aku pikir semua tidak akan berjalan semestinya.  Semua keluar dari orbitnya.

Tapi itu kesalahan terbesarku,  menjadikan kamu dunia dan menghindar dari dunia yang sesungguhnya. Mengakrabi luka dan menolak bahagia. 

Ada yang orang lupa saat berduka.  Dia mengejar satu dan menyianyiakan yang seribu. Terlalu fokus pada luka dan lupa berapa banyak orang yang berusaha membuatnya bahagia. 

Dia berpikir semuanya berubah saat dia terluka. Padahal semuanya masih di posisinya. Dia akan tetap bekerja,  temannya masih sama,  skripsinya akan selalu menyapanya.

Lalu apa yang membuat beda? Yang membuat semuanya berbeda adalah dia.  Dia mengkondisikan semua nya akan berubah saat luka mengakar dengan parah. 

Setelah bisa bangkit dan sadar. Aku sudah siap bertemu mu lagi. Menanyakan kabar dan berbincang sekedarnnya.  Menceritakan hal-hal yang baru,  buka pertengkaran atau luka yang di ungkit.  Semoga kau juga begitu.

Akan ku perkenalkan kau dengan seseorang yang kini menggantikan posisimu.  He can't wait to meet you. And I can't to meet she.

Hari itu pasti tiba.  Semoga. 

-Hana Larasati

Sabtu, 11 Februari 2017

Bogor

Rekam jejak semakin menyeruak, seiring hujan jatuh dengan perasaan yang luruh.

Ekspektasiku berkata, hari ini aku akan menemui kota Bogor dengan langit yang lebih biru dari biasanya. Hingga nostalgia kata tak kan cukup untuk mewakilkan keindahannya.

Namun realitannya, yang ku temu hari ini adalah Bogor dengan gemericik hujan dan kabutnnya yang mulai menebal.

"Bogor selalu begitu Hana. Di musim hujan sudah semestinnya berkabut dan basah. Setelah ini pasti berganti dengan matahari, hanya perlu cukup sabar untuk menanti.

Aku tersenyum. Lalu menimang-nimang segala macam presepsi. Toh bukan sifatku juga untuk menawar keadaan. Memaksa hujan berhenti untuk di ganti dengan matahari buatku tak ada bedanya dengan memaksa bumi berhenti mengitari porosnnya.

Satu-satunnya hal yang bisa ku lakukan adalah aku harus terus membiasakan diriku dengan semuannya. Menyamarkan keadaan lewat hiruk pikuk aktivitas yang berjalan semestinya. Mencoba menciptakan cinta di kota tempat berdirinya istana kebun raya.

Tapi sekali lagi aku bilang terjebak itu bukan sesuatu yang menyenangkan, sesingkat apa pun waktunya. Salahkah jika aku mulai muak?

Kau pun pasti mengerti bahwa perasaan manusia selalu ada batasnnya. Terlihat baik-baik saja tak akan mengubah keadaan menjadi baik-baik saja.

Dan seperti biasannya saat aku sudah sampai di ujung batasanku dia datang. Dan mungkin ini yang terbaik di hari ini. Saat dia berjalan mengampiriku dengan payung hitamnya. Senyumnnya sedikit membuat udara tak sedingin kenyataannya.

Aku memepersilahkannya duduk.

"Pesanmu, apa benar?" Katanya sambil menggosok buku-buku jari yang memutih akibat udara yang menjadi dingin di luar kemauannya.

"Iya."

"Apa jogja tempat pelarian terbaik?"

"Bukan pelarian, hanya persinggahan."

"Kenapa? Apa Bogor kurang baik hingga harus memilih Jogja."

"Bukan. Jangan membandingkan keduannya seperti itu."

"Lantas? Apa Jogja yang lebih baik buatmu?"

"Manusia gak pernah tau apa yang terbaik buatnya."

"Aku tau tentangmu dan apa yang kamu rasakan. Tapi lari bukan suatu pilihan terbaik.."

"Sudah aku bilang manusia gak pernah tau apa yang terbaik buatnya."

"Haruskah menyerah?"

"Pada beberapa hal kita tidak bisa menembunyikan batasan."

"Batasan manusia tercipta saat dia menyerah pada keadaan yang ada."

"Kemana Hana ku? Kenapa harus bersembunyi. Kau bisa bercerita dan kita bisa memecahkah semua masalahnya." Lanjutnya.

"Kau tau? Terkadang seseorang ingin bercerita tapi terlalu malas karena berpikir masalahnya bukan konsumsi manusia."

"Jika itu maumu semoga ini bisa menyembuhkan sedikit laramu."

Dia mengambil gitarnya dan mulai bernyayi di tenggah luka yang mengakar.

Datanglah bila engkau menangis ceritakan semua yang engkau mau, percaya padaku aku lelakimu. Mungkin pelukku tak sehangat senja, ucapku tak menghapus air mata, tapi ku disini sebagai lelakimu.

Akulah yang tetap memelukmu erat saat kau berpikir mungkinkah berpaling . Akulah yang nanti menenangkan badai agar tetap tegak kau berjalan nanti.

Aku tersenyum. Sangat menyembuhkan aku rasa untuk saat ini.

"Jangan menangis. Bogor memang dingin, tapi bukan berarti dia tidak baik."

"Iya aku tau. Jogja pun tidak selalu lebih baik. Tapi aku rasa saat ini aku harus memberi jarak pada semuanya."

"Jadi kapan? Kapan kau akan pergi?"

"Setelah lulus nanti."

"Apa aku salah sati yang akan kau lupa? "

"Tidak. Kau malah satu-satunya yang akan ku ingat di kota seribu budaya itu."

Dia tersenyum.

"Jangan mencoba memakai topeng sepertiku. Jika sedih tunjukan sedihmu jangan bersembunyi di balik senyummu. Aku hanya membutuhkan ketenangan, dan Jogja satu-satunya kota yang bisa ku pikirkan."

"Baiklah, ku tunggu hingga kau kembali. Sahabat."

Aku pun tersenyum.

Kau tau, meninggalkan sesuatu untuk sesuatu yang baru terkadang tidak semenyenangkan permainan di dufan.

Tapi seseorang butuh waktu menepi dan membiarkan dirinya sendiri. Mencoba bercengkrama dengan nurani dan mengintropeksi.

Ini bukan akhir tapi ini awal. Awal untuk menjadi Hanamu yang dulu.

Selasa, 03 Januari 2017

Hujan Dia Awal Januari

Yang kau tunggu sudah hadir nona.
Hujan di bulan januari.
Tak kau sambut dia?

Hei nona!
Kenapa kau malah berlari?
Bukannya kau suka hujan?

Oh iya aku lupa,
Tidak semua rasa suka haru berakhir dengan kebersamaan.
Kadang harus ada penghindaran untuk melindungi salah satunya.

Seperti kau yang mencintai aku di teduh mata sayumu.

4 Januari 2017

-Hana Larasti