Selasa, 30 Agustus 2016

Pamit

" Izinkan aku pergi dulu
Yang berubah hanya
Tak lagi kumilikmu
Kau masih bisa melihatku
Kau harus percaya
Kutetap teman baikmu "

-Pamit (Tulus)

Sudah hampir lima kali aku putar lagu itu di dalam handphone.

Kau menatapku ragu dari tempat dudukmu. Kita terdiam cukup lama. Mungkin kita sibuk dengan pikiran masing-masing.

Sampai jam menunjukan pukul 10:00 salah satu dari kita tidak ada yang mau menjelaskan apa pun. Ruangan pun seakan di buat mendingin.

"Pamit." Kau menyeringai ketika melihat playlist laguku.

Aku masih terdiam. Mungkin dinginnya hujan yang membuatku diam, atau adanya kamu?

Dia hanya tersenyum menatap mukaku muram. Sesekali membalik lembar catatannya dan menatapku lagi.

"Lu mau dia bawain apa dari gunung Han?" Kata temanku yang ada di dalam kelas juga.

Aku tersenyum lemah menghadapnya.

"Bawa pulang dia dengan selamat."

Mereka hanya tertawa.

"Kakak Andro mah strong gak usah di khawatirin." Kata Kamil

"Tuh. Aku mah kuat kaya superman."

Aku semakin sebal dengan jawabannya.

"Kan sekarang musim hujan. Nanti kalo longsor gimana?" Kataku menatap ke arahnya.

"Bukannya kemarau ya?" Kata Dio.

"Di rumah gua setiap hari hujan." Kataku polos.

"Itu karena rumah kamu di kota hujan." Katanya tertawa.

"Andromeda, udah biasa naik gunung Han. Gak usah khawatir." Kata Nuri menenangkan.

"Tapi..." kataku.

Sebelum aku bisa meneruskan ucapanku dia langsung mengeser 2 bangku yang dari tadi menjadi sekat antara kita.

"Ketakutanmu cuma sebatas pemikiranmu."

Aku hanya tersenyum.

"Kita berangkat jam berapa sih Ndro?"

"Dari sini habis dhuhur aja Mil." Katanya kepada temannya.

"Semuanya udah lengkap?" tanyaku kepadanya.

Dia memeriksa tasnya.

"Baju, jaket, obat, makanan, kaos kaki, minum, tenda.." katanya sambil melihat-lihat tasnya.

Aku memperhatikan dengan seksama. Sampai akhirnya dia berbicara lagi.

"Wah kurang satu lagi nih."

"Apa?"

"Kamu.  Buruan masuk ke tas."

"Tau ah. Serius."

"Udah Han."

"Tanda pengenal udah?"

"Ada nih. Andromeda Fahri, tanggal lahir 28 Maret 1995. Status belum menikah. Pekerjaan jagain Hana." Katanya sambil membaca kartu mengenalnya.

"Ciyeeeee." Serempak teman-temanku menyoraki kami.

Aku hanya tertawa.

Tak lama adzan dhuhur berkumandang. Dia dan teman-temannya bersiap ke musolah kampus untuk menunaikan solat dhuhur.

Aku dan Nuri yang memang berhalangan memutuskan untuk ke kantin. Di perjalanan menuju kantin, kami bertemu dengan seorang perempuan yang menurutku dia junior. Karena mukanya asing.

"Kalo cuma temenan jangan di atur-atur banget lah." Katanya melengking.

Aku yang tidak merasa kata-kata itu untukku berjalan saja dan mengabaikannya.

"Naik gunung aja gak boleh, harusnya mendukung dong." Dia mulai lagi.

Aku tetap diam. Buatku selama dia tidak menyebut namaku itu bukan untukku.

"Mentang-mentang senior dan seangkatan kak Andro gak usah belagu."

Kali ini aku berbalik. Aku yakin kata-kata itu untukku.

"Maaf, kamu itu siapa?" Kataku (mencoba) sopan kepadanya.

Dia terdiam sesaat.

"Gua, yang deket sama kak Andro."

"Terus atas dasar apa kamu bilang kaya gitu?" Kataku mencoba menekan amarahku.

"Atas dasar gua gak suka lu ngatur-ngatur kak Andro."

"Aku gak ngatur Andro."

"Lu kan yang nyuruh kak Andro gak naik gunung. Asal lu tau ya, selama kak Andro sama lu dia juga deket sama gua."

"Mana ada sih cowok yang mau diatur-atur. Dia pasti lebih milih cewek yang ngasih dia kebebasan." Lanjutnya

Aku menarik nafas panjang dan berlalu pergi menghiraukannya. Tapi dia menarik tas selempangku. Nuri yang kaget pun berbicara.

"Eh, lu maunya apa sih? Lu tuh cuma junior gak usah banyak tingkah deh. "Katanya emosi.

"Gua mau, dia jangan deket-deket Andro!" Katanya melengking sambil menunjuk ke arahku.

"Lu siapa!" Kata Nuri lebih tinggi.

Kamil datang tepat waktu sebelum terjadi pertikaian yang makin besar. Dia sedikit berlari menghampiri kami.

"Ada apa ini?!"

"Itu kak dia nyolot!" Kata perempuan itu.

"Eh ngaca, yang mulai duluan siapa!"

"Udah, udah. Nuri, lu kan senior di sini kasih contoh dong ke yang junior."

"Tapi yang di kasih contoh gak punya otak Mil!" Kata Nuri sarkas.

"Kenapa sih awalnya?"

"Itu dia ngata-ngatain Hana. Ngaku-ngaku jadi pacar Andro lagi. Gak tau malu."

"Yaudah jangan berantem. Bubar.. bubar. Kalian mau nanti, kalo ketauan dosen di kasih SP?"

Kami pun akhirnya bubar. Kamil menemaniku dan Nuri, ke sebuah kelas kosong di lantai 1.

"Kamu ngapain sih Mil belain dia." Kata Nuri masih emosi.

"Aku bukan belain dia Nur, tapi aku ngelindungin kamu sama Hana. Kalian udah semester 7 sedikit lagi wisuda. Emang mau di kasih SP cuma karena masalah beginian?" Kata Kamil menenangkan. Sekedar informasi Kamil adalah pacarnya Nuri.

"Iya Mil, lu bener. Makasih ya." Kataku. Tapi Kamil sepertinya tau bagaimana perasaanku mengingat raut wajahku yang berubah.

"Dia bukan siapa-siapanya Andro, Han."

"Gua cuma heran kalo bukan siapa-siapanya kenapa dia bisa sepede itu?"

"Kamu mah Han, perempuan kaya gitu di dengerin." Kata Nuri.

"Dia bisa pede mungkin karena Andro pernah boncengin dia Han. Tapi percaya aja sama Andro. Gua yang tau dia. Dia sayang lu Han." Kata Kamil.

Tak lama Andro datang menemuiku. Nuri dan Kamil memberi jarak untukku dan Andro berbicara.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Dia terdiam. Aku juga.

"Udah solat kan? Yaudah siap-siap sana yang mau pergi. Hati-hati ya." Kataku mencoba tersenyum.

"Jangan mikirin. Itu gak bener."

"Suatu hari yang bener dan salah pasti kebongkar."

"Ayok ikut aku." Katanya seraya berdiri

"Kamu mau apa?"

Dia hanya terdiam.

"Kamu mau apa Andro."

"Tabayun. Kita ketemu sama anak itu. Kamil sama Nuri ikut ya." Katanya sambil menoleh ke arah Kamil dan Nuri.

Akhirnya aku menurut. Aku mengengam erat tangan Nuri.

"Jangan takut. Andro bela kamu."

"Itu yang aku takutin. Karena Andro selalu belain aku. Aku takut dia semena-mena."

"Hahaha Andro gak sejahat itu Han."

Sampailah kita pada tempat pertikaian tadi. Andro melihat perempuan itu dan memanggilnya.

"Bin. Sabrina sini." Kata Andro.

Perempuan itu pun berjalan mendekat. Aku sulit menerjemahkan raut wajahnya. Antara senang dan waswas.

"Ada apa kak?" Katanya.

"Kamu tadi ngomong apa ke Hana sama Nuri?"

"Enggak kak. Cuma bilangin dia jangan suka ngatur-ngatur kakak."

"Hana gak pernah ngatur-ngatur aku."

"Tapi dia gak ngebolehin kakak naik gunung."

"Kata siapa? Hari ini aku mau berangkat mendaki sama Kamil ke Semeru."

Dia hanya terdiam.

"Satu lagi. Aku gak pacaran dan aku gak punya pacar." Kata Andro tegas menatapnya.

"Aku punyanya temen dan temen hidup kalo beruntung." Lanjut Andro sambil menatapku dan tersenyum.

Sekarang dia benar-benar terdiam. Aku, Andro, Kamil, dan Nuri pun pergi meninggalkanya.

Karena sudah pukul 14:00 aku dan Nuri mengantar Andro ke mobil ayahnya.

"Keretanya berangkat jamberapa?" Kataku.

"Jam 5 atau setengah 6. Tapi kan trafic jadi dari sekarang aja."

"Hati-hati." Kataku sebelum dia masuk ke mobilnya.

"Itu kata-kata ke 2134 yang aku denger hari ini." Katanya

Aku hanya tertawa.

"Gak ada yang boleh nyakitin kamu Han. Gak ada."

"Makasih." Kataku

"Tapi kamu pernah boncengin dia ke kampus kata Kamil." Lanjutku.

"Waktu itu macet parah Han dan lagi UAS." Katanya.

"Tidak mencintai bukan berarti harus membencikan?" Lanjutnya.

Aku tersenyum.

"Yaudah masuk sana. Nanti ketingalan kereta lagi." Kataku.

"Aku naik naga."

Dia pun berlalu pergi aku dan Nuri melambaikan tangan mengantar kepergiannya.

Berdiskusi adalah cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Dan memendam bukan solusi dalam menghadapi masalah.

Hati-hati di jalan Andromeda. Sampaikan salam dariku untuk semeru.

-Hana Larasati






Minggu, 28 Agustus 2016

Kado Ulang Tahun.

Aku seperti di seret waktu menuju alam yang berbeda. Untuk pertama kalinya aku keluar dari zonaku.

Tak ada gedung, tak ada asap, tak ada mobil, tak banyak peradaban. Hanya ada pohon, hutan, air, dan kamu.

Takjub. Satu kata yang mewakilkan semuanya. Saat lidah tak bisa mengartikan rasa.

Ternyata ini kejutanmu sebelum meninggalkanku pergi bersama kawananmu. Kau selalu ingat setiap kata dan harapan yang dengan tidak sengaja aku ucapkan.

Seperti saat aku berkhayal.

"Ada gak ya, naik gunung tapi gak pakai mendaki."

"Kamu naik elang aja Han. Hahah."

Atau yang ini, ketika dia memasang foto di puncak merbabu tahun lalu.

"Aku mau kesituuuuuu."

"Emang boleh naik-naik ke puncak gunung tinggi-tinggi sekali?"

"Boleh. Kalo aku kuat!"

"Kalo gak kuat?"

"Naik gojek."

"Weh, gak ada woyy!"

"Yaudah naik kamu."

"Tak gendong kemana-mana~" katanya sambil bernyanyi.

11:58

Di bawah atap teduh langit Bogor. Kita pergi tanpa rencana. Dia membawaku ke jalan arah Bogor kota.

"Kita mau kemana sih?"

"Kan katanya mau ke Nurul."

"Tapi kok lewat Bogor?"

"Gapapa biar jauh."

"Kurang kerjaan."

"Dari pada kurang waras hahaha." Katanya.

Aku juga tertawa.

"Nanti kalau Nurul nanya, bilang kita habis dari Mesir." Lanjutnya

"Biar apa bilang gitu?"

"Biar gak percaya hahaha."

Aku pun tertawa lagi.

Jalan yang kami lalui semakin lama semakin asing. Gunung salak seakan dekat dengan jangkauan. Banyak sawah dan perkebunan di samping kanan kiri.

"Kita mau kemana sih?"

"Ke Nurul."

"Bukan ini jalannya. Kamu mau nyulik aku ya?"

"Hih ngapain. Kamu makannya banyak."

"Enak aja. Enggak tau!"

Setelah satu setengah jam lebih. Akhirnya aku tau kita kemana. Kita ke taman nasional halimun salak.

Suasana sejuk khas pengunungan menyambut paru-paruku. Pohon-pohon yang tinggi dan beberapa jenis pakis pakisan menambah eksotis gunung ini.

"Kamu kok tau........"

"Aku juga tau kok tanggal lahir kamu." Katanya memotong kalimatku.

Kemudian dia memberhentikan motornya di area hutan pinus. Aku pun masuk ke area hutan dan langsung mengisi paru-paruku dengan oksigen sebanyak-banyaknya.

Ketika aku sedang asik mengagumi ciptaan Tuhan. Dia berjalan mendekat ke arahku.  

" Selamat ulang tahun." Katanya.

"Udah lewat!"

"Bulannya kan belum."

Aku hanya tertawa.

"Ini kado buat kamu. Sengaja bukan barang. Kamu kan orangnya gak mau di kasih apa-apa."

Aku hanya tertawa.

"Kita ke gunung, versi kamu. Tanpa capek dan tanpa dingin banget. Jadi kamu aman, gak akan sakit dan alergi."

"Makasih." Ucapku terpana olehnya dan ciptaan Tuhan yang Maha Agung.

"Aku sekarang jadi tourguide kamu!" Katanya.

"Siap pak!"

"Kita ke curug mau? Harus mau! Kalo enggak pulang jalan kaki."

"Apa-apaan ini ngasih pilihan tapi tidak memperbolehkan memilih?!" Kataku sambil tertawa.

Kita pun kembali melanjutkan perjalanan. Di atas motor dia berbicara bagai tourguide profesional.

"Ini namanya pohon." Katanya.

"Ohh." Kataku seperti manusia yang belum pernah melihat pohon.

"Kalau yang ada airnya itu namanya sungai."

"Bukan got ya pak?"

"Bukan. Got yang airnya hitam. Kalau yang airnya jernih namanya sungai. Kalau yang cantik namanya Hana."

Aku hanya tertawa. Setelah menempuh perjalanan yang mengasikan kita pun sampai pada tujuan.

Di sini terdapat banyak air terjun. Tapi kita pilih yang paling tinggi. Curug kondang atau orang-orang menyebutnya curug ngumpet 2.

Terdapat sungai yang cukup lebar di sepanjang jalan menuju curug. Dihiasi dengan batu-batu kali dan di apit oleh tebing batu yang berselubung pohon.

"Kita naik-naik ke puncak curug pakai tangga. Tenang gak tinggi-tinggi sekali kok." Katanya.

"Siap. Segini mah aku kuat!"

Kita pun berjalan menelusuri tangga. Lumayan untuk olahraga kaki. Akhirnya sampailah kita di air terjun.

Airnya dingin bagai es. Aku pun langsung mengulung celana ku dan bermain di pinggirannya.

Bagai anak kecil yang menemukan hal baru, aku riang bukan kepalang.

Dia duduk menatapku dari batu. Sesekali menjepretku dengan kameranya saat aku bermain cipratan air dengan anak kecil.

Dia tersenyum dan berkata.

"Alhamdulillah."

Aku pun tersenyum juga kemudian mencipratkan air ke arahnya. Dia pun turun dan bergabung dengan kita.

Bahagia itu bukan seberapa mewah tempatnya. Tapi seberapa besar kamu bersyukur.

Setelah puas bermain air dia mengajakku minum teh di sebuah warung di pinggir tebing yang viewnya menjorok ke arah kota Bogor.

"Makasih ya." Kataku.

"Makasih juga."

"Emang aku ngasih apa?"

"Ngasih kebahagiaan. Akhirnya kita bisa naik gunung bareng."

"Tapi masa gak mendaki. Malah naik motor."

"Yang penting kan naik gunung."

"Kamu seneng gak?" Lanjutnya

"Bangettt."

"In shaa Allah nanti kita naik gunung yang beneran."

Aku terdiam.

"Gak ada yang gak mungkin." Dia mulai tersenyum. Di sambut oleh sinar jingga senja. Kita menutup hari dengan bahagia.

"Kita pulang yuk."

"Gak mau nginep?"

"Enggak ah."

"Aku udah bawa tenda tuh."

"Gak mau. Tendanya cuma satu. Masa berdua."

"Kata siapa berdua. Itu mah buat kamu sendiri."

"Kamu?"

"Aku mah pulang. Biarin aja kamu nginep di jagain tenyom."

"Ciyalannnnnn."

"Hahahahaha."

Kita pun pulang menuju peradaban yang sumpek, berdebu, dan memusingkan. Terimakasih kamu untuk harinya dan kado ulang tahun antimainstreamnya. 😁

-Hana Larasati

Kamis, 25 Agustus 2016

Senja

Senja, sore ini kau begitu cantik. Sangking eloknya engkau, burung-burung camar dengan riang berterbangan di langit jingga mu.

Aku sebagai penikmatmu, memaknai ini dengan senang hati. Apa lagi ditambah roti coklat dan laki-laki kesukaanku. Sungguh bahagia itu sederhana.

Hari ini, dia ingin aku menemaninya duduk menikmati cahayamu di rooftop kampus. Tempat yang tidak lazim memang. Tapi jadi kesukaan.

Kita bercerita tentang ujian dan liburan. Kau tau, matanya sedikit redup sore itu.

"Kamu jadi naik gunung liburan nanti?" Kataku.

"Iyah."

"Gunung mana?"

"Semeru."

"Aku boleh nitip gak?"

"Jangan tulisan ah. Kaya anak alay. Gak mau aku."

"Bukan. Nitip pesen jaga diri baik-baik di sana."

Dia hanya tersenyum. Tapi matanya masih saja redup.

"Kamu kenapa?"

"Apanya yang kenapa?"

"Kok kaya gak semangat gitu."

"Enggak kok. Biasa aja."

"Sama anak-anak tongkrongan kan ndakinya?"

"Iya."

"Terus kenapa kaya gak seneng gitu?"

"Aku ndaki sama kamunya kapan?"

Sekarang mataku yang redup. Dia menatapku dalam. Kita terdiam cukup lama. Sampai akhirnya kata-kata itu keluar.

"Maaf ya. Aku belum bisa ikut naik gunung. Kita..... gak tau bisa atau enggak muncak bareng. " kataku sambil menunduk.

"Kenapa sih?"

"Ya, karena... aku alergi dingin. Sebenernya itu bukan alasan. Tapi, dari pada di sana aku nyusahin kamu. "

Dia tertawa dan aku bisa melihat matanya tak seredup tadi.

"Jangan gitu mukanya jelek!" Katanya.

Aku hanya tertawa. Tawa yang anta.

"Maaf." Kataku.

"Tenang aja. Aku bukan tipe yang cuma sekedar nyari yang bisa di ajak muncak bareng kok. " katanya

Aku masih saja diam dan menunduk memainkan sepatu.

"Itu gak penting. Kamu, gak tau sadar atau enggak. Gak tau sengaja atau enggak. Udah ngerubah aku." Lanjutnya.

Aku mulai berani mendongak dan menatap ke arahnya.

"Itu, itu yang lebih penting dari sekedar temen perjalan traveling, mendaki, baca buku, minum teh. Kamu, perempuan antik, aneh, susah di tebak. Yang udah jadi tourguide aku di jalanNya. Makasih."

"Bohong. Aku tau kamu kecewa!" Kataku tanpa melihat ke arahnya.

"Terserah."

"Aku tau, kamu bilang begitu cuma bikin aku gak merasa bersalah aja kan."

"Enggak."

"Bohong."

"Penilaian bohong atau enggak itu tergantung pemikiran kamu dan kebenaran dari bohong atau enggak itu hanya Allah yang tau."

Aku masih terdiam.

"Ini kan hari terakhir kita ketemu sebelum liburan. Jangan gitu."

"Iyah."

"Kita main aja yuk main." Ajaknya.

"Main apa?"

"Main becekan."

Aku hanya tertawa.

"Kamu tau gak dulunya aku gimana?"

"Enggak."

"Mau aku ceritain apa enggak?"

"Aku boleh bilang enggak, gak?"

"Kenapa gak mau aku ceritain? Takut bosen ya dengerin cerita aku?"

"Bukan. Masa lalu itu punya kamu. Jangan di buka lagi aib apa yang udah Allah tutup."

"Iyah."

"Setiap orang punya masa lalu. Punya cara buat belajar dari masa lalu. Punya taktik buat menghindar dari kesalahan di masa lalu. Aku percaya kamu bisa. "

"Pround of you my beloved friend." Dia tersenyum menatapku.

Tak lama setelah percakapan kita.  Handphoneku berdering. Ternyata teman mengajarku yang menelpon. Hari ini memang aku izin untuk tidak masuk mengajar, karena ada UAS. Jadi dia yang menggantikanku.

"Assalamualayikum, Dina ada apa?"

"Waalaimussalam kak Hana. Gini soal Hasan, anak jilid dua kelas kakak."

"Iya ada apa denga Hasan?"

"Itu, Dina gak tau lagi harus bilangin dia kaya gimana. Bandel banget kak anak itu."

"Iya aku tau."

"Tadi dia ngelepasin ayam jagonya Bu Tami yang baru beli dari kandang. Aku marah-marahin, dia kaya gak ada takutnya kak. "

Aku masih mendengarkan.

"Aku gak bisa kaya kakak yang ngomongnya lembut 'anak soleh, anak pinter. Ayo duduk diem' aku greget. "

"Hahah. Setiap pengajar emang punya cara mengajarnya masing-masing. Kamu, aku, Bu Tami. Kita semua punya cara untuk berinteraksi dengan para santri."

"Sekarang aku tanya kenapa kalau kita marah kita teriak?"

"Karena untuk ngelampiasin emosi kak."

"Bukan, karena sewaktu kita marah hati kita jauh sama dia. Jadi kita berteriak walaupun jaraknya dekat. "

"Sekarang aku tanya, gimana caranya biar orang itu ngerti apa maunya kita?"

"Dengan berdiskusi lah kak."

"Nah itu. Diskusi adalah cara penyampaian pendapat yang dimana harus ada keselarasan pemikiran. Keselarasan pemikiran bisa terjadi kalo hati kita terkendali. Gimana mau selaras pemikirannya kalau hatinya jauh?"

" Itu sebabnya kenapa kalau aku menyikapi anak-anak yang... bukan bandel sih aku nyebutnya. Aku gak pernah bilang anak-anak bandel. Tapi butuh perhatian, dengan gak teriak ke mereka. Karena selain capek, mereka gak akan ngerti juga." Lanjutku.

" Mereka kan udah gede masa iya kak gak punya pikiran?" Katanya.

"Segede-gedenya mereka itu paling kelas 6 SD Na. 😂😂 Paling umurnya baru berapa, 12 tahunan kebawah."

"Sedangkan kita udah 20 tahunan ke atas. Beda antara pemikiran kita sama mereka. Ibaratnya kaya kita tanya ke mereka soal bintang. Mereka pasti bilang bintang itu kecil. Sedangkan kita yang pemikirannya sudah jauh, akan bilang bintang itu besar, kecil karena kita lihat dari jarak yang jauh."

"Kita gak bisa maksa mereka buat ikuti pemikiran kita. Mereka menganalisis masalah cuma dari apa yang mereka lihat, nah kalau kita berpikir dari analisis sumber-sumber yang dapat kita percaya."

"Jadi Dina salah kak marahin Hasan?"

"Enggak Na, enggak salah. Kan kaya yang aku bilang di awal setiap pengajar punya caranya masing-masing. Bu Tami dengan keseriusannya, aku dengan kelembutannya, kamu dengan ketegasannya. Setiap kita punya caranya."

"Dina bener-bener gak bisa ngomong lembut anak soleh, anak pinter kaya kakak."

"Gimana ya Na? hahah. Ya kamu gak perlu jadi aku. Jadi diri kamu aja sendiri. Kalo versi aku, setiap ucapan itu adalah doa, jadi yaudah aku bilang aja yang baik baik. Kalo gak ke kabul sekarang, in shaa Allah di masa depan. Aamiin."

"Hahah iya kak aamiin."

"Eh iya, kamu masih di pengajian Na?"

"Masih kak."

"Masih ada Hasan?"

"Ada kak, anak-anak yang lainnya juga ada. Lagi pada nulis hadist buat hafalan hari Jum'at."

"Boleh kasih teleponnya ke dia? Aku mau ngomong sebentar sama dia."

"Oh iya kak."

Tak lama suara dari dalam telepon pun berganti orang.

"Asslamualayikum Hasan."

"Waalaikumusalam Mba Hana. "

"Anak soleh, kamu lagi nulis hadist ya? Tulisannya yang rapi ya. Nulis ro sama gho nya yang bener biar bisa kebaca. Jum'at hafalan kan?"

"Iya Mba. Mba Hana gak mau marahin Hasan?"

"Marahin? Emang kamu salah apa?"

"Kan kak Dina udah cerita ke Mba Hana."

"Itu kan kak Dina yang cerita, aku mau denger dari kamunya dong."

"Hasan ngelepasin ayam jagonya bu Tami yang baru."

"Kok? Emang kenapa?"

"Habis di suruh Dio."

"Kamu kok mau di suruh dalam kejahatan. Allah gak suka loh."

"Iya Mba." Katanya, aku mendengar ada nada penyesalan di suaranya.

"Udah minta maaf ke bu Tami?"

"Belum Mba."

"Minta maaf ya anak soleh, anak pinter, anak ganteng ke bu Tami. Inget surah Al-baqarah ayat 263 kan? Dan perkataan yang baik dan permohonan maaf lebih baik dari sedekah yang riya. "

"Iya Mba."

"Yasudah lanjutin nulis lagi sana. Assalamualaikum."

"Walaikumusalam Mba."

Sambungan telepon pun terputus dengan akhiran salam darinya.

Kau tau senja, kenapa Hasan jadi kesayanganku dan aku tidak pernah membentaknya?

Karena dia lahan pahala untukku. Pahala untuk belajar sabar. Aku tipe orang yang selalu percaya bahwa sekeras apa pun batu akan luluh dengan seringnnya terkena tetesan air.

Aku sampai lupa senja, aku sedang bersama dia. Dia menatapku dengan haru. Aku rasa dia dengar percakapanku.

"Aku makin yakin. Aku butuhnya kamu."

"Tapi aku gak bisa naik gunung."

"Aku gak butuh yang cuma bisa naik gunung, aku butuh yang bisa nuntun aku di jalanNya."

"Kita belajar sama-sama. Seiring lebih menyenangkan dari pada di giring dan mengiring."

Kita menutup senja dengan senyuman dan menutup akhir kuliah dengan menyenangkan.

-Hana Larasati

Tidak Perlu Tahu Siapa

*Tak Perlu Tahu Siapa*

Sepasang wisatawan asyik menikmati kopi di sebuah kafe terkenal di Venesia, Italia. Tak lama kemudian, datanglah seorang pria paruh baya, duduk di salah satu meja kosong. Ia memanggil pramusaji dan memesan : *“Kopi 2 cangkir. Yang 1 untuk di dinding.”*

Sang wisatawan merasa heran mendengar kalimat tersebut. Apalagi sang pria kemudian hanya disuguhi 1 cangkir kopi, namun ia membayar untuk 2 cangkir.

Segera setelah pria tersebut pergi, si pramusaji menempelkan selembar kertas kecil bertuliskan *"Segelas Kopi"* di dinding kafe.

Suasana kafe kembali hening. Tak lama kemudian masuklah dua orang pria. Kedua pria tersebut pesan 3 cangkir kopi. Dua cangkir di meja, satu lagi untuk di dinding. Mereka pun membayar tiga cangkir kopi sebelum pergi.

Lagi-lagi setelah itu pramusaji melakukan hal yang sama, menempelkan kertas bertulis *"Segelas Kopi"* di dinding.

Pemandangan aneh di kafe sore itu membuat pasangan wisatawan itu heran. Mereka meninggalkan kafe dengan menyimpan pertanyaan atas kejadian ganjil yang disaksikannya, namun ia tidak sempat mengajukan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan kopi di dinding tadi.

Minggu berikutnya, mereka mampir kembali di kafe yang sama. Mereka melihat, seseorang lelaki tua masuk ke dalam kafe. Pakaiannya kumal dan kotor. Setelah duduk ia melihat ke dinding dan berkata kepada pelayan : *“Satu cangkir kopi dari dinding."*

Pramusaji segera menyuguhkan segelas kopi. Setelah menghabiskan kopinya, lelaki lusuh tadi lantas pergi tanpa membayar. Tampak si pramusaji menarik satu lembar kertas dari dinding tersebut, lalu membuangnya ke tempat sampah.;

Kini pertanyaan pasangan wisatawan itu terjawab sudah.

Begini rupanya cara penduduk kota ini menolong sesamanya yang kurang beruntung, dengan tetap menaruh respek kepada orang yang ditolongnya. Kaum papa bisa menikmati secangkir kopi tanpa perlu merendahkan harga diri untuk mengemis secangkir kopi. Bahkan mereka pun tidak perlu tahu siapa yang *_“mentraktirnya”._*
Suatu tatanan hidup bermasyarakat yang amat menyentuh dan mengharukan.

Seorang guru besar yang meyakini bahwa kita tidak bisa hidup lebih baik tanpa memberi dan menerima cinta, perhatian, dan bantuan dari orang lain.
*“Terlalu sering kita meremehkan kekuatan sebuah sentuhan, sekilas senyuman, sebuah kata, mendengar keluhan orang lain, pujian tulus atau tindakan kecil membantu orang lain, yang semua itu punya kekuatan untuk mengubah kehidupan,”* katanya.

Secangkir kopi di dinding adalah wujud cinta yang ikhlas, tanpa menyikapi orang miskin dengan cara arogan : *_aku memberi kepadamu._*

*Tidak penting seberapa banyak kita sudah memberi yang lebih penting adalah bagaimana cara kita memberi….*
#copas

Tidak Perlu Tahu Siapa

*Tak Perlu Tahu Siapa*

Sepasang wisatawan asyik menikmati kopi di sebuah kafe terkenal di Venesia, Italia. Tak lama kemudian, datanglah seorang pria paruh baya, duduk di salah satu meja kosong. Ia memanggil pramusaji dan memesan : *“Kopi 2 cangkir. Yang 1 untuk di dinding.”*

Sang wisatawan merasa heran mendengar kalimat tersebut. Apalagi sang pria kemudian hanya disuguhi 1 cangkir kopi, namun ia membayar untuk 2 cangkir.

Segera setelah pria tersebut pergi, si pramusaji menempelkan selembar kertas kecil bertuliskan *"Segelas Kopi"* di dinding kafe.

Suasana kafe kembali hening. Tak lama kemudian masuklah dua orang pria. Kedua pria tersebut pesan 3 cangkir kopi. Dua cangkir di meja, satu lagi untuk di dinding. Mereka pun membayar tiga cangkir kopi sebelum pergi.

Lagi-lagi setelah itu pramusaji melakukan hal yang sama, menempelkan kertas bertulis *"Segelas Kopi"* di dinding.

Pemandangan aneh di kafe sore itu membuat pasangan wisatawan itu heran. Mereka meninggalkan kafe dengan menyimpan pertanyaan atas kejadian ganjil yang disaksikannya, namun ia tidak sempat mengajukan pertanyaan, apa yang dimaksud dengan kopi di dinding tadi.

Minggu berikutnya, mereka mampir kembali di kafe yang sama. Mereka melihat, seseorang lelaki tua masuk ke dalam kafe. Pakaiannya kumal dan kotor. Setelah duduk ia melihat ke dinding dan berkata kepada pelayan : *“Satu cangkir kopi dari dinding."*

Pramusaji segera menyuguhkan segelas kopi. Setelah menghabiskan kopinya, lelaki lusuh tadi lantas pergi tanpa membayar. Tampak si pramusaji menarik satu lembar kertas dari dinding tersebut, lalu membuangnya ke tempat sampah.;

Kini pertanyaan pasangan wisatawan itu terjawab sudah.

Begini rupanya cara penduduk kota ini menolong sesamanya yang kurang beruntung, dengan tetap menaruh respek kepada orang yang ditolongnya. Kaum papa bisa menikmati secangkir kopi tanpa perlu merendahkan harga diri untuk mengemis secangkir kopi. Bahkan mereka pun tidak perlu tahu siapa yang *_“mentraktirnya”._*
Suatu tatanan hidup bermasyarakat yang amat menyentuh dan mengharukan.

Seorang guru besar yang meyakini bahwa kita tidak bisa hidup lebih baik tanpa memberi dan menerima cinta, perhatian, dan bantuan dari orang lain.
*“Terlalu sering kita meremehkan kekuatan sebuah sentuhan, sekilas senyuman, sebuah kata, mendengar keluhan orang lain, pujian tulus atau tindakan kecil membantu orang lain, yang semua itu punya kekuatan untuk mengubah kehidupan,”* katanya.

Secangkir kopi di dinding adalah wujud cinta yang ikhlas, tanpa menyikapi orang miskin dengan cara arogan : *_aku memberi kepadamu._*

*Tidak penting seberapa banyak kita sudah memberi yang lebih penting adalah bagaimana cara kita memberi….*
#copas

Keriting Rambut

Assalamualayikum fajar. Hei, kau tau apa yang ku alami hari ini? Sangat mengesankan.

Pagi ini di bawah sinar hangatmu aku menjejakan kaki untuk berangkat ke kampus.

Aku melewati rute yang berbeda dari biasanya. Aku pikir aku bisa sampai lebih cepat. Tapi dugaanku sepertinya salah.

Kau tau kenapa? Rute yang aku pikir lancar tanpa ada halangan perbaikan jalan ternyanta mengalami masalah.

Dua truk tronton terguling di jalanan dan membuat macet yang sangat panjanggg. Kau tau? Aku baru beberapa kali melewati rute tersebut dan aku tidak tau jalan-jalan itu.😂

Supir angkotku memberhentikanku di sebuah puskesmas dan aku tidak tau itu di jalan mana dan seberapa jauh lagi untuk sampai pada tujuanku.

Beruntungnnya aku ada satu keluarga baik yang mau menolongku. Mereka terdiri dari ibu, dan dua orang anak. Satu anak laki-laki yang aku taksir umurnya sekitar 3 atau 4 tahun dan satu lagi anak perempuan sekitar 9 atau 10 tahun.

Keluarga itu aku tebak bukan berasal dari pulau jawa. Logat mereka yang membuat aku tau.

"Aduh parah sekali ini kita terjebak e. Hei mel ayo cepat kita jalan kaki saja ke sekolahmu." Ibu itu berbicara pada anak perempuannya yang sudah lengkap memakai atribut sekolah beserta rambut kerintingnnya yang dia gulung ketat.

Aku memperhatikan mereka saja dengan wajah bingung. Aku rasa ibu itu tau. Dia pun bertanya padaku.

"E kakak mau kemana?"

"Mau ke prumpung bu."

"Oh sama e saya juga."

"Boleh saya bareng ibu?" Kataku karena aku bingung daerah itu baru beberapa kali aku lewati.

"Iya, bareng saja. Tapi kita jalan kaki saja e. Tidak ada mobil. Macat."

"Iya." Kataku dengan senang hati dan aku pun mengikuti keluarga kecil itu.

"Tapi prumpung sedikit jauh e."

"Iya tidak apa-apa." Kataku percaya diri. Aku pikir "agak jauh" versi ibu itu dan aku sama. Ternyata... "agak jauh"nya ibu itu sama dengan jauh bangetnyaaaaa aku. 😂😂

Tapi namanya Indonesia, walaupun nyasar tetap berasa gak kesasar. Aku pun bercengkrama dengan anak perempuan ibu itu. Membunuh waktu dan menyamarkan rasa capek.

"Hei kamu, kelas berapa?" Kataku sambil mengandeng tangannya. Karena kita berjalan di pinggir jalan.

"Kelas empat kak."

"Kamu namanya siapa?"

"Amel kak. Kalau kakak?"

"Hana."

Kemudian aku yang penasaran pun bertanya pada ibu itu.

"Bu, ini dari kapan ya macetnya kaya gini?"

"Baru mulai semalam sih. Tapi yang besar itu sudah 2 hari e." Kata ibunya lugas.

"Sudah tau jalanya seperti ini e, masih saja memaksa. " Lanjut ibu itu.

Pikirku "Benar juga, hal nekat tanpa perhitungan hanya akan membawa kesia-siaan dan kerugian untuk diri sendiri dan orang lain."

Kau tau aku menyikapi ini bukan sebagai hal yang menyedihkan atau mengenaskan. Tapi lebih ke suatu hal yang mengesankan.

Banyak pelajaran yang aku terima hari ini. Salah satunya, aku menemukan ke ajaiban Indonesia lainnya yang tak di tulis di buku wonderful world. Yaitu keramahan, kepercayaan, dan ketulusan.

Jika mau berpikir negatif ibu itu, bisa saja tidak mempercayaiku. Secara aku orang yang baru dia kenal dan bukannya tidak mungkin aku membahayakan. Tapi ibu itu percaya padaku dan mau menolongku untuk sampai pada tujuanku.

Bisa juga sebaliknya, jika mau berpikiran negatif aku tidak akan meminta bantuan ibu itu. Bisa saja dia perampok atau pencopet. Tapi nyatanya aku percaya padanya. Mempercayakan tujuanku padanya.

Kau tau kenapa masing-masing kita bisa saling mempercayai? Karena kita lahir di Indonesia. Dimana kebudayaan, keramahannya sudah mendarah darah daging dan mengendap.

Kita bisa saling mempercayain tanpa takut menyakiti. Aku bangga aku Indonesia. Dan aku bangga mengnal sosok mama itu. Pround of you mama.

-Hana Larasati



Selasa, 23 Agustus 2016

Niat

Kebanyakan orang berubah berawal dengan niat yang salah. Tapi seiring berjalannya waktu Allah yang akan meluruskan niatmu.

Tanamkan dalam diri pertanyaan-pertanyaan sederhana. Kenapa saya melakukan ini? Apa yang mendasari saya melakukan ini? Dan saya melakukan ini untuk siapa? Lalu tarik garis lurus jawaban menuju Allah.

Semoga berkah.

-Hananing S. Larasati

Minggu, 21 Agustus 2016

Mentari

Mentari, kau tau manusia ajaib di bumi? Ayo, tebaklah.

Superman? Oh tidak dia tidak nyata. Yang lebih realistis lah. Presiden? Dia ajaib karena kekuasaannya. Tanpa kekuasaan hidupnya sama seperti kita.

Kau menyerah? Huu, kau payah. Manusia ajaib di bumi adalah ibu! Kau tau kenapa?

Coba bayangkan. Seorang ibu bisa melakukan berbagai hal dalam satu waktu. Nyuci baju, goreng tempe, menyiapkan sayuran dalam waktu yang sama.

Belum lagi, gosok pakaian, jaga anak, dan menyuapinya dalam satu waktu juga.

Tak akan pernah habis pekerjaan seorang ibu demi mengurus anak-anak dan suaminya.

Tidak seperti orang kerja. Ibu tidak punya hari libur. Yang dia punya hanya hari sibuk dan sibuk banget.

Kau tau mentari, itu sebabnya Rasulullah menyebutnya hingga 3 kali ketika sahabat bertanya siapa yang harus di hormati.

Dia itu, orang yang kalau dekat bikin nyaman dan kalau jauh tetap menjamin rasa aman.

Tidak ada habisnya jika menulis soal malaikat tak bersayap itu. Tapi terkadang aku sedih karena banyak janji yang belum bisa di tepati.

Semoga ibumu, ibuku, dan semua ibu yang ada di dunia selalu sehat sentosa dan sejahtera. Semoga kita anak-anaknya bisa membahagiakannya. Aamiin.

-Hana Larasati

Menyambut Fajar dengan Berseri

Hai, Fajar. Sinarmu pagi ini sangat hangat. Memecah dinginnya embun yang menerpa wajah.

Kau tau sesuatu? Hati ku sedang berseri hari ini. Malam ini aku melihat sesuatu yang mengetarkan hatiku.

Kau tau? Dia sepaham denganku. Selain rumah yang menjamin rasa aman, laki-laki yang takut akan Tuhan itu benar-benar menyejukan.

Dia bilang, "Bukan cinta namanya jika mengajakmu pacaran. Sebab cinta tak akan rela membawa orang yang dia cinta kepada murka Allah. Jika kau mencintai seseorang tahanlah dengan berpuasa dan perbanyak berdoa."

Aku sadar jika akhir-akhir ini aku sudah keterlaluan memaknai cinta dan melupakan cintaNya.

Kau tau fajar, saat bersujud hanya ada perasaan lega. Karena aku tidak salah mencintai seseorang.

Tidak ada yang lebih menyenangkan di banding, bahwa kau tau kecintaanmu ternyata dalam satu perjalanan menuju surga.

Demi Allah tidak ada yang lebih melegakan dibanding perasaan ini. YaAllah yang maha pembolak balikan hati teguhkanlah hati ini, hatinya dan hati para kaum muslimin pada tali agamaMu. Aamiin.

-Hana Larasati

Hujan yang Iri

Hujan, kau tau? Jika saja rintikmu tak membuat aku basah mungkin sekarang aku sedang berlari dan hujan-hujanan.

Kau adalah rahmat, sama seperti mereka, hujan. Orang-orang di balik layarku yang pernah aku tulis di sini.

Mereka semua mengagumkan, hujan. Dengan berbagai hal menakjubkan yang mereka tunjukan padaku.

Tidak berlebihan jika aku menyayangi mereka. Karena selama di samping mereka aku selalu merasa di sayang.

Tuhan selalu membuat aku tertawa atau sekedar nyengir saat ada di lingkungan mereka.

Karena rasanya Tuhan selalu dekat denganku. Bagaimana tidak, mereka itu selalu membuatku dekat dengan Tuhan.

Hujan, jangan iri. Kau juga punya teman baik. Angin dan awan.

Kadang yang baik itu tidak terlihat. Tapi bisa di rasakan. Oleh hati. 😊

-Hana Larasati

Sabtu, 20 Agustus 2016

Web

Hari itu, hari selasa. Langit tidak sendu. Dia cerah. Secerah jadwalku di hari itu.

Mata pelajaran saat itu pemrograman Web. Aku suka pelajaan itu. Lebih tepatnya aku suka pengajarnya.

Namanya pak Maulana. Tapi kami lebih sering memanggilnya pak Maul. Tanpa persetujuannya tentunya.

Aku selalu merasa rugi jika tertinggal satu detik saja pelajarannya.

Pak maul orang yang baik. Cara mengajarnya pun mengasikan dan tidak membosankan.

Pagi itu, tiba-tiba datang segerombolan siswa ke kelasku. Aku tau siapa saja mereka dan salah satunya ada dia.

"Ada apa ini?" Kata pak Maul.

"Kita boleh ikut pelajaran bapak? Dosen jam kuliah pertama gak masuk pak."

"Enggak. Rame gak kondusif kelasnya."

Sebagian dari mereka pun keluar. Hanya tersisa tiga orang. Salah satunya tentu kalian bisa menebak.

Pak Maul langsung mengarahkan matanya pada pemuda berkaos hijau toska dan berambut sebahu itu.

"Kamu ngapain?"

"Bertiga doang pak. Boleh ya."

"Enggak. Dari pada gak saya absen mau?" Katanya.

Dia pun keluar dengan terpaksa. Aku hanya terkikik menatap pungungnya.

Saat jam istirahat aku menghampirinya yang sedang duduk di tangga dengan laptopnya.

"Hei."

"Hai."

"Ngapain?"

"Ngerjain web."

"Bukannya tugas buat minggu depan ya?"

"Iya. Dikerjain sekarang biar nanti gak panik."

"Hahaha. Tadi kenapa tumben nurut sama dosen?"

"Pak Maul itu baik."

"Iya aku tau."

"Dia itu dosen yang selain suka ngomongin Pemrograman Web. Dia juga suka ngomongin kenaikan harga kangkung."

"Enggak ih. Ngasal. Hahah."

"Hahaha."

"Aneh aja liat kamu nurut."

"Pak mau itu baik. Jadi aku takut nyakitin."

"Gaya."

"Sama kaya kamu."

"Oh my God. Jangan lagi gombalnyaaaa."

"Belajar dong bedain mana gombal mana kenyataan."

"Hahaha aamiin."

Kau tau. Dia itu pandai dan rajin. Tapi sebagian orang menilainya beda. Karena tampilannya mungkin.

Dia bisa menghargai jika dinhargai. Bisa menyayangi jika di sayangi. Bisa jahat juga, kalau di jahati.

-Hana Larasati

Jatuh

Bintang, aku baru dapat kabar dia jatuh dari motornya.

Seketika aku panik. Walau pun dia bukan siapa-siapaku. Tetap saja aku panik karena dia orang terdekatku.

Akhirnya untuk sedikit melegakan perasaan aku telpon saja dia. Sekedar bertanya kabarnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumusalama, ini siapa ya?"

"Aku, Hana heh!"

" Hananing."

"Hana? Hana mana? Gak ada orangnya suaranya doang." Katanya seperti bertanya pada diri sendiri.

"Heh serius!"

"Jangan serius-serius." Katanya menenangkan.

Aku semakin sebal dengan jawabannya. Dia selalu begitu.

"Biar aku tebak." Katanya seperti orang yang sedang main kuis.

"Apa?"

"Kamu, orangnnya cantik kan."

"Makasih."

"Matanya bagus kan."

"Hahaha."

"Sekarang lagi pakai baju biru."

"Salahhhh!"

"Di jadwalnya hari ini pakai baju biru."

"Ngaco. Hahah."

"Tapi di jadwal tulisannya gitu. Apa mau ganti baju dulu?"

"Gak mauu." Kataku tertawa.

Aku sampai lupa tujuanku tadi. Jadi aku kembali pada tujuan awal.

"Kamu jatuh dari motor ya?" Kataku langsung.

"Jatuh cinta aku mah."

"Serius ih."

"Iya. Tapi gapapa. Jangan khawatir."

"Aku gak khawatir cuma mau tau aja."

"Kaki ku patah sih."

"Tuh kan. Pasti parah jatohnya. Gimana sih. Makanya hati-hati. Kamu mah ih gak sayang badan banget."

"Katanya gak khawatir."

"Emang enggak. Cuma ngasih tau aja."

"Kamu." Seraya mengeja.

"Gak bakat bohong hahaha." Lanjutnya sambil tertawa.

Aku juga ikut tertawa.

"Tapi beneran patah?"

"Enggak. Bohong."

"Hih aku pikir bener."

"Enggaklah. Eh kamu lagi ngapain."

"Gak ngapa-ngapain. Kamu?"

"Aku lagi nangkepin nyamuk nih. Dapet dua. Kamu mau gak?"

"Enggak ah. Nyamuk di sini juga banyak."

"Tapi nyamuk di sini beda. Preman-preman semua. Pada mabok-mabokan. Habis di kasih obat sama mama aku."

"Mama aku tuh baik orangnnya. Nyamuk aja di kasih obat. Dia yang beliin lagi. Kalo anaknya mah suruh beli sendiri ke warung."

Aku hanya tertawa.

"Kamu gila." Kataku.

"Yang penting kamu bahagia." Katanya lembut.

"Makasih."

"Buat?"

"Bikin aku bahagia."

"Tugas aku."

Lalu aku pun bilang ke dia.

"Eh aku besok mau pergi."

"Kemana?"

"Bogor."

"Sama mantan?"

"Sama Riri."

"Ngajak mantan gak?"

"Enggak lah. Emang kamu."

"Dia gak jadi ikut touring. Tiba-tiba sakit."

"Oh."

"Aku curiga nih. Jangan-jangan kamu apa-apain."

"Ngaco weh! Hahah." Kataku

"Habis tiba-tiba sakit."

"Gak mau ketemu kamu kali."

"Iya kali ya."

"Eh beneran mantan gak ikut."

"Enggak ih."

"Yah."

"Kenapa, gitu?"

"Aku mau ikut kalo ngajak dia."

"Ngapain?"

"Mau pamer."

"Pamer apa."

"Aku bisa bikin kamu bahagia."

"Hih!"

"Hahahhaha." Dia mulai tertawa.

"Aku juga mau ngadu ke dia." Katanya lagi.

"Kamu mah aduan."

"Biarin. Habis kamu bikin aku jatuh."

"Ngarang. Orang kamu jatuh sendiri sih dari motor."

"Bukan. Jatuh hati."

"Bodo amatttttttt!"

Begitulah kita. Tak ada makna. Yang ada hanya bahagia.

-Hana Larasati

Omar, Alepo.

Hai Omar, itu namamu kan? Atau aku salah mengejanya. Maaf. Tapi aku tau kau.

Apa kabarmu? Semoga kau baik-baik saja. Aku kok merasa kata baik-baik saja itu tidak akan terjadi di negara konflik ya?

Tapi semoga Allah selalu melindungimu dan juga seluruh keluargamu.

Sayang, lukamu masih sakit kah? Aku lihat dengan jelas di foto. Kau hanya diam sayang.

Betapa kejamnya mereka yang meluluh lantahkan rumah mu omar. Entah dimana hati mereka.

Aku semakin yakin. Bahwa kepintaran tidak ada harganya tapa kemanusiaan.

Omar, kau menangis saat mengetahui ibu dan ayahmu selamat. Kenapa? Kau takut. Jika aku jadi kau aku juga akan melakukan hal yang sama.

Omar, aku selalu percaya bahwa Allah akan melindungimu. Sayang, jangan bersedih. Janji Allah akan selalu benar. Kau harus kuat.

Kaum muslim di dunia senantiasa mendoakanmu, ayahmu, ibumu, keluargamu, dan negaramu. Allah akan selalu melindungimu sayang.

-Hana Larasati

Aku, Kamu dan Angin

Angin, kemana kau siang ini? Aku tak merasa hempasanmu di tengah teriknya mentari. Keringatku sudah mulai mengucur.

Hei, kau datang! Sedetik lalu baru ku tanya kemana, kau sudah datang saja membawa sejuk. Kita mungkin terhubung telepati.

Angin, sini, jadilah saksi untuk aku yang sedang duduk di pelataran kampus dengan orang yang sama. Rambutnya juga masih sama. Sebahu dan berkumis serta berjengot. Mari, ikutlah bergabung dan dengarkan percakapan kami.

"Besok aku mau pergi." Katanya kepadaku.

"Iya. hati-hati." Kataku sambil menyusun tugas-tugas jaringan saraf tiruan.

"Touring."

"Iya gapapa." Kataku, masih sibuk dengan semua berkas tugas.

"Bareng mantan."

Sekarang aku mendongak. Kemudian kuarahkan pandanganku padanya.

"Yaudah, hati-hati." Kataku sambil tersenyum.

"Kok biasa aja sih." Gerutunya pelan, tapi aku bisa mendengar. Dalam hati aku terkikik.

"Aku nitip sesuatu boleh?" Kataku.

"Apa?"

"Bilangin dia, jangan deket-deket kamu."

"Kenapa, takut sayang ya?" Katanya yang mulai tersenyum meledek.

"Bukannn. Bukan mukhrim soalnya." Kataku sambil tersenyum.

Dia hanya memasang ekspresi datar. Aku tebak dia ingin aku cemburu. Tapi itu hanya tebakanku.

"Satu lagi." Kataku.

"Banyak banget pesennya."

"Iya dong."

"Apa?"

"Jangan ketawa kalau deket dia."

"Kenapa?"

"Ketawa kamu bagus. Nanti dia suka."

Dan dia pun tertawa sambil mengacak berkasku yang dari tadi susah payah aku susun.

"Kamu mah rusuh!" Gerutuku sambil menyusun berkas-berkas ku lagi.

"Aku gak jadi pergi deh."

"Kenapa?"

"Nanti kamu gak bahagia."

"Sok tau! Perginya kamu touring, gak akan bikin krisis energi negara."

"Tapi bikin kamu gak bahagia." Katanya

"Pemanasan global, krisis energi, ancaman perang nuklir. Ketimbang itu semua, aku rasa kebahagianmu lebih mendesak." Lanjutnya.

Kali ini aku yang tertawa.

"Eh tapi mantanmu orang nuklir." Katanya.

"Terus?"

"Nanti dia kirim bom nuklir."

"Atas dasar apa?"

"Atas dasar kamu."

"Ngaco weh. Dia udah bahagia. Aku kenal baik pacar barunya."

"Kamu juga ya?"

"Kenapa?"

"Bahagia."

"Iya dong."

"Sama siapa?"

"Sama anak motor yang tadi pagi nyiapin sound buat ibu-ibu senam." Kataku terkikik.

Aku bicara seperti itu karena tadi pagi dia menelpon, dia bilang ingin menjemputku ke rumah tapi sebelumnya dia ingin menyiapkan sound untuk ibu-ibu senam. Yang itu sama sekali tidak benar.

Dan seperti biasa buru-buru aku tolak tawarannya. Karena aku bukan perempuan tanpa pikiran yang membiarkan dia dari Serpong ke Bogor hanya untuk sekedar menjemputku.

Dia tidak pantas untuk itu. Maksudku, dia bukan tukang ojek. Walau pun kebanyakan wanita pasti senang. Tapi aku tidaak. Aku lebih suka pergi sendiri. Kata ibuku lebih nyaman berdiri di kaki sendiri.

"Gengster yang baik hati sekali." Lanjutku.

"Iya aku sibuk pagi ini. Sibuk ngurusi ibu-ibu senam."

Aku hanya tertawa karena itu tidak benar. Mana ada tampang dia ngurusi ibu-ibu senam. Jadwalnya teratur saja sudah bersyukur.

"Sibuk rindu kamu juga." Lanjutnya

"Makasih."

"Pokoknya sibuk sekali lah aku ini. " katanya.

Aku masih tertawa.

"Kalo aja pacaran gak dosa."

"Dosa." Kataku.

"Kalo aja kan."

"Kita begini aja dosa." Kataku.

"Kita kan jauhan."

Aku memang duduk berjarak dari dia. Mungkin ada satu meter setengah. Makanya orang-orang yang memandang berpikir kami sedang musuhan.

"Tapi kamu genit."

"Aku gak genit. Orang cuma bikin kamu ketawa." Katanya.

"Kenapa?"

"Tugasku bikin kamu bahagia."

"Kalo aku gak bahagia?"

"Tantangan buat aku bikin kamu bahagia."

"Gombal mulu lu!!"

"Yaudah kalo gak percaya tanya aja sama ibu itu tuh." Dia menunjuk ke arah rumput-rumput.

"Ibu mana? Gak ada?"

"Kamu lama. Ibunya udah pergi."

"Mana ada ibu-ibu jalannya cepet banget."

"Ibunya gak jalan. Ibunya terbang. Ibu burung."

"Bodo amatttttt." Kataku tertawa.

Angin, begitulah dia. Kita tidak pernah punya topik untuk di bicarakan. Semuanya mengalir.

Hal-hal bodoh yang terrangkai  dengan sendirinya menjadi sesuatu yang manis.

Sumpah ini cerita gak ada maknanyaaa. Tapi kamu sukses bikin aku bahagia. Thanks kumissss.

-Hana Larasati

Jumat, 19 Agustus 2016

Hujan dan Iman

Hujan, kau tau? Imanku seperti debu yang langsung hilang tersapu rintikmu.

Hujan, aku harus apa? Saat Dia seakan luntur dari hatiku.

Beku. Dingin dan kaku. Kau tau, betapa sedihnya aku saat iman semakin lama semakin pudar.

Untuk berdiri di tengah malam saja, aku berat. Kau tau kenapa? Karena terhalang dosa besar! Dan bodohnya aku tak tau apa itu.

Kau tau, rasanya jiwa hilang tenaga. Kritis dan gamang. Kenapa serba salah seperti ini.

Aku harus bagaimana? Tadi aku sudah mengadu padaNya. Aku ceritakan semuaNya.

Dia mendengarkan dengan sangat baik dan mengajaku untuk membuka firmanNya. Sampai lisanku mengucapkan ayat ke 8 di surah Al-Imran.

Seketika aku tersenyum dan menangis. Aku tersenyum karena sadar, Dia seperti biasa selalu cepat membalas doa dan keluhanku.  Sedangkan menangis karena malu, begitu sayangnya Dia kepadaku tapi aku selalu lalai kepadaNya.

Hujan, bisa kau katakan kepada Rabbmu dan Rabbku. Bahwa aku meyayangiNya. Walaupun Dia sudah tau sebelum aku mengatakanya padamu. Karena Dia maha mengetahui segala isi hati.

-Hana Larasati

Hujan dan Iman

Hujan, kau tau? Imanku seperti debu yang langsung hilang tersapu rintikmu.

Hujan, aku harus apa? Saat Dia seakan luntur dari hatiku.

Beku. Dingin dan kaku. Kau tau, betapa sedihnya aku saat iman semakin lama semakin pudar.

Untuk berdiri di tengah malam saja, aku berat. Kau tau kenapa? Karena terhalang dosa besar! Dan bodohnya aku tak tau apa itu.

Kau tau, rasanya jiwa hilang tenaga. Kritis dan gamang. Kenapa serba salah seperti ini.

Aku harus bagaimana? Tadi aku sudah mengadu padaNya. Aku ceritakan semuaNya.

Dia mendengarkan dengan sangat baik dan mengajaku untuk membuka firmanNya. Sampai lisanku mengucapkan ayat ke 8 di surah Al-Imran.

Seketika aku tersenyum dan menangis. Aku tersenyum karena sadar, Dia seperti biasa selalu cepat membalas doa dan keluhanku.  Sedangkan menangis karena malu, begitu sayangnya Dia kepadaku tapi aku selalu lalai kepadaNya.

Hujan, bisa kau katakan kepada Rabbmu dan Rabbku. Bahwa aku meyayangiNya. Walaupun Dia sudah tau sebelum aku mengatakanya padamu. Karena Dia maha mengetahui segala isi hati.

-Hana Larasati

Kamis, 18 Agustus 2016

Percakapan 2

Di bawah lindungan atap masjid, aku akan menulis tentang khadijahku.

Perempuan yang selalu aku sanjung karena kekuatannya, kesabarannya dan ketanguhannya.

Tapi sayang saat ini hatinya sedang luka. Hebatnya, dia tetap bisa menyembunyikannya di balik tawa riang dan celetukannya. Itu kenapa aku memanggilnya Khadijah.

Dia bertanya padaku hari ini lewat chat .

[18/8 09:12]Kok hidup ku gini bgt yaa. Kadang suka mikir, apa temen2 jg sama, ujian hidupnya banyak?

[18/8 09:13] Keliatannya ngga, paling ujiannya cuma dr satu sisi aja...

[18/8 09:13] Lah aku... dari mana2

[18/8 09:14] Apa ini azab?

[18/8 09:14] Karna aku dulunya nakal bgt

[18/8 09:14] Apa ini ujian?

[18/8 09:14] Karna Allah yakin aku kuat lewatinnya

[18/8 09:15] Aku kadang ngga habis pikir

[18/8 09:15] Andai ada orang yg bisa nyelametin aku dr keadaan yg macem gini naà

Kau tau apa yang aku pikirkan saat itu. Aku ingin pulang dan memelukmu. Tapi aku malu, jika saja umurku masih 7 tahun.

Aku bingung dan aku jawab saja sebisanya. Kau juga tau. Aku bukan orang yang pandai memberikan solusi.

[18/8 09:15] Allah sayang lamu.

[18/8 09:16] Jadi allah ngasih ujian yang banyaaaakkkkk. Karena Allah yakin kamu bisa lewatinnya.

[18/8 09:16] Kemarin pas neduh temanku cerita-cerita sama aku

[18/8 09:17] Dia kemarin kajian sama ustad.

[18/8 09:17] Katanya kalau sukses jangan ngerasa sukses.

[18/8 09:17] Kalo gagagl jangan ngerasa gagal.

[18/8 09:17] Karena kalau kita sukses terus ngerasa sukses nanti kita sombong.

[18/8 09:18] Kalo kita gagal terus ngerasa gagal nanti kita putus asa.

Lalu dia pun menjawab.

[18/8 09:20]  Harus stay dikeadaan yg nyakitin gini?

[18/8 09:22]  Pengen ngilang.. pengen pergi... tp ngga ada ongkos 😂

[18/8 09:23] Pengen sukses ngga pake usaha ada?

[18/8 09:23] Pengen suami soleh ganteng pinter ngga pake perjuangan ada?

[18/8 09:24] Ahaha... ngga ada yaa adanya mie rampok.

Aku hanya bisa tertawa membaca balasannya dan aku menceritakan kisahku. Kisah yang sama sekali belum aku beritahu siapa pun. Hanya beberapa orang tertentu.

Ini hanya sebagai pelajaran saja.

[18/8 09:41] Gimana ya.

[18/8 09:41] Hana juga pernah.

[18/8 09:41] Kamu juga tau.

[18/8 09:41]  Waktu itu semester 3 atau berapa ya lupaaaa..

[18/8 09:42] dia pergi sama perempuan lain. Cinta pertama dan di sakitin pertama kalinya.

[18/8 09:42] Hana males makan. Di kampus juga mukanya kucel mulu.

[18/8 09:42]  Sampe akhirnya hana sakit.

[18/8 09:42] Kamu tau gak hana sakit apa?

[18/8 09:43] Saluran esofargus hana luka. Karena asam lambung tinggi. Hana susah nafas. Perut sakit. Punggung sakit. Setiap malem tuh ngerintih mulu. Bener-bener sakit. Dada sakit.

[18/8 09:43] Lemes dan harus minum obat sampai hampir 1 bulan.

[18/8 09:43] Gak boleh putus.

[18/8 09:44]  Hana ke dokter berkali kali.

[18/8 09:44] Ke puskesmas 2 kali. Ke dokter l*n, ke dokter sr* 2 kali.

[18/8 09:45] Kamu tau. Itu karena apa? cuma karena Hana gak bisa nerima kenyataan. Sempet mikir apa ini azab ya? *lebay hahaha.
Ya karena hana ngelangar apa yang di larang Allah. Pacaran. Padahal kaga pernah ngapa-ngapain. Pegangan tangan aja gak pernah. Belajar bareng mulu.

[18/8 09:46]  Dokter sr* waktu itu nanya. "Kamu makan pedes?" "Enggak dok." "Telat makan?" "Enggak.". Terus kata dokternya. "Kamu stres."

[18/8 09:47] "Jangan stres. Asam lambung bisa naik cepet kalau stres makanya dada kamu sakit. Itu jalur esofargus. Gak enak kan. Udah hidup di bawa santai aja. "

[18/8 09:47] Tuh cuma hal hal negatif yang di dapet kalo kita ngeratap mulu.

[18/8 09:48]  Pasti lu mikir "lu gak ngerasain jadi gua sih han." Emang susah. Demi Allah gua pernah ngerasain waktu jadi lu.

[18/8 09:48]  Susah buat ngerelain apa yang kita pikir "punya kita" padahal mah kita gak punya apa-apa, orang semuanya punya Allah.

[18/8 09:51]  Oh iya waktu lagi patah hati patah hatinya. Temen gua ngajak ke kampusnya yang religious.

[18/8 09:52]  Terus dia bilang gini. "Hana tau gak kenapa aku ajak ke sini?" Terus gua bilang aja "gak tau." Terus dia bilang "cuma mau ngasih tau hana kalau masih banyak laki-laki baik di sini."
Yang emang bener semuanya baik-baik. Soleh-soleh. ikhwan nur muslimin. Ahli surga lah. 😂😂😂

[18/8 09:53] Cari yang bisa bikin lu ketawa. Pikirin hal hal yang bahagia. Kalo gak ada cari lagi coba. Pasti ada.

[18/8 09:53] Semangat.

[18/8 09:53]  Semangat 45.

Jujur pesan ku tidak memberikan solusi sama sekali. 😂

Hanya sebagai contoh saja agar dia jangan sampai sepertiku. Patah hati itu adalah reaksi penolakan kita atas sesuatu yang kurang di suka.

Tapi seiring berjalannya waktu kamu pasti tau manisnya Allah memberika hikmahnya lewat berbagai hal pait yang kita terima lebih dulu.

Maaf aku bukan sahabat yang baik, khadijah. Aku tidak bisa memberikan solusi yang baik.

Tapi aku yakin kamu pasti bisa, karena kamu khadijah.

-Hana Larasati

Rabu, 17 Agustus 2016

Sahabat di Kota Jogja

Bunga di kota jogja. Pagi ini aku membacanya ulang. Disitu ku jelaskan semuanya secara lugas.

Kau tau, tulisan itu sukses membuatku nyengir. Betapa aku menyayangimu sebagai sahabat baik.

Aku bukan penjilat. Maaf. Jika aku suka kan ku katakan suka. Jika aku tidak suka, kau bisa baca sendiri dan menebaknya.

Dari dulu aku bilang. Aku tidak bisa benci. Amarah itu hanya datang dan kemudian pergi. Bayangan. Banyangan karena masa lalu yang membuatku begini.

Maaf. Entah ini maaf keberapa kali yang kau baca. Mungkin ke 1000 hahah. Tapi benar, aku meyayangi sebagai sahabat baik.

-Hana Larasati

Senja dan Sahabat

Hai senja, hari ini kau tak mengeluarkan cahaya jingga mu. Yang kulihat hanya mendung. Kau murung?

Boleh aku bercerita lagi? Aku harap hempasan angin adalah bahasa mu untuk mengatakan "boleh".

Hari ini Indonesia merdeka, tapi hatiku masih saja terjajah. Dia duduk di sebelahku. Di tenggah hujan yang menguyur kota Bogor.

Kau tau senja, hari ini aku bahagia. Aku tertawa lepas bersamanya dan beberapa teman lamaku. Kita melakukan hal-hal yang gila.

Saling bercerita tentang masa lalu, bercanda dan tertawa. Rasanya, waktu ingin aku hentika saat itu juga.

Tapi seperti yang aku bilang di awal. Hatiku masih terjajah. Entah rasa dengki masih menjajah hatiku.

Dia yang tau bagaimana aku, tiba-tiba bertanya saat di atas motornya ketika mengantarku pulang.

"Ada yang mau di ceritain?"  Katanya.  Masih dengan nada yang lembut tak ubah, dari beberapa tahun yang lalu.

"Gak ada." Aku berbohong.

"Yakin? Cerita aja." Katanya.

"Iya."

"Gimana ya. Hana tuh gak ngerti sama hati. Gak munafik, gua suka jelek-jelekin dia, sebel sama dia terus ceritain ke lu dan temen-temen kita. Tapi, hati gak bisa benci. Demi Allah, hati gua selalu bilang 'enggak Han, dia baik. Jangan benci.' Jadi gua gak bisa sama sekali benci sama mereka. Kesel iya. Tapi demi Allah hati gua masih ngangep mereka orang baik."

Dia hanya terdiam di atas motornya yang mulai melaju dengan cepat karena hujan muali turun.

Karena hujan semakin deras dia mengajak aku untuk singah sebentar ke sebuah masjid.

"Hujannya deres gak keliatan." Katanya seraya mengehentikan motornya di parkiran masjid.

Aku hanya menganguk. Dia pun melipat jas hujan, dan berjalan ke dalam masjid. Aku mengikuti dari belakang.

"Oh iya, yang tadi." Katanya

"Kemarin gua habis kajian. Kata ustadnya 'kalau kita sukses jangan merasa sukses. Kalau kita gagal jangan merasa gagal.' "

"Ngerti gak maksudnya?"

Aku mengeleng.

"Jadi kalo kita sukses jangan merasa sukses, supaya enggak sombong. Kalau kita gagal jangan dirasa gagal nanti kita putus asa."

"Jadi kalo kita sakit hati jangam ngerasa sakit hati. Kalau kita sebel jangan ngerasa sebel."

Aku pun mengerti maksudnya. Aku hanya tersenyum.

"Iya Ay."

Kemudian matanya menatap hujan dari teras masjid. Hujan makin deras dan orang-orang semakin banyak yang berteduh.

"Hujan itu berkah." Katanya sambil tersenyum. Aku tau maksudnya.

"Berkah, jadi masjid ramai ya Ay." Kataku ikut tersenyum.

Intinya, Senja. Aku mendapat jawabanku. Aku tidak benci. Karena aku tidak bisa. Entahlah aku juga tidak tau.

Maaf jika hati masih belum bisa menerima mu secara utuh. Tapi demi Allah aku tidak membenci, aku juga tidak dengki. Hanya kau tau kita semua perlu waktu untuk intropeksi. Khusus untukku. Maafkan atas segala sikap ku.

-Hana Larasati


Minggu, 14 Agustus 2016

Permintaan

Kau tau. Aku lelah. Maafkan aku jika mata hatiku masih tertutup walau kau suap dengan doa baikmu.

Maafkan aku. Kau tau betapa lelahnya aku menjadi peran antagonis di cerita tak berujung ini?

Aku sadar, Tuhan juga tidak suka dengan perilakuku. Tapi sekali lagi, maafkan aku. Aku masih manusia yang punya rasa lelah dan sakit.

Sebaiknya kita berjarak seperti kesepakan kita waktu itu. Kau boleh menengoku. Hanya sesekali.

Jangan lebih. Aku masih sangat lelah. Hadirnya kau hanya menjadi pembongkar masa lalu yang berusaha aku tutup rapat.
Dan aku sangat lelah berdrama lagi. Bertengkar lagi.

Tidak ada batasan untukmu. Tapi aku mohon. Jika dulu kau pernah meminta agar aku mengerti posisimu. Sekarang permintaan itu ku ajukan padamu.

-Hana Larasati

Merdeka

Merdeka. Merdeka itu bukannya definisi dari bebas ya? Jika aku tidak salah.

Bebas berbicara, bebas berperilaku, bebas memilih dan menentukan pilihan.

Lantas, kenapa akhir-akhir ini kebebasan itu malah menjadi pembatas?

Kau tak mengerti maksudku? Begini. Ah aku merasa umurku bertambah banyak jika mulai serius.

Akhir-akhir ini kebebasan sudah jadi pembatas. Bebas berbicara contohnya, endingnya malah masuk penjara. Atau bebas berperilaku, malah lebih parah. MBA di mana-mana.

Atau kita yang salah mengartikan definisi dari "bebas"? Bebas bukan hanya sebebas bebasnya manusia tanpa tau norma dan etika.

Kita bukan orang utan yang hidup semaunya. Kita bebas, tapi kita punya norma tidak seperti satwa yang hukum rimba jadi pegangannya. Tapi jika ingin di samakan dengan satwa silahkan. Tidak ada paksaan.

Alih-alih sadar, malah berkata ini negara merdeka! Merdeka yang bagaimana menurutmu, penerus?!

Aku rasa Soekarno, mengikrarkan proklamasi bukan untuk ini. Jika dia tau bangsanya akan berakhir seperti ini aku rasa dia tidak akan mati-matian berjuang.

Kau tau, menurut pendapat pribadiku. Aku tidak menampik bahwa Indonesia negara yang merdeka. Iya kita merdeka, tapi kita masih terjajah denga pemikiran pendek kita.

Jiwa merdeka, bagaimana dengan akhlak? Bukannya Indonesia adalah salah satu negara muslim terbesar di dunia?

Tidak, ini tidak bermaksud SARA. Ini untuk kita semua. Kita adalah pemegang dasar negara pancasila. Tapi nilai-nilai moralnya malah enyah semua. Beberapa poinya akan aku sebutkan. Hanya beberapa, takut kalau banyak akan miris.

Ketuhanan yang maha esa, yakin menjadikan Tuhan satu-satunya? Sedangkan kriminalitas dimana-mana. Hak asasi manusia seakan tidak ada harganya!

Kemanusiaan yang adil dan beradap. Apa masih bisa di bilang manusia jika membunuh dan memperkosa anak di bawah umur oleh 14 pemuda?

Persatuan Indonesia. Saling cela satu sama lain dalam memperebutkan kekuasaan apa masih bisa di sebut bersatu? Padahal mereka pemimpin loh.

Tapi, dari banyaknya masalah. Sekarang kita lihat betapa indahnya Indonesia.

Negara dengan banyaknya pulau pulau. Pantai-pantai yang indah dan gunung-gunung yang menjulang seakan mengajak untuk di jelajahi.

Kita kaya, kita punya semua. Orang-orang kita pun orang-orang cerdas. BJ.Habibie, Sri Mulyani, Rio Haryanto, Liliana, Tomi Sugianto dan masih banyak lagi.

Jangan sedih, memang banyak kekurangan tapi kelebihan yang kita punya juga lebih banyak.

Hanya sedikit. Cobalah memanusiakan manusia. Coba, jangan seperti hewan yang sekali kesal langsung hukum rimba.

Kita Indonesia. Kita ramah. Kita sopan. Kita kaya. Kita cerdas dan kita berakhlak.

Wujudkan Indonesia impian kita dan impian anak-anak kecil yang berpikir Indonesia indah.

-Hana Larasati

Purnama

Purnama, kau bertanya kepadaku tempo itu. "Kau ini cantik, mengapa tetap memilih sendiri?"

Andai kau tau, sulitnya aku menjaga. Berlabel istiqomah yang hilang timbul karena iman yang belum kokoh.

Nelangsanya aku. Jika aku terjerumus lagi. Bukan, tidak ada maksud menghakimi. Hanya untuk diriku.

Purnama, temani aku malam ini. Bintang tidak datang. Entah kemana ia. Silahkan jika kau ingin bertanya lagi. Aku siap untuk menjawab.

"Sudahkah kau ajukan dia pada Tuhanmu?"

Jauh sebelum pertanyaanmu terucap. Aku sudah merapalnya dalam doaku. Lancangnya aku.

"Bisa kau deskripsikan dia padaku?"

Dengan senang hati kan ku ceritakan dia padamu. Dia itu, jika kau sangup memandangnnya akan meneduhkan mata dan hatimu.  Saat kau dengar dia berucap, kau akan rindu pada Rabbmu.

Jika kau lihat dia berjalan tak ada yang kau pikirkan selain ingin menjadi teman perjalanannya. Menuju surga tentunya.

"Siapa orangnnya?"

Maaf purnama. Untuk yang satu itu aku belum bisa mengatakannya. Karena tak ada satu nama pun yang sanggup aku ucap.

"Lantas, bagaimana bisa bercerita jika tak ada objeknya?"

Dia, adalah harapanku purnama. Yang selama ini aku doakan dengan serius dan sungguh.

Banyak laki-laki baik di sisi ku. Tapi aku tak tau yang mana. Tak ada satu pun nama yang bisa aku sebut sejauh ini ketika menghadapNya.

Hati masih belum bisa menentukan maunya. Jadi, selama ini aku hanya bisa berdoa. Meminta di kirimkan seseorang yang baik dalam pandanganNya.

Terlalu tinggikah doa ku?

Kenapa kau hanya tersenyum purnama. Tak ada pertanyaan lagi kah? Baiklah jika kau rasa cukup. Aku juga sudah mulai mengantuk. Sampai bertemu esok, purnama.

-Hana Larasati

Ucapan

Ria Tita : 01:50

Mba hana hari ini ulang tahun.. barakallah fii umrik yaa naa, terimakasih telah menjadi saudariku, sahabatku yg luar biasa. Senantiasa istiqomah dlm taqwa yaa :)

Aku : 13: 50

Terima kasih atas doa mu shalihah. Bukan kamu yang harusnya berterima kasih. Tapi aku. Terima kasih sudah mau menerimaku menjadi sahabatmu. Wanita yang luar biasa dan mempesona.

Aku suka kalimat akhir di doa mu. Semoga Allah mengijabahnya ya. Semoga aku bisa menjadi wanita yang engkau doakan. Aamiin.

Ayu Meidhita Putri : 05:25

Selamat pagi, pukul 05.14 dan aku sedang mengetik.
Satu tahun lalu aku mengunggah satu foto tentang kita.
Aku ceritakan betapa bahagianya aku memiliki sahabat sepertimu.
Namun, foto itu belum lama ku hapus dari galeri intagram ku. Haha.
Jangan marah!
Aku ingat betul kata per kata yang ku tulis.
Walau kadang memori ingatanku kabur ntah kemana.
Hm...
Tahun ini kita masih bersama, alhamdulillah.
Tak hentinya ucapan syukur keluar untuk memuji kebesaran-Nya.
Kamu mau doa apa?
Aku bingung.
Banyak sekali doa yang aku panjatkan untukmu.
Semoga diijabah oleh Sang Khalik.
Jangan khawatir, aku tidak mendoakan yang buruk untukmu.
Mana mungkin!
Bisa kembali lagi doa buruk itu padaku. Ahaha.
Aku mendoakan kamu selalu diberi keselamatan dunia akhirat.
Keberkahan rizki.
Kenikmatan beribadah.
Juga kesabaran yang luas.
Begitupun untuk orangtuamu, tetanggamu, keluarga besarmu, kaum muslimin dan muslimat.

Adakah yang lebih engkau inginkan saat ini?
Coba beritahu aku ya.
Aku bukan orang yang pandai mengetahui isi hati atau pikiran seseorang.
Sekarang pukul 05.25.
Aku tunggu keinginanmu sampai pukul berapapun.
Selamat ulang tahun, Hananing Sumaningdiah Larasati.

Aku : 13:54

Barakallah fii umrik Ay. Entah doa apa lagi yang harus aku ucapkan untukmu. Kenyataan bahwa kamu adalah sahabatku adalah suatu kebahagiaan yang melebihi apa pun.

Saat bersamamu, batin hanya bisa berucap. Fabbiayyi Ala'irobbikuma tukaziban. Maka nikmat Tuhan mu manakan yang sangup aku dustakan.

Terima kasih atas segalanya Ay doa dan dukungan untuk menjadi yang lebih baik.

Nurul Wasilah : 04:59

Ciyeee ulangtahun. Selamat ulang tahun cehan. Sehat sehat yaaa han.  Panjang umur.  Mudah rejeki.  Tambah cantik dan pintar.  Buat banggaan keluarga yaa han 😘 Sukses dunia akhirat.  Lancar skripsi nanty . Semoga selalu dlm perlindungan Allah SWT. Aamiin.  Selebih nya doa sendiri yee 😘😘😁💃👯

Aku : 13: 58

Terima kasih pembuat senyum. Entahlah mungkin hariku akan anta tanpa adanya kamu. Terima kasih sudah banyak membuatku tertawa.

Kamu yang terbaik dan yang paling baik. Terima kasih kesayangan.

Mereka adalah sebagian dari banyaknya doa yang telah di ucapkan. Bukan, aku tidak mau benda. Tapi doa tulus yanh terucap dari mulut dan di barengi oleh sujud.

Mataku berair saat ini. Bukan sedih. Melainkan bahagia. Terima kasih Allah. Engkau telah menghadirkan orang-orang pilihanmu di hidupku. Terima kasih banyak atas nikmatMu yang luas.

-Hana Larasati

Kamis, 04 Agustus 2016

Orang Orang di Balik Layar.

Halo namaku Hana. Masih manusia dan baru selesai makan pekmpek. Malam ini aku akan menceritakan tentang orang-orang di balik layar yang berarti di hidupku setelah kedua orang tuaku tentunya.

Orang pertama namanya Riri, dia adalah sahabat terbaik yang aku punya. Panikan dan kadang menyebalkan. Tapi dia itu pundak saat air mata tidak tau harus di alihkan kemana. Dia itu seperti kembaranku. Hampir separuh rahasiaku dia yang tau. Dia itu orang yang sudah tau sebelum sempat aku beri tau. Sahabat terbaik!

Yang kedua namanya Jordi. Dia itu makhluk mars yang Tuhan salah tempatkan di bumi. Dia selalu membuatku tertawa atau minimal cuma senyum. Suka bernyanyi untukku jika aku hampir menangis. Dia itu orang yang sedikit memberikan solusi tapi banyak memberikan kebahagiaan. Dulunya memang kita tidak pernah akur. Tapi entah kenapa kita jadi begitu dekat. Dia adalah sahabat terbaik.

Yang ketiga namannya Ayu. Aku suka takut jika ngomongin dia. Takut dosa. Dia agamis dan kritis. Yang selalu tegas memperingatkan aku. Jika dia membaca tulisan ini dia pasti langsung bbm hahah. Dia sangat menyenagkan dan menenangkan. Aku sayang dia. Dia sahabat terbaik.

Yang ketiga namanya Tita. Orangnnya jenaka dan riang. Dia itu pengingat yang baik dan cepat tangkap. Dia yang menyemangati dan menghiburku di saat lemah. Dia itu contoh nyata untukku.

Yang ke empat namanya Nurul. Orang pluto yang nyasar di bumi. Dia itu antik dan banyak hal yang tidak bisa aku tangkap dalam pikirannya. Aku sayang dia. Dia sahabat baikku.

Yang kelima namanya Anggi. Lebih pendiam dari pada Nurul. Aku suka gaya busanannya dan pemikirannya. Dia itu baik dan menyenangkan.

Yang keenam guru ngajiku Mba Tyas. Mba tyas itu orangnnya cuek dan gaul. Aku suka jika ngobrol sama dia. Dia banyak memberiku saran dan nasihat.

Yang ke tujuh Namanya Adit. Dia sahabatku. Ciri-cirinya hitam manis, mancung dan.. gak mau cerita lagi ah. Nanti kalian suka. Dia itu sahabatku. Yang lebih sering jadi teman berantem, kalo ada tugas suka gak sabaran. Dia baik dan aku gak tau banyak soal dia. Habis banyakan ngotot-ngototannya dari pada  ceritannya. Sempat aku kagum karena bahasanya yang sopan. Dia sangat berarti seperti yang lain. Salah satu sahabat baik.

Tapi dari semuan hal baik yang mereka lakukan. Hal yang paling aku suka adalah kenyataan bahwa mereka di takdirkan untukku dan mereka semua menyayangiku.

-Hana Larasati

Selasa, 02 Agustus 2016

Selamat Pagi

Selamat pagi. Masih layak di sebut pagi kan ? Masih jam 08:33 dan aku lapar.

Aku belum sempat sarapan pagi ini. Mengejar yang tak akan pernah terkejar. Waktu.

Entahlah. Kenapa bogor jadi semacet ini? Aku rindu bogor yang dingin dan berkabut di pagi hari.

Pagi ini aku sudah sampai di kelas. Dengan riuh ramai suara anak-anak. Kelasku kelas terhebat yang pernah aku tau.

Aku memliki 28 teman laki-laki dan hanya 5  orang anak perempuan. Mereka semua baik dan sangat menyenangkan.

Seberat apa pun tugasnya aku selalu bahagia karena aku punya mereka. Apa lagi dua sahabat baik ku. Nuri dan Anggie.

Entahlah kadang aku suka bertanya pada diriku. Apa Tuhan salah menempatkan makhluk mars di bumi? Mereka itu kadang gak nyambung, kadang repot dan kadang kadang stresss.

Hari ini aku ingat kamu. Di kelas yang AC nya setara dengan AC pondok indah mall. Niatnya aku ingin malas malasan belajar.

Tapi aku ingat kata-katamu ketika sore itu. "Kamu harus kuliah. Harus rajin belajar. Biar pintar terus jadi orang sukses terus bisa naik haji dan mabrur."

Aku ingat mata kocakmu saat bilang begitu. Kau itu antik. Tapi aku suka. Sekarang sudah jam 8:50 dan aku mau mulai serius.

Aku mau bilang "Selamat pagi. Jangan lupa ingat."

-Hana Larasati

*ins : Dilan 1991

Pamer

Selamat malam. Aku belum ingin mengucapkan selamat tidur.

PR ku banyak. Tidak seperti PR mu yang cuma satu. Merindukanku.

Katamu merindukanku itu lebih kuat dari Jaringan syaraf tiruan, lebih luas dari fisika dasar 2, dan lebih baik bertemu karena rindu itu berat.

Hari ini ada yang bertanya kenapa aku mencintaimu. Sebenarnya aku tidak ingin memeberi tau.

Aku takut. Takut saat mereka tau, mereka juga ikut mencintaimu. Aku tidak mau bersaing. Aku maunya kamu.

Akhirnya aku pun memberi tau alasannya. Hanya untuk membuat para wanita itu cemburu. Aku bilang. "Dia itu selalu membuat aku tertawa atau minimal cuma senyum."

Sederhana. Tapi aku lihat ada alur-alur iri di wajah mereka. Dan aku puas! Siapa suruh ingin tau. Kan sudah aku bilang jangan.

Aku juga bilang kalau kamu selalu membuat aku rindu. Karena setiap hari yang kamu lakukan adalah membuat aku bahagia. Kamu bilang itu tugasmu.

Biarkan saja mereka cemburu. Itu bukan urusanku. Siapa suruh ingin tau kecintaanku.

Sekarang aku sudah mengantuk. Dan Nuri sudah berhenti marah-marah karena kesal sebab semua orang yang ingin bertanya aku suruh dia yang menjawab.

Selamat malam. Kamu.

-Hana Larasati

Ins : Dilan

Senin, 01 Agustus 2016

Pembuat Rindu

Hey, laki-laki yang bilang aku berkumis dan pemakan lumba-lumba, pada bundanya. Aku rindu.

Kau itu kurang ajar. Seenaknya menguasai pikiranku. Di mana saja aku ingat kamu.

Siang ini aku sedang bercengkrama dengan guruku dan beberapa muridku. Tapi pikiranku selalu padamu.

Kita sedang belajar pelajaran olahraga. Pelajaran yang selalu menggunakan motorik.

Kau tau kan pelajaran lempar tangkap? Saat itu mereka melakukannya termasuk aku.

Dan kau tau? Ada satu siswa yang tidak mau melempar dia malah memberikannya secara baik pada temannya.

Dia bilang.

"Kata ibuku memberi itu harus dengan cara baik-baik bukan di lempar."

Seketika aku terbahak-bahak. Bukan karena pristiwanya melainkan, bayangan wajahmu memenuhi pengelihatanku.

Aku berani bertaruh jika kita menikah nanti anak mu akan sepertinya. Konyol dan pandai persis ayahnya.

Hey, pembuat puisi singkat. Benar katamu waktu itu agar aku jangan rindu. Karena rindu itu berat dan aku tak akan kuat. Sekarang aku sedang merasakannya. Aku rindu. Sangat rindu.

-Hana Larasati

Ins : Dilan 1990