Minggu, 11 Juni 2017

Lorong Pisah.

Senja, akhirnya aku tau karma itu cepat datangnnya. Secepat kepakkan camar yang terbang pulang saat kau tiba dalam peraduan.

Saat ini aku duduk terhuyung menanti asa. Air mata sudah bosan keluar dari tempatnya. Lelah. Mungkin itu yang aku rasa dari dampaknya.

"Jadi, selama bersama ku hatinya masih tertahan di sana. Lalu, tawa itu? Pandainya ia dalam merekayasa." Batinku pilu.

Derap langkahnya bergemuruh di lorong-lorong. Satu persatu pintu kelas dia buka, demi mengetahui keberadaanku. Aku masih terduduk sayu, sambil menikmati hembusan anggin pengantar laraku.

Akhirnya dia tiba di pintuku, di bukanya perlahan dan dia masuk dengan langkah yang tenang. Sesaat dia duduk di sampingku. Menatap mataku yang kualihkan pada langit yang hampir kelabu.

"Kita harus bicara." Suaranya mengema dalam ruang yang tidak ada penghuninya.

Mataku masih menatap langit senja. Walau tidak menangis tapi manusia tetap punya sesak yang menghimpit dada.

"Kita benar-benar harus bicara." Ulangnya untuk kedua kalinya.

Seakan tuli, aku tetap tidak mengalihkan pandanganku pada senja yang mulai temaram.

"Kita harus bicara!" kali ini dibarengi dengan gebrakan meja. 

Aku bangkit. Ku tatap dalam matanya. Kualirkan segala rasa kecewa. Lalu aku berjalan melaluinya sambil membawa tas dan beberapa buku data.

Dia berlari mengejar, tapi aku lebih pandai menghindar.

"Aku mohon. Aku bisa jelaskan." Lolongnya dalam lorong-lorong tanpa tuan.

Aku pun berbalik. Menatapnya sejenak dan mulai berjalan menghampirinya.

Dia tersenyum, tapi keringatnya mengucur dari ujung kepala hingga ke hatinya.

"Aku menyesal. Iya oke, aku belum bisa melupakan perempuan itu. Tapi selama ini aku berusaha."

"Tidak ada manusia yang bisa lupa dengan sendirinya, kecuali amnesia." Kataku getir.

"Aku mohon maaf."

Aku terdiam cukup lama. Sangat lama hingga jam dinding menunjukan suaranya. Dia mencoba mendekat, tapi hatiku semakin menjauh.

"Kita bisa perbaiki semuanya." Lanjutnya tanpa putus asa.

"Percuma, aku gak bisa sama-sama dengan orang yang hatinya masih tertahan pada masa lalunya." Ujarku.

"Kita pisah?"

"Dari dulu kita juga bukan pasangan kan? Hanya dua orang yang kebetulan memiliki perasaan yang sama."

"Oh sorry, ralat. Hanya aku yang punya perasaan itu." Seringaiku.

Dia terdiam. Ku rasa apa pun yang dia katakan, tak akan merubah apa pun dalam keadaan ini.

"Aku sayang kamu Han."

"Tapi kamu juga sayang dia kan?"

Dia melorot jatuh. Tangan kanannya mengacak rambut yang sebahu itu. Matanya nanar, senyumnnya hilang, hatinya hancur dan harapannya lebur.

Aku berjalan menjauh, cardigan hitam ku berkelebat di tiup angin sore. Sekarang aku jadi lebih mirip kelelawar jahat perampas kabahagian orang.

Di lorong itu dia terus menatapku, dan aku semakin memantapkan langkahku. Di setiap perpisahan harus ada yang luka. Entah salah satunya atau keduanya. Tapi semua itu pasti ada. Seakan wajib hukumnya. Kali ini bukan aku yang terluka. Iya bukan aku. Batinku sambil menghapus titik air mata.

-Hana Larasati

Kamis, 08 Juni 2017

Pada Akhirnya Hanya Butuh Yang Cukup

Angin selalu membawa kesejukan tersendiri untuk penikmatnya. Obat untuk hati yang patah, senyuman untuk rindu yang buta arah dan kebahagian untuk mereka yang lapang hatinya.

Sore ini antara ashar dan senja Tuhan mengirimkan hadiah dari penantian yang panjang. Hadiah dari rindu yang lama tertahan, yang tak bergerak karena semua berasal dari perasaan yang sulit di ungkapkan.

Di temani hembusan angin, aku melihat matanya lagi Tuhan, mata yang aku kagumi sejak pertama kali kita bertatap. Dan senyumnnya bagaimana aku bisa melupakannya? Aku tidak tau sample galaksi mana yang Kau sematkan di bibir manisnya.

"Hana, di panggil Eki." Kata seorang sahabat ketika aku baru duduk dengan beberapa anak yatim.

"Kenapa?"

"Gak tau di panggil aja."

Aku langsung bergegas menghampirinya.

"Ada apa?" Kataku.

"Tuh yang kemarin di tanyain."

Seketika ku alihkan pandanganku. Dia tampak lebih gemuk, rambutnya di pangkas habis.

"Apa sih Ki." Muka ku seketika masam dan aku pun langsung bergegas pergi.

Ya Allah, bukan mau ku menghindarinya, tapi apalah aku di matanya. Begitu banyak yang indah di sekelilingnya. Jadi salahkah aku jika aku melindungi diriku dari perasaanku sendiri?

Aku mulai berbaur lagi dengan, beberapa anak yatim. Sesekali kita berbicara dan lebih banyak kita bercanda.

"Kamu gak suka sama gaya rambutku?" Katanya mengagetkan saat aku sedang bercanda dengan anak-anak yatim.

"Eh, Apa kabar?" Sedikit salah tingkah.

"Kamu masih belum berubah ya." Katanya yang sekarang mulai berbaur denganku.

"Berubah kenapa deh?"

"Kalau ditanya tuh jawab bukan balik nanya." Terdengar sedikit kesinisan dari nadanya.

"Aku bingung jawabnya." Kataku sambil tersenyum.

Dia hanya tersenyum.

"Sebentar lagi kita pisah." Matanya tak beralih dari mataku.

"Kita emang udah pisah."

"Kamu udah terbiasa ya."

"Biasa gak biasa harus terbiasa. Pertemuan di ciptakan untuk perpisahan."

Kita berjalan keluar, sedikit menikmati bintang dan banyak menceritakan kisah tentang hidup dan kehidupan.

"Kamu gak suka ya aku yang gini."

"Kenapa mikir gitu sih."

Dia hanya terdiam.

"Ada masanya, segala sesuatu berubah. Fisik, penampilan, pola pikir dan hal lainnya. Aku gak bisa nuntut perubah itu, dan kamu gak perlu merasa bersalah akan hal itu."

"Tapi di akhir cerita kamu, kamu tulis..."

"Ceritanya gak berakhir sampai situ. Ada tulisan lain di lembar baru."

"Tetep aja kamu suka yang kurus."

"Gak juga."

"Mantan kamu kurus."

"Berarti kamu suka yang putih ya."

"Enggak?"

"Mantan kamu putih."

"Hannn."

"Siapa yang mulai?"

Dia hanya tersenyum.

"Di akhir cerita nanti wajah, fisik, dan tipe-tipe yang menjadi idaman akan menjadi nomer kesekian. Karena pada akhirnya, kita hanya butuh pendamping, yang ketika bersamanya semua masalah terasa baik-baik saja. Yang ketika bersamanya, semua kesulitan tak semenakutkan seperti biasanya."

Dia terdiam dan kemudian tersenyum.

"Jadi gapapa aku botak, aku tembem, aku gemukan?"

"Gemukan = Bahagia. Berarti kamu bahagia sama aku. 😙"

Dan aku pun meninggalkannya pergi. Sekilas kulihat senyum tersemat di bibirnya.

"Tungguin aku Cungkring." Katanya sambil mempercepat langkahnya menujuku.

"Gak mau ah, kelamaan sama kamu bisa batal puasa aku."

"Kan aku cuma ngajak ngobrol gak ngajak makan es buah." Katanya.

"Dasar gak sadar diri. Kamu tuh manis!" Aku langsung menghilang ke balik pintu, tapi masih terdengar gelak tawanya.

Pada akhirnya kita hanya butuh yang cukup. Cukup mendengarkan, cukup memperhatikan, cukup mengayomi dan cukup berbagi kebahagiaan atau masalah bersama.

-Hana Larasati

Rabu, 07 Juni 2017

Angkatan 2013

Di hari ini aku belajar.
Apa yang terlihat mata tidak selalu memcerminkan apa yang ada di hati.

Dari mereka aku belajar, bahwa hal baik bisa di lakukan oleh siapa saja. Kampus ini bukan hanya sekedar tempat untuk belajar eksak, tapi juga pelajaran hidup.

Pelajaran untuk tidak cepat menilai. Pelajaran untuk tidak memetakan manusia. Setiap orang toh punya sisi baik dan buruknya.

Setan selalu salah, malaikat selalu benar dan manusia ada di keduanya. Jadi masih pantaskah kita untuk menghakimi orang lain hanya karena dia seorang perokok, berandal, dan hal lainnya.

Coba belajar untuk melihat seseorang dari sisi lain dirinya. Kamu juga tidak mau kan dinilai hanya dari sisi burukmu.

Di sini aku semakin terpana, bahwa beauty in the beast. 😊