Kamis, 22 Desember 2016

Ibu atau Istri

Pagi ini dia menatapku dengan mata yang sayu. Aku tersenyum membalas tatapannya. Aku tau semalam dia begadang lagi. Profesi sebagai analis memang sangat merusak badan dan nurani.

Dia berjalan mendekat, kemudian memeluk pinggangku erat. Kepalanya dia sandarkan di bahuku saat aku sedang mengoles mentega pada roti bakar kita.

"Sarapan dulu ya."

Dia hanya menganguk.

"Roti atau apa?"

"Apa yang dari tanganmu aku mau."

"Ya sudah, duduk dulu aku siapkan makanan untukmu." Kataku sambil mengusap kepalanya halus.

Dia duduk di meja makan. Ku siapkan susu hangat dan roti bakar isi telur kesukaannya.

"Makan dulu Yang." Kataku sambil ikut duduk di sebelahnya.

Dia hanya menganguk. Sisi hatiku bilang, aku merasa ada yang salah tapi sisi yang lain bilang, dia hanya mengantuk.

"Kerjaan numpuk Yang?" Tanyaku sambil menaruh susu yang baru saja aku tenguk.

"Gak terlalu. " Balasnya sambil tersenyum. Tapi aku tau senyum itu. Senyum yang beda dari biasanya. Senyum yang menunjukan bahwa dia sedang kenapa-kenapa.

Tak lama, handphonenya berdering.

"Aku angkat telpon dulu ya Yang." Katanya.

Aku menganguk. Tapi rasa penasaranku membawaku untuk mencari tau siapa yang berbicara padanya.

"Iya Mas, ibu bilang aku harus pulang sekarang. Tapi aku ndak bisa ninggalin dia sendirian. Dia sedang hamil masih 3 bulan, dokter bilang belum bisa di ajak naik pesawat, aku takut terjadi apa-apa."

"Jadi itu." Bisikku pelan dari balik pintu."

Walaupun aku tidak bisa dengar apa yang orang di seberang telpon itu bicarakan. Tapi aku tau, ibu sedang butuh anaknya.

Kemudian dia kembali berbicara.

"Iya...Mas, jika bisa nanti aku segera datang. Assalamualaikum"

Dia mengacak rambutnya, kemudian duduk dan menundukan kepalanya seusai menutup telepon. Aku berinisiatif untuk mendekat. Ku ketuk pintu, dan tak lupa ku ucapkan salam.

"Assalamualaikum, Yang?" Kataku sambil membuka gagang pintu.  Dia menegadahkan kepalanya, dan mengahadap padaku.

"Waalaikumussalam." Katanya sambil tetap tersenyum.

Kita terdiam beberapa lama.

"Kamu sudah dengar ya semuannya?" Katanya lembut padaku.

Aku hanya tersenyum. Sambil duduk mengelus tangannya halus.

"Maaf." Kataku.

"Gak usah minta maaf. Harusnya memang aku bilang ke kamu."

"Ibu kenapa Yang?"

"Ibu sakit, darah tingginya kumat dan harus di rawat. " katanya. Aku bisa melihat gambaran kristal bening yang ada di matanya.

"Mas Bayu bilang, dia mau aku datang." Lanjutnya.

"Yasudah, biar aku siapkan pakaianmu ya."

"Gak sesimple itu Maryam Hannah Zafira."

"Kenapa Yang?"

"Kalau aku pergi kamu bagaimana?"

Aku tertawa.

"Kenapa malah ketawa?" Tanyanya heran.

"Habis kamu lucu. Ibu itu surgamu, masa mau mengadaikan sama aku yang hanya istrimu."

"Kok begitu Yang?"

"Iya, laki-laki itu harus 3 kali lebih taat kepada ibunya di banding istrinya. Karena surganya tidak akan pindah. Beda sama aku, saat aku nikah ridhomu adalah surgaku. " Kataku sambil mengelus kepalanya lembut.

Dia hanya tersenyum.

"Kamu bisa ya?"

"Bisa apa?"

"Bisa-bisanya baik sama ibu, padahal ibu selalu bawel sama kamu."

Aku tertawa lagi.

"Kamu ketawa mulu."

"Habis kamu lucu, masa nanya kenapa aku bisa baik sama ibu. Ketauan baik itu adalah kewajiban, apa lagi sama orang tua."

"Tapi kamu kan tau gimana perlakuan ibu ke kamu."

"Iya, tapi aku lebih mikir kita hanya dua orang perempuan, yang mencintai orang yang sama. Saat yang lain lebih unggul, lebih di perhatikan oleh si objek, yang lainnya akan merasa cemburu. Dan kamu pasti tau dong gimana sikap orang kalau lagi cemburu?"

Dia masih memperhatikanku.

"Tapi satu, kita berdua sama-sama ingin yang terbaik dan menjadi yang paling baik untukmu." Kataku.

"Andai ibu tau menantunya sebaik ini." Dia mulai merunduk lagi.

"Gak usah terburu-buru ikuti saja alurnya, Yang. Toh kita juga masih baru, masih perlu banyak perkenalan."

"Iya Yang."

"Yasudah aku siapkan pakaianmu ya."

Dia menganguk sambil tersenyum ke arahku.

Sedikit, ibu mertuaku itu orang yang perfeksionis. Semua harus benar dan semua harus pada orbitnya. Menurutku itu baik, aku tidak menyangkalnya. Tapi, dari pandangan luar memang terkesan banyak aturan tapi buatku itu adalah bentuk tanda sayang.

Dia menghampiriku yang sedang melipat baju. Bandannya yang tinggi tegap sukses mengagetkanku. Aku menepuk pundaknya manja. Dia tersenyum, senyumnnya manis dan aku suka itu. Tersemat dua lesung pipi pada pipinya.

"Bajunya aku pilihin yang ini ya."

"Kok terang semua sih Yang."

"Biar auranya keluar."

"Baju hangatnya mana?"

"Kamu kan mau pulang ke Indonesia bukan dinas di Antartika. Gak usah pakai baju hangat."

"Tapi sekarang lagi musim hujan Yang."

"Gak akan sedingin di Eropa. Trust me."

Lalu aku memasukan sebuah baju wanita berwarna biru. Dia memandang dengan heran.

"Baju siapa Yang?"

"Oh, ini?" Kataku sambil mengangkat baju itu.

Dia menganguk.

"Buat ibu. Waktu kesini, 6 bulan yang lalu kita lewat di depan toko dekat Oxford. Kata ibu bajunya bagus. Berhubung waktu itu uangku belum cukup jadi aku menabung dulu. Baru sekitar 1 bulanan bajunya bisa terbeli."

Dia langsung memelukku erat.

"Allah terima kasih." Ujarnya.

Aku keheranan. Dia melepas pelukannya.

"Kenapa? Kenapa kamu bisa memperlakukan ibu seperti ibumu sendiri?"

"Ya karena ibumu adalah ibuku. Ketika dua orang memutuskan menikah. Bukan hanya hatinya yang harus dia menangkan melainkan hati ibunya, ayahnya, adiknya, saudaranya. Karena kita telah menjadi satu kesatuan."

"Buat ku pribadi tidak ada istilah 'itu ibu mu', 'itu ibuku', 'itu keluargamu', 'itu keluargaku'. Kita semua sama. Aku, kamu, ibumu, ibuku, ayahmu, ayahku. Kita semua berada pada perahu yang sama." Lanjutku

Dia tersenyum menatapku.

"Rasul bilang perempuan seperti tulang rusuk yang bengkok. Jadi tugas laki-laki adalah untuk meluruskannya. Jika istriku sudah seperti ini, apa lagi yang harus aku luruskan?" Katanya sambil duduk di sofa dekat jendela kamar kita.

Aku tersenyum.

"Kamu tau gak Yang? Kenapa Rasul mengibaratkan perempuan sebagai tulang rusuk? Kenapa gak tulang kepala atau tulang kering?"

"Kurang tau Yang."

"Karena tulang rusuk itu dekat dengan tangan. Jadi perempuan tidak di ibarat sebagai tulang kepala yang harus di tinggikan dan di benarkan kata-katanya. Bukan juga tulang kering yang ada di kaki yang bisa di injak atau di rendahkan. Dia memilih tulang rusuk yang dekat dengan tangan supaya kamu bisa membimbingku dan menjadi teman perjalanan seumur hidupku."

"Masya Allah. Tapi aku maunya sama-sama kamu sampai surga. Gimana Yang?"

"Bisa diatur~" Kataku.

Dia tersenyum lagi. Senyumnya lebih ikhlas dari yang tadi pagi. Aku suka dan lebih suka lagi saat dia bilang ingin bersama denganku di surga nanti.

Sampai jumpa 1 minggu lagi.

#tobecontinue

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar