Senin, 19 Desember 2016

Pengagumku Seorang Penulis part 2

Siang ini ku beranikan memasuki kelasnnya. Mukaku ku buat biasa saja, tapi kau tidak tau kan bagaimana rimanya. Sunguh luar biasa.

Hari ini seperti pertemuan-pertemuan sebelumnya. Kita bagai dua orang yang tak saling kenal. Tak ada senyum atau pun sapa.

Aku benci jika dia selalu begitu. Diam dan tak banyak bicara untuk orang yang baru di kenalnya. Beda jika sudah di dunia maya dia seolah mobil yang tidak ada remnya.

Aku duduk di seberang tempat duduknya. Dia menatapku, tapi buru-buru di alihkannya. Aku masih menatapnya, ku selami setiap garis wajahnya.

Siangnnya dia berdiri di depan perpustakaan, saat itu aku harus menyerahkan beberapa data sertifikat seminar pada dosen.

Dia asik dengan layar kotaknya. Aku rasa dia sedang menulis. Dia menengadahkan kepalanya dan menoleh ke arahku.

Awalnya aku pikir semua akan sama. Tapi kali ini beda, dia tersenyum. Aku pun membalasnya.

"Serius serius amat."

"Apasih."

Dua percakapan tapi mampu mengubah semuannyaaa.

Seminggu, dua minggu berlalu dan akhirnya ku beranikan mengajaknya pergi. Awalnya dia tidak mau, jikalau bukan karena tugas aku mungkin sudah di tolaknnya mentah-mentah.

Jam 19:00 aku menunggunya di depan rumah. Dia tidak suka rokok. Makanya, saat aku menjemput perempuan itu aku tidak menyentuh rokokku sama sekali.

Jadi, dengan debaran jantung yang iramanya berantakan, sekarang aku sedang menunggu gadis yang pernah aku tinggalkan selama tiga tahun di depan rumahnya.

Aku hanya bermodal parfum yang sering aku gunakan dan rambut yang aku rapikan lebih rapi dari biasanya.

Mobilku juga aku bersihkan sebersih mungkin. Tidak ada jersey futsal, tidak ada sepatu futsal, tidak berserakan handuk keringat habis futsal. Intinya, aku rasa, semua sempurna.

Aku sangat rapi. Mungkin, itu yang membuatnya terus menatapku dengan wajah keheranan. Aku tidak mengerti mengapa dia terus menatapku sedalam itu.

Dia masih terus menatapku bahkan hingga kami sampai di gedung bioskop. Tatapan itu terus berlanjut hingga kami masuk ke dalam teater bioskop. Dia terus menatapku hingga film diputar.

Apa mungkin dia sedang mengintrogasi senyumku yang setengah-setengah ini? Andai aku bisa jujur bahwa sore ini sungguh aku gerogi setengah mati.

Ada banyak kata-kata yang bersarang di kepalaku. Tapi, mulutku tidak bisa diajak kerja sama. Padahal, aku hanya ingin mengucapkan satu kalimat saja. Hari ini aku sungguh bahagia.

Aku tidak mengerti mengapa hari ini dia begitu cantik. Secantik ketika aku pertama kali bertemu dengannya dalam sebuah perjalanan. Hal yang aneh yang aku namakan keajaiban.

Dia adalah keajaibanku. Aku tidak peduli jika dia menganggap kencan ini adalah kutukan. Tapi, bagiku, ini adalah sebuah keajaiban.

Seandainya Tuhan mengizinkan, aku hanya ingin pertemuan kami tidak sebatas kencan. Mengapa? Aku tidak ingin kehilangan dia untuk yang kedua kalinya.

Entah bagimana perasaan dia. Aku juga tidak berani bertanya, karena aku yakin jawaban perempuan hanya akan membuatku semakin bertanya-tanya.

Jadi, yang bisa aku temukan dari dalam dirinya, dia tetap gadis yang sama seperti tiga tahun lalu. Manis, menggemaskan, serta memesona. Ah, aku jatuh cinta. 

Aku tidak mengerti mengapa aku sangat ingin membawa dia ke dalam pelukanku. Aku tidak mengerti mengapa setiap detik yang kami lewati sore ini terasa begitu menyenangkan.

Aku tidak mengerti mengapa aku melakukan ini semua. Padahal, aku sungguh tahu, mencintai gadis itu adalah hal yang sangat dibenci siapapun. Karena aku sadar banyak yang menginginkannya dan aku penyebab patah hati semua orang. Terutama sahabatku.

Demi Tuhan. Ini menyakitkan."

Posted by@DwitasariDwita at21:15 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar