Minggu, 18 Desember 2016

Seniman Kecil

Hari ini ku biarkan wajahku di terpa angin malam yang dingin. Ini pertama kalinya mungkin dalam hidupku, aku menyambut malam di luar ruangan sendiri.

Dalam perjalanan aku meniti setiap senti  yang aku lewati. Sesekali aku tersenyum pada seniman kecil yang bernyanyi, dalam bis tua yang reyot ini.

Dari beberapa anak yang bernyanyi, mataku tertuju pada satu anak. Anak yang paling kurus dari anak yang lainnya. Bajunya kumal dan kotor. Rambutnya merah dan keriting.

Dia hanya diam saja sambil memegang perutnya. Karena jaraknya tak terlalu jauh dariku aku pun memberanikan diri untuk bertanya.

"Kamu lapar? Kakak punya roti kamu mau gak?" Kataku sambil mengulurkan roti pada anak itu.

Dia hanya memandangku. Tatapannya malu. Aku pun coba meyakinkannya.

"Ini ambil aja terus di bagi ke teman-teman kamu." Kataku sambil tersenyum.

Dia pun mengambilnya. Tapi matanya tetap saja menatap mataku.

"Ada apa?"

"Aku orang kristen." Katanya yang mengenal agama ku dari jilbab merah yang aku kenakan.

"Lalu kenapa?"

"Apa tidak apa-apa kakak memberi makanan padaku?"

Aku hanya tertawa kecil sambil mengusap rambut ikalnya dan kemerahan.

"Setiap manusia itu wajib saling tolong menolong. Tidak perduli apa agamanya, sukunya, warna kulit, dan statusnya."

Dia hanya memandangku.

"Sini duduk, tujuan kamu kemana?" Kataku, sembari menepuk-nepuk bangku kosong di sebelahku.

"Lebak bulus kak."

"Yaudah duduk dulu. Ini baru di fatmawati, macet lagi. Lumayan kalo berdiri sambil nunggu ke lebak bulus."

Dia pun ragu untuk duduk karena kenek bis dari tadi terus memperhatikan kami. Aku yang sadar pun langsung berujar.

"Nanti saya yang bayar ongkos adik ini." Seraya memberikan uang kepada kenek bis.

Semakin lama semakin banyak penumpang yang naik. Salah satunya adalah seorang ibu tua. Dia tidak mendapatkan tempat duduk maka terpaksa dia harus berdiri.

Aku pun bangkit dan menyerahkan kursiku pada ibu itu. Ibu itu langsung duduk tanpa berkomentar apa-apa.

Seniman kecil yang dari tadi di sampingku pun ikut bangun.

"Udah kamu duduk aja. Gapapa."

"Tapi kakak berdiri."

"Kakak kan udah gede jadi gapapa kalau berdiri kamu kan masih kecil."

Dia pun menurutiku. Dia kembali duduk di tempatnya. Tak berapa lama, ibu tua itu pun turun. Seniman kecil itu langsung bertanya padaku.

"Kakak kok gak marah?"

"Marah kenapa?"

"Kakak tadi ngasih bangku ke ibu tua itu tapi ibu itu gak bilang makasih."

"Menolong itu sama kaya kita memanah. Pemanah gak akan mengharapkan anak panahnya kembali kan sama dia? Begitu juga menolong gak boleh mengharapkan balasan."

"Tapi ibu itu gak menghargai kakak."

"Biar Allah saja yang menghargai apa yang kakak kerjakan. Kakak gak perlu penilaian manusia."

"Nama kakak siapa?"

"Hananing. Kamu?"

"Martinus."

Tak berapa lama sampailah kita pada tujuan. Bis berhenti di terminal lebak bulus. Dengan berakhirnya perjalanan, berakhirlah percakapan ku dan pengamen kecil itu. Kita pun berpisah di terminal. Dia melambaikan tangan sambil berucap terima kasih. Aku hanya menganguk dan tersenyum sambil berucap sama-sama.

Pelajaran yang aku dapat kali ini, dakwah tidak hanya di sampaikan pada yang seiman, sesuku, atau sebangsa. Tapi pada siapa saja.

Karena dakwah adalah pelajaran yang baik, dan setiap hal yang baik harus di sebar luaskan. Tak pandang siapa orangnya. Karena Allah juga tak pandang kapan dia akan memberikan hidayahNya. Sampaikanlah walau satu ayat.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar