Jumat, 30 Desember 2016

Jalan Cinta Para Pejuang

Masih jam 07:00 pagi, terlalu dini untuk iri pada mereka yang membuat hati berseri. Terbayang bagaimana mereka jatuh cinta lalu melibatkan Tuhan nya. Cinta di atas titik ketaatan.

Mereka yang bisa menjaga matanya, mereka yang bisa menahan hatinya, mereka yang bisa berkomitmen atas dasar agama.

Sudah waktunya aku rasa. Membiarkan cinta berhenti di titik ketaatan. Meloncati rasa suka dan tidak suka. Melampaui batas cinta dan benci.Karena hikmah sejati tak selalu terungkap di awal pagi.

Tuan, maafkan hati yang dengan lancang memasukanmu dan menjadikanmu yang nomer satu. Aku harap kau maklum, seringkali kebodohan merabunkan kesan sesaat.

Berat itu pasti. Saat taat adalah prioritas yang kadang membuat perasaan-perasaan terkibas. Tapi aku yakin, di jalan cinta para pejuang, Allah lebih tahu tentang kita. Saatnya untuk memilih tinggalkan atau halalkan.

-Hana Larasati

Kamis, 29 Desember 2016

Mengakrabi Hampa dengan Aksara

Hanya suara detak jarum jam yang menemaniku malam ini. Aku merasa, suaranya lebih ramai dari biasanya atau mungkin hidupku yang terlalu sepi?

Sekarang sudah pukul 02:58 dan mataku masih saja terjaga. Akhir-akhir ini aku sering tidur larut. Aku tidak tau kenapa bisa begitu, yang aku tau kepala ku terasa berat. Seperti pengap, entah apa yang kupikirkan. 

Mereka bilang itu namanya hampa. Hampa? Apa benar itu yang ku rasakan? Tapi bagaimana hampa bisa begitu menyakitkan? Hampa harusnya berarti tidak ada apa-apa. Tidak ada apa-apa berarti tidak ada masalah. Termasuk rasa sakit.

Aku ingin sekali mengubah rutinitasku agar rasa hampa itu tidak lagi aku rasa. Tapi, bukannya mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengelilingi matahari?

Sesaat aku menatap langit, lalu aku berpikir. Kadang-kadang langit bisa kelihatan seperti lembar kosong. Padahal sebenarnya tidak. Bintang-bintang kita tetap disana. Bumi hanya sedang berputar.

Aku menarik nafas panjang. Jika sudah begini, hal yang membuatku sedikit lega adalah melampiaskan semuannya dalam aksara.

Buatku, bermain dalam kata sama halnya dengan berimajinasi tapi kau memiliki bukti yang nyata.

Saat semua penat terjun dan dideskripsikan dengan sebebas-bebasnnya, aku benar-benar merasakan puas.

Menulis buatku tidak hanya menyalurkan aspirasi, tapi lebih kepada media untuk berbagi ilmu, nasihat, peringatan, pengalaman dan hal lain yang menakjubkan.

Setiap penulis punya gayanya masing-masing. Ada yang suka berprosa, puisi, diksi, fiksi dan yang lainnya.

Tulisannya adalah identitas dirinya. Bagaimana dia menyampaikan makna yang tidak bisa di ungkapkan kata. Mengajak mata berkelana dan membiarkan otak mencerna maknannya.

Bukan mimpiku awalnnya menjadi seorang penulis, tapi takdirku yang mengajakku berjalan untuk menjadi sang penyampai pesan.

Walaupun banyak yang mengatakan takdir di luar kenadali kita. Sama halnya dengan nasib yang tidak bisa di tentukan, tapi aku lebih tau diriku. Buatku, takdir ku hidup di dalam diri ku.

Tidak ada kekangan dalam menyampaikan tulisan. Kau bisa menjadikan siapa pun untuk masuk dalam ceritamu.

Sudah pukul 04:00 dan tulisanku pun sudah hampir jadi. Cerita ini tidak melulu soal hati, tapi lebih kepada kita yang harus mawasdiri.

-Hana Larasati

Rabu, 28 Desember 2016

Guratan Cinta Dalam Kumandang Adzan

Tepat pukul 04:05 suara penyerumu telah di perdengarkan. Jika aku tak bangkit, maka apa bedannya aku dengan kaum munafik dan para pengungkit.

Adzan itu adalah tanda bahwa kita harus istirahat, dan mulai merancang percakapan bersama Tuhan.
 
اَللهُ اَكْبَر

Nyaring kalimat itu dalam panggilanNya. Suatu kalimat persaksian bahwa tidak ada yang lebih besar dari Allah, bahkan semesta pun tunduk pada perintahNya.

أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّاللهُ

Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah. Seketika hatiku bergetar. Apa itu sudah ku lakukan dengan benar? Berkelabat rasa Takut, malu, merasa bersalah saat persaksian itu di kumandangkan.

Tertarik semua bayangan, saat dengan tidak sengaja aku sering menduakanNya, padahal mulutku sering bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Dia.
 

 اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ

Terbayang sikap teduh sang Nabi. Bagaimana dia mengimami. Menyuruh kita memahami, bukan hanya mengikuti sugesti. Ah, Muhammadku bisakah aku bertemu denganmu. Sepersekian detik saja. Aku rindu, dan semoga engkau sudi menemui aku, umatmu.

            حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ

Marilah kita sholat. Dekatkan dirimu dalam taat. Menangislah dan berserah untuk imanmu yang harus maju.

               حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ

Saat Tuhan sudah berseru kemenangan hanya sebatas kening dan sajadah, masihkah engkau ingkar atas nikmatnya? Masihkah engkau menyerah dalam setiap ujiannya?

             اَللهُ اَكْبَر , اَللهُ اَكْبَر

Ya, Allah hanya Engkau yang pantas di sebut Maha Besar. Bukan sombongku yang membuat arsy marah hingga bergetar. Ampuni aku dan segala perilakuku.

                  لاَ إِلَهَ إِلاَّالله

Tiada Tuhan selainMu. Dalam hati aku berseru hanya Engkau Yang Maha Satu. Demi Allah, tidak ada selainMu. Maka lindungi hatiku dan diriku untuk selalu taat padaMu.

-Hana Larasati

Selasa, 27 Desember 2016

Jika Pengagumku Seorang Penulis.

"When a writer falling in love with you. You never die."

Segelas kopi dan sepotong roti adalah menu yang menyambutku setiap pagi. Di temani laptop yang selalu menyala dan topi yang ada di kepala, aku menikmati seperti orang pada umumnnya.

Buatku pagi itu tentang belajar bersyukur. Bersyukur saat Tuhan masih sudi membangunkan tubuh sang pengeluh.

Pagi ini temannya masih tentang kamu. Tentang senyummu yang membuat aku malu. Bumi seperti berputar cepat, saat bayangnya datang berkelebat.

Tragedi ini terjadi saat aku menemuimu di depan pintu. Kau mengintip dengan mata sayumu. Saat mataku kubiarkan melihat matamu, kau malah menunduk malu.

Aku tebak, kejadian ini pasti akan menjadi tema tulisanmu. Walaupun aku tidak suka baca, tapi jika kau penulisnya aku akan berusaha suka.

Benar saja, hari ini aku lagi yang jadi objeknya. Fix, pengagumku seorang penulis ternyata, dan aku bangga.

Walaupun pada akhirnya rasa suka yang ada di dadamu harus tiada, namun aku masih ada dalam tulisanmu yang melegenda.

Aku suka caramu.  Di dunia nyata kau tak berani menyentuhku. Tapi dalam tulisanmu, aku lah peran utama yang mejadi pokok alur ceritamu

Jangan berhenti menulis, pengagumku. Ku relakan diriku menjadi objeknya, dan buatlah cerita yang bisa memberikan inspirasi untuk semua.

Tuangkan apa yang menjadi pemikiranmu, bagaimana kau memaknai sesuatu, dan tentang hal yang menjadi masa lalu. Tulislah, apa yang bisa menjadi manfaat untuk sekitarmu.

Aku pernah baca di satu tulisanmu.

"Menulis itu bukan tentang memenangkan hati siapa pun. Tapi lebih kepada memenangkan hatimu sendiri dan menebarkan cinta kepada para pembaca. Masalah bahagia atau tidak biar mereka yang memaknainnya." -Werry

Kau tau nona? Tanpa perlu berlomba, kau akan selalu jadi pemenangnya.

"Jadi, apa yang kamu lakukan jika pengagummu seorang penulis?" Begitu isi tulisanmu hari ini yang aku jawab dalam hati.

"Aku akan jadi pembaca, walaupun aku tidak suka baca. Karena menulis tanpa pembaca hanya akan menjadi hal yang fana."

Kita sudahi dulu berpetualang dalam ceritannya. Kini saatnya kembali ke dunia nyata dan melakukan rutinitas yang biasa. Satu pertanyaan untuk kalian semua.

"Apa yang kamu lakukan jika pengangummu seorang penulis?"

-Hana Larasati

Senin, 26 Desember 2016

Monumen Masa Depan

Setiap fajar menyingsing, pertanyaan mulai menuntut dan membuat bising. Pertanyaan tentang evaluasi diri untuk apa yang aku kerjakan kemarin.

Kenapa saya harus melakukan ini? Apa sebab saya melakukan ini? Adakah pengaruh saat saya melakukan ini? Dan beberapa hal semacam itu.

Aku selalu menulisnya dalam buku. Tentang sesuatu yang bisa aku kerjakan, tentang apa yang gagal, tentang luka dan sakit hati yang tidak bisa aku jelaskan.

Sahabatku bertanya.

"Kenapa kamu melakukan hal itu?"

"Untuk melegakan."

"Tidak se-simple itu aku rasa." Begitu balasnnya.

"Aku hanya terpikir tentang masa depan. Dia adalah apa yang aku usahakan sekarang."

"Baguslah, jadi luka sudah kau tinggal di belakang?"

"Tidak begitu yakin. Tapi aku berusaha untuk itu. Daun yang jatuh tidak pernah membenci angin kan?"

"Mulai berpuisi lagi. Jadi intinya."

"Aku berusaha membuat diriku percaya untuk potensiku yang ada. Mencoba berdamai dengan luka, kecewa, dan hal lain yang menyesakkan dada."

"Fokus untuk apa yang terjadi hari ini. Mengevaluasi apa yang sudah kulakukan dan membuat rencana perbaikan untuk yang akan aku lakukan."

"Aku ingat kata Nabi, hari ini harus lebih baik dari hari kemari. Jadi aku tuliskan apa yang sudah kulalui dan belajar dari setiap salah yang terjadi."

Dia hanya tersenyum. Aku rasa penjelasanku terlalu panjang.

"Proud of you Noy." Dia meninju pundakku lembut.

Masa depan buatku bukan tentang bagaimana aku 10 tahun lagi. Tidak itu terlalu jauh aku rasa. Karena 1 detik yang ada di depanmu termasuk masa yang harus kau hargai kehadirannya. 

Aku membiasakan untuk menulis segalanya. Membuat semacam prasasti yang tidak dapat di sentuh tapi melegenda sepenajang masa.

Ini, monumen perbaikanku yang aku abadikan dalam buku. Aku beri judul masa depan. Walau isinya adalah masa lalu. Tapi buatku buku ini adalah pemandu, untuk masa depanku yang jangan sampai ada lagi kesalahan seperti masa lalu.

-Hana Larasati.

#30DWC
#Day27

Ruang Sendiri

Ruang Sendiri.
.
.
Kadang seseorang membutuhkan ruang untuk sendiri. Diam-diam menepi dan memberi jarak antara dia dan dunia. .
.
Bukan untuk menarik diri, tapi lebih kepada intropeksi diri. Mengevaluasi apa yang sedang terjadi, apa yang belum terjadi, dan apa yang akan terjadi.
.
.
Sunyi itu indah ternyata. Walau tak banyak yang bisa di dengar, tapi banyak yang bisa di telaah. .
.
Jam sudah menunjukan pukul 04:00, masih sangat pagi untuk meratapi. Sekarang waktunya berdiri dan keluar dari ruang sunyi. .
.
Kembali ke hingar bingar, bercengkrama dengan rasa kesal. Ah, siklus ini. Bosan aku dengannya. .
.
"Jika kamu bosan dengan sesuatu maka jadi lah pembeda." Begitu kata ibu. .
.
Pembeda yang seperti apa? Untuk yakin pada diriku saja aku ragu. Dalam hati ku katakan seperti itu. .
.
"Meski ragu pada dirimu, berusahalah untuk percaya. Pikirkan, apa yang kamu dapat mungkin masih menjadi mimpi orang lain." Ibuku lebih tau aku rasa. .
.
-Hana Larasati

#30DWC
#Daya 26

Sabtu, 24 Desember 2016

Indonesia Merdeka (?)

Aku terpikir tentang merdeka. Merdeka itu bukannya definisi dari bebas ya? Jika aku tidak salah.

Bebas berbicara, bebas berperilaku, bebas memilih dan menentukan pilihan. Lantas, kenapa akhir-akhir ini kebebasan itu malah menjadi pembatas?

Kau tak mengerti maksudku? Begini. Ah aku merasa umurku bertambah banyak jika mulai serius.

Akhir-akhir ini kebebasan sudah jadi pembatas. Bebas berbicara contohnya, endingnya malah masuk penjara. Atau bebas berperilaku, malah lebih parah. MBA di mana-mana.

Atau kita yang salah mengartikan definisi dari "bebas"? Bebas bukan hanya sebebas bebasnya manusia tanpa tau norma dan etika.

Kita bukan orang hutan yang hidup semaunya. Kita bebas, tapi kita punya norma. Tidak seperti satwa yang hukum rimba jadi pegangannya. Tapi jika ingin di samakan dengan satwa silahkan. Tidak ada paksaan.

Jika di ingatkan alih-alih sadar, malah berkata ini negara merdeka! Merdeka yang bagaimana menurutmu, penerus?!

Aku rasa Soekarno, mengikrarkan proklamasi bukan untuk ini. Jika dia tau bangsanya akan berakhir seperti ini, aku pikir dia tidak akan mati-matian berjuang.

Kau tau, menurut pendapat pribadiku. Aku tidak menampik bahwa Indonesia negara yang merdeka. Iya kita merdeka, tapi kita masih terjajah denga pemikiran pendek kita.

Jiwa merdeka, bagaimana dengan akhlak? Bukannya Indonesia adalah salah satu negara muslim terbesar di dunia? Tidak, ini tidak bermaksud SARA. Ini untuk kita semua.

Kita adalah pemegang dasar negara pancasila. Tapi nilai-nilai moralnya malah enyah semua. Beberapa poinya akan aku sebutkan. Hanya beberapa, takut kalau banyak akan miris.

Ketuhanan yang maha esa, yakin menjadikan Tuhan satu-satunya? Sedangkan kriminalitas dimana-mana. Hak asasi manusia seakan tidak ada harganya!

Kemanusiaan yang adil dan beradap. Apa masih bisa di bilang manusia jika membunuh dan memperkosa anak di bawah umur oleh 14 pemuda?

Persatuan Indonesia. Saling cela satu sama lain dalam memperebutkan kekuasaan apa masih bisa di sebut bersatu? Padahal mereka pemimpin loh.

Tapi aku harus adil jika aku memperlihatkan sisi yang negative aku juga harus menampakan sisi yang positif. Sekarang mari kita lihat betapa indahnya Indonesia.

Negara dengan banyaknya pulau pulau. Pantai-pantai yang indah dan gunung-gunung yang menjulang seakan mengajak untuk di jelajahi.

Kita kaya, kita punya semua. Orang-orang kita pun orang-orang cerdas. BJ.Habibie, Sri Mulyani, Rio Haryanto, Liliana, Tomi Sugianto dan masih banyak lagi.

Jangan sedih, memang banyak kekurangan tapi kelebihan yang kita punya juga lebih banyak.

Cobalah memanusiakan manusia. Coba, jangan seperti hewan yang sekali kesal langsung hukum rimba.

Kita Indonesia. Kita ramah. Kita sopan. Kita kaya. Kita cerdas dan kita berakhlak.

Wujudkan Indonesia impian kita dan impian anak-anak kecil yang berpikir Indonesia indah.

-Hana Larasati

Kamis, 22 Desember 2016

Hijrah.

Melihat barisan burung yang terbang beriringan, aku jadi terpikir tentang sesuatu yang pindah. Hijrah, mungkin itu sebutan yang biasa kita dengar.

Tapi, menurutku hijrah tidak sesimple itu penafsirannya. Hijrah tidak hanya pindah dari satu keadaan ke keadaan lain. Tidak hanya tentang dimana lagi kita akan tinggal, singgah atau bersama siapa kita sekarang.

Di dalam otakku hijrah bukan bergerak mendatar ke samping, namun dari bawah ke atas. Ke langit. Menuju tempat tertinggi.

Maka wajar adanya jika banyak yang terjatuh, takut ketinggian, diterpa angin, disapu hujan badai, atau dilenakan di awan-awan. Hijrah itu melangit. Berpindah dari tempat fana menuju keniscayaan Ars'y.

Bukan berjalan di tempat, bukan pula terbang. Tapi mendaki naik. Melalui tangga-tangga ujian. Semakin tinggi kita naik, semakin jauh dari tanah, seharusnya semakin kuat pegangan kita.

Hijrah bukan tentang hubungan kita pada manusia, tapi tentang hubungan kita dengan Rabb kita.

Memperbaiki diri bukan untuk siapa yang akan bersama kita. Tapi memperbaiki diri untuk Allah dan Rasul Nya.

Hijrah, bukan move on. Karena ini bukan tentang sakitnya hati ditinggal sang kekasih atau dikhianati keadaan.

Ini tentang kita, yang gemar zalim pada Rabb dan diri sendiri.

Ins : Abi

-Hana Larasati

Ibu atau Istri

Pagi ini dia menatapku dengan mata yang sayu. Aku tersenyum membalas tatapannya. Aku tau semalam dia begadang lagi. Profesi sebagai analis memang sangat merusak badan dan nurani.

Dia berjalan mendekat, kemudian memeluk pinggangku erat. Kepalanya dia sandarkan di bahuku saat aku sedang mengoles mentega pada roti bakar kita.

"Sarapan dulu ya."

Dia hanya menganguk.

"Roti atau apa?"

"Apa yang dari tanganmu aku mau."

"Ya sudah, duduk dulu aku siapkan makanan untukmu." Kataku sambil mengusap kepalanya halus.

Dia duduk di meja makan. Ku siapkan susu hangat dan roti bakar isi telur kesukaannya.

"Makan dulu Yang." Kataku sambil ikut duduk di sebelahnya.

Dia hanya menganguk. Sisi hatiku bilang, aku merasa ada yang salah tapi sisi yang lain bilang, dia hanya mengantuk.

"Kerjaan numpuk Yang?" Tanyaku sambil menaruh susu yang baru saja aku tenguk.

"Gak terlalu. " Balasnya sambil tersenyum. Tapi aku tau senyum itu. Senyum yang beda dari biasanya. Senyum yang menunjukan bahwa dia sedang kenapa-kenapa.

Tak lama, handphonenya berdering.

"Aku angkat telpon dulu ya Yang." Katanya.

Aku menganguk. Tapi rasa penasaranku membawaku untuk mencari tau siapa yang berbicara padanya.

"Iya Mas, ibu bilang aku harus pulang sekarang. Tapi aku ndak bisa ninggalin dia sendirian. Dia sedang hamil masih 3 bulan, dokter bilang belum bisa di ajak naik pesawat, aku takut terjadi apa-apa."

"Jadi itu." Bisikku pelan dari balik pintu."

Walaupun aku tidak bisa dengar apa yang orang di seberang telpon itu bicarakan. Tapi aku tau, ibu sedang butuh anaknya.

Kemudian dia kembali berbicara.

"Iya...Mas, jika bisa nanti aku segera datang. Assalamualaikum"

Dia mengacak rambutnya, kemudian duduk dan menundukan kepalanya seusai menutup telepon. Aku berinisiatif untuk mendekat. Ku ketuk pintu, dan tak lupa ku ucapkan salam.

"Assalamualaikum, Yang?" Kataku sambil membuka gagang pintu.  Dia menegadahkan kepalanya, dan mengahadap padaku.

"Waalaikumussalam." Katanya sambil tetap tersenyum.

Kita terdiam beberapa lama.

"Kamu sudah dengar ya semuannya?" Katanya lembut padaku.

Aku hanya tersenyum. Sambil duduk mengelus tangannya halus.

"Maaf." Kataku.

"Gak usah minta maaf. Harusnya memang aku bilang ke kamu."

"Ibu kenapa Yang?"

"Ibu sakit, darah tingginya kumat dan harus di rawat. " katanya. Aku bisa melihat gambaran kristal bening yang ada di matanya.

"Mas Bayu bilang, dia mau aku datang." Lanjutnya.

"Yasudah, biar aku siapkan pakaianmu ya."

"Gak sesimple itu Maryam Hannah Zafira."

"Kenapa Yang?"

"Kalau aku pergi kamu bagaimana?"

Aku tertawa.

"Kenapa malah ketawa?" Tanyanya heran.

"Habis kamu lucu. Ibu itu surgamu, masa mau mengadaikan sama aku yang hanya istrimu."

"Kok begitu Yang?"

"Iya, laki-laki itu harus 3 kali lebih taat kepada ibunya di banding istrinya. Karena surganya tidak akan pindah. Beda sama aku, saat aku nikah ridhomu adalah surgaku. " Kataku sambil mengelus kepalanya lembut.

Dia hanya tersenyum.

"Kamu bisa ya?"

"Bisa apa?"

"Bisa-bisanya baik sama ibu, padahal ibu selalu bawel sama kamu."

Aku tertawa lagi.

"Kamu ketawa mulu."

"Habis kamu lucu, masa nanya kenapa aku bisa baik sama ibu. Ketauan baik itu adalah kewajiban, apa lagi sama orang tua."

"Tapi kamu kan tau gimana perlakuan ibu ke kamu."

"Iya, tapi aku lebih mikir kita hanya dua orang perempuan, yang mencintai orang yang sama. Saat yang lain lebih unggul, lebih di perhatikan oleh si objek, yang lainnya akan merasa cemburu. Dan kamu pasti tau dong gimana sikap orang kalau lagi cemburu?"

Dia masih memperhatikanku.

"Tapi satu, kita berdua sama-sama ingin yang terbaik dan menjadi yang paling baik untukmu." Kataku.

"Andai ibu tau menantunya sebaik ini." Dia mulai merunduk lagi.

"Gak usah terburu-buru ikuti saja alurnya, Yang. Toh kita juga masih baru, masih perlu banyak perkenalan."

"Iya Yang."

"Yasudah aku siapkan pakaianmu ya."

Dia menganguk sambil tersenyum ke arahku.

Sedikit, ibu mertuaku itu orang yang perfeksionis. Semua harus benar dan semua harus pada orbitnya. Menurutku itu baik, aku tidak menyangkalnya. Tapi, dari pandangan luar memang terkesan banyak aturan tapi buatku itu adalah bentuk tanda sayang.

Dia menghampiriku yang sedang melipat baju. Bandannya yang tinggi tegap sukses mengagetkanku. Aku menepuk pundaknya manja. Dia tersenyum, senyumnnya manis dan aku suka itu. Tersemat dua lesung pipi pada pipinya.

"Bajunya aku pilihin yang ini ya."

"Kok terang semua sih Yang."

"Biar auranya keluar."

"Baju hangatnya mana?"

"Kamu kan mau pulang ke Indonesia bukan dinas di Antartika. Gak usah pakai baju hangat."

"Tapi sekarang lagi musim hujan Yang."

"Gak akan sedingin di Eropa. Trust me."

Lalu aku memasukan sebuah baju wanita berwarna biru. Dia memandang dengan heran.

"Baju siapa Yang?"

"Oh, ini?" Kataku sambil mengangkat baju itu.

Dia menganguk.

"Buat ibu. Waktu kesini, 6 bulan yang lalu kita lewat di depan toko dekat Oxford. Kata ibu bajunya bagus. Berhubung waktu itu uangku belum cukup jadi aku menabung dulu. Baru sekitar 1 bulanan bajunya bisa terbeli."

Dia langsung memelukku erat.

"Allah terima kasih." Ujarnya.

Aku keheranan. Dia melepas pelukannya.

"Kenapa? Kenapa kamu bisa memperlakukan ibu seperti ibumu sendiri?"

"Ya karena ibumu adalah ibuku. Ketika dua orang memutuskan menikah. Bukan hanya hatinya yang harus dia menangkan melainkan hati ibunya, ayahnya, adiknya, saudaranya. Karena kita telah menjadi satu kesatuan."

"Buat ku pribadi tidak ada istilah 'itu ibu mu', 'itu ibuku', 'itu keluargamu', 'itu keluargaku'. Kita semua sama. Aku, kamu, ibumu, ibuku, ayahmu, ayahku. Kita semua berada pada perahu yang sama." Lanjutku

Dia tersenyum menatapku.

"Rasul bilang perempuan seperti tulang rusuk yang bengkok. Jadi tugas laki-laki adalah untuk meluruskannya. Jika istriku sudah seperti ini, apa lagi yang harus aku luruskan?" Katanya sambil duduk di sofa dekat jendela kamar kita.

Aku tersenyum.

"Kamu tau gak Yang? Kenapa Rasul mengibaratkan perempuan sebagai tulang rusuk? Kenapa gak tulang kepala atau tulang kering?"

"Kurang tau Yang."

"Karena tulang rusuk itu dekat dengan tangan. Jadi perempuan tidak di ibarat sebagai tulang kepala yang harus di tinggikan dan di benarkan kata-katanya. Bukan juga tulang kering yang ada di kaki yang bisa di injak atau di rendahkan. Dia memilih tulang rusuk yang dekat dengan tangan supaya kamu bisa membimbingku dan menjadi teman perjalanan seumur hidupku."

"Masya Allah. Tapi aku maunya sama-sama kamu sampai surga. Gimana Yang?"

"Bisa diatur~" Kataku.

Dia tersenyum lagi. Senyumnya lebih ikhlas dari yang tadi pagi. Aku suka dan lebih suka lagi saat dia bilang ingin bersama denganku di surga nanti.

Sampai jumpa 1 minggu lagi.

#tobecontinue

-Hana Larasati

Rabu, 21 Desember 2016

Surau dan Senja

Aku duduk terdiam menatap senja. Mataku kuarahkan pada semburatnya yang berwarna jingga. Meresapi setiap helaan nafas yang ada. Hatiku pun berdecak "Tuhan sungguh Engkau Maha Sempurna."

Jam menunjukan pukul 05:00 dan aku masih duduk menatap senja, kali ini ditemani dengan pasukan burung yang terbang di mana-mana. Terbang menari di saat sang mentari mulai masuk dalam  peraduaannya.

Efek terpesona pada senja aku sampai tidak sadar bahwa ada kau duduk yang di sampingku. Mata teduhmu memayungiku dalam sinar senja yang mulai berubah kelabu.

Langit ingin berubah pekat, dan kau mulai membuka al-qur'an coklat. Membaca ayat suci penyambut adzan. Lantunan lagu-lagu surga yang kau nyayikan mengudang ribuan malaikat datang.

Tapi aku tetap menatap senja, sambil berdoa di tengah kumandang adzan. Merayu Tuhan agar mengabadikan cerita kami dan memayungi dengan ketaatan dan pahala.

Setelah adzan selesai berkumandang kau berdiri tegak menjadi imam untuk kita semua. Dengan fasih kau melantunkan bacaan-bacaan solat.

Dalam sujud aku berdoa pada Tuhan. Semoga kita selalu di persatukan. Dalam dekapan cinta-Nya bukan hanya sekedar hawa nafsunya.

Doa itu terus terlantun. Karena hanya dalam doa aku mampu menyebut namamu. Karena doa adalah cara berbisik pada Tuhan yang semesta tidak harus tau maksudnya.

Aku duduk di pinggir surau ketika solat usai. Menatap bintang yang seperti di sebar dalam pekatnya malam. Sekali lagi aku bertasbih menyucikan asma-Mu, Allah.

Dalam keharuan mengagumi segala ciptaanMu dia datang dan duduk di sampingku. Sesekali matanya menatap lembut padaku.

Entahlah mungkin ini salah satu keajaibanMu yang luput aku syukuri nikmatnya. Dulu kita bukan sahabat baik tapi hatiku selalu percaya bahwa kau yang terbaik.

Kau menatapku malu dan aku pun berperilaku begitu. Tak ada kata yang terucap walau jarum jam semakin berdetak cepat.

"Hana, ada yang mau Fahri (bukan nama sebenarnya) tanyain." Akhirnya dia mengeluarkan kata katanya.

"Ya ada apa?"

" Mau tanya boleh? Kalo mau cari calon suami, Kriteria nya apa secara sifat/kepribadian? Trus kalo secara fisik gmana?"

" Yang mencintai Allah juga Rasull Nya. Yang patuh sama Allah. Yang sayang sama ibu bapaknya juga ibu bapak gue. Yang bisa jadi pembimbing supaya gua jadi lebih baik. Tapi ya.. jodoh kan cerminan diri, gua maunya gitu ya gua juga harus bisa gitu. Apa adil gua berharap tapi masa gua gak bisa menjadi harapan? Simpel sih. "

" Trus secara fisik? "

"Enggak kepikiran sih. Fisik kan bonus. Tapi...semoga Hana dapet bonus Ya Allah hahah."

" Ya makanya yg ky gmana? "

"Ya gua gak tau kan gua bilang gua belom kepikirannnnn. Emang kenapa sih? Buat tugas kuliah ya? "

"Gapapa Han. Pengen tau aja."

Dia pun beranjak dari tempat duduknya. Entahlah apa maksudnya bertanya seperti itu. Aku hanya terdiam menatap punggungnya.

Dia berjalan masuk ke dalam surau. Aku terus menatapnya. Tanpa berani bertanya sebetulnya kenapa dia berkata seperti itu padaku.

Ya.. yang ku lakukan hanya sebatas menatap dan berdoa. Entah apa pun maksudnya semoga, Allah selalu melindungi hatiku dari pedihnya pengharapan.

-Hana Larasati

Selasa, 20 Desember 2016

Aleppo

Sepagi ini dan mataku tak henti menangisi. Miris, begitu yang di katakan hati saat melihat air mata darah, luka-luka parah, runtuhnya rumah demi rumah, rontoknya gedung-gedung sekolah, luluh-lantahnya ratusan madrasah, ratusan kepala terbelah, serta ribuan jenazah bergelimang darah.

Sakit hatiku, saat pemandangan ini terjadi bagai sesuatu yang teramat lumrah. Bukan di negeri antah-berantah melainkan di Suriah negri tempat tinggal nabi Zakaria.

Saat melihat para muslimah shalihah berjuang demi harga diri. Senjata di tangan siap menantang lawan. Tak ada kata pasrah atau menyerah. Karena lebih baik mati dari pada rela diperkosa para bedebah. Itu baru namanya aksi berani mati, dalam mempertahankan harga diri.

Aku tak pernah terbayang Aleppo akan sehancur ini. Bukan hal yang asing saat melihat anak-anak bermain-main dengan mesiu. Tak ada lagi gambaran tawa lucu.
Tak ada lagi aksi melemparkan dadu
Semua direbut serdadu yang tak tahu masa lalu dan tak kenal rasa malu.

Bagaimana hatimu saat melihat anak menangis mencari ayahnya? Bagaimana rasamu saat seorang anak berteriak di mana ibunya?

"Ayahku mana?" Sambil berderai air mata.

"Ayahmu di surga nak." Kata sang ibu mempertahankan suaranya.

"Apa Allah akan menjaga ayahku?"

"Allah akan selalu menjaga ayahmu dia sangat menyayanginya." Kata sang ibu.

Anak itu tersenyum.

"Kenapa?"

"Jika Allah sudah sayang maka aku tidak akan khawatir lagi."

Akhirnya air mata ibunya pun mengalir dengan deras. Dia memeluknya erat. Menciuminya betapa bisa tegar di keadaan ayahnya terkapar.

Tak ada boneka atau tamiya di tangannya, yang ada adalah luka di dada. Tak ada game atau main bola, yang ada adalah senjata yang siap ledakkan isi  kepala Anak-anak tak berdosa.

Dukamu semakin nyaring mengalun di dada. Lukamu di kepala hanya jadi bahan berita nista. Aleppo maafkan hati yang hanya bisa melihatmu dalam layar 5 inch.

Selain doa dan air mata apa lagi yang bisa di lakukan hamba. Semoga duka mu segera beralih menjadi bahagia. Kenangan pahit akan manis pada waktunya. Aleppo maafkan hati yang tak bisa berbuat apa-apa.

Senin, 19 Desember 2016

Luka dan Lupa (Pengagumku Seorang Penulis "Final")

Mari aku tunjukan kisah yang sudah setua waktu. Senyata kenyataan dan seindah pengharapan. Kisah ini akan menuntunmu pada angan yang tidak pernah terpikirkan.

Jika Pidi Baiq bilang, bahwa Bandung itu bukan hanya soal letak geografisnya melainkan perasaan yang tinggal di dalamnnya.

Begitu pun Jogja buatku. Tidak hanya soal letak georafisnya melainkan perasaan yang campur aduk di dalamnnya.

Perasaan rindu yang menuntut untuk di labuhkan di kota seribu budaya. Ya perasaan ini ada lagi. Perasaan yang aku kira selamanya akan mati.

Kota ini seolah menjadi pemantik untuk cerita-cerita lama yang masih ku abadikan dalam hati. Setiap sudut bangunannya seolah menampakan pada ku, bagaimana kisah kita terangkum di kota ini.

Di kota ini juga memperlihatkan dengan jelas gambaran kejadian di pertemuan pertama. Pertemuan ini, bukan hal yang baik awalnya. Ketidak jelasan dari pihakmu membuat perasaanku runtuh saat itu.

Tapi biarlah toh itu sudah berlalu. Mari, kita lihat lagi pertemuan kita di masa ini. Dua orang yang sudah lebih baik dari hari ke hari.

13:00

Siang ini, dengan latar tempat alun-alun Keraton, kita bertemu tak terduga. Sama-sama agak takut. Sama-sama terkejut. Sama-sama tidak siap.

Aku menyungingkan senyum sopan tanda persahabatan. Kau membalasnya, dengan tersenyum dan berjalan mendekat.

Hari ini kau memakai baju navy, dengan potongan jeans. Kau masih tinggi, tapi rambutmu sudah tidak sebahu lagi.

"Bagaimana kabarmu?" Sapamu mengagetkanku.

"Baik."

"Sudah sangat lama." Katamu sambil menatap 2 beringin tua.

"2 tahun. Belum terlalu lama."

"Menurutku itu lama, apa lagi jika sambil menunggu."

"Aku yang menunggu bukan kamu. Jangan sok menderita."

Dia hanya tersenyum getir.

"Bagaimana S2 mu?" Kataku.

"Baik."

"Baguslah."

"Tapi tak sebaik ceritamu. Aku sudah baca." Katanya sambil mengangkat buku ku.

Aku tersenyum ke arah matahari. Sinarnya ku biarkan membakar pipi.

"Cuma senyum."

"Aku harus apa?"

Sekarang dia yang tersenyum.

"Gak harus apa-apa."

"Kedatanganmu ke sini dengan tidak membawa teman hidup sudah cukup membuatku bahagia." Lanjutnya.

Gantian aku yang tertawa getir.

"Jangan bilang, kau berdoa agar Tuhan menahan jodohku?"

"Tidak, aku belum setega itu."

"Lalu?"

"Aku sebenarnya sempat sedikit khawatir saat meninggalkan perempuan baik seorang diri di kota yang jaraknya tidak main-main seperti ini."

Aku mendengarkan.

"Kau taukan Tuhan selalu berjanji untuk memudahkan apa pun untuk orang yang baik." Katanya yang sekarang menatapku.

Aku masih mendengarkan tanpa berkomentar. Menurutku itu lumayan bijak. Memberi ruang untuknya melampiaskan apa yang ada di hatinya.

"Bukan mau ku meninggalkanmu tempo itu. Aku tau bagaimana perjuanganmu, hampir 2 tahun kan kau memperhatikan aku?" Sekarang dia tertawa.

"Haha, itu sudah lampau." Balasku.

"Dari mulai kau melihatku di depan lift, mengintip dari balik pintu, dan akhirnya berani bertanya kepada ku walaupun hanya sekedar tugas." Matanya mengerling ke mataku.

"Tapi saat itu hatimu bukan untukku."

"Haha iya benar. Dia masih mengngantongi sebagian hatiku. Mungkin hampir 3 tahun aku bersamanya jadi tidak munafik dia masih ada."

Pernyataannya sanggup membuatku getir.

"Tapi kau tau? Kadang kita tidak pernah tau kapan sekenario berubah."

Aku masih memperhatikannya.

"Contohnya?" Kataku.

"Hatiku yang jatuh padamu."

Aku hanya tersenyum sinis. Tidak semudah itu aku rasa. Bagaimana bisa yang terpenting bisa di gantikan dengan yang hanya sekedar pemdamping.

"Aku harus pergi." Kataku buru-buru.

"Apa belum cukup 2 tahun untuk pergi?"

Aku pun menghentikan langkahku. -Dengan motif yang entah apa, tapi kau kembali. Apa aku harus memepercayai ini lagi?

"Bukan aku yang pergi. Tapi kamu."

"Aku tidak benar-benar pergi. Aku hanya diam-diam berdoa pada Tuhan, itu yang aku lakukan. Karena aku tau kamu orang baik, dan cara terbaik untuk mendapatkan orang baik dengan mendekati yang Maha Baik. Allah."

Aku berbalik.

"Hah! Mantanku juga dulu bilang begitu."

"Mantan mu lagi."  Dia mendekat saat aku ingin pergi.

Tapi langkah kaki seolah tidak peduli. Kakiku membawa ku untuk menikmati alun-alun kidul. Terlihat banyak muda-mudi yang duduk di sini.

Tapi dia terus berjalan. Mengikutiku tanpa berani menyentuh atau berkomentar sedikit pun.

Hingga.

"Sampai kapan?" Akhirnya dia membuka percakapan.

"Apa?" Kataku sambil terus berjalan.

"Sampai kapan trauma mu hilang?"

"Sampai, aku percaya tidak akan ada luka."

"Mustahil!" Ucapnya.

Aku terdiam.

"Luka itu pasti ada. Karena dia mengajarkan nikmatnya perjuangan."

Dia mulai berjalan mendekat. Sangat dekat. Hingga aku tidak bisa merasakan nafasku.

"Kalau kamu nyari orang yang gak akan melukaimu aku akan mundur sekarang." Katanya.

Jatungku berdegup sangat cepat. Bibirku gemetar, tapi akhirnya suara bisa keluar.

"Ke..napa?"

"Aku pasti akan jadi yang paling sering melukaimu. Mengoreksi segala sikapmu, menceramahi perilakumu dan itu akan membuatmu tidak suka hingga terluka."

Aku terdiam.

"Tapi, itu semua aku lakukan bukan tanpa karena melainkan untuk kebaikanmu." Dia mulai merunduk.

"Berjanjilah kamu akan jadi obat di setiap luka yang kau buat." Kataku sambil tersenyum ke arahnya.

Dia tertawa gembira.

"Jadi kapan?"

"Apanya?" Kataku bingung.

"Aku bertemu ayahmu?"

"Secepatnya." Kataku sambil tersenyum.

Apa-apa yang menjadi takdirmu tidak akan pernah meninggalkanmu, dan apa-apa yang meninggalkan mu bukan menjadi takdirmu. Dan apa yang pergi dari hidupmu kemudian kembali menjadi seseorang yang baru berarti dia adalah kado terindah untukmu.

-Hana Larasati

Pengagumku Seorang Penulis part 2

Siang ini ku beranikan memasuki kelasnnya. Mukaku ku buat biasa saja, tapi kau tidak tau kan bagaimana rimanya. Sunguh luar biasa.

Hari ini seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kita bagai dua orang yang tak saling kenal. Tak ada senyum atau pun sapa.

Aku benci jika dia selalu begitu. Diam dan tak banyak bicara untuk orang yang baru di kenalnya. Beda jika sudah di dunia maya dia seolah mobil yang tidak ada remnya.

Aku duduk di seberang tempat duduknya. Dia menatapku, tapi buru-buru di alihkannya. Aku masih menatapnya, ku selami setiap garis wajahnya.

Siangnnya dia berdiri di depan perpustakaan, saat itu aku harus menyerahkan beberapa data sertifikat seminar pada dosen.

Dia asik dengan layar kotaknya. Aku rasa dia sedang menulis. Dia menengadahkan kepalanya dan menoleh ke arahku.

Awalnya aku pikir semua akan sama. Tapi kali ini beda, dia tersenyum. Aku pun membalasnya.

"Serius serius amat."

"Apasih."

Dua percakapan tapi mampu mengubah semuannyaaa.

Seminggu, dua minggu berlalu dan akhirnya ku beranikan mengajaknya pergi. Awalnya dia tidak mau, jikalau bukan karena tugas aku mungkin sudah di tolaknnya mentah-mentah.

Jam 19:00 aku menunggunya di depan rumah. Dia tidak suka rokok. Makanya, saat aku menjemput perempuan itu aku tidak menyentuh rokokku sama sekali.

Jadi, dengan debaran jantung yang iramanya berantakan, sekarang aku sedang menunggu gadis yang pernah aku tinggalkan selama tiga tahun di depan rumahnya.

Aku hanya bermodal parfum yang sering aku gunakan dan rambut yang aku rapikan lebih rapi dari biasanya.

Mobilku juga aku bersihkan sebersih mungkin. Tidak ada jersey futsal, tidak ada sepatu futsal, tidak berserakan handuk keringat habis futsal. Intinya, aku rasa, semua sempurna.

Aku sangat rapi. Mungkin, itu yang membuatnya terus menatapku dengan wajah keheranan. Aku tidak mengerti mengapa dia terus menatapku sedalam itu.

Dia masih terus menatapku bahkan hingga kami sampai di gedung bioskop. Tatapan itu terus berlanjut hingga kami masuk ke dalam teater bioskop. Dia terus menatapku hingga film diputar.

Apa mungkin dia sedang mengintrogasi senyumku yang setengah-setengah ini? Andai aku bisa jujur bahwa sore ini sungguh aku gerogi setengah mati.

Ada banyak kata-kata yang bersarang di kepalaku. Tapi, mulutku tidak bisa diajak kerja sama. Padahal, aku hanya ingin mengucapkan satu kalimat saja. Hari ini aku sungguh bahagia.

Aku tidak mengerti mengapa hari ini dia begitu cantik. Secantik ketika aku pertama kali bertemu dengannya dalam sebuah perjalanan. Hal yang aneh yang aku namakan keajaiban.

Dia adalah keajaibanku. Aku tidak peduli jika dia menganggap kencan ini adalah kutukan. Tapi, bagiku, ini adalah sebuah keajaiban.

Seandainya Tuhan mengizinkan, aku hanya ingin pertemuan kami tidak sebatas kencan. Mengapa? Aku tidak ingin kehilangan dia untuk yang kedua kalinya.

Entah bagimana perasaan dia. Aku juga tidak berani bertanya, karena aku yakin jawaban perempuan hanya akan membuatku semakin bertanya-tanya.

Jadi, yang bisa aku temukan dari dalam dirinya, dia tetap gadis yang sama seperti tiga tahun lalu. Manis, menggemaskan, serta memesona. Ah, aku jatuh cinta. 

Aku tidak mengerti mengapa aku sangat ingin membawa dia ke dalam pelukanku. Aku tidak mengerti mengapa setiap detik yang kami lewati sore ini terasa begitu menyenangkan.

Aku tidak mengerti mengapa aku melakukan ini semua. Padahal, aku sungguh tahu, mencintai gadis itu adalah hal yang sangat dibenci siapapun. Karena aku sadar banyak yang menginginkannya dan aku penyebab patah hati semua orang. Terutama sahabatku.

Demi Tuhan. Ini menyakitkan."

Posted by@DwitasariDwita at21:15 

Minggu, 18 Desember 2016

Seniman Kecil

Hari ini ku biarkan wajahku di terpa angin malam yang dingin. Ini pertama kalinya mungkin dalam hidupku, aku menyambut malam di luar ruangan sendiri.

Dalam perjalanan aku meniti setiap senti  yang aku lewati. Sesekali aku tersenyum pada seniman kecil yang bernyanyi, dalam bis tua yang reyot ini.

Dari beberapa anak yang bernyanyi, mataku tertuju pada satu anak. Anak yang paling kurus dari anak yang lainnya. Bajunya kumal dan kotor. Rambutnya merah dan keriting.

Dia hanya diam saja sambil memegang perutnya. Karena jaraknya tak terlalu jauh dariku aku pun memberanikan diri untuk bertanya.

"Kamu lapar? Kakak punya roti kamu mau gak?" Kataku sambil mengulurkan roti pada anak itu.

Dia hanya memandangku. Tatapannya malu. Aku pun coba meyakinkannya.

"Ini ambil aja terus di bagi ke teman-teman kamu." Kataku sambil tersenyum.

Dia pun mengambilnya. Tapi matanya tetap saja menatap mataku.

"Ada apa?"

"Aku orang kristen." Katanya yang mengenal agama ku dari jilbab merah yang aku kenakan.

"Lalu kenapa?"

"Apa tidak apa-apa kakak memberi makanan padaku?"

Aku hanya tertawa kecil sambil mengusap rambut ikalnya dan kemerahan.

"Setiap manusia itu wajib saling tolong menolong. Tidak perduli apa agamanya, sukunya, warna kulit, dan statusnya."

Dia hanya memandangku.

"Sini duduk, tujuan kamu kemana?" Kataku, sembari menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahku.

"Lebak bulus kak."

"Yaudah duduk dulu. Ini baru di fatmawati, macet lagi. Lumayan kalo berdiri sambil nunggu ke lebak bulus."

Dia pun ragu untuk duduk karena kenek bis dari tadi terus memperhatikan kami. Aku yang sadar pun langsung berujar.

"Nanti saya yang bayar ongkos adik ini." Seraya memberikan uang kepada kenek bis.

Semakin lama semakin banyak penumpang yang naik. Salah satunya adalah seorang ibu tua. Dia tidak mendapatkan tempat duduk maka terpaksa dia harus berdiri.

Aku pun bangkit dan menyerahkan kursiku pada ibu itu. Ibu itu langsung duduk tanpa berkomentar apa-apa.

Seniman kecil yang dari tadi di sampingku pun ikut bangun.

"Udah kamu duduk aja. Gapapa."

"Tapi kakak berdiri."

"Kakak kan udah gede jadi gapapa kalau berdiri kamu kan masih kecil."

Dia pun menurutiku. Dia kembali duduk di tempatnya. Tak berapa lama, ibu tua itu pun turun. Seniman kecil itu langsung bertanya padaku.

"Kakak kok gak marah?"

"Marah kenapa?"

"Kakak tadi ngasih bangku ke ibu tua itu tapi ibu itu gak bilang makasih."

"Menolong itu sama kaya kita memanah. Pemanah gak akan mengharapkan anak panahnya kembali kan sama dia? Begitu juga menolong gak boleh mengharapkan balasan."

"Tapi ibu itu gak menghargai kakak."

"Biar Allah saja yang menghargai apa yang kakak kerjakan. Kakak gak perlu penilaian manusia."

"Nama kakak siapa?"

"Hananing. Kamu?"

"Martinus."

Tak berapa lama sampailah kita pada tujuan. Bis berhenti di terminal lebak bulus. Dengan berakhirnya perjalanan, berakhirlah percakapan ku dan pengamen kecil itu. Kita pun berpisah di terminal. Dia melambaikan tangan sambil berucap terima kasih. Aku hanya menganguk dan tersenyum sambil berucap sama-sama.

Pelajaran yang aku dapat kali ini, dakwah tidak hanya di sampaikan pada yang seiman, sesuku, atau sebangsa. Tapi pada siapa saja.

Karena dakwah adalah pelajaran yang baik, dan setiap hal yang baik harus di sebar luaskan. Tak pandang siapa orangnya. Karena Allah juga tak pandang kapan dia akan memberikan hidayahNya. Sampaikanlah walau satu ayat.

-Hana Larasati

Jumat, 16 Desember 2016

Refleksi Masa Lalu

Akan ku ceritakan kisah yang sudah setua waktu. Senyata kenyataan, dan seindah pengharapan.

Ini berawal dari pagi di bulan Juli, saat aku menerima pesan dari seseorang di masa lalu. Seseorang yang dulu pernah memberiku mawar, tapi tidak pernah berani untuk memberiku mahar.

Seseorang yang sering bertanya kabar, tapi tak tau akan adakah dia di altar. Iya, orang itu, yang hampir 3 tahun lalu bertanya "Kamu suka aku gak?"

Pesan singkat itu sangup membuatku membatu di tengah kemacetan Flyover Ciputat. 

Kau tak tau kan bagaimana rasanya saat kenangan di seret paksa oleh sang waktu? Apa lagi saat hujan dan aku sedang merasakannya sekarang.

Tak ku jawab pertanyaanya hari itu. Hingga beberapa hari pun tak pernah ku bahas pertanyaan itu.

Jika kau tanya kenapa, maka ini jawabannya. Dia terlalu baik untuk aku jerumuskan.

Buatku jatuh cinta itu menjaga. Mengaja segala hal yang ada di hidupnya.

Banyak hal baik yang aku tau dalam dirinya. Hamba yang takut dengan Tuhannya. Membuat hatiku bertekuk lutut untuk hormat padanya.

Tapi akhirnya aku jawab pertanyaannya.

"Tanya aja sama Allah, hati ku milikNya."

Dia hanya membalas senyum. Kemudian pergi beberapa lama.

Entahlah aku sulit mengkategorikan dia tipe makhluk seperti apa. Yang jelas dia suka hadir tiba-tiba. Membawa pertanyaan yang selalu membuatku bingung bagaimana menjawabnya.

Tepat 1 tahun yang lalu dia hadir lagi. Dia berdiri di depan rumahku dan bertemu dengan ibuku.

Wajahnya yang teduh, sanggup menundukan pandangan ku seketika.

Di saat itu, aku merasa bersalah. Hatiku sudah terisi orang lain. Yang aku pikir baik. Mungkin memang baik, bagi yang lain.

Dia bertanya "Tipe suami idamanmu yang bagaimana?" Pertanyaannya bagai kilat yang menyambar hingga ke relung rusuk.

"Yang mencintai Allah dan Rasull-Nya. Menjadikan orang tua sebagai rajanya."

"Dari segi fisik?"

"Kata ibuku gak boleh memetakan manusia."

Dia masih tersenyum. Dan aku terdiam.

Pagi ini, dia datang lagi. Kali ini tidak bertanya kabar atau memberikan mawar. Hanya memberitahu bahwa, dia hafal surah Ar-Rahman. Dan itu adalah surah kesukaan ku dari awal.

-Hana Larasati

#30DWC Day 17

Pengagumku Seorang Penulis

Malam hampir berganti dengan pagi. Di  temani secangkir kopi dan lagu Bon Jovi aku memikirkanmu tanpa henti. 

Rokok ku hampir habis di tangan, tapi banyanganmu semakin jelas di angan.

Hahaha, gadis bodoh yang waktu itu aku cela penampilannya. Bisa-bisannya dia menjadi penjajah separuh ruang di otakku.

Perempuan penggalau, yang hidupnya hanya tentang ratapan. Cengeng, gila pujian, dan setumpuk celaan pernah aku layangkan untukknya. Bisa-bisannya dia selalu jadi karena di setiap kenapa ku.

Jadi sekarang aku harus apa kawan? Kamu seolah-olah datang di hidupku hanya untuk menjatuhkan hatiku saja.

Aku tidak pernah tau, bahwa cinta itu akan seperti ini; menjadi resah yang paling rusuh dan singgah yang palingg sungguh.  Aku rasa hukum karma sedang berjalan di hidupku.

Ini semua berawal saat dia tersenyum padaku siang itu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Tak ku sangka, senyumnnya manis juga.

Siang itu, dia bermain layar datarnya di depan perpustakaan. Kita (terpaksa) berpapasan karena kita satu jurusan.

Dia menatapku dengan mata polosnya. Aku pikir dia akan diam saja seperti biasannya. Ternyata dugaanku salah, dia tersenyum.

Gadis yang selama ini aku cela itu tersenyum, dan entah kenapa senyumnnya menuntutku untuk segera membalasnya.

Hah, aku rasa cukup untuk hari ini jika terus di lanjutkan hingga matahari terbit, tidak akan habis jika temaku tentangnnya.

Aku akan membuang rokokku, kau tidak suka rokok kan? Malam ini hanya satu batang. Itu pun gara-gara kau merasuk dalam hayalan. Selamat malam pagi.

*TO BE CONTINUE
*PART1
#30DWC Day 16

Rabu, 14 Desember 2016

Perkenankan Aku Mencintai-Mu

Hujan mampu menarik pemikiranku padaMu. Pada masa dimana aku pertama kali belajar mencintaiMu.

Aku masih ingat saat itu. Saat dimana kajian demi kajian kupelajari, untai demi untai kata para ustadz kuresapi.

Tentang cinta para nabi, tentang kasih para sahabat, tentang ketaatan orang shalih, tentang kerinduan para syuhada.

Lalu kutanam di jiwa dalam-dalam. Kutumbuhkan dalam mimpi dan harapan, yang mengawang di awan.

Tapi Rabbi, berbilang hari demi hari dan kemudian tahun berlalu. Aku masih belum menemukan, cinta tertinggi untuk-Mu. Aku makin merasakan gelisahku, dalam cita yang mengawang, sedang kakiku mengambang, hingga aku merasakan hatiku bimbang .

Allah, perkenankanlah aku mencintai-Mu semampuku. Perkenankanlah aku mencintai-Mu sebisaku, berikut dengan segala kelemahanku.

Illahi, aku tak sanggup mencintai-Mu, dengan kesabaran menanggung derita. umpama Nabi Ayyub, Musa, Isa hingga Al-Mustafa.

Karena itu ijinkan aku mencintai-Mu, melalui keluh kesah pengaduanku pada-Mu. Atas derita batin dan jasadku, atas sakit dan ketakutanku.

Rabbii aku tak sanggup mencintai-Mu, seperti Abu Bakar, yang menyedekahkan seluruh hartanya dan hanya meninggalkan Engkau dan Rasul-Mu bagi diri dan keluarganya. Atau layaknya Umar, yang menyerahkan separuh hartanya demi jihad.

Illahi, aku tak sanggup mencintai-Mu, dengan khusyuknya shalat salah seorang sahabat nabi-Mu, hingga tiada terasa anak panah musuh terhujam di kakinya.

Karena itu Ya Allah, perkenankanlah aku tertatih menggapai cinta-Mu. Dalam shalat yang coba kudirikan dengan terbata-bata, meski ingatan kadang melayang ke berbagai permasalahan dunia.

Robbii, aku tak dapat beribadah ala orang-orang shalih, atau bagai para al-hafidz dan hafidzah, yang membaktikan seluruh malamnya untuk bercinta dengan-Mu.

Perkenankanlah aku mencintai-Mu, melalui satu-dua rakaat shalat lailku, atau sekedar selembar dua lembar tilawah harianku, lewat lantunan seayat dua ayat hafalanku.

Yaa Rabbi, aku tak sanggup mencintaiMu, semisal para syuhada yang menjual nyawanya dalam jihad bagi-Mu

Maka perkenankanlah aku mencintai-Mu, dengan mempersembahkan sedikit bakti dan pengorbanan untuk dakwahMu, dengan sedikit pengajaran bagi tumbuhnya generasi baru.

Allahu Kariim, aku tak sanggup mencintai-Mu di atas segalanya. Izinkan aku mencintai-Mu dengan mencintai keluargaku, membawa mereka pada nikmatnya hidayah dalam naungan Islam, manisnya iman dan ketabahan. Dengan mencintai sahabat-sahabatku, mengajak mereka untuk lebih mengenal-Mu, dengan mencintai manusia dan alam semesta

Perkenankanlah aku mencintai-Mu semampuku. Yaa Allah, Agar cinta itu mengalun dalam jiwa. Agar cinta ini mengalir di sepanjang nadiku.

Selasa, 13 Desember 2016

Lelahku Lillah

Sore ini kita berbincang tentang apa yang membuat hati terguncang. Aku pikir hanya aku hambaNya yang pengeluh. Ternya yang terbaik dari kita pun bisa mengeluh saat lelah sudah membakar peluh.

Aku lihat lelah di kedua matamu. Tapi kau berusaha berdiri dan tersenyum menghadapi semuanya. Menyampaikan apa yang harus di sampaikan. Mengajarkan apa yang wajib di ajarkan.

Katamu setiap dari kita punya perjuangannya masing-masing.

Aku percaya itu, dan untuk mencapai titik tertinggi dalam sebuah perjuangan perlu adanya usaha.

Layaknya burung pipit yang berusaha memadamkan api yang membakar ibrahim. Betapa keras usahanya. Mengabaikan saat di tertawakan, di cemooh, di hina dan di caci.  Dia tetap dalam pendirian. Malah dia dengan lantang berkata :

"Aku tidak bisa diam saja melihat hambaNya di siksa. Terserah jika kau berkata usahaku sia-sia. Toh Allah tidak melihat hasil usahaku atau bagaimana prosesnya. Dia hanya melihat hatiku berpihak pada siapa."

Untuk yang lelah, lihat dan renungkanlah dalam diam. Allah sedang tersenyum memandangmu dari atas sana diam-diam. Dia selalu suka hambaNya yang giat berusaha dalam hal yang baik, apa pun itu.

Jangan sedih dan angkat kepalamu sholihah, saat kau ikhlas lelahmu itu akan jadi lillah. Terus kejar kebaikan dan perkokoh hatimu dengan iman. Jaga hatimu yang baik, karena Allah suka hamba yang baik hati.

Dan tempatkan hatimu di tempat yang benar. Jangan taruh hatimu di bumi, khawatir dia akan terinjak. Jangan tempatkan dia di langit khawatir dia akan riya. Jangan juga titipkan dia pada manusia, karena khawatir akan patah nantinya. Coba, letakan dalam doa karena itu langsung bermuara padaNya.

La tahzan innallaha ma'ana. Jangan sedih sungguh Allah bersama kita.

-Hana Larasati

Jangan Meminta Allah Membalas

Kamu tentunya pernah di sakiti. Bagaimana jika orang tersebut dekat denganmu? Setiap hari kamu harus menatap wajahnya? Berinteraksi dengannya?

Kesal. Mungkin itu perasaan pertama yang akan hadir. Walaulun mungkin kamu sudah memaafkannya tapi untuk melupakan dan bersikap baik-baik saja? Rasanya sulit. Karena maaf tidak pernah sepaket dengan lupa.

Ketika di sakiti kebanyakan dari kita, sengaja atau tidak sengaja langsung berdoa

"Semoga Allah membalas perbuatannya."

Kenapa harus berdoa seperti itu, ketika dapat kesempatan jadi orang yang terdzolimi? Yang doanya langsung di ijabah.

Kenapa harus berdoa "Semoga Tuhan membalas." Padahal balas dendam itu bukan sifat Tuhan.

Allah pun lebih paham setiap perbuatan pasti ada balasannya. Jadi untuk apa repot-repot meminta agar Allah membalas perbuatannya? Toh tanpa di minta pun Allah akan melakukan hal yang tepat dan menurutNya adil.

Belajarlah untuk meminta kebaikan pada Allah ketika berdoa. Kalau belum bisa meminta kebaikan untuk orang lain, minimal memintalah untuk diri sendiri. Kita kan tidak pernah tau kapan Allah mengabulkan doa kita.

Bukannya ada istilah ya, berkatalah yang baik atau lebih baik diam. Itu juga masuk dalam kategori doa.

Kalau belum bisa berdoa yang baik, jangan berdoa yang buruk. Karena doa itu hakikatnya akan kembali ke pemiliknya, dan kita tidak pernah tau kapan Allah mengijabah doa kita. Makanya dari pada berujung penyesalan lebih baik meminimalisirnya.

Bukan kah perkataan yang baik dan pemberian maaf itu jauh lebih baik dari pada sekedar mengumpat?

Lapangkan lah hatimu, karena surga rindu orang-orang yang bersabar dalam setiap ujian. Mau jadi ahli surga kan?

-Hana Larasati

Minggu, 11 Desember 2016

Puncak Mahameru

Pagi ini dengan segulum senyum aku memandangi fotomu.

Di keadaan yang masih tergeletak di tempat tidur, aku meneliti senyummu, yang selalu menjadi kesukaanku.

Sayangnya aku bukan pendaki. Jadi aku tidak tau di pos keberapa kamu mengambil gambar itu. Tapi kau tetap tampan, dengan stelan coklat yang pas dengan badanmu.

Di foto itu, rambutmu tak kau biarkan berantakan seperti biasanya. Kali ini dia kau sisir dengan rapi. Membuat siluet wajahmu semakin jelas terlihat.

Kau tau? Aku selalu tersenyum, ketika mengingat ekspresi wajahmu yang di buat seolah serius waktu kau menceritakan bahwa Mahameru sedang erupsi.

Aku mendengarkan dengan baik, setiap kata yang keluar dari mulutmu dan memperhatikan dengan seksama setiap gerakan yang kau lakukan.

Aku juga suka, waktu kau bercerita di tanjakan cinta. Kau bilang banyak orang yang percaya akan mitosnya.

Bahkan sampai ada yang benar-benar tak mau menoleh walaupun kawanannya meneriaki bahwa bajunya jatuh saat menanjak di tanjakan itu.

"Gak usah ngeledekin orang, lu juga gitu kan." Ledekku.

"Enggak ya. Enak aja."

"Masyaaa?"

"Iya dong, jodoh itu rahasia Tuhan, bukan mitos tanjakan."

Atau yang ini, saat kau solat subuh di ranukumbolo dan kau bilang kau meminta pada Tuhan agar kau bisa pulang dengan sehat seperti permohonanku.

Aku suka semua ceritamu. Dan dari semua hal baik yang kau ceritakan, aku paling suka di bagian aku sadar kau tak pernah melupakan Tuhan.

Katamu :

"Aku mendaki untuk tafakur alam. Kalau Allah aku lupakan, untuk apa pendakianku? Setinggi-tingginya gunung ya aku naiki, itu gak akan membawa aku ke surga, jika aku melupakan perintahNya."

Pagi ini langit-langit kamar benar-benar hanya berisi wajahmu dan semua gelak tawamu.

Mari kita tutup lamunan ini dengan satu harapan. Harapan kecil dari gadis pingitan.

Suatu hari aku pasti bisa ke puncak itu. Puncak Mahameru yang menjadi kesukaanmu. Menakhlukannya dan membawa cerita baru.

Tapi nanti, saat tangganmu sudah bisa ku genggam. Saat bahuku sudah bisa kau rangkul. Dan di saat itu juga Tuhan tidak punya alasan untuk marah pada kita.

Iya waktu itu pasti tiba, entah seberapa lamanya.

-Hana Larasati
#30DWC DAY 12

Pendakiku

Selamat pagi pendaki. Aku harap setangkap rinduku telah di sampaikan oleh alam untukmu. Atau kalau tidak, biarkan Tuhan saja yang menyampaikan rinduku padamu.

Hai pendaki, bagaimana kabarmu? Ramahkah semeru pada tubuh kecilmu?  Baikah kau di alamnya? Dia tak  buat badanmu menggigilkan, atau kepanasan?

Jangan buat dia terlalu menderita Semeru. Walaupun dia sudah pernah menakhlukan Rinjani, Merbabu, bahkan puncak Himalaya aku tetap ragu.

Aku tau dia kuat, tapi bagaimana dengan badai dan hujan. Masihkah dia sekuat itu?

Alam liar itu luas, banyak kemungkinan yang terjadi di sela pengharapan. Tapi dia selalu bilang.

"Jangan takut, ketakutan hanya sebatas pemikiranmu saja."

 Aku hanya menganguk. Kata-katanya selalu menentramkan saat aku mulai berdrama dengan pranoidku.

Biasanya dia yang menjamin keselamatanku. Kali ini siapa yang menjaminnya? Hanya Tuhan yang bisa menjaganya di alam terbuka.

Semeru, titip dia dan para sahabatnya. Hari ini pendakiannya di mulai. Aku harap dia selalu baik di alammu.

#Part1
#30DWC DAY 11
-Hana Larasati

Jumat, 09 Desember 2016

Yang Berhati Baja Bilang Cinta.

Malam mampu menarikku pada pemikiran. "Bagaiamana jika yang hatinya sekuat baja bilang cinta."

Kita semua tau, laki-laki itu makhluk yang gengsi jika menyinggung soal perasaan. Tidak ingin terlihat lemah, begitu katanya.

Hampir 4 tahun hidup bersama mereka benar-benar mampu mengubah pola pikirku. Mau tidak mau perilaku, sikap dan kepribadian tercampur baur dalam lingkungan mereka.

Sedikit banyak aku tau bagaimana mereka. Pemikirannya, perilakunya, dan hal-hal lain yang terkadang tidak nampak lama-lama tersingkap.

Tergilitik untuk bertanya pada mereka. Cara mengekspresikan rasa sayang pada orang tua ala mereka itu bagaimana?

Karena aku teramat yakin yang hatinya sekuat baja pun bisa merasakan cinta. Tapi, mungkin pengekspresiannya tidak sebebas seperti kita para wanita.

Sekarang pukul 23:40

Penghujung malam sudah hampir tiba, dan sebentar lagi pergantian waktu menjadi pagi. Tapi mataku tetap segar untuk mencari inspirasi.

Aku mengajukan beberapa pertanyaan pada sebagian kawan.

"Kak sibuk gak?"

"Enggak nih, ada apa ya?"

"Aku mau nanya boleh?"

"Nanya di jam segini? Pasti lagi cari inspirasi nulis hehe."

"Hahah iya, udah kebaca ya. 😅."

"Yaudah sok atuh mau nanya apa?"

"Gini kak. Aku kepikiran sesuatu, kebanyakan cowo itu cuek kan ya, gengsian buat bilang sayang. Kaum kalian mengekspresikan sayang ke orang tua itu gimana sih? Biar mereka tau gitu."

"Itu aja?"

"Tunggu ada lagi, saat orang tua menaruh harapan di pundak kalian, perasaan kalian itu seperti apa? "

"Kalau aku, dengan cara menurti perintahnya, taat,  tidak membuatnya marah, selalu nanya kabar (maklum anak perantauan) , menjadi orang yang sukses dan bermanfaat bagi orang lain 😆."

"Sangat syar'i sekali ya jawabannya hahah. Terus pertanyaan nomer dua gimana kak?"
" Yang kedua ? Perasaannya, semakin menambah kepercyaan diri dan tanggung jawab, apa lagi kalo anak pertama kaya saya." (Aziz Nur Ikhsan Mahasiswa Al-Azhar Kairo)

Lalu aku mulai bertanya lagi pada yang lainnya dengan pertanyaannya sama.

"Mblo, mau nanya nih kaum elu kan cuek  ya, gengsian buat bilang sayang. Cara mengekspresikan sayang ke orang tua itu gimana sih? Biar mereka tau gitu."

"Jam segini nanya begituan?!"

"Dari pada gua tanya jodoh, susah lagi nanti lu jawabnya hahah."

"Kok lu songong Lay. Kalo gua sih nurut apa yg disuruh orang tua dan jangan mengecewakan mereka."

"Widihhh lempeng sekali jawaban anda. Ada lagi nih saat orang tua menaruh harapan di pundak lu, perasaan lu itu kaya apa? " 

"Menerima."

"Itu aja? Coba di deskripsiin lebih panjang lagi."

"Ya, menerima aja. Apa lagi posisi gua anak laki-laki pertama. Buat hal yang terbaik dan banggain mereka." (Jordi Moenalsyah - Mahasiswa UIN Syarifhidatullah Jakarta.)

Belum puas, aku pun bertanya pada yang lainnya.

"Coy, gak ganggu kan ya. Mau nanya nih cara mengekspresikan sayang ke orang tua itu gimana sih? Biar mereka tau gitu."

" Kalo gua sih gak mau ngelawan, ikutin apa maunya, kalo lagi marah-marah mending di tinggal, dari pada dosa kalo si sautin. Terus sayangi dalam do'a."

"Pas orang tua lu menaruh harapan di pundak lu, perasaan lu itu kaya apa?"

"Perasaan nya? Bingung karna bebannya sangat besar, terus takut juga akan mengecewakan dan maaf atas segala -galanya."

"Maaf segala-galanya itu apa bro?"

"Ya maaf buat janji yang belum terlaksa, buat harapan yang belum tercapai dan buat sikap yang masih ngelawan." (Eko Puji Prasetyanto - Mahasiswa Universitas Pamulang)

Tak hanya laki-laki yang aku berondong pertanyaan semacam itu. Perempuan pun tak lepas dari survei ku.

"Coy, masih ngalong kan? Mau nanya nih."

"Huu, nanya mulu kaya pembantu baru ahaha."

"Kok lu songong coy seriusan ini."

"Iye mau nanya apa? Wkwkwk."

"Begimana cara lu bilang sayang ke emak lu Rul. Kan kita mah anak-anak gengsian. Gak mungkin langsung peluk terus bilang sayang. Emang Rafa sama Ajeng."

"Gua seumur-umur kaga bisa bilang tau,  yaa Allah. Yang penting bantuin kerjaan orang tua gua dirumah kaya nyapu,  ngepel,  nyuci piring, baju wkwkwk,  sama kalau berangkat kemana-mana di cium,  selebihnya gak bisa ungkapin wkwkw.  Gitu yeee kita mah gengsian "

"Ahahah iya. Terus, terus ada lagi nih pas nyokap naruh harapan di pundak lu itu perasaan lu begimana?"

"Seneng banget pasti rasanya lahh Han,  seperti kaya udeh naro kepercayaan buat anak nya." (Nurul Wasilah - Mahasiswi Universitas Pamulang)

Dari beberapa pertanyaan yang aku ajukan pada mereka, aku bisa menarik kesimpulan bahwa, pengekspresian rasa sayang ala mereka itu lebih kepada tindakan. Laki-laki atau pun perempuan.

Jarang yang aku temui, mengutarakan lewat ucapan. Ya, because when you love someone you must show it.

Kadang kita tidak perlu banyak bicara untuk mengekspresikan rasa cinta. Cukup tunjukan, karena satu tindakan lebih baik dari seribu ucapan.

Apa lagi laki-laki. Laki-laki itu unik menurutku. Di balik sikapnya yang tidak peduli, diam-diam hatinya mencari, pikirannya terbagi bagaimana bisa menjadi yang lebih baik lagi.

Jelas, karena pada akhirnya merekalah yang akan jadi pemimpin keluarga. Batinnya harus kuat, pemikirannya harus cerdas, dan sikapnya harus bijaksana tapi tegas.

Karena dia adalah pondasi di keluarga. Sebagaiman fungsinya, pondasi harus lebih kokoh dari bangunan lainnya. Karena dia yang akan menopang kita semua.

Tapi di balik semua itu, hatinya adalah selembut-lembutnya hati manusia. Dia bisa mencintai tanpa karena.

"Dan Rabbmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada kedua orang tuamu dengan sebaik-baiknya.

Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ahh” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.

Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuhrasa sayang dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku di waktu aku masih kecil”. [QS. Al-Isra’/ 17: 23-24].

-Hana Larasati

#30DWC DAY 10
#DISKUSI

Kamis, 08 Desember 2016

Untuk yang pulang

Di waktu yang masih bisa di sebut malam, aku tidak bisa membedakan dingin yang merasuk ke tulang-tulang, dan suara yang memanggi-manggil dari hari lalu.

Sampai matahari sudah tak malu bersembunyi aku masih tidak bisa membedakan antara pagi yang lumrah dengan senja yang merah bagai kesedihan pecah disepasang matamu.

Hari ini pesanmu hadir lagi memecahkan lamunanku. Aku tidak tau apakah bayanganmu yang datang atau tubuhku yang pulang.

"Yang jauh akan selalu kalah dengan yang dekat." Begitu katamu.

"Begitu pun yang dekat, akan kalah dengan yang tepat."

"Mana janjimu yang akan menungguku pulang?!"

"Aku menunggumu pulang Mas."

"Menunggu jenis apa ini?"

"Bukan menunggunya yang harus kamu salahkan. Tapi, permintaanmu dalam perbaikan."

"Apa? Apa yang salah?"

"Tidak ada." Mataku tidak berani menatap matanya.

"Apa jarak sudah memangkas perasaanmu?"

"Bukan, bukan itu. Melainkan... ada sesuatu yang jika aku bilang akan menyakiti hatimu. "

"Apa?"

"Aku mencintai yang lain." Rasanya perasaanku luruh saat itu.

"Sesuai tebakanku. Jarak memang sudah memangkas perasaanmu. Kenapa harus setega itu? Membiarkan aku ikut menunggu hingga 2 tahun!"

Aku terdiam.

"Jawab Hana!"

"Maaf." Sekarang air mataku jatuh.

"Asisten dosen itu!" Dia mengepalkan tangannya.

"Bukan. Dia temanku." Buru-buru ku sebutkan itu.

"Ini bukan tentang orang. Aku benar mencintai yang lain tapi itu sama sekali tidak seperti pemikiranmu. "

"Lalu?" Dia mulai bisa menahan perasaannya.

"Aku, sedang berusaha mempertahankan akidahku. Aku tau ini aneh jika aku yang bilang begitu."

"Jika aku menerima tawaranmu, kita tidak akan ada bedanya dengan kita yang dua tahun lalu. Aku hanya ingin satu langkah lebih taat. Itu saja." Lanjutku.

Aku pikir dia akan marah. Dia malah tersenyum.

"Aku yang minta maaf kalau begitu."

Sekarang aku menatapnya dalam bingung.

"Perbaikan yang ku minta karena aku terlalu takut meninggalkan gadis baik seorang diri dalam jarak yang tidak main-main seperti ini."

Aku gantian yang tersenyum.

"Jadi sekarang bagaimana?" Tanyanya

"Aku juga tidak tau. Biar Allah saja yang memainkan sekenarioNya."

Ins : aan mansyur & dila larasati (paragraf awal)

-Hana Larasati

#30DWC DAY 9

Satu Langkah Lebih Taat

Malam selalu menerorku dengan tanya. Pertanyaan-pertanyaan yang sama di setiap harinya. "Akan berujung di mana yang aku istiqomahkan?"

Aku sadar aku adalah hamba yang pamrih. Sedangkan Tuhanku adalah yang Maha Pengasih.

Malam ini, tanpa prediksi sesuatu yang aku pikir hanya arsip datang kembali. Menjanjikan perbaikan dan menyisipkan harapan.

Dialog tanpa lawan pun terjadi seketika di kepala.

-Allah, saat hatiku di rayu ombak, aku harus apa?  Mengelak? Aku takut malah akan jatuh telak. Allah aku berlindung padaMu.

Perbaikan yang kau janjikan tak lebihnya seperti angan yang tak membawa kemana pun.

Maaf Tuan, jika aku terkesan sombong. Aku hanya ingin satu langkah lebih baik. Jika aku menerima tawaranmu tak akan ada bedanya kita yang hari ini dengan kita yang dua tahu lalu.

Sekarang, biarkan kita diam-diam meniti rasa. Kita lihat sama-sama akan berhenti di mana semuanya.

Aku sadar, kita sama-sama lelah. Beribu pertanyaan munafikah apa yang kita lakukan? Salahkah apa yang selama ini kita pertahankan? Apa lagi di umur yang sedang muda-mudanya gejolak rasa tidak bisa di cegah kehadirannya.

Sekali lagi maaf Tuan, aku percaya dengan rencanamu dalam membuat perbaikan, dan aku yakin kita bisa melewati rintangan-rintangan.

Tapi sekali lagi, aku hanya ingin satu langkah lebih taat. Aku tidak ingin kau datang lagi kerumah seperti hari ini. Seorang diri tanpa ada yang menemani. Buat apa? Tidak akan mengubah apa pun. Semua akan berubah  saat kau hadir dengan wali.

Ini sudah jadi pilihanku, pilihan untuk taat padaNya. Walau lisan masih terbata, hati masih mengelana tapi aku berusaha niat selalu pada jalanNya.

-Ampuni hamba Mu yang bodoh ini, Allah.

-Hana Larasati

#30DWC DAY 8

Selasa, 06 Desember 2016

Berdamai Dengan Luka

Tidak semua luka akan menghasilkan duka. Tidak semua sakit akan mengoyahkan. Terkadang dari luka dan rasa sakit tercipta kekuatan yang tidak pernah di bayangkan.

Kita semua tau tidak ada hati yang sekuat baja. Ia harus ditempa dengan ketidak sukaan, penolakan,dan rasa sakit untuk membangunnya menjadi kuat.

Bagai sebuah bangunan, hati pun harus memiliki pondasi yang kuat untuk menahan segala perkara yang terkadang membuat lelah jiwa. Teguhkan iman kepada Allah dan yakinlah segala ketetapanya memiliki hikmah yang besar jika kita mau berpikir.

Bukankah Allah selalu berjanji setiap kesulitan pasti ada kemudahan dan itu di ucapkan berulang. Jadi apa lagi yang membuatmu masih terpuruk, wahai mukminin? Ketika Tuhan mu saja sudah berjanji. Bukankah janji Allah selalu benar.

Lembutkanlah hatimu, meski terkadang harus mengalah. Maafkanlah yang menyakitimu walau kau tau itu susah. Mohonkanlah doa kepada yang menyakitimu dengan kebaikan, sebagaimana kau memohon kebaikan untuk dirimu.

-Hana Larasati

Mengubah Budaya

Mengubah Budaya

Aku tidak yakin akan judulku. Mengubah budaya? Atau mengubah paradigma?

Ada seseorang yang kasar omongannya. Aku menemuinya kemarin. Aku tidak bilang mulutku baik dalam berucap tapi, aku berusaha untuk itu.

Dia berteriak dengan sangat keras, pada seorang anak kecil di depan mataku hari ini. Yang aku pikir, tidak pantas di lakukan oleh seorang yang matang pemikirannya.

Sesaat aku lihat muka-muka ketakutan pada anak yang lainnya. Mereka menangis dan memelukku saat ingin pulang.

Kata orang, beginilah susahnya merubah budaya. Budaya adu domba, budaya merendahkan, budaya melecehkan.

Nawaitu ku saat masuk dalam dunia ini, aku tidak bilang aku ingin merubah mereka. Tidak, sama sekali tidak.

Bahkan, aku tidak pernah menuntut siapa pun untuk berubah sesuai kehendakku. Karena aku sadar, kita lahir dari gen yang berbeda. Dari pola asuh keluarga yang berbeda. Dan mempunyai pola pikir yang berbeda pula.

Aku tidak menuntut seseorang untuk berubah mengikuti jalanku. Toh nerakanya bukan urusanku dan surga pun belum tentu menjadi milikku.

Aku hanya mencontohkan apa yang aku kerjakan. Berusaha tidak berteriak ketika menyuruh. Mengucapkan tolong ketika meminta bantuan. Berterima kasih saat menerima bantuan.

Selalu ku tekankan dalam diriku. Jangan mencela orang yang tersesat, karena Tuhan pun masih adil pada orang jahat.

-Hana Larasati

Minggu, 04 Desember 2016

Sama-Sama Saling Menyakiti

Pagi ini entah kenapa menjadi sangat kelabu, saat semua pesanmu dengan tidak sengaja aku buka lagi.

Kotak pandoraku yang aku jaga dengan sangat, kini terbuka ulang. Melemparkan seluruh kenangan yang sejujurnya tak ingin aku kenang.

Tersimpan air mata di sudut mataku. Ini tentang cerita yang berlalu. Yang karamnya dengan hal yang sampai detik ini tidak aku tau.

Entah waktu itu aku atau kamu yang terlalu bodoh, karena kita berdua tidak mengerti bagaimana cara mencintai seseorang. Atau entahlah apa penyebabnya.

Minggu 04 Desember 2016

Hari ini, aku bersiap untuk melihat penampilanmu. Hanya ingin tau, dan mungkin sedikit rindu.

Aku melihatmu di deretan penonton yang juga ingin tau. Kau bergelantungan di dinding itu. Dengan cekatan dan sigap kau mengambil langkah untuk sampai di atasnya.

Aku ikut bangga sama seperti yang lainnya, ketika juri bilang kau mampu menakhlukan tembok itu dalam waktu kurang dari 3 menit.

Mataku masih tertuju pada sosokmu. Sosok yang dua tahun lalu selalu menjadikan aku yang nomer satu.

Sosok yang pernah mendekatiku dengan cara yang tidak wajar dan sosok yang selalu berusaha supaya tidak menyakitiku.

Lamunanku terpecah dengan suara mereka saat meneriaki namamu. Kau menoleh dan kau sadar dengan hadirku.

Hari ini, matamu tepat menatap mataku. Kau tersenyum. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku melihat senyum itu lagi.

Senyum dari pria kurus berahang kokoh yang dulu, selalu jadi favorite ku. Namun aku tidak membalasnya. Aku hanya diam.

Betapa ingin aku membalas senyummu.  Tapi kau tau, bekas luka ini masih menahan bibirku walau hanya sekedar tersenyum ke arahmu.

Kau berjalan menjauh. Menuju belakang tembok itu. Kakiku seolah mengajaku untuk  mengikuti mu, hingga aku lihat di depan mataku kau merangkul seorang gadis.

Gadis cantik dengan mata sipit dan kulit yang agak kecoklatan. Tidak munafik dadaku masih merasakan sesak saat melihat pemandangan itu.

Kau merangkulnya erat, dan sangat jelas terlihat kebahagiaan di wajahmu. Padahal saat kita bertengkar dan aku menginginkan perpisahan kau selalu bilang

"Kamu nyuruh aku bilang gak suka sama kamu, tapi kamu gak tau gimana perasaan aku sama kamu kan?!"

Apa ini yang waktu itu kau deskripsikan kepadaku berjudul 'perasaanmu'?

Tidak ada tangis hari ini. Tidak ada. Karena aku yakin di sudut hatimu masih tersimpan aku dengan baik.

Kalau aku sudah jauh tertinggal, kenapa sampai detik ini, kata-kata perpisahaan tak pernah terucap dari bibirmu?

Dalam perasaan yang entah aku tidak tau bagaimana. Aku mencari handphoneku dan menelpon seseorang.

"Kamu dimana?" Kata suara di dalam telepon.

"Di belakang papan wall climbing. "

"Aku kesana." Kata suara dalam telepon itu.

Beberapa detik kemudian dia ada di sampingku. Dengan kemeja kotak kotak dan rambut yang di sisir rapi.

"Gimana penampilanku tadi?" Katanya.

"Bagus. Keren." Kataku dengan segulum senyum.

"Jangan di sini ngobrolnya, ayo ke sana. Aku kenalin sama teman-temanku yang lain." Langkahnya mengajakku ke arah laki-laki yang dari tadi aku perhatikan dengan sangat.

Jantungku berdegup dengan kencangnnya saat dia membawaku ke tempat laki-laki itu.

Dia pun bersalaman dan berbincang dengan sosok yang sering aku kutuk dalam ratapanku.

"Tadi penampilan lu bagus. Kurang dari 3 menit ya sampai atas." Katanya kepada laki-laki itu.

Di saat itu aku hanya diam dan menunduk. Aku enggan menatapnya apa lagi berbicara padanya.

"Lu juga bagus. " Kata laki-laki itu dingin.

Aku bisa lihat dari sudut mataku. Laki-laki itu agak kaku dan sedikit terkejut mungkin.
Kemudian dia mengenalkan ku pada laki-laki itu.

"Ini Hana, dia temen gua." Katanya kepada mereka berdua.

Aku tersentak kaget dan dengan sedikit kaku aku menyalami mereka berdua. Saat aku menatap matanya, matanya tajam menyorot ke mataku.

Kemudian perempuan yang ada di sampingnnya berkata.

"Temen apa temen?" Kata perempuan itu.

"Temen. Temen Hidup." Katanya sambil tersenyum ke arahku.

Mata laki-laki itu jadi semakin tajam saat, dia berbicara seperti itu.

"Dia itu penulis loh. " Pamernya kepada mereka berdua sambil tersenyum kepadaku.

"Wah keren." Kata perempuan itu.

Aku bisa melihat hawa kegelisahan mengelayuti perasaannya. Entah kenapa aku suka keadaan ini.

Ingin sekali aku bertanya padanya

"Bagaimana rasanya di permainkan perasaan?"

Tapi aku tak cukup nyali untuk melakukan itu. Yang aku lakukan hanya tersenyum sinis untuk semakin menyiksanya.

Aku jelas sudah hatam bagaimanan hatimu Tuan. Jangan salahkan aku di keadaan ini. Kan kau yang mengajariku caranya melukai.

Setelah berbincang cukup lama, kami pun memutuskan untuk pamit. Di saat itu aku merasakan jadi pemenang atau kami berdua yang sama-sama jadi pemenang? Dalam kontes sama-sama saling menyakiti.

FIKSI!

-Hana Larasati

#30DWC DAY 5

Sabtu, 03 Desember 2016

Senja

Senja, kau ini apa? Begitu baiknya engkau mempertemukan siang pada malam. Sedang  engkau? Hanya mendapat akhir panasnya siang, dan awal dinginnya malam.

Senja, aku minta waktu mu sebentar bisa? Hanya sebentar, untuk bercengkrama. Siapkah kau untuk mendengarkan ku bercerita?

Aku anggap kau bersedia. Jadi, baiklah aku mulai sekarang. Ini tentang seseorang yang ku suka. Aku malu sebenarnya. Tapi dia sudah lama mengusik rasa.

Tuhan tau aku suka dia. Dia hanya tersenyum. Karena melihat perilakuku yang bolak balik menyebut namanya di hadapan-Nya.

Tak taulah apa ini benar atau salah. Tapi aku sadar sepenuhnya Tuhanku sedang memandang dengan cemburu.

Bukan maksudku tentunya, kau tau kan senja. Hanya rasa ini sulit untuk di jaga. Ke khawatiranku mulai bertambah saat rasa mulai merusak iman.

Aku seperti menduakan Tuhan. Tapi sungguh bukan mauku. Jadi, aku memutuskan untuk berhenti sejenak dan memperbaiki semuanya.

Bukannya tidak semua yang ku suka harus menjadi milikku saat itu juga? Karena tidak semua yang ku suka akan baik untukku. Pilih yang Rabbku suka, maka aku akan bahagia. Begitukah?

Senja, cahayamu muali temaram. Waktumu hampir habis di gantiikan malam. Terima kasih sudah mendengarkan ceritaku. Aku anggap kepakan camar laut itu adalah caramu mengucapkan bahasa "sama-sama."

-Hana Larasati

#30DWC DAY 4

Kamis, 01 Desember 2016

Tentang Perebut

Tentang perebut.

Kau menyapaku pagi ini, saat aku sedang terduduk di cafe jalan Antasari. Aku menikmati tehku dan kau, sibuk menikmati dukamu.

Kau bercerita semuanya, tak lupa meminta maaf untuk sesuatu yang sempat membuatku luka.

Aku tertawa miris. Saat keadaan mulai baik, ada saja yang harus di ungkit.

Kotak pandoraku harus di bongkar ulang. Luka-luka lama harus di tarik dan di bawa pulang.

Kau tau bagaimana rasanya? 1000 kali aku jelaskan kau pun tak akan paham. Karena ini aku yang rasa, bukan kamu atau dia.

Oke, kita mulai. Jika membaca, jangan bawa perasaan. Karena ini hanya sebuah tulisan.

08:30 at Yesterday Cafe.

Dia masih terisak dan aku masih terlalu malas untuk bertanya "kenapa?"

Sekarang dia mulai menatapku, yang sedang menyeruput teh hangat tawar di meja nomer tujuh.

"Aku jadi tau gimana perasaanmu waktu itu Han." ucapnya memecah keheningan.

Dalam hati -Bagaimana bisa tau jika tidak merasakan? Peryataan yang aneh.

"Sok tau haha." Aku mencoba tertawa, tapi terlalu terlihat pura-pura sepertinya.

"Kita sekarang berada di perahu yang sama Han." Katanya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Sebagai manusia aku rasa wajar jika aku iba.

"Kata siapa? Aku sudah lama meninggalkan perahuku." Akhirnya aku mengeluarkan suaraku.

"Berhenti berbohong Han. Aku tau hatimu masih luka."

Sekarang aku merasa tidak enak. Ku tegakkan duduku dan ku fokuskan pandangaku padanya.

"Dan adanya aku disini, semakin membuka luka lama. Maafin aku." Sekarang tangisnya benar-benar pecah.

08:46 Perasaanku benar-benar di koyak tangisnya. Aku rasa wajar saat ada perempuan yang menangis di depan matamu, perasaan mu pun ikut luruh seiring air matanya terjatuh, mengabaikan siapa dia dan bagaimanan perlakuannya.

Walau berat ku dekatkan kursiku padanya. Ku elus lembut pundaknya.

"Abaikan segala rasa sakitnya Han. Kamu masih manusia yang punya rasa iba. Kamu pernah di posisinya." Batinku.

"Coba pelan-pelan cerita." Suaraku ku buat melembut. Sengaja agar bisa menyamankan hatinya yang patah.

"Tahun depan aku dan dia mau tunangan Han. Semua sudah siap, aku pikir semua akan berjalan lancar. Sampai..." Kata-katanya mulai terhenti.

"Kenapa?"

"Aku lihat dia sama perempuan lain Han. Dia merangkul perempuan itu."

Deg. Kau tau? Itu yang aku rasakan dahulu saat dia merangkul pundakmu.

Bayangan kehancuran semakin berkelebat dengan liar. -Abaikan Han abaikan. Batinku.

"Lalu sudah kamu pastikan dia siapa? Bisa jadi adiknya, atau saudaranya." Kataku berusaha melegakan.

"Jangan membuat dialog seolah dia malaikat Han. Kamu lebih tau, dia tidak punya adik perempuan. Dan saudara? Sudah lama sepupunya tinggal di Australia."

Aku terdiam.

"Aku bukan tipe orang yang pinter kasih solusi. Tapi sedikit aku kutip dari kata-kata Ummar bin Khatab.

Jangan khawatir, apa-apa yang meninggalkanmu berarti bukan menjadi takdirmu, dan apa-apa yang menjadi takdirmu tidak akan pernah meninggalkanmu."

Dia terdiam menatapku.

"Yang aku percaya, pasti ada kebaikan di balik keadaan semenjengkelkan apa pun."

"Aku tau ini susah. Aku pernah ada di posisimu. Gimana harus bangkit saat semua  rasanya sakit.

Pelan-pelan aja, kalau di rasa mau jatuh lagi, inget kamu pernah ngelewati masalah yang lebih besar dari ini. Jadi harus kuat!"

"Makasih Han." Katanya seraya memelukku erat.

"Kata-kata hanya akan menjadi kata-kata kalau gak ada tindakan langsung dari pendengarnya.

Semua kuncinya ada di kamu. Cuma kamu yang bisa milih mau terus patah hati, atau bangkit dan bangun hati kembali."

"Iya Han. I'm really really sorry." Dia mengengam tangganku erat.

"Iya. Aku sudah maafkan jauh sebelum ini." Kataku sambil tersenyum.

Pertemuan dengan seseorang yang sempat ku sebut "perebut" memberikan ku pelajaran berharga lagi tentang kelapangan dan keikhlasan.

Saat ikhlas dan kerelaan sudah dalam gengaman bahagia itu adalah hal yang sangat menyenangkan.

Tentang perebut. Tak pernah ku kutuk kau di depan Tuhanku. Karena aku sadar itu bukan kapasitasku.

Dan tentang perlakuanmu. Aku tak peduli itu. Sedalam-dalamnya laut hanya Allah yang tau. Sama, sedalam-dalamnya hatimu hanya engkau yang tau.

Bahagiakah aku? Tentu. Apa yang dulu menjadi musuhku kini, malah menjadi temanku. Roda memang tak tau ya akan berputar dimana?

#30SWC hari ke 2

-Hana Larasati

Rabu, 30 November 2016

Pengejar Mimpi

Kau tau rasanya saat harap berhenti di tengah peluh? Saat kau sadar berteriak pun rasanya percuma. Tidak ada yang bisa menerjemahkan kata ke dalam bahasa.

Lari, aku pikir itu cara yang efektif untuk membunuh semua kecewa. Tapi lariku seakan gontai.

Sempat terputus harapan di tengah perjalanan. Rasanya kaki ku tak kuat menyelesaikan setengahnya dan, air mata sudah habis tercurah dalam pahitnya perjuangan. Jadi kini menangis pun aku rasa percuma. Sama sekali tidak mengubah keadaan.

Entah sudah di kilometer berapa saat ini aku berlari. Mengapai tujuan yang masih terselubung dengan hal-hal yang tidak pasti. Entah bisa sampai atau tidak aku pada hal yang ada di benakku. Yang dari kecil menjadi mimpiku.

Aku sadar, berat memang jika perjalanan ini hanya di lalui sendiri. Tapi jika bukan aku siapa lagi? Kesuksesan tidak bisa di dapatkan dengan hanya berpangku tangan pada orang lain.

Jadi aku putuskan untuk terus berlari. Mengabaikan semua pencibir dan peragu mimpiku. Aku terus berlari dalam langkah yang terseok. Karena aku percaya tujuan itu ada walau entah dimana.

Akhirnya aku sampai pada sebuah titik terang. Dimana mimpiku mulai terlihat hasilnya. Walaupun lama dan banyak yang meragukan tapi aku terus berjuang demi mengapainya. Asalkan ada Allah aku kuat dan ikhlas. Karena aku percaya cintaNya selalu ada untuk orang yang mau berusaha.

-Hana Larasati

Rabu, 16 November 2016

Masa Lalu

Pagi ini aku menerima pesan dari seseorang di masa lalu. Seseorang yang dulu pernah memberiku mawar, tapi tidak pernah berani untuk memberiku mahar.

Seseorang yang sering bertanya kabar, tapi tak tau akan adakah dia di altar. Iya, orang itu, yang hampir 3 tahun lalu bertanya "Kamu suka aku gak?"

Pesan singkat itu sangup membuatku membatu di tengah kemacetan Flyover Ciputat kota. 

Kau tak tau kan bagaimana rasanya saat kenangan di seret paksa oleh sang waktu? Apa lagi saat hujan. Dan aku sedang merasakannya sekarang.

Tak ku jawab pertanyaanya hari itu. Hingga beberapa hari pun tak pernah ku bahas pertanyaan itu.

Jika kau tanya kenapa, maka ini jawabannya. Dia terlalu baik untuk aku jerumuskan.

Buatku jatuh cinta itu menjaga. Mengaja segala hal yang ada di hidupnya.

Banyak hal baik yang aku tau dalam dirinya. Hamba yang takut dengan Tuhannya. Membuat hatiku bertekuk lutut untuk hormat padanya.

Tapi akhirnya aku jawab pertanyaannya.

"Tanya aja sama Allah, hati ku milikNya."

Dia hanya membalas senyum.

Entahlah aku sulit mengkategorikan dia tipe makhluk seperti apa. Yang jelas dia suka hadir tiba-tiba. Membawa pertanyaan yang selalu membuatku bingung bagaimana menjawabnya.

Tepat 1 tahun yang lalu dia hadir lagi. Dia berdiri di depan rumahku dan bertemu dengan ibuku.

Wajahnya yang teduh, sanggup menundukan pandangan ku seketika.

Di saat itu, aku merasa bersalah. Hatiku sudah terisi orang lain. Yang aku pikir baik. Mungkin memang baik, bagi yang lain.

Dia bertanya "Tipe suami idamanmu yang bagaimana?" Pertanyaannya bagai kilat yang menyambar hingga ke relung rusuk.

"Yang mencintai Allah dan Rasull-Nya. Menjadikan orang tua sebagai rajanya."

"Dari segi fisik?"

"Kata ibuku gak boleh memetakan manusia."

Dia masih tersenyum. Dan aku terdiam.

Pagi ini, dia datang lagi. Kali ini tidak bertanya kabar atau memberikan mawar. Hanya memberitahu bahwa, dia hafal surah Ar-Rahman. Dan itu adalah surah kesukaan ku dari dulu.

-Hana Larasati

Gadis di Ruang Tunggu

Dalam kantuk yang kutahan, ada pesan yang sedang ku tunggu.

Pesan singkat yang jadi penyebab senyumku merekah diam-diam di tengah malam.

Entah bagaimana cerita ini bisa ada. Sampai tulisan ini di buat aku tidak punya hipotesa yang jelas untuk memulai analisanya.

Yang aku tau malam ini, ada yang berusaha aku tekan agar tidak tumpah. Sesuatu yang aku takut untuk percaya. Harapan.

Di tengah ke ingin tahuan ku yang meninggi bila tiba dini hari. Tak sengaja aku membaca sebuah tulisan yang entah siapa pengarang pertamanya.

"Jangan sengaja pergi agar di cari. Jangan sengaja lari agar di kejar. Berjuang tak sebercanda itu. "

"Bagaimana jika yang pergi itu memang benar-benar ingin pergi. Bukan sekedar agar di cari?

Bagaimana jika yang lari itu memang benar-benar ingin lari. Meninggalkan yang menunggu jauh di belakang?

Lalu, aku yang posisinya sebagai gadis di ruang tunggu harus bagaimana?

Menurutmu menunggu apa sebercanda itu?" Pikirku tengah malam.

Lalu aku merevisi pikiranku yang melesat beberapa detik yang lalu.

"Kenapa sekarang aku jadi terdengar seperti gadis penuntut?

Bukannya sering aku bilang cinta itu reaksi, bukan ekspektasi.

Mungkin benar kata Prof. Albus Dumbledor ; bahwa yang terbaik dari kita pun bisa menarik kata-katanya."

Ah, kenapa jadi begini. Kenapa di kepalaku jadi penuh dengan orang itu. Kenapa intonasi di batinku sekarang, jadi terdengar mengekang. Aku siapa? Bukan hak ku atas itu.

Silahkan pergi jika ingin pergi. Silahkan lari jika mau lari. Kau punya kebebasan penuh atas dirimu.

Aku pun begitu. Akan menunggu semampuku. Semampu hati bisa bertahan dalam rindu. Tapi jika kau sudah kembali dari berpergian mu dan tak ada aku di ruang tunggu, jangan salahkan aku.

Karena kau tau, aku pun punya hak penuh untuk menentukan waktuku. Seberapa lama atau seberapa sebentar aku harus menunggu di ruang tunggu.

-Hana Larasati

Sabtu, 12 November 2016

Antalogi (2)

Aku masih membolak-balikan handphoneku.

"Ada apa?" Kata temanku yang langsung duduk di sebelahku.

Aku hanya tersenyum. Senyum yang menandakan (mungkin) aku baik-baik saja.

Dia melirik benda kotak yang ada di tanganku. Lantas dia pun tersenyum.

"Sibuk. Dia bukan mahasiswa kupu-kupu kaya kita."

Aku yang tadinya menunduk langsung tersentak.

"Bukan. Bukan itu yang aku pikirin."

"Lantas?"

Aku pun menunduk. Seperti biasanya berat untuk bercerita.

"Gak usah cerita. Nanti aku liat blogmu saja. Di situ juga ketauan."

Dia sukses membuatku tersenyum. Aku pun menarik nafas dan mulai mangatur suara.

"Jadi gini.."

"Iya?" Dia mendekatkan bangku ke arahku.

"Dia ngenalin aku ke temennya. Temennya itu solehah banget." Kataku menunduk.

"Teruss?"

"Kamu pasti tau terusannya."

"Kamu cemburu?"

Sekarang aku mulai mengalihkan pandanganku pada jendela kaca kelas. Di luar terlihat jelas hujan deras.

Dari derai rintiknya batinku mulai berkata. "Apa pantas aku cemburu?"

"Aku gak punya kapasitas buat itu." Kataku
"Setiap manusia berhak cemburu."

"Tapi aku manusia yang menyalahi haknya."

"Lah kok?"

"Udah lupain aja." Kataku sambil membereskan beberapa buku.

"Han, jangan pesimis."

"Aku gak pesimis, hanya realistis. Dia gak ada alasan buat nolak perempuan itu."

"Dan dia pasti ada alasan buat nerima kamu Han."

Aku menggeleng kemudian berujar.

"Aku masih bisa optimis kalau aku kalah dalam kecantikan, kekayaan, atau kepintaran. Tapi kalau sudah iman. Aku gak bisa. Aku lebih baik mundur."

"Kamu bisa berubah lebih baik supaya..."

"Demi mendapatkan dia? Hijrah buatku gak sereceh itu."

"Terus?"

"Kamu pasti pernah baca tulisanku. Buatku asal dia bahagia, asal dia bisa jadi lebih baik dari dia yang dulu aku juga bahagia. Aku relakan diriku untuk perempuan itu, dan aku relakan hatiku untuk kebahagiaannya."

"Emang kamu yakin perempuan itu lebih dari temen buat dia?"

"Gak begitu yakin. Tapi aku ngerasai perasaan ini lagi."

"Perasaan 2014 itu lagi?"

Kali ini aku tertawa. Dia memang yang paling tau segala tentang aku.

"Malah ketawa."

"Yaudahlah."

"Yaudahlah apa?"

"Gak usah di bahas."

"Andai mereka tau kamu sebaik aku. "

"Kenapa?"

"Gak akan ada yang berani ninggalin kamu sejengkal pun."

"Kok?"

"Gak ada yang rela ninggalin berlian sendirian."

"Aku egois, pemarah, mau menang sendiri, aneh. Di mana letak berliannya."

"Di sini." Dia menunjuk ke dadanya.

Aku hanya tersenyum.

"Sok tau."

"Emang tau."

"Dari mana?"

"Dari dulu."

Aku pun tersipu. Orang yang dari tadi kita bicarakan pun menghampiriku.

Dia tersenyum. Aku menunduk.

"Masih disini?" Sapanya.

"Iya. Tapi sekarang aku mau pulang, gak tau Hana?" Kata temanku sambil bangkit dari tempat duduknya.

Aku pun menengadahkan kepala menghadap padanya. Dia mengedipkan matanya kepadaku.

"Aku juga mau pulang." Lanjutku buru-buru.

"Aku gak mau nyebrangin loh Han." Temanku terkikik dan berjalan cepat meninggalkan ku di belakang.

"Ri.." Tapi dia sudah hilang dari balik pintu.
Saat ini hanya ada aku dan dia.

"Allah jaga hatiku." Batinku.

Dia menatapku. Kemudian mengambil salah satu bangku dan duduk tidak jauh dari tempatku berdiri.

"Aku mau pulang." Pamitku.

"Kamu bawa payung?"

Bagaimana bisa aku lupa soal hujan.

Aku hanya menggeleng.

"Yaudah tunggu reda aja dulu di sini."

Dengan sedikit terpaksa aku pun menunggu.

Mungkin hampir 30 menit kita tidak berbicara sepatah kata pun.

"Gimana bukumu?" Akhirnya dia membuka percakapan. Di saat ini aku merasa menang.

"Alhamdulillah. Sudah di terima. "

"Alhamdulillah."

Sepersekian detik hening lagi.

"Buku untuk temanmu baru mau aku kirim. Tapi, aku gak punya nomernya." Untuk pertama kalinya aku sesak membahas perempuan itu.

"Oh, punya Aisyah."

"Iya."

"Tanya di line?"

"Belum di baca."

"Aku ada, tapi enggak tau aktif atau enggak." Dia pun menyodorkan handphone nya kepadaku.

"Iya."

"Dia itu jarang on. Paling kalau on cuma kalu ada wifi aja."

"Tau banget ya." Kataku mencoba tersenyum.

"Tau aja sih enggak banget. Haha." Katanya mulai tertawa.

"Oh gitu." Balas ku dingin.

"Kok gitu?"

Lama hening.

Aku pun tersenyum sambil menggeleng.

"Gapapa."

"Ish."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya."

"Kenapa nanya kok gitu."

"Ya gapapa hahah."

Kemudian dia pun memulai percakapan lagi.
"Waktu itu mau nanya apa?"

"Bukannya udah tau. Kan aku bilang mau nanya tugas."

"Aku pikir bukan. "

Damn. Dia tau aku bohong.

"Nanya apa hayo." Katanya mendesak.

"Engg..." aku hanya mendengung.

"Apa?"

Aku pun menarik nafas dan berkata padanya.

"Kamu mau dateng ndak di lauching buku antalogi-ku yang inshaa Allah kalau jadi di istiqlal?"

Dia tersenyum menatapku.

"Wes jan, mbak Hana. Ngalor ngidul ngechat ternyata nanya itu tho. "

Pipiku langsung merah.

"Jadi? Bisa ndak?"

"Inshaa Allah. "

Aku tersenyum getir.

"Inshaa Allah orang islam mba Hana."

Seketika senyumku sumringah.

-Hana Larasati