Rabu, 30 November 2016

Pengejar Mimpi

Kau tau rasanya saat harap berhenti di tengah peluh? Saat kau sadar berteriak pun rasanya percuma. Tidak ada yang bisa menerjemahkan kata ke dalam bahasa.

Lari, aku pikir itu cara yang efektif untuk membunuh semua kecewa. Tapi lariku seakan gontai.

Sempat terputus harapan di tengah perjalanan. Rasanya kaki ku tak kuat menyelesaikan setengahnya dan, air mata sudah habis tercurah dalam pahitnya perjuangan. Jadi kini menangis pun aku rasa percuma. Sama sekali tidak mengubah keadaan.

Entah sudah di kilometer berapa saat ini aku berlari. Mengapai tujuan yang masih terselubung dengan hal-hal yang tidak pasti. Entah bisa sampai atau tidak aku pada hal yang ada di benakku. Yang dari kecil menjadi mimpiku.

Aku sadar, berat memang jika perjalanan ini hanya di lalui sendiri. Tapi jika bukan aku siapa lagi? Kesuksesan tidak bisa di dapatkan dengan hanya berpangku tangan pada orang lain.

Jadi aku putuskan untuk terus berlari. Mengabaikan semua pencibir dan peragu mimpiku. Aku terus berlari dalam langkah yang terseok. Karena aku percaya tujuan itu ada walau entah dimana.

Akhirnya aku sampai pada sebuah titik terang. Dimana mimpiku mulai terlihat hasilnya. Walaupun lama dan banyak yang meragukan tapi aku terus berjuang demi mengapainya. Asalkan ada Allah aku kuat dan ikhlas. Karena aku percaya cintaNya selalu ada untuk orang yang mau berusaha.

-Hana Larasati

Rabu, 16 November 2016

Masa Lalu

Pagi ini aku menerima pesan dari seseorang di masa lalu. Seseorang yang dulu pernah memberiku mawar, tapi tidak pernah berani untuk memberiku mahar.

Seseorang yang sering bertanya kabar, tapi tak tau akan adakah dia di altar. Iya, orang itu, yang hampir 3 tahun lalu bertanya "Kamu suka aku gak?"

Pesan singkat itu sangup membuatku membatu di tengah kemacetan Flyover Ciputat kota. 

Kau tak tau kan bagaimana rasanya saat kenangan di seret paksa oleh sang waktu? Apa lagi saat hujan. Dan aku sedang merasakannya sekarang.

Tak ku jawab pertanyaanya hari itu. Hingga beberapa hari pun tak pernah ku bahas pertanyaan itu.

Jika kau tanya kenapa, maka ini jawabannya. Dia terlalu baik untuk aku jerumuskan.

Buatku jatuh cinta itu menjaga. Mengaja segala hal yang ada di hidupnya.

Banyak hal baik yang aku tau dalam dirinya. Hamba yang takut dengan Tuhannya. Membuat hatiku bertekuk lutut untuk hormat padanya.

Tapi akhirnya aku jawab pertanyaannya.

"Tanya aja sama Allah, hati ku milikNya."

Dia hanya membalas senyum.

Entahlah aku sulit mengkategorikan dia tipe makhluk seperti apa. Yang jelas dia suka hadir tiba-tiba. Membawa pertanyaan yang selalu membuatku bingung bagaimana menjawabnya.

Tepat 1 tahun yang lalu dia hadir lagi. Dia berdiri di depan rumahku dan bertemu dengan ibuku.

Wajahnya yang teduh, sanggup menundukan pandangan ku seketika.

Di saat itu, aku merasa bersalah. Hatiku sudah terisi orang lain. Yang aku pikir baik. Mungkin memang baik, bagi yang lain.

Dia bertanya "Tipe suami idamanmu yang bagaimana?" Pertanyaannya bagai kilat yang menyambar hingga ke relung rusuk.

"Yang mencintai Allah dan Rasull-Nya. Menjadikan orang tua sebagai rajanya."

"Dari segi fisik?"

"Kata ibuku gak boleh memetakan manusia."

Dia masih tersenyum. Dan aku terdiam.

Pagi ini, dia datang lagi. Kali ini tidak bertanya kabar atau memberikan mawar. Hanya memberitahu bahwa, dia hafal surah Ar-Rahman. Dan itu adalah surah kesukaan ku dari dulu.

-Hana Larasati

Gadis di Ruang Tunggu

Dalam kantuk yang kutahan, ada pesan yang sedang ku tunggu.

Pesan singkat yang jadi penyebab senyumku merekah diam-diam di tengah malam.

Entah bagaimana cerita ini bisa ada. Sampai tulisan ini di buat aku tidak punya hipotesa yang jelas untuk memulai analisanya.

Yang aku tau malam ini, ada yang berusaha aku tekan agar tidak tumpah. Sesuatu yang aku takut untuk percaya. Harapan.

Di tengah ke ingin tahuan ku yang meninggi bila tiba dini hari. Tak sengaja aku membaca sebuah tulisan yang entah siapa pengarang pertamanya.

"Jangan sengaja pergi agar di cari. Jangan sengaja lari agar di kejar. Berjuang tak sebercanda itu. "

"Bagaimana jika yang pergi itu memang benar-benar ingin pergi. Bukan sekedar agar di cari?

Bagaimana jika yang lari itu memang benar-benar ingin lari. Meninggalkan yang menunggu jauh di belakang?

Lalu, aku yang posisinya sebagai gadis di ruang tunggu harus bagaimana?

Menurutmu menunggu apa sebercanda itu?" Pikirku tengah malam.

Lalu aku merevisi pikiranku yang melesat beberapa detik yang lalu.

"Kenapa sekarang aku jadi terdengar seperti gadis penuntut?

Bukannya sering aku bilang cinta itu reaksi, bukan ekspektasi.

Mungkin benar kata Prof. Albus Dumbledor ; bahwa yang terbaik dari kita pun bisa menarik kata-katanya."

Ah, kenapa jadi begini. Kenapa di kepalaku jadi penuh dengan orang itu. Kenapa intonasi di batinku sekarang, jadi terdengar mengekang. Aku siapa? Bukan hak ku atas itu.

Silahkan pergi jika ingin pergi. Silahkan lari jika mau lari. Kau punya kebebasan penuh atas dirimu.

Aku pun begitu. Akan menunggu semampuku. Semampu hati bisa bertahan dalam rindu. Tapi jika kau sudah kembali dari berpergian mu dan tak ada aku di ruang tunggu, jangan salahkan aku.

Karena kau tau, aku pun punya hak penuh untuk menentukan waktuku. Seberapa lama atau seberapa sebentar aku harus menunggu di ruang tunggu.

-Hana Larasati

Sabtu, 12 November 2016

Antalogi (2)

Aku masih membolak-balikan handphoneku.

"Ada apa?" Kata temanku yang langsung duduk di sebelahku.

Aku hanya tersenyum. Senyum yang menandakan (mungkin) aku baik-baik saja.

Dia melirik benda kotak yang ada di tanganku. Lantas dia pun tersenyum.

"Sibuk. Dia bukan mahasiswa kupu-kupu kaya kita."

Aku yang tadinya menunduk langsung tersentak.

"Bukan. Bukan itu yang aku pikirin."

"Lantas?"

Aku pun menunduk. Seperti biasanya berat untuk bercerita.

"Gak usah cerita. Nanti aku liat blogmu saja. Di situ juga ketauan."

Dia sukses membuatku tersenyum. Aku pun menarik nafas dan mulai mangatur suara.

"Jadi gini.."

"Iya?" Dia mendekatkan bangku ke arahku.

"Dia ngenalin aku ke temennya. Temennya itu solehah banget." Kataku menunduk.

"Teruss?"

"Kamu pasti tau terusannya."

"Kamu cemburu?"

Sekarang aku mulai mengalihkan pandanganku pada jendela kaca kelas. Di luar terlihat jelas hujan deras.

Dari derai rintiknya batinku mulai berkata. "Apa pantas aku cemburu?"

"Aku gak punya kapasitas buat itu." Kataku
"Setiap manusia berhak cemburu."

"Tapi aku manusia yang menyalahi haknya."

"Lah kok?"

"Udah lupain aja." Kataku sambil membereskan beberapa buku.

"Han, jangan pesimis."

"Aku gak pesimis, hanya realistis. Dia gak ada alasan buat nolak perempuan itu."

"Dan dia pasti ada alasan buat nerima kamu Han."

Aku menggeleng kemudian berujar.

"Aku masih bisa optimis kalau aku kalah dalam kecantikan, kekayaan, atau kepintaran. Tapi kalau sudah iman. Aku gak bisa. Aku lebih baik mundur."

"Kamu bisa berubah lebih baik supaya..."

"Demi mendapatkan dia? Hijrah buatku gak sereceh itu."

"Terus?"

"Kamu pasti pernah baca tulisanku. Buatku asal dia bahagia, asal dia bisa jadi lebih baik dari dia yang dulu aku juga bahagia. Aku relakan diriku untuk perempuan itu, dan aku relakan hatiku untuk kebahagiaannya."

"Emang kamu yakin perempuan itu lebih dari temen buat dia?"

"Gak begitu yakin. Tapi aku ngerasai perasaan ini lagi."

"Perasaan 2014 itu lagi?"

Kali ini aku tertawa. Dia memang yang paling tau segala tentang aku.

"Malah ketawa."

"Yaudahlah."

"Yaudahlah apa?"

"Gak usah di bahas."

"Andai mereka tau kamu sebaik aku. "

"Kenapa?"

"Gak akan ada yang berani ninggalin kamu sejengkal pun."

"Kok?"

"Gak ada yang rela ninggalin berlian sendirian."

"Aku egois, pemarah, mau menang sendiri, aneh. Di mana letak berliannya."

"Di sini." Dia menunjuk ke dadanya.

Aku hanya tersenyum.

"Sok tau."

"Emang tau."

"Dari mana?"

"Dari dulu."

Aku pun tersipu. Orang yang dari tadi kita bicarakan pun menghampiriku.

Dia tersenyum. Aku menunduk.

"Masih disini?" Sapanya.

"Iya. Tapi sekarang aku mau pulang, gak tau Hana?" Kata temanku sambil bangkit dari tempat duduknya.

Aku pun menengadahkan kepala menghadap padanya. Dia mengedipkan matanya kepadaku.

"Aku juga mau pulang." Lanjutku buru-buru.

"Aku gak mau nyebrangin loh Han." Temanku terkikik dan berjalan cepat meninggalkan ku di belakang.

"Ri.." Tapi dia sudah hilang dari balik pintu.
Saat ini hanya ada aku dan dia.

"Allah jaga hatiku." Batinku.

Dia menatapku. Kemudian mengambil salah satu bangku dan duduk tidak jauh dari tempatku berdiri.

"Aku mau pulang." Pamitku.

"Kamu bawa payung?"

Bagaimana bisa aku lupa soal hujan.

Aku hanya menggeleng.

"Yaudah tunggu reda aja dulu di sini."

Dengan sedikit terpaksa aku pun menunggu.

Mungkin hampir 30 menit kita tidak berbicara sepatah kata pun.

"Gimana bukumu?" Akhirnya dia membuka percakapan. Di saat ini aku merasa menang.

"Alhamdulillah. Sudah di terima. "

"Alhamdulillah."

Sepersekian detik hening lagi.

"Buku untuk temanmu baru mau aku kirim. Tapi, aku gak punya nomernya." Untuk pertama kalinya aku sesak membahas perempuan itu.

"Oh, punya Aisyah."

"Iya."

"Tanya di line?"

"Belum di baca."

"Aku ada, tapi enggak tau aktif atau enggak." Dia pun menyodorkan handphone nya kepadaku.

"Iya."

"Dia itu jarang on. Paling kalau on cuma kalu ada wifi aja."

"Tau banget ya." Kataku mencoba tersenyum.

"Tau aja sih enggak banget. Haha." Katanya mulai tertawa.

"Oh gitu." Balas ku dingin.

"Kok gitu?"

Lama hening.

Aku pun tersenyum sambil menggeleng.

"Gapapa."

"Ish."

"Kenapa?"

"Kenapa apanya."

"Kenapa nanya kok gitu."

"Ya gapapa hahah."

Kemudian dia pun memulai percakapan lagi.
"Waktu itu mau nanya apa?"

"Bukannya udah tau. Kan aku bilang mau nanya tugas."

"Aku pikir bukan. "

Damn. Dia tau aku bohong.

"Nanya apa hayo." Katanya mendesak.

"Engg..." aku hanya mendengung.

"Apa?"

Aku pun menarik nafas dan berkata padanya.

"Kamu mau dateng ndak di lauching buku antalogi-ku yang inshaa Allah kalau jadi di istiqlal?"

Dia tersenyum menatapku.

"Wes jan, mbak Hana. Ngalor ngidul ngechat ternyata nanya itu tho. "

Pipiku langsung merah.

"Jadi? Bisa ndak?"

"Inshaa Allah. "

Aku tersenyum getir.

"Inshaa Allah orang islam mba Hana."

Seketika senyumku sumringah.

-Hana Larasati

Antalogi

Aku hanya bisa terpaku memandangmu di balik pintu. Dua tahun, iya selama hampir dua tahun aku melakukan itu.

Kau bangkit dan berjalan keluar. Aku, si penakut hanya bisa bersembunyi di balik pilar. Menutupi raut wajahku yang pucat karena terlalu gugup.

Kakiku kebas karena terlalu lama berdiri. Tujuanku tak begitu rumit. Hanya memanggilmu dan berbicara padamu. Tapi rasanya seperti di suruh memecahkah teori relativitas einstein.

"Kamu cuma perlu memanggil namanya Hana." Bantinku.

Dia berlalu di depanku. Aku masih saja menjadi patung batu. Lidahku dibuat kelu dan mendadak bisu.

"Masih di sini?" Kata temanku mengagetkan.

Aku hanya menganguk.

"Belum bilang?"

Kemudian aku hanya menggeleng.

Dia menatapku putus asa. Dia pun menarik lenganku. Tapi aku buru-buru menepisnya dan menggeleng.

"Mungkin bukan sekarang. Udahlah." Kataku.

"Bener? Yakin gak mau ngomong?"

Aku hanya menganguk dan tersenyum ke arahnya.

"Oke. " Katanya kemudian masuk kedalam kelas.

Tapi kakiku masih saja terpaku. Dalam batinku berkata

"Pertanyaannya simple : Kamu bisa gak datang ke launching buku antalogi-ku, yang in shaa Allah kalau jadi di istiqlal. "

Tapi seolah kata-kata itu lebih berat dari massa bumi. Dan aku hanya bisa tersenyum menatap punggungnya yang pergi.

"Belum jodoh." Kataku pelan dan kemudian aku pun masuk ke dalam kelas.

-Hana Larasati

Selasa, 08 November 2016

Sajak Hujan.

Kau tersenyum melihatnya berdiri dengan kakinya. Di tengah hujan deras yang membasahi tubuhnya.

Dia pun tersenyum menatapmu di tengah hujan. Seorang perempuan itu dengan lukanya.

Dia menatapmu tak lepas. Kau pun melakukan hal yang sama.

Coba lihat kedalam matanya. Mata itu dulu selalu berair laksana hujan bulan november ini.

Tapi tak pernah kau dengar keluhnya menyesal memilihmu di hidupnya.

Dia masih tersenyum di tengah hujan. Dengan luka yang tidak bisa di jelaskan.

Beda denganmu. Senyum itu pudar. Di sapu penyesalan. Di hantam kesadaran.

Tak kau sangka kan? Kakinya mampu berdiri walau di tengah hujan.

Tak kau kira kan? Bibirnya mampu tak mengeluh di tengah luka yang dia rasakan.

Perempuan itu. Perempuan yang kau sia-siakan. Kini semakin kuat dari apa yang dia harapkan.

Perempuan itu. Perempuan yang kau buang dan kau tendang. Kini semakin bercahaya walau di guyur hujan.

Karena dia adalah perempuan baik.  Perempuan yang tidak merebut senyum perempuan lain demi membuat semua ceritanya menjadi senyum.

-Hana Larasati

Selasa, 01 November 2016

Mengubah Budaya

Mengubah Budaya

Aku tidak yakin akan judulku. Mengubah budaya? Atau mengubah paradigma?

Ada seseorang yang kasar omongannya. Aku menemuinya kemarin. Aku tidak bilang mulutku baik dalam berucap tapi, aku berusaha untuk itu.

Dia berteriak dengan sangat keras, pada seorang anak kecil di depan mataku hari ini. Yang aku pikir, tidak pantas di lakukan oleh seorang yang matang pemikirannya.

Sesaat aku lihat muka-muka ketakutan pada anak yang lainnya. Mereka menangis dan memelukku saat ingin pulang.

Kata orang, beginilah susahnya merubah budaya. Budaya adu domba, budaya merendahkan, budaya melecehkan.

Nawaitu ku saat masuk dalam dunia ini, aku tidak bilang aku ingin merubah mereka. Tidak, sama sekali tidak.

Bahkan, aku tidak pernah menuntut siapa pun untuk berubah sesuai kehendakku. Karena aku sadar, kita lahir dari gen yang berbeda. Dari pola asuh keluarga yang berbeda. Dan mempunyai pola pikir yang berbeda pula.

Aku tidak menuntut seseorang untuk berubah mengikuti jalanku. Toh nerakanya bukan urusanku dan surga pun belum tentu menjadi milikku.

Aku hanya mencontohkan apa yang aku kerjakan. Berusaha tidak berteriak ketika menyuruh. Mengucapkan tolong ketika meminta bantuan. Berterima kasih saat menerima bantuan.

Selalu ku tekankan dalam diriku. Jangan mencela orang yang tersesat, karena Tuhan pun masih adil pada orang jahat.

-Hana Larasati