Rabu, 25 Mei 2016

Anna, Apa Kita Bersaudara?

Mata Bulat Anak Sumba

"Setiap anak punya mimpi. Hargai mimpinya. Bantu meraihnya dan jangan cemooh harapannya."

Aku berjalan menyusuri sungai di sebuah perkampungan kecil daerah Sumba, Nusa Tenggara Timur. Ini bukan perjalanan pertamaku menjelajahi pelosok timur Indonesia. Pernah aku ke sini dan aku selalu ingin kembali.

Timur Indonesia selalu membuat cerita yang ingin aku ulangin membacanya. Bercengkrama dengan masyarakat yang masih kental dengan budaya membuatku selalu rindu menjejakan kaki di sini.

Ekspedisi kali ini aku lakukan bersama ke 3 temanku. Salah satunya adalah asisten dosenku. Kita kesini untuk memberikan sedikit ilmu. Memang kita bukan calon guru. Tapi kita bisa memberikan sedikit ilmu, karena kuncinya hanya satu. Mau. Mau susah, mau repot, dan mau peduli.

Kita tergabung dalam kelompok tanpa nama dan tanpa rencana. Tapi kita satu visi dan misi. Kita perduli terhadap apa yang di alami anak-anak pedalaman. Bagaimana susahnya mencari seorang guru, di saat kemauan belajar mengebu-gebu.

Setelah melewati perjalanan berjam-jam akhirnya sampailah kita pada tempat tujuan. Kita pun meminta izin kepada kepala suku di sana. Awalnya aku khawatir akan di tolak, tapi mereka menyambut dengan baik.

Setelah beristirahat sejenak, kami pun berkeliling di antar warga setempat, untuk menjelajahi sebagian desa.
Setelah puas, kita pun memutuskan untuk melihat sekolah yang nantinya akan menjadi tempat  mengajar kita.

Karena kita sampai di sekolah siang hari, maka kami semua di sambut dengan anak-anak Sumba. Matanya bulat, rambutnya keriting, khas anak-anak Nusa tenggara.

"Hai kawan-kawan! lihat itu kakak guru yang akan mengajar kita e." Kata seorang bocah dengan perawakan kecil dan kurus. Efek dari teriakannya seluruh murid pun berhamburan keluar kelas.

"Assalamualaikum. " sapa ku dan mereka semua hanya terdiam. Bella pun menyikut tanganku dan berbisik.

"Mayoritas anak-anak sini itu non islam An." Katanya sambil menyubit gemas tanganku. Aku hanya tersipu malu.

"Selamat siang adik-adik." Kata Fahri sambil melirik mengejek ke arahku.

"Selamat siang kakakkk. " Ucap mereka serentak.

"Kakak guru datang dari mana e?"

"Kami datang dari Jakarta." Ucap Rifian

"Harus naik burung besi dulu ya kakak sampai ke sini?" Kata salah satu murid dari sekolah itu. Fahri hanya terdiam dan kebingungan.

"Bukan burung besi sayang. Tapi pesawat." Ucapku yang sekarang balas mengejek pada Fahri.

"Ayo semuanya masuk kelas masing-masing." Ucap Bella.

Di sini hanya ada 2 ruangan dengan tingkatan kelas yang berbeda-beda. Tanpa serangam, tanpa sepatu, tanpa tas. Tapi inilah seninya. Karena sekolah hanya bangunan, seragam, sepatu dan tas hanya atribut. Sedangkan ilmu, adalah apa yang mau kita usahakan.

Rifian dan Bella kebagian mengajar di kelas 1 sampai 3. Aku dan Fahri sisanya. Kita mengawali hari pertama dengan perkenalan.

"Hai adik-adik nama saya Maryam Hana Zhafira. Kalian bisa panggil saya Anna. berawalan huruf  'A'." Kataku sambil membuat gerakan tangan yang menyimbolkan huruf A.

"Nama kakak Muhammad Fahmin Gifahri. Kalian bisa panggil Fahri." Kata Fahri sambil membuat gerakan huruf F.

Ada salah satu anak yang mengacungkan tangannya.

"E kakak. Kenapa kita orang harus membuat gerakan macam ular seperti itu." Katanya dengan wajah bingung.

Aku dan Fahri hanya tersenyum menahan tawa.

"Karena dengan membuat gerakan kita akan lebih mudah hafal." Kataku.

"Ayo sekarang giliran kalian yang memperkenalkan diri."

"Nama saya Martinus Fernandes. Orang-orang biasa panggil saya Martinus." Katanya sambil mencoba membuat gerakan awalan huruf namanya. Lama sekali dia bingung mengarahkan tangannya membuat huruf

"E.. kakak saya tidak bisa ini membuat huruf nama saya. Tangan saya malah sakit ini. " Katanya yang sekarang tangannya terlilit satu sama lain.

Aku dan Fahri hanya tertawa di ikuti dengan teman-teman sekelasnya.

"Okey kalau kalian sulit untuk membuat gerakan dari huruf awalan nama kalian. Kalian bisa memperkenalkan diri sambil menyebut cita-cita kalian." Kata Fahri.

Tapi semua hanya terdiam.

"Kalian punya cita-cita kan? Ayo sebutkan cita-cita kalian." Kataku.

"Ayo Martinus sebutkan cita-citamu."

"Saya tidak lunya cita-cita."

"Kenapa?"

"E.. kakak guru ayah saya hanya seorang nelayan. Mana mungkin bisa mewujudkan cita-cita saya." Katanya polos.

Sekejam ini kan negri yang katanya tanah surga hingga mengarang cita-cita pun anak-anak ini harus takut. Aku sangat miris, melihat keadaan ini. Keadaan dimana untuk mengahyal suatu masa depanpun mereka takut. Adanya kita disini untuk ini. Untuk membangkitkan mimpi yang takut walau sekedar di mimpikan. Ini tugas kita.

To be continue.

-Hana Larasati

2 komentar:

  1. Haai mba Hana. Maaf sebelumnya, Lombok itu masih Indonesia bagian tengah loh mba bukan pelosok timur hehe :3 dan setau saya gaya bahasanya juga bukan seperti diatas karena mereka bersuku Sasak. Rata-rata di Lombok ya setau saya kebanyakan beragama Islam dan Hindu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Beginilah kalo sotoy hanya bermodalkan kepo dari ig gebetan hahah. Terima kasih Uni Bungga.😁

      Hapus