Sabtu, 28 Mei 2016

Anna, Apa Kita Bersaudara?

Kereta Airku

"Mungkin kita akan tertatih di tengah perjalanan itu, tapi ingat selalu ada ganti untuk setiap hal yang kita lakukan walaupun itu hanya sebesar atom. "

Seminggu di Sumba terasa bagai setahun. Lokasi yang terletak di pedalaman dan di kelilingi pesisir serta bukit menyebabkan akses sinyal amat susah.

Mungkin jika aku mati di sini. Nyawaku lebih dulu sampai di akhirat sebelum jasadku di temukan.

Keseharian yang aku lakukan hanya mengajar dan mengajar. Terkadang untuk melepas penat aku dan Bella berkeliling kampung, memancing atau bermain air di pantai.

Siang itu ketika aku sedang mengajar bersama Fahri. Riffian memanggilku di depan pintu. Aku pun berjalan menujunya.

"An, ada yang mau ketemu kamu." Katanya. Dari dalam kelas aku tau Fahri mengamati kami.

"Siapa?"

"Aku gak tau. Laki-laki."

"Oh mungkin pak Ursula. Kemarin aku memesan sesuatu padanya."

"Bukan. Dia bukan orang lokal." Kata Riffian. Aku pun mengerutkan dahi dan berpikir.

"Dimana dia?"

"Di kantor An." Aku langsung berjalan menuju kantor dan Riffan pun membuntutiku dari belakang.

Sesampainya aku di kantor. Aku sedikit lupa dengan orang itu. Rambutnya sebahu, hitam manis dan mancung. Khas orang jawa.

"Selamat siang. Ada apa ya mencari saya?" Kata ku sopan.

"Anna, kamu gak banyak berubah."

"Maksud?" Aku mengtenyitkan dahi.

"Aku Radit, teman kuliahmu dulu."

"Astagfirullah, Raditya Bayu? Maaf maaf pangling gue. Apa kabar? " Kataku sambil menyalaminya.

"Baik. Jauh banget sampai ke sini Noy?"

"Iya nih panggilan alam." Kataku.

"Oh iya, sampai lupa. Dit kenalin ini Riffian. Dia temanku sewaktu SD yang sekarang mengajar di sini juga." Kataku sambil mengenalkan Riffian pada Radit. Riffian hanya tersenyum sopan dan Radit pun membalasnya.

"Yaudah An, aku tinggal ya." Kata Riffian

"Iya, makasih ya Rif." Kataku, dan Riffian pun berlalu pergi.

"Lu ngapain ke sini?" Kataku sambil duduk di sebelah Radit.

"Main aja." Jawabnya singkat.

"Dit, Jakarta Sumba jaraknya gak main-mainloh. Masa iye lu jauh-jauh cuma buat main?"

"Terus lu mau gua jawab apa?"

"Apa kek yang berkualitas."

"Hahaha."

"Hih malah ketawa." Aku pun mengrenyitkan dahi.

"Dari pada gua darah tinggi sendiri. Mending kita ketemu soulmate lu yuk. Si Fahri." Kata ku sambil beranjak dari tempat duduk.

"Fahri di sini?" Katanya yang ikut bangkit.

"Iya. Ayok." Kataku mengajaknya ke kelas tempat ku dan Fahri mengajar.

"Fahriii!!" Panggilku sambil menunjukan siapa yang datang.

Dia yang melihat kedatangan kami pun langsung berbicara pada murid-muridnya.

"Anak-anak kalian selesaikan soal yang bapak dan ibu Anna kasih ya di papan tulis."

Fahri sangat bersemangat menghampiri kita. Dia menuju kita dengan sedikit berlari. Fahri pun langsung memeluk dan memukul Radit.

"Nyukkkk... masih idup lu?" Kata Fahri sambil memeluk Radit.

"Ngana pikir?" Katanya dengan memasang muka yang menyebalkan khas Radit.

"Alhamdulillah, gua pikir gak bisa liat lu lagi. Eh lu kok bisa sampe sini?" Kata Fahri.

"Sial. Bisa lah gua kan punya kaki. Lah lu ngapain disini?"

"Ngajar, nemenin princess. Takut di ambil orang kalo gak di temenin." Katanya menggodaku.

"Dih males banget." Kataku sambil menunjukan ekspresi geli.

"Eh kalian, gua tinggal dulu ya.  Silahkan berkangen-kangenan deh lu." Kataku.

Aku pun pergi ke dalam kelas dan membiarkan mereka berbincang. Sudah lama juga mereka tak bertemu. Semenjak lulus kuliah Radit memisahkan diri dan sangat jarang bertemu dengan kita.

"Anak-anak bagaimana, ada yang ingin di tanyakan?" Kataku setelah sampai di kelas.

"Kakak guru, soal yang pak Fahri buat tentang kecepatan kereta e. Kami tidak bisa mengerjakannya, karena kami tidak pernah lihat bagaimana itu kereta." Kata salah satu murid kelas 6.

Aku pun berpikir -iya juga sih mana ada kereta di tempat ini.  Setelah lama berpikir akhirnya aku pun menemukan ide.

"Ayok kalian semua ikut kakak keluar."
Dalam satu kelas yang aku dan Fahri ajar, terdapat 15 murid dari tingkatan yang berbeda-beda. 4 orang anak kelas 4, 6 orang anak kelas 5 , dan 5 orang anak kelas 4.

Setelah aku memberikan perintah, kita pun ramai-ramai keluar kelas. Di dermaga ada sebuah perahu mesin dan sebuah sampan kecil tanpa mesin. Aku pun menggambil tali dan mengikat di ujung perahu dan ujung sampan itu.

"Ayo yang anak kelas 6 naik ke sampan. Dan kamu. Siapa nama kamu?"

" Nataniel kakak guru."

"Kamu ikut kakak naik perahu biar kakak bisa kasih penjelasan."

Setelah semuanya naik, dan mesin perahu di nyalakan aku pun mulai menjelaskan bagaimana cara menghitung kecepatan kereta.

"Emm... sepertinya ada yang kurang. Kereta itu mempunyai bunyi. Coba yang di atas sampan bunyikan suara kereta." Kataku kepada murid-muridku.

"E kakak guru tapi kita orang tidak tau suara kereta itu bagaimana e." Kata anak muridku.

"Iya juga sih melihatnya saja belum pernah bagaimana bisa tau suaranya." Kataku mengerutu dengan pelan.

"Oke.. kalau begitu. Kalian semua ikuti kakak ya. 'Tutttt.... Tutttt..'" kata ku kepada mereka.

"Tuttt....tutttt." Dan mereka semua pun mengikuti ucapanku. Perahu dan sampan kita pun berjalan beriringan berkat tali yang saling di kaitkan.

Ketika hampir di tengah aku pun menjelaskan bagaimana kerja kereta api itu. Kepada muridku.

"Jadi kita anggap karang itu stasiun B dan dermaga ini stasiun A. Nah jika jarak stasiun A ke Stasiun B 60Km sedang kan kecepatan kereta 40 km/jam maka berapa waktu tempuh yang kita perlukan?"

Nataniel hanya terdiam. Mungkin dia masih belum mengerti apa maksudku.

"Oke Nataniel, kakak ganti pertanyaannya. Apa yang kita cari dalam masalah ini?"

"Waktu yang di tempuh e kakak guru?"

"Nah tepat sekali. Lalu apa yang kita ketahui?"

"Jarak dan kecepatan keretanya kakak guru."

"Jika jarak yang kita tempuh di bagi dengan kecepatan kereta yang kita naiki. Maka berapa lama waktu tempuh yang kita butuhkan?"

"Emm... 1,5 jam kakak guru."

"Nahh!!!! Anak cerdas." Kata ku sambil mengelus kepalanya.

Aku pun berteriak pada anak-anak muridku yang di sampan.

"Sekarang kalian sudah mengerti kan bagaimana menghitung waktu tempuh?"

"Sudah kakak guruuu!!" Kata mereka serempak.

"Ayo sekarang kita putar balik ke tepi." Kata ku sambil menyungingkan senyum yang sumringah.

Ilmu itu tentang apa yang mau kita usahakan. Sesulit apa pun, seberat apa pun jika kita memiliki kemauan yang kuat untuk meraihnya maka akan selalu ada jalan.

Mungkin kita akan tertatih di tengah perjalanan itu, tapi ingat selalu ada ganti untuk setiap hal yang kita lakukan walaupun itu hanya sebesar atom.

Lewat senyum mereka aku menemukan bahagia. Sederhana bukan. Karena yang manis tidak selalu mahal.

To be continue

-Hana Larasati

Anna, Apa Kita Bersudara?

Jangan Buka Kotak Hitam Itu Lagi!

"Benar kita bersatu untuk ilmu. Jika jalan ini terasa berat, ingat rencana awal." -Bella Adviani

Senja di sini adalah salah satu senja terindah di bumi. Semburat cahaya yang berwarna jingga sangat cantik berpadu dengan kepakan sayap burung camar laut yang berterbangan kesana kemari.

Aku duduk di dermaga tua yang mulai keropos. Menikmati keindahan alam yang sudah tersaji. Dalam hati aku berujar "Fa bi'ayyi ala'i robbikuma tukazziban." Sungguh nikmat Tuhan manakah yang berani aku dustakan.

Dalam dekapan lamunan, tiba-tiba ada yang mengelus lembut pundakku. Aku sempat tersentak. Tapi ternyata itu Bella. Dia pun ikut duduk di sebelahku.

"Hari yang berat ya Han." Katanya

"Lumayan. Apa kamu merasakan itu juga?"

"Iya. Aku pikir mengajar itu semudah yang aku bayangkan, ternyata tidak."

"Aku pun begitu. Tapi Fahri bilang kalau kita sendiri saja tidak yakin, maka bagaimana kita bisa menyakinkan mereka."

"Benar Han."

Lama kita terdiam menatap senja. Tak ada kata yang keluar dari mulut kita. Entah terlalu asik menikmati senja, atau kita terlalu sibuk dengan pikiran kita masing-masing.

Tiba-tiba Bella mulai membuka pembicaraan. Tapi matanya masih menyorot ke depan.

"Han, apa aku boleh bertanya sesuatu?"

"E'hem. Tentu saja." Kataku

"Apa ada orang lain selain dia yang menjadi topik tulisanmu? Atau apa ada orang yang kamu suka?"

"Hahha. Ada. Akhir-akhir ini aku sering menulis tentang orang itu. Perasaan ini sudah lama. Tapi aku baru berani menuliskannya saat ini. Payah ya? Haha." Kataku tersipu.

"Orang itu bukan Riffian Rif'an kan?" Sekarang matanya mulai menatap ke arahku.

"Ada apa?"

"Tidak. Aku hanya bertanya?"

"Kenapa kamu setakut itu?" Sekarang aku mulai membalikan badanku ke arahnya.

"Tidak apa-apa."

"Orang itu bukan dia. Aku sudah sering bilang kepadamu bahwa aku sudah tidak berhubungan lagi dengannya jadi kamu tidak perlu takut." Sekarang aku mulai bangkit dari tempat dudukku dan  berjalan menjauh darinya.

"Okey. " katanya yang samar-samar aku dengar dari jauh.

Aku berjalan dengan cepat menuju rumah tempat kami tinggal. Kerudungku berkibar meninggalkan wanita itu sendiri di dermaga.

Bukan marah, hanya kau tau kan saat sesuatu yang buruk dalam hidupmu berhasil kau tutup tiba-tiba di sangkut pautkan lagi dengan masa depanmu.

Aku hanya tidak mau membahasnya. Semua yang telah berlalu bagiku sudah tak usah lagi di singkap. Kita hidup untuk masa depan bukan untuk masa lalu.

Mungkin dulu kita sempat bersitegang karena sesuatu yang belum kita tau. Tapi itu dulu. Sekarang aku menyayangi Bella sama seperti aku menyayangi sahabat ku yang lain.

Dimataku dia selalu sama, gadis cerdas dan periang. Dia bisa melengkapi kekuranganku dari segi ilmu. Tapi jangan tanyakan masa laluku. Aku cukup sulit untuk bangkit dan menutupnya rapat-rapat.

Aku pun menutup rapat pintu kamar. Tiba-tiba ada yang mengetuknya dengan lembut.

"Han.. boleh aku masuk."

"Iya silahkan."

"Maafkan aku." Katanya sambil menundukan wajahnya.

"Tidak ada yang harus di maafkan. Karena tidak ada yang salah." Kataku mencoba tersenyum ke arahnya.

"Aku hanya..."

"Aku tau kau takut. Karena kau terlalu menyayanginya. Sudahlah." Aku mulai mengelus pundaknya dan dia pun memelukku.

"Masih banyak yang harus kita kerjakan. Anak-anak itu butuh kita untuk mempercayai mimpinya. Tinggal kau yang harus percaya padaku. Apa kau percaya? " kataku.

"Iya."

"Aku dan anak-anak itu butuh ibu guru cerdas sepertimu. "

"Iya tapi aku takut ini akan terlalu berat." Katanya.

"Sudah telat untuk takut. Kita sudah ada di sini. Saatnya kita berjuang."

"Benar kita bersatu untuk ilmu. Jika jalan ini terasa berat, ingat rencana awal." Dan kita pun tertawa bersama.

Itulah sahabat. Bukan berapa lama kau mengenalnya, atau seberapa sering kau bersamanya. Tapi bagaimana kau bisa saling menguatkan satu dengan yang lainnya.

Tak peduli bagaimana kelamnya masa lalu kita atau apa yang terjadi sebelumnya. Sekarang Allah menakdirkan kita bersama dalam satu perahu yang sama. Anak-anak itu butuh kita dan kita pun butuh mereka untuk membangun generasi yang lebih baik.

To be continue

-Hana Larasati

Anna, Apa Kita Bersaudara?

Jangan Takut, Anna.

"Ketika takut menyergap hatimu ingat Allah selalu bersamamu." - Muhammad Fahmi Gifahri

Dia masih saja menatap keluar jendela. Mengamati setiap langkah anak muridnya. Aku tidak tau apa yang ada di pikirannya. Yang aku tau dia hanya gadis muda yang peduli dengan sekitarnya.

Angin siang membelai wajah ayunya dengan lembut. Sedikit penyejuk hati yang kering, akibat kenyataan yang dia terima hari ini.

Memang tidak semua yang kita harapkan sesuai dengan kenyataan. Tapi setiap harapan bisa jadi kenyataan jika kita mau berjuang dan mengusahakannya.

"Ri, apa mungkin kita bisa?" Sekarang dia mulai bicara padaku. Tanpa melihat ke arahku dia terus saja memandang anak-anak itu.

"Kamu yakin bisa gak? Kalau kamu sendiri aja gak yakin, gimana mereka mau yakin sama kamu?" Kataku yang sekarang mulai mendekat ke arahnya.

"Sekejam itukah? hingga bermimpi saja mereka takut."

"Mereka bukan takut, hanya realistis."

"Tapi Ri..."

"Kita gak bisa memaksakan kehendak kita, An. Kita di sini hanya pengajar. Tugas kita hanya menunjukan jalan ke mereka, bukan memaksakan kehendak. Kita yang akan membantu membuka mata mereka tentang luasnya dunia. Dan mengenalkan bahwa dunia tidak hanya seluas kampung mereka." Kata ku yang sekarang mulai menatap mata teduhnya.

Sekarang dia diam. Aku tau kau wanita yang penuh dengan semangat yang mengebu-gebu An, tapi  tidak semua hal bisa mengikuti kemauanmu.

"Kamu benar Ri. Semua butuh proses." Sekarang dia mulai membalikan badannya dan menatapku.

"Aku hanya takut.. Aku takut tidak bisa menjadi guru yang baik untuk mereka. Aku ingin mereka lebih baik dari generasi sebelumnya. Tapi aku takut aku tidak mampu untuk itu." Katanya yang sekarang menundukan wajahnya.

Kau selalu begitu, An. Menghakimi dirimu dengan sesukamu. Menjadikan seolah semua masalah adalah salahmu.

"Jangan takut, kamu tidak sendiri di sini. Ada aku, Rifian, dan Bella. Kita sama-sama berjuang di sini." Kata ku

"Benar Ri, aku tidak sendiri hanya..." Sebelum dia menyelesaikan ucapannya. Aku langsung buru-buru memotongnya.

"Aku tau su'udzon itu perlu untuk antisipasi. Tapi setia hal yang kita lakukan tidak akan pernah mulus. Pasti akan ada kendala. Jadi jangan pernah takut pada bayanganmu An. Masalah itu di hadapi bukan di takuti."

"Fahri.. aku entahlah harus bilang apa. Tapi.. terima kasih." Sekarang matanya mulai menatap mataku. -Allah binar itu, begitu indah ditambah lengkung senyum dari mulutnya. Allah aku berlindung padaMu.

Dia masih menatapku dengan senyum. Mungkin itu senyum termanis yang pernah aku lihat. Memang dia tak secantik Bella atau gadis kota yang lainnya.

Mukanya selalu polos tanpa make up. Pakaiannya pun sederhana dan apa adanya. Dia juga gadis yang beda dari gadis lainnya. Tergolong aneh dan semaunya. Tapi itu yang membuatku jatuh cinta.

Sebelum ketahuan bahwa muka ku pun bersemu merah jambu, maka aku langsung buru-buru pergi sambil berkata

"Ketika takut menyergap hatimu ingat Allah selalu bersamamu. Jangan takut, Anna."

Dan aku pun berjalan pergi meninggalkanya sendiri di dalam kelas. Karena saat ini jantungku benar-benar tak jelas bagaimana iramanya. Gadis keras kepala dan kekanak-kanakan itu. Bagaimana bisa dia menempati seluruh ruang di hatiku?

Biarlah semuanya aku yang pendam, bersama perjuangan kita membangun pendidikan di desa kecil ini. Aku hanya bisa berusaha menjagamu, dan mencoba meminimalisir ketakutan-ketakutanmu. Jangan takut Anna, Allah selalu bersamamu dan bersamaku.

To be continue

-Hana Larasati

Rabu, 25 Mei 2016

Anna, apa kita bersaudara?

Peta Masa Depan

"Ada banyak hal yang tidak bisa di jelaskan oleh kata, tapi bisa di wakilkan oleh aksara. Kita contohnya."

Aku hanya saling tatap dengan Fahri. Masih luka hatiku akibat ucapan anak itu. Apa di benak mereka seseram itu untuk sekedar bermimpi?

Aku mencoba mengontrol emosiku. Fahri mencoba menenangkan lewat tatap mata teduhnya.

"Adik-adik, mimpi itu tidak hanya milik anak seorang pejabat, atau kepala desa. Mimpi itu milik kita. Salah jika kalian takut bermimpi hanya karena ayah kalian hanya seorang nelayan." Ucapku.

"Tapi e kakak.. apa mungkin mimpi kita bisa tercapai?" Kata seorang anak dengan tubuh kurus dan kulit sedikit gelap.

"Bisa, jika kalian mau berusaha. Keberhasilan itu milik orang-orang yang mau berusaha." Kata Fahri.

Mereka hanya terdiam tidak yakin. Aku dan Fahri yang melihat respon mereka pun ikut sedih.

"Jangan takut, mimpi itu milik semua orang. Keyakinanlah yang bisa mewujudkan mimpi kita." Kata Fahri mencoba memacu semangat anak-anak.

Untuk mengembalikan dan membangkitkan suasana maka aku pun memiliki ide untuk membuat sebuah permainan.

"Okey, bagaimana jika di hari pertama ini kita bikin peta hidup? Setuju?" Kataku untuk mencairkan suasana.

"E kakak guru, peta hidup itu apa?"

"Jadi, kita tulis di buku masing-masing cita-cita, keinginan dan harapan yang kalian ingin capai. Buat jalurnya. Misalnya, kamu Martinus, kamu ingin jadi pilot terus kamu bikin jalur setelah jadi pilot kamu ingin berkeliling ke seluruh dunia dan seterusnya. Paham?"

"Paham kakak!" Kata mereka serentak.

Sambil menunggu mereka menulis aku dan Fahri berkeliling di ruang kelas. Melihat apa saja yang mereka tulis. Banyak kertas yang masih kosong. Aku bertanya kenapa? Dan jawaban mereka masih sama, mereka bingung harus menulis apa.

Akibat keterbatasan pengetahuan dan desa yang terpencil di pedalaman, jadi hal yang mereka ketahui tak jauh-jauh dari nelayan dan petani.

Tapi kali ini aku dan Fahri sepakat untuk tidak memaksa mereka menulis apa yang kami harapkan.  Biarkan waktu dan kami yang menunjukan apa yang ada didunia luar. Supaya kelak suatu hari ketika mereka ditanya apa cita-cita mereka. Mereka bisa menjawab dengan mantap.

Karena aku selalu percaya bahwa mimpi adalah kunci awal untuk menakhlukan dunia. Jika sekedar bermimpi saja mereka takut, lalu bagaimana caranya mereka bisa berjuang menakhlukan dunia?

Jam menunjukan pukul 13:00 waktu Indonesia bagian timur. Anak-anak pun berhamburan keluar kelas untuk pulang sekolah. Baru hari pertama tapi kesan yang mereka bawa begitu mengena.

Setelah merapikan beberapa buku. Aku duduk terdiam di pinggir jendela kelas. Wajahku di belai oleh angin yang sepoi-sepoi. Sedikit menyejukan di tengah udara panas khas timur.

Mata ku tertuju pada bukit di utara sekolah. Beberapa anak berjalan ke arahnya. Aku tidak berpikir bahwa jarak yang mereka tempuh akan sejauh itu.

Demi ilmu, mereka rela pegal kaki dan badanya. Maka, sunggu kejam sekali jika aku menyianyiakan mereka. Mutiara hitam manisku.

Mungkin sekarang belum, tapi nanti akan aku tunjukan bahwa mereka bisa keluar dari kubangan nelayan dan petani.

Kita akan sama-sama membuat peta masa depan. Di mana dunia kalian akan lebih baik. Kalian adalah pondasi negeri ini. Semuanya bergantung pada kalian. Aku akan membantu semampuku. Itu janjiku!

To be continue

-Hana Larasati

Anna, Apa Kita Bersaudara?

Mata Bulat Anak Sumba

"Setiap anak punya mimpi. Hargai mimpinya. Bantu meraihnya dan jangan cemooh harapannya."

Aku berjalan menyusuri sungai di sebuah perkampungan kecil daerah Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ini bukan perjalanan pertamaku menjelajahi pelosok timur Indonesia. Pernah aku ke sini dan aku selalu ingin kembali.

Timur Indonesia selalu membuat cerita yang ingin aku ulangin membacanya. Bercengkrama dengan masyarakat yang masih kental dengan budaya membuatku selalu rindu menjejakan kaki di sini.

Ekspedisi kali ini aku lakukan bersama ke 3 temanku. Salah satunya adalah asisten dosenku. Kita kesini untuk memberikan sedikit ilmu. Memang kita bukan calon guru. Tapi kita bisa memberikan sedikit ilmu, karena kuncinya hanya satu. Mau. Mau susah, mau repot, dan mau peduli.

Kita tergabung dalam kelompok tanpa nama dan tanpa rencana. Tapi kita satu visi dan misi. Kita perduli terhadap apa yang di alami anak-anak pedalaman. Bagaimana susahnya mencari seorang guru, di saat kemauan belajar mengebu-gebu.

Setelah melewati perjalanan berjam-jam akhirnya sampailah kita pada tempat tujuan. Kita pun meminta izin kepada kepala suku di sana. Awalnya aku khawatir akan di tolak, tapi mereka menyambut dengan baik.

Setelah beristirahat sejenak, kami pun berkeliling di antar warga setempat, untuk menjelajahi sebagian desa.
Setelah puas, kita pun memutuskan untuk melihat sekolah yang nantinya akan menjadi tempat  mengajar kita.

Karena kita sampai di sekolah siang hari, maka kami semua di sambut dengan anak-anak Sumba. Matanya bulat, rambutnya keriting, khas anak-anak Nusa tenggara.

"Hai kawan-kawan! lihat itu kakak guru yang akan mengajar kita e." Kata seorang bocah dengan perawakan kecil dan kurus. Efek dari teriakannya seluruh murid pun berhamburan keluar kelas.

"Assalamualaikum. " sapa ku dan mereka semua hanya terdiam. Bella pun menyikut tanganku dan berbisik.

"Mayoritas anak-anak sini itu non islam An." Katanya sambil menyubit gemas tanganku. Aku hanya tersipu malu.

"Selamat siang adik-adik." Kata Fahri sambil melirik mengejek ke arahku.

"Selamat siang kakakkk. " Ucap mereka serentak.

"Kakak guru datang dari mana e?"

"Kami datang dari Jakarta." Ucap Rifian

"Harus naik burung besi dulu ya kakak sampai ke sini?" Kata salah satu murid dari sekolah itu. Fahri hanya terdiam dan kebingungan.

"Bukan burung besi sayang. Tapi pesawat." Ucapku yang sekarang balas mengejek pada Fahri.

"Ayo semuanya masuk kelas masing-masing." Ucap Bella.

Di sini hanya ada 2 ruangan dengan tingkatan kelas yang berbeda-beda. Tanpa serangam, tanpa sepatu, tanpa tas. Tapi inilah seninya. Karena sekolah hanya bangunan, seragam, sepatu dan tas hanya atribut. Sedangkan ilmu, adalah apa yang mau kita usahakan.

Rifian dan Bella kebagian mengajar di kelas 1 sampai 3. Aku dan Fahri sisanya. Kita mengawali hari pertama dengan perkenalan.

"Hai adik-adik nama saya Maryam Hana Zhafira. Kalian bisa panggil saya Anna. berawalan huruf  'A'." Kataku sambil membuat gerakan tangan yang menyimbolkan huruf A.

"Nama kakak Muhammad Fahmin Gifahri. Kalian bisa panggil Fahri." Kata Fahri sambil membuat gerakan huruf F.

Ada salah satu anak yang mengacungkan tangannya.

"E kakak. Kenapa kita orang harus membuat gerakan macam ular seperti itu." Katanya dengan wajah bingung.

Aku dan Fahri hanya tersenyum menahan tawa.

"Karena dengan membuat gerakan kita akan lebih mudah hafal." Kataku.

"Ayo sekarang giliran kalian yang memperkenalkan diri."

"Nama saya Martinus Fernandes. Orang-orang biasa panggil saya Martinus." Katanya sambil mencoba membuat gerakan awalan huruf namanya. Lama sekali dia bingung mengarahkan tangannya membuat huruf

"E.. kakak saya tidak bisa ini membuat huruf nama saya. Tangan saya malah sakit ini. " Katanya yang sekarang tangannya terlilit satu sama lain.

Aku dan Fahri hanya tertawa di ikuti dengan teman-teman sekelasnya.

"Okey kalau kalian sulit untuk membuat gerakan dari huruf awalan nama kalian. Kalian bisa memperkenalkan diri sambil menyebut cita-cita kalian." Kata Fahri.

Tapi semua hanya terdiam.

"Kalian punya cita-cita kan? Ayo sebutkan cita-cita kalian." Kataku.

"Ayo Martinus sebutkan cita-citamu."

"Saya tidak lunya cita-cita."

"Kenapa?"

"E.. kakak guru ayah saya hanya seorang nelayan. Mana mungkin bisa mewujudkan cita-cita saya." Katanya polos.

Sekejam ini kan negri yang katanya tanah surga hingga mengarang cita-cita pun anak-anak ini harus takut. Aku sangat miris, melihat keadaan ini. Keadaan dimana untuk mengahyal suatu masa depanpun mereka takut. Adanya kita disini untuk ini. Untuk membangkitkan mimpi yang takut walau sekedar di mimpikan. Ini tugas kita.

To be continue.

-Hana Larasati

Minggu, 22 Mei 2016

Menggantungkan Harap

Kadang kita terlalu mengantungkan kebahagian kepada orang lain. Terlalu lama bercengrama bersama sepi menjadi alasan utama.

Saat segala sesuatu di tempatkan pada tempat yang salah, hanya akan ada dua kemungkinan. Hilang atau hancur.

Sebenarnya kita bukan mengantungkan sesuatu hanya melampiaskan sesuatu. Mencoba membuat perasaan lega dengan berpura-pura mengantungkan harap tapi sebenarnya itu adalah alsan untuk melampisakan.

Pada hakikatnya tidak ada yang pantas di gantungkan selain Yang Maha Kuasa. Bagaimana bisa kita mempercayai harap pada sesuatu yang kita sendiri tidak berhak untuk percaya padanya.

Ada masanya seseorang jatuh. Saat harapan mulai menjadi kepingan. Saat itu juga dia bingung harus mencari perlindungan ke mana. Satu-satu nya jalan pulang terbaik adalah bersimpuh di ujung sajadah.

-Hana Larasati

Luka Dari Sahabat

Entah bagaimana aku menceritakannya. Kepalaku serasa penat di hantam kenyataan. Sudah tak terhitung air mata keberapa malam ini yang jatuh.

Awalnya kita bercengkrama seperti biasa. Kau membuat lelucon yang selalu sukses menghiburku. Hingga akhirnya kau bercerita bahwa kau terkena suatu penyakit yang berbahaya.

Aku kira itu hanya kegilaanmu semata. Aku hanya menanggapinya dengan santai. Sampai akhirnya kau benar-benar serius dengan ucapanmu. Aku hanya terdiam menatap layar handponeku. Mengabaikan semua notifikasi yang masuk.

Kini terkuak semua maksudmu selama 3 tahun ini. Kau hanya berpura-pura sehat padahal dalam ragamu tak kuat. Aku hanya terdiam menahan tangis.

Seketika otakku beku. Kau berada jauh puluhan kilo dari tempatku duduk. Di satu waktu yang sama aku ingin memelukmu dan menghajar segala kebodohanmu.

Kau selalu bilang tidak sudi melihat air mataku jatuh. Jadi kita membuat perjanjian yang tak terlulis bahwa jangan ada yang bersedih. Dan akhirnya aku tau makna kata ibuku tentang jangan membuat janji yang tak bisa di tepati.

Aku sedih saat ini. Teman ku yang sudah aku anggap seperti teman hidupku, sakit dan aku tak tau. Walaupun kau bilang tidak apa-apa tapi aku sangat cemas.

Kau tau? Betapa berharganya kau di mataku? Di hidupku. Kau adalah tempat mengadu di saat semua masalah menghantamku. Aku selalu kembali ke dekapanmu saat aku tak kuat mengahadapi sesuatu.

Kau itu pungung untuk menopangku, pundak untuk sandaranku dan tangan untuk mengengamku. Aku selalu bahagia saat di sisimu.

Ingatkah kau saat laki-laki itu mencampakkanku. Kau satu-satunya yang sudi mendengar tangisanku hingga tengah malam.

Kau adalah teman yang selalu menopangku, saat semua orang mengucilkan aku. Entah berapa banyak nyanyianmu yang kau kirim untuk menghiburku.

Kau salah satu, yang berharga di hidupku. Semoga kau selalu sehat dan menjaga kesehatanmu. Teman terbaik.

-Hana Larasati

Senin, 16 Mei 2016

Siapa Saja Yang Pantas di Sebut Guru?

Tema yang menarik, siapa saja yang bisa di sebut guru? Menurut saya siapa saja pantas di sebut guru.

Pada definisi umumnya guru sendiri adalah seorang pengajar. Pengajar tidak hanya di tunjukan kepada orang yang memiliki strata pendidikan tinggi.

Pengajar bisa di tujukan pada siapa saja dan apa saja. Tukang tempe pun bisa di sebut guru, guru kehidupan. Lewat perjalanannya yang tidak mudah ia mencoba bertahan hidup. Pelajaran itulah yang kita dapat darinya.

Menurut saya apa saja yang mampu memberikan pelajaran baik dan berharga pantas di sebut guru. Mengesampingkan derajat pendidikannya dan siapa dia.

Guru buat saya adalah seorang penyampai ilmu dan ilmu bisa di dapatkan dari mana saja.

-Hana Larasati

Sabtu, 14 Mei 2016

Almamater Biru.

Almamater ku mungkin tak setenar punyamu. Universitasku pun begitu. Biasa saja. Malah banyak cemoohan yang menjelek-jelekan kita.

Entah kenapa? Aku juga tidak tau mulanya. Tapi yang aku tau dari sini. Kita bersaudara. Keakraban sangan kental disini.

Jarang ada yang memakai topeng untuk mendapatkan sebuah nilai. Kita apa adanya bukan ada apanya.

Tawa dan canda mengalir begitu saja. Entah dari pengajar atau anak muridnya. Walau banyak yang mengejek kemampuan kami. Tapi kami adalah pekerja keras dan gigih.

Bukanya kecerdasan dan skil akan kalah dengan yang gigih dan pekerja keras. Kami tidak takut di ejek. Karena itu sudah biasa.
Batu mulia pun bisa terjadi karena ada tekanan dan tempaan bukan? Kami pun begitu. Jadi jangan angap kami lemah mulai hari ini. Karena kami beda.

Almamaterku ku gengam bersama harap dan bukti. Semoga bisa jadi yang terbaik, entah disini atau setelah lulus nanti.

-Hana Larasati

Jumat, 13 Mei 2016

Nahkoda Dari Ampera

Setiap orang adalah nahkoda dalam hidupnya. Sebagai nahkoda, dia lah yang bertangung jawab akan di bawa kemana kapalnya berlayar.

Laut memang terlihat bak hamparan permadani luas dan panjang. Tapi dia tidak setenang itu. Badai, ombak, arus dan karang bagai tamu tak diundang yang siap menengelamkan kapal kapan saja.

Siang ini aku melihat lagi anak kecil kumal dengan dandanan punk-nya. Rambutnya panjang dan merah dari pewarna alami sinar matahari.

Dia mengamen di dalam mobil yang aku tumpangi. Entah apa yang dia nyanyikan suranya terdengar samar tanpa intonasi yang jelas, bagai dengungan nyamuk.

Kuping dan hidungnya di tindik. Tangannya pun bertato. Yang membuat ngilu ulu hatiku adalah tidikannya bukan tindikan profesional melainkan tindikan yang entah dari mana wangsitnya. Dia menindik tubuhnya dengan jarum pentul.

Terbesit pemikiran di hatiku, dimana ibunya? Tidak kah lirih melihat anak laki-lakinya seperti itu. Badannya kurus, matanya sayu kurang tidur. Kulitnya gelap dan berantakan.

Dia turun di persimpangan jalan. Aku masih saja memandangnya dari dalam kaca mobil. Dia tertawa dan bersenda gurau dengan teman sepermainannya.

Aku taksir usia mereka sekitar 13 sampai 14 tahun. Usia yang produktif untuk menuntut ilmu dan mengejar cita-cita. Tapi dia malah hidup di jalanan yang keras.
Raut wajahnya mengambarkan tak ada beban di punggungnya. Padahal aku tau bahwa jalanan menyimpan kekejaman yang mungkin  kasap mata.

Aku terus memperhatikan mereka sambil menunggu macet di jalan ampera. Ada seorang anak kecil yang menghampirinya. Tubuhnya kurus juga sepertinya.

Karena angkot ku tak jauh darinya aku pun mendengar percakapan mereka.

"Bang, uli laper." Kata anak kecil tadi kepada pengamen itu. Tak ku sangka ternyata mereka kakak adik.

"Yaudah beli makanan gih." Kata kakaknya sambil memberi uang sepuluh ribu rupiah.

"Abang gak makan?"

"Enggak abang udah kenyang." Tak lama anak kecil itu pun berlalu dan pergi. Teman si pengamen punk itu pun bertanya pada pengamen itu.

"Bukannya dari tadi lu belom makan? Kenyang dari mana? Makan angin lu."

"Iya sih. Tapi yaudah lah biar buat adek gua aja. Kasian baru pulang sekolah doi." Katanya

"Belom makan. Baiarin dia aja yang makan biar kenyang terus pas belajar masuk ke otak. Nanti jadi anak pinter punya masa depan jelas, gak kaya abangnya." Lanjutnya

Aku pun mendengarnya lirih. Dia mengorbankan rasa laparnya demi melihat adiknya kenyang.

Satu harapannya di hari itu adalah adiknya bisa sekolah dengan baik dan punya masa depan yang jelas.

Hampir saja air mataku jatuh di jalan ampera ini. Aku pun berteriak memanggilnya dari dalam mobil.

"Hei, kamu!!" Kataku yang membuat semua mata dalam angkutan ini tertuju padaku.

Pengamen itu pun menghampiriku dengan kebingungan.

"Saya salah apa ya?" Katanya sambil menatapku.

"Enggak. Ini sedikit buat kamu." Aku pun menyerahkan beberapa rupiah kepadanya. Memang tidak banyak jumlahnya tapi semoga bermanfaat buatnya.

"Terima kasih kak." Dia pun tersenyum padaku dan berlalu pergi.

Setiap orang adalah nahkoda. Bukan hanya untuk dirinya tapi untuk keluarganya. Kadang nahkoda harus merelakan sesuatu yang berharga dari dirinya untuk kesejahteraan penumpang dan awak kapalnya. Sama seperti nahkoda kecil ini. Rela menahan lapar supaya adiknya bisa makan.

Ada harapan yang dia gantungkan diam-diam. Aku selalu percaya bahwa setiap anak itu baik, hanya lingkungan dan didikan yang membuat mereka salah langkah.

Semoga apa yang menjadi semogamu di Amiinkan oleh Allah. Karena Allah tidak pernah melihat bagaimana rupa hambaNya atau bagaimana penampilannya tapi Allah melihat hati setiap hambaNya. Dan aku sangat percaya kamu adalah anak yang baik hatinya.

-Hana Larasati

Kamis, 12 Mei 2016

Bersatu Untuk Harga Diri

Sangat miris ketika melihat berita beberapa minggu ini. Entah kenapa seperti di tarik lagi ke zaman jahiliyah. Dimana harga diri wanita di jatuhkan serendah-rendahnya.

Belum lupa dengan kasus YY yang dengan keji di lecehkan oleh 14 orang dan di bunuh. Mirisnya pelaku adalah anak-anak di bawah umur, yang semestinya fokus menuntut ilmu dan mengejar cita-cita.

Entah siapa yang harus di salahkan pada saat ini. Didikan orang tua kah atau lingkungan sosial. Yang pasti Indonesia sudah masuk darurat kejahatan sex.

Sangat miris ketika Indonesia  yang semua orang tau adalah negara yang terkenal dengan tatakrama dan sopan santunnya. Di saat ini malah menjadi salah satu negara dengan darurat sex tertinggi.

Saya rasa antisipasi dan pencegahaan perlu adanya. Apa lagi untuk kaum perempuan yang paling banyak menjadi korban.

1. Kenalkan Sex Pada Anak Sejak Dini.

Menurut saya ini sangat penting karena dengan mengenalkan sex pada anak sejak dini itu bisa menjadi tameng untuk anak. Memang agak kurang nyaman ketika kita membicarakan sex pada anak di karenakan mainset tentang "saru". Tapi kalau informasi tersebut selalu di tutup-tutupi malah akan menjadikan ketidaktahuan yang memunculkan masalah di kemudian harinya.

Ajarkan secara perlahan. Mulai dari  bagian dari tubuh apa saja yang tidak boleh di sentuh oleh orang lain. Ajarkan bagaimana caranya bersikap pada orang terutama lawan jenis. Karena pendalam materi saat kecil sangat berpengaruh pada kehidupan kedepannya.

2. Awasi

Awasi hal-hal yang menyangkut tentang anak. Bukan protectif hanya waspada. Kenali gejala penyimpangan pada anak. Cari tau dan tanyakan kenapa.

Komunikasi yang baik mampu membantu tumbuh kembang anak. Baik secara mental, emosi, dan jiwa.

3. Jaga diri.

Memang hak setiap orang untuk berpakaian, memilih pakaian yang di gunakan, atau bagaimana memakainya. Toh kejahatan sex juga tidak hanya bersumber dari penampakan pakaian yang terlihat.

Tapi alangkah lebih baiknya jika kita mencegah, dengan berpakaian yang sopan dan tidak memancing.

Gunakan pakaian yang sopan supaya terhindar dari hal-hal yang tidak di inginkan walaupun memang tidak hanya pakaian yang jadi penyebabnya.

Sebagai generasi masa depan, ayo kita perbaiki moral yang sudah mulai rusak. Terus gencarkan pendidikan sex. Jangan jadi generasi yang buta. Demi masa depan yang lebih baik. Ayo kita bersatu. Tidak hanya hari ini tapi esok, lusa dan entah kapan. Semoga semakin baik kedepannya. Aamiin.

-Hana Larasati

Rabu, 11 Mei 2016

Abstrak

Entahlah kenapa Allah memilihmu untuk ada di di hatiku. Yang aku sadar sepenuhnya. Apa yang melambung-lambung pasti akan jatuh. Entah jatuh patah hati atau jatuh hati. Sadar diri itu aku rasa perlu untuk saat ini.

Walaupun buatku cinta itu reaksi, bukan ekspektasi. Tapi dalam cinta juga harus di sisipkan ruang untuk patah hati. Karena cinta juga antisipasi.

Ketika seseorang jatuh cinta saat itu juga orang itu sedang di uji. Di uji hatinya lebih condong ke ciptaanNya atau Penciptanya.

Setelah tiga tahun akhirnya merasakan perasaan ini lagi. Bagaimana senangnya menunggu, walau yang di dapat hanya sekedar gema.

Aku tidak tau apa dia laki-laki yang baik atau sama saja seperti yang lainnya. Karena kita tidak bisa memilih dengan siapa kita jatuh cinta. Karena cinta sifatnya random. Tapi kita bisa memilih mana yang pantas dan tidak pantas di perjuangkan.

-Hana Larasati

Sabtu, 07 Mei 2016

Tahajud.

Malam ini aku mengadukan segala keluh kesah keadaan. Merapal doa dalam sujud panjang. Bercengkrama dengan Tuhan lewat tasbih dan dzikir.

Entah kenapa mataku selalu saja berair ketika menghadapNya. Ada saja penyesalan yang membuat aku memohon ampun padaNya.

Aku berbisik dengan pelan. Aku berbicara pada Tuhan.

"Allah, saat ini hambaMu sedang jatuh cinta pada makhlukMu. Orang itu tak mengenal hamba. Hamba pun jarang menyapanya. Hanya melihat dari kejauhan dan diam diam tersenyum. Hamba tau kalau ini salah. Maka lindungi hamba dari murkaMu Allah. Hamba memohon ampun padaMu."

Kata itu terucap saja dari mulutku. Bak anak kecil yang mengadukan kesalahannya pada ibunya. Berharap agar ibunya tak marah dengan apa yang di lakukannya.

Ketika selesai menunaikan solat. Aku pun berbalik dan melihat sesosok makhluk yang berdiri tepat di belakangku. Entah sejak kapan dia di situ.

"Sejak kapan?" Kataku padanya.

"Sejak tadi." Dia masih saja berdiri di pinggir pintu.

"Apa kamu mendengar semuanya?"

"Kurang lebih iya."

Deg. Jantungku langsung tak jelas iramanya. Aku menundukan pandanganku dan terdiam.

"Ada apa?"

"Tidak apa-apa. Aku hanya malu. Pasti di matamu sekarang aku terlihat seperti anak kecil."

"Iya. Tapi aku suka. Aku suka kepada orang yang ketika jatuh cinta dia melibatkan Tuhan di dalamnya."

Wajahku pun bersemu merah jambu. Aku tidak tau apa aku harus senang atau sedih dengan keadaan ini.

Laki-laki itu menatap mataku dan aku hanya tertunduk. Dalam hatiku berkata -Allah orang yang aku adukan padaMu sekarang tepat di depanku. Ya Allah aku berlindung padaMu. Aamiin.

"Kamu selalu melakukan ini?" Dia bertanya padaku sembari duduk di musolah kecil dalam vila ini.

Anak kampus memang sedang mengadakan acara liburan semester. Beberapa kelas di gabung untuk mengakrabkan suasana. Kebetulan kelasnya dan kelasku satu acara.

"Iya." Kataku singkat sambil melipat mukena bekas solat.

"Bukannya tidak ada dosa jika meninggalkannya?"

"Tidak hanya sayang saja bila di tinggalkan."

"Kenapa?"

"Solat tahajud itu seperti anak panah. Yang melesat langsung ke tujuannya."

"Lalu apa tujuanmu? Cinta laki-laki itu?"

"Bukan. Ridho Tuhanku."

Dia hanya terdiam mendengarkan jawabanku.

"Kenapa kau tak meminta Tuhan agar menjadikan dia jodohmu?"

"Kita tidak boleh mengetag seseorang. Karena itu menutup jalan bagi orang yang lebih baik yang datangnya belakangan."

"Tapi bukannya doa itu menganulir takdir?"

"Iya benar tapi.. sudahlah toh buatku cinta itu reaksi bukan ekspektasi."

Dia pun terdiam menatapku. Lalu bangkit dari tempat duduknya.

"Mau kemana?"

"Mau ambil wudhu, terus solat supaya mendapat ridho Allah."

Aku hanya tersenyum dan bangkit. Meninggalkanya.

Jumat, 06 Mei 2016

Seniman kecil

Wajahku di terpa angin malam yang dingin. Mungkin ini pertama kalinya aku menyambut malam di luar ruangan sendiri.

Aku meniti setiap jalan yang aku lewati. Sesekali tersenyum pada seniman kecil yang bernyanyi dalam bis tua yang reyot ini.

Dari beberapa anak yang bernyanyi, mataku tertuju pada satu anak. Anak yang paling kurus dari anak yang lainnya. Bajunya kumal dan kotor. Rambutnya merah dan keriting.

Dia hanya diam saja sambil memegang perutnya. Karena jaraknya tak terlalu jauh dariku aku pun memberanikan diri untuk bertanya.

"Kamu lapar? Kakak punya roti kamu mau gak?" Kataku sambil mengulurkan roti pada anak itu.

Dia hanya memandangku. Tatapannya malu. Aku pun coba meyakinkannya.

"Ini ambil aja terus di bagi ke teman-teman kamu." Kataku sambil tersenyum.

Dia pun mengambilnya. Tapi matanya tetap saja menatap mataku.

"Ada apa?"

"Aku orang kristen." Katanya yang mengenal agama ku dari jilbab merah panjang yang aku kenakan.

"Lalu kenapa?"

"Apa tidak apa-apa kakak memberi makanan padaku?"

Aku hanya tertawa kecil sambil mengusap rambutnya yang ikal dan kemerahan.

"Setiap manusia itu wajib saling tolong menolong. Tidak perduli apa agamanya, sukunya, warna kulit, dan statusnya."

Dia hanya memandangku.

"Sini duduk, tujuan kamu kemana?"

"Lebak bulus kak."

"Yaudah duduk dulu. Ini baru di fatmawati, macet lagi. Lumayan kalo berdiri sambil nunggu ke lebak bulus."

Dia pun ragu untuk duduk karena kenek bis dari tadi terus melihat kami.

"Nanti saya yang bayar ongkos adik ini." Seraya memberikan uang kepada kenek bis.

Semakin lama semakin banyak penumpang yang naik. Ada seorang ibu tua yang tidak mendapatkan tempat duduk maka terpaksa dia harus berdiri.

Aku pun bangkit dan menyerahkan kursiku pada ibu itu. Ibu itu langsung duduk tanpa berkomentar apa-apa.

Seniman kecil yang dari tadi di sampingku pun ikut bangun.

"Udah kamu duduk aja. Gapapa."

"Tapi kakak berdiri."

"Kakak kan udah gede jadi gapapa kalau berdiri kamu kan masih kecil."

Dia pun menurutiku. Dia kembali duduk di tempatnya. Tak berapa lama ibu tua itu pun turun. Seniman kecil itu pun bertanya.

"Kakak kok gak marah?"

"Marah kenapa?"

"Kakak tadi ngasih bangku ke ibu tua itu tapi ibu itu gak bilang makasih."

"Menolong itu sama kaya kita memanah. Pemanah gak akan mengharapkan anak panahnya kembali kan sama dia? Begitu juga menolong gak boleh mengharapkan balasan."

"Tapi ibu itu gak menghargai kakak."

"Biar Allah saja yang menghargai apa yang kakak kerjakan. Kakak gak perlu penilaian manusia."

"Nama kakak siapa?"

"Hananing. Kamu?"

"Martinus."

Tak berapa lama sampailah kita pada tujuan. Bis berhenti di terminal lebak bulus. Dengan berakhirnya perjalanan berakhirlah percakapan saya dan pengamen kecil itu. Kita pun berpisah di terminal. Dia melambaikan tangan sambil berucap terima kasih. Aku hanya menganguk dan tersenyum.

Pelajaran yang saya dapat kali ini, dakwah tidak hanya di sampaikan pada yang seiman, sesuku, atau sebangsa. Dakwah adalah pelajaran yang baik, dan setiap hal yang baik harus di sebar luaskan. Tak pandang siapa orangnya. Karena Allah juga tak pandang kapan dia akan memberikan hidayahNya. Sampaikanlah walau satu ayat.

-Hana Larasati

Kamis, 05 Mei 2016

Aku Harus Apa Ya Rabb?

Aku mencoba memalingkannya, namun semua itu malah semakin nyata.

Aku sadar sepenuhnya bahwa aku sudah sangat salah dalam hal ini. Entah apa yang akan aku katakan pada Rabbku.

Hati yang bisanya tertutup rapi kini tak bisa di kendali.

Aku malu akan sikap ku ini pada Tuhan. Aku takut jika cinta ini akan jadi berhala.

Aku memang tak sebersih Maryam. Tapi bukan begini.

Harusnya aku memenjarakannya dalam batas sepi. Dan hanya aku dan Rabbku saja yang tau.

Sesak dan penat mengelayuti nuraniku. Di satu sisi aku takut akan kecemburuan Rabbku. Tapi di sisi lain semua ini di luar kapasitasku. Aku tak bisa mencegahnya.

Aku harus apa Ya Rabb? Saat seberkas cahaya ini datang? Aku hanya seorang wanita yang sedang belajar untuk menjadi muslimah yang baik.

Wanita yang sedang belajar membedakan yang salah dan yang benar. Aku hanya mengikuti syariat islam. Tapi tidak munafik bahwa aku mencintainya. Aku harus apa Rabb?

Allah save my heart like you save my life. Aamiin.

-Hana Larasati

Rabu, 04 Mei 2016

Izinkan Aku Mencintaimu Bersama Allah

Allah, hari ini aku merasakan perasaan itu lagi. Perasaan yang sempat aku lupa bagaimana rasanya.

Debar siang itu menyadarkan bahwa ada sesuatu yang berbeda saat aku di dekatmu. Mendapati mu selewat dalam hariku adalah kebahagian yang aku bingung bagaimana menerjemahkannya.

Laki-laki yang hanya berani aku pandang punggungnya saja. Kini berdiri di hadapanku.

Dia masih sama, tinggi dan tidak gemuk tidak juga kurus. Rambutnya pun sama terurai sebahu dan bergelombang rapi.

Aku hanya bisa menunduk ketika di hadapannya. Kau tau Tuan, ketika di dekatmu rasanya dadaku sesak sangking senangnya.

Aku tidak mungkin meluapkan perasaan senangku. Terlebih kepadamu. Aku suka menikmati perasaan ini sendirian. Walaupun aku juga tidak munafik aku mengahrapkan kau merasakan hal yang sama.

Tapi.. ah sudahlah. Untuk saat ini biarlah begini saja alurnya. Aku suka. Kau tak perlu tau  jadi aku tak perlu repot-repot bersikap padamu.

Tuan, mungkin kau tak mengenalku. Tapi aku selalu memperhatikanmu. Sudah hampir 2 semester ini aku diam-diam memperhatikanmu.

Jangan risih Tuan, karena aku tak menuntut apa pun darimu. Aku pun tak menginginkan kau untuk tau.

Tapi ada yang aku risaukan. Aku takut Allah akan cemburu sebab cintaku padamu. Karena aku tau, rasa ini salah dimata Tuhan. Perasaan yang semestinya di simpan untuk suatu masa yang baik.

Banyak hal yang sudah aku langgar semenjak perasaan ini ada. Salah satu pelanggaran yang aku buat adalah yang harusnya aku menundukan pandanganku kepadamu tapi aku malah mencuri-curi pandang saat kau ada di dekatku.

Saat ini yang bisa aku lakukan hanyalah. Aku memohon perlindungan pada Allah atas segala perasaan ini. Semoga dengan adanya kau dapat memperbaiki urusan dunia dan akhiratku.

Bukanya tujuan manusia hidup adalah mencari ridho Allah? Izinkan aku mencintaimu bersama Allah. Semoga perasaan ini tetap pada jalan yang di ridhoiNya. Aamiin.