Senin, 19 Desember 2016

Luka dan Lupa (Pengagumku Seorang Penulis "Final")

Mari aku tunjukan kisah yang sudah setua waktu. Senyata kenyataan dan seindah pengharapan. Kisah ini akan menuntunmu pada angan yang tidak pernah terpikirkan.

Jika Pidi Baiq bilang, bahwa Bandung itu bukan hanya soal letak geografisnya melainkan perasaan yang tinggal di dalamnnya.

Begitu pun Jogja buatku. Tidak hanya soal letak georafisnya melainkan perasaan yang campur aduk di dalamnnya.

Perasaan rindu yang menuntut untuk di labuhkan di kota seribu budaya. Ya perasaan ini ada lagi. Perasaan yang aku kira selamanya akan mati.

Kota ini seolah menjadi pemantik untuk cerita-cerita lama yang masih ku abadikan dalam hati. Setiap sudut bangunannya seolah menampakan pada ku, bagaimana kisah kita terangkum di kota ini.

Di kota ini juga memperlihatkan dengan jelas gambaran kejadian di pertemuan pertama. Pertemuan ini, bukan hal yang baik awalnya. Ketidak jelasan dari pihakmu membuat perasaanku runtuh saat itu.

Tapi biarlah toh itu sudah berlalu. Mari, kita lihat lagi pertemuan kita di masa ini. Dua orang yang sudah lebih baik dari hari ke hari.

13:00

Siang ini, dengan latar tempat alun-alun Keraton, kita bertemu tak terduga. Sama-sama agak takut. Sama-sama terkejut. Sama-sama tidak siap.

Aku menyungingkan senyum sopan tanda persahabatan. Kau membalasnya, dengan tersenyum dan berjalan mendekat.

Hari ini kau memakai baju navy, dengan potongan jeans. Kau masih tinggi, tapi rambutmu sudah tidak sebahu lagi.

"Bagaimana kabarmu?" Sapamu mengagetkanku.

"Baik."

"Sudah sangat lama." Katamu sambil menatap 2 beringin tua.

"2 tahun. Belum terlalu lama."

"Menurutku itu lama, apa lagi jika sambil menunggu."

"Aku yang menunggu bukan kamu. Jangan sok menderita."

Dia hanya tersenyum getir.

"Bagaimana S2 mu?" Kataku.

"Baik."

"Baguslah."

"Tapi tak sebaik ceritamu. Aku sudah baca." Katanya sambil mengangkat buku ku.

Aku tersenyum ke arah matahari. Sinarnya ku biarkan membakar pipi.

"Cuma senyum."

"Aku harus apa?"

Sekarang dia yang tersenyum.

"Gak harus apa-apa."

"Kedatanganmu ke sini dengan tidak membawa teman hidup sudah cukup membuatku bahagia." Lanjutnya.

Gantian aku yang tertawa getir.

"Jangan bilang, kau berdoa agar Tuhan menahan jodohku?"

"Tidak, aku belum setega itu."

"Lalu?"

"Aku sebenarnya sempat sedikit khawatir saat meninggalkan perempuan baik seorang diri di kota yang jaraknya tidak main-main seperti ini."

Aku mendengarkan.

"Kau taukan Tuhan selalu berjanji untuk memudahkan apa pun untuk orang yang baik." Katanya yang sekarang menatapku.

Aku masih mendengarkan tanpa berkomentar. Menurutku itu lumayan bijak. Memberi ruang untuknya melampiaskan apa yang ada di hatinya.

"Bukan mau ku meninggalkanmu tempo itu. Aku tau bagaimana perjuanganmu, hampir 2 tahun kan kau memperhatikan aku?" Sekarang dia tertawa.

"Haha, itu sudah lampau." Balasku.

"Dari mulai kau melihatku di depan lift, mengintip dari balik pintu, dan akhirnya berani bertanya kepada ku walaupun hanya sekedar tugas." Matanya mengerling ke mataku.

"Tapi saat itu hatimu bukan untukku."

"Haha iya benar. Dia masih mengngantongi sebagian hatiku. Mungkin hampir 3 tahun aku bersamanya jadi tidak munafik dia masih ada."

Pernyataannya sanggup membuatku getir.

"Tapi kau tau? Kadang kita tidak pernah tau kapan sekenario berubah."

Aku masih memperhatikannya.

"Contohnya?" Kataku.

"Hatiku yang jatuh padamu."

Aku hanya tersenyum sinis. Tidak semudah itu aku rasa. Bagaimana bisa yang terpenting bisa di gantikan dengan yang hanya sekedar pemdamping.

"Aku harus pergi." Kataku buru-buru.

"Apa belum cukup 2 tahun untuk pergi?"

Aku pun menghentikan langkahku. -Dengan motif yang entah apa, tapi kau kembali. Apa aku harus memepercayai ini lagi?

"Bukan aku yang pergi. Tapi kamu."

"Aku tidak benar-benar pergi. Aku hanya diam-diam berdoa pada Tuhan, itu yang aku lakukan. Karena aku tau kamu orang baik, dan cara terbaik untuk mendapatkan orang baik dengan mendekati yang Maha Baik. Allah."

Aku berbalik.

"Hah! Mantanku juga dulu bilang begitu."

"Mantan mu lagi."  Dia mendekat saat aku ingin pergi.

Tapi langkah kaki seolah tidak peduli. Kakiku membawa ku untuk menikmati alun-alun kidul. Terlihat banyak muda-mudi yang duduk di sini.

Tapi dia terus berjalan. Mengikutiku tanpa berani menyentuh atau berkomentar sedikit pun.

Hingga.

"Sampai kapan?" Akhirnya dia membuka percakapan.

"Apa?" Kataku sambil terus berjalan.

"Sampai kapan trauma mu hilang?"

"Sampai, aku percaya tidak akan ada luka."

"Mustahil!" Ucapnya.

Aku terdiam.

"Luka itu pasti ada. Karena dia mengajarkan nikmatnya perjuangan."

Dia mulai berjalan mendekat. Sangat dekat. Hingga aku tidak bisa merasakan nafasku.

"Kalau kamu nyari orang yang gak akan melukaimu aku akan mundur sekarang." Katanya.

Jatungku berdegup sangat cepat. Bibirku gemetar, tapi akhirnya suara bisa keluar.

"Ke..napa?"

"Aku pasti akan jadi yang paling sering melukaimu. Mengoreksi segala sikapmu, menceramahi perilakumu dan itu akan membuatmu tidak suka hingga terluka."

Aku terdiam.

"Tapi, itu semua aku lakukan bukan tanpa karena melainkan untuk kebaikanmu." Dia mulai merunduk.

"Berjanjilah kamu akan jadi obat di setiap luka yang kau buat." Kataku sambil tersenyum ke arahnya.

Dia tertawa gembira.

"Jadi kapan?"

"Apanya?" Kataku bingung.

"Aku bertemu ayahmu?"

"Secepatnya." Kataku sambil tersenyum.

Apa-apa yang menjadi takdirmu tidak akan pernah meninggalkanmu, dan apa-apa yang meninggalkan mu bukan menjadi takdirmu. Dan apa yang pergi dari hidupmu kemudian kembali menjadi seseorang yang baru berarti dia adalah kado terindah untukmu.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar