Kamis, 30 Juni 2016

Cemburu

Seperti biasa kita bertemu di penghujung senja. Kau masih sama. Manis dan menenangkan.

Aku tersenyum menatapmu di bangku taman. Kau masih mengengam Al-Qur'an coklat pemberianku.

Terbesit rasa bersalah ketika mengingat kejadian semalam. Ketika laki-laki itu mengaku mencintaiku lagi. Entah bagaimana hancurnya hatimu jika tau kenyataan itu.

"Ada apa?" Katanya menatapku.

"Enggak ada apa-apa." Kataku sambil tersenyum padanya.

"Kamu enggak bakat bohong Noy." Katanya sambil melemparku dengan kertas.

"Beneran gapapa." Kataku meyakinkan, meskipun wajahku sangat tidak meyakinkan.

"Biar aku coba tebak."

"Apa deh kumis."

"Emmm.... mantan bilang suka lagi ya sama kamu." Katanya memvonis. Seketika aku pun langsung terbatuk.

"Tuh pasti bener." Lanjutnya lagi.

"Iya. Kamu marah ya? Maafin aku. Aku bener-bener minta maaf. Aku juga enggak tau, tau-tau dia bilang suka sama aku." Kataku panik. Aku benar-benar takut melukai hatinya.

"Oh begitu ya?" Katanya datar.

"Kamu marah ya sama aku?"

"Marah gak ya?" Katanya semakin membuatku bingung bagaimana menerjemahkan perasaannya.

"Kumis aku serius ih." Kataku semakin panik.

"Enggak Na, cuma heart attack aja. " Katanya mengedip genit ke arahku sambil memegang dadanya.

"Kumis ih!" Kataku sambil memukulnya dengan buku skripsi.

"Gak sekalian kamu pukul pake tiang lampu?" Katanya sambil mengelus tangannya.

"Maaf."

"Kamu mah minta maaf mulu kaya pak Ogah."

"Pak ogah mah minta duit kumis, bukan minta maaf."

Dia hanya tertawa kemudian memasukan al-qur'an nya ke dalam tas. Sekarang fokusnya ke arahku.

"Emang dia bilangnya gimana?"

Lalu aku pun menceritakan semua padanya. Dari bagaimana kita bertemu, hingga pertengkaran yang tak bisa di elakan. Kurang lebih memakan waktu selama hampir 10 menit.

"Jadi gitu.." kataku menutup cerita.

"Aku mau nanya dong."

"Boleh."

"Soal pelampiasan itu... apa bener?"

Aku hanya diam dan tak berani menatapnya. Sampai saat ini aku pun bingung bagaimana perasaanku pada Fahri.
"Yaudah kalau gak bisa jawab." Katanya tenang.

"Enggak kok." Kataku.

"Jangan bohong." Katanya

"Beneran sih."

"Aku emang gak sama kaya dia, sedikit pun enggak. Kita punya karekter masing-masing. Punya pemikiran yang beda dan cara pandang yang beda." Katanya

"Setiap dari kita punya kelebihan dan kekurangan masing-masing." Lanjutnya.

"Iya." Kataku singkat.

"Aku juga gak bisa kaya dia. Kamu juga tau keterbatasan aku..."

"Tapi aku tau lebih banyak kelebihan kamu." Potongku.

"Udah deh, gak usah dengerin atau kebawa hawa-hawa masa lalu. Sejauh ini toh kamu bisa jaga kepercayaan aku" Kataku simpel.

"Iya Noy."

"Nah gitu dong. Eh kumis aku mau nanya dong." Kataku

"Naon sih nanya mulu. Bayar!" Katanya memasang muka menyebalkan.

"Dasar mata recehan!"

"Dari pada mata keranjang. Pilih mana?" Katanya.

"Serius ih aku mau nanya."

"Yaudah sok nanya aja. Segala minta izin."

"Kumis, kamu produk gagal ya?" Kataku yang seketika membuat raut wajahnya berubah datar.

"Apa?"

"Iya, coba balik deh balik. " kataku sambil menyuruhnya memutar badanya.

"Apa sih Noy." Katanya bingung tapi tetap menurut.

"Tuh kan bener." Kataku dengan ekspresi seperti menemukan sesuatu.

"Apaan?" Katanya yang semakin bingung dan mencoba melihat punggungnya.

"Masa malaikat gak ada sayapnya. Produk gagal berarti kamu." Kataku sambil tersenyum ke arahnnya.

Dia pun tersipu dan tersenyum menatapku. Sambil berkata

"Sa ae tukang kolak." Katanya

Kita bukan pasangan. Kita hanya dua orang yang di pertemukan di jalan. Yang kebetulan tak hanya ilmu kita yang sejalan tapi hati kita juga.

Penilaianku masih sama tentangmu. Kaku, polos, dan gila jika sudah kenal lebih jauh. Kita bukan anak einstein yang hatam rumus fisika, atau anak borju yang hidupnya jalan-jalan keliling dunia. Kita cuma teman perjalanan. Dan teman hidup kalau beruntung. 😆

Np : CERITA HANYA FIKTIF JIKA ADA KESAMAAN KEJADIAN ATAU NAMA. JANGAN BAPER!

-Hana Larasati

Selasa, 28 Juni 2016

Pertengkaran

Kita bertemu di persimpangan. Kau menatap ku lekat di tengah malam yang pekat. Tak ada bintang malam ini. Bulan pun sepertinya bersembunyi.

Aku berjalan tegap. Bukan menantang, hanya menunjukan bahwa aku benar-benar baik-baik saja semenjak keperergianmu.

Sorot mata yang ku tunjukan ini masih sama, hanya rasanya saja yang berbeda. Bukan lagi kasih sayang melainkan kebencian.

Aku harap kekasihmu sadar, dan berhenti menuduhku masih menyimpanmu dalam ingatan. Karena mau atau tidak mau prasangkanya harus di patahkan. Rasa sakit yang begitu besar mustahil masih bisa menyisakan cinta.

Derap langakah kaki semakin mantap. Dulu memang aku sangat rapuh. Untuk sekedar yakin saja, aku membutuhkan sahabatku. Tapi kini, aku lebih kuat dari yang kau tau.

"Assalamualaikum." Ucapmu sopan. Kau menyungingkan senyum kepadaku.

"Wa'alaikumusallam."

"Kita harus bicara."

"Maaf gua buru-buru." Kataku sambil berjalan melaluinya.

"Gak akan makan waktu lama." Teriaknya ketika aku hampir menjauh.

Aku berhenti. Menjauhnya aku bukan karena takut terjebak masa lalu. Hanya saja pahit saat semua yang sudah di kubur harus di bahas dan di bongkar ulang.

"Apa? Semoga ini penting." Kataku singkat.

Dia berjalan mendekat, gesture tubuhnya mengisyaratkan aku untuk mengikutinya duduk di bangku jalan.

Kita duduk dengan jarak. Mataku ku fokuskan untuk menatap jalan. Memang keluar dari adab berbicara. Tapi masih terlalu sakit untuk sekedar menatapnya.

"Maafin gua." Katanya sambil menatapku

"Apa butuh waktu sampai 4 tahun buat bilang maaf?"

"Oke gua salah, gua udah bikin hati lu sakit.."

"Sorry, wait wait.. apa gua keliatan sakit? Gua sangat baik-baik aja. Oke mungkin waktu itu gua sempet sakit hati. Tapi itu dulu."

"Na, gua punya penjelasan kenapa gua ngelakuin itu."

"Penjelasan lu cuma jadi alasan di mata gua. Kalo yang mau lu bahas soal itu sorry gua masih banyak kerjaan. Jadi.. Assalamualaikum."

Aku pun berdiri dan berjalan meninggalkannya. Dia ikut bangkit dan mengejarku.

"Na, gua sayang lu!" Katanya.

Amarahku rasanya sudah sampai di ubun-ubun. Tanganku mengepal dan dadaku sesak. Aku pun berbalik dan menghampirinya.

"Lu gila ya! Lu sadar gak sih apa yang lu omongin itu!"

"Kenapa? Apa gua salah?"

"Pikirlah! Lu udah sama Asma, dan gua juga udah bahagia sama Fahri."

"Ya tapi gua sayangnya sama lu Na."

"Sakit lu ya!" Aku pun berjalan tak karuan sangking emosinya.

Dia hanya terdiam menatapku menjauh. Tak lama dia mengejarku.

"Kasih gua kesempatan ke dua Na."

"Pergi gua mohon." Kataku dengan suara yang mulai bergetar.

Dia berhasil merarik tanganku dan menghentikan langkahku.

"Apa setiap pembelaan yang gua kasih gak pernah bikin lu mikir!"

"Bukan gua yang harus mikir, tapi lu! Pikirin gimana perasaan Asma di sana. "

"Gua sama Asma udah putus hampir satu tahun yang lalu."

"Terus sekarang dengan lu dateng ke gua dan ngakuin perasaan lu, lu mau bikin gua putus juga sama Fahri?! Gak akan bisa. Gua udah bahagia sama dia."

"Lu yakin bahagia? Kebahagian lu itu cuma gua Na."

"Jangan terlalu percaya diri bung!"

"Gua tau, Fahri cuma jadi pelampiasan kan buat lu!" Katanya sarkas.

"Jaga omongan lu ya!"

"Lu gak pernah sayang sama dia. Lu cuma kesepian dan kebetulan Fahri selalu ada buat lu."

"Berhenti!" Kataku sambil menutup kedua telingaku dengan telapak tangan.

"Kenapa? Ada yang salah sama omongan gua?" Katanya yang semakin mendekat.

"Lu bener-bener..." Kataku putus asa.

"Na, berhenti pura-pura."

"Dulu, lu kan yang minta gua buat ngelupain lu? Sekarang setelah hubungan lu hancur sama Asma lu balik ke gua dan berharap hubungan gua juga ikut hancur kaya hubungan lu. Mau lu apa?"

"Gua cuma mau kesempatan kedua gua Na."

"Tapi gua gak yakin kalo kesempatan kedua yang gua kasih akan buat lu lebih baik dari kesempatan pertama." Kataku.

"Gak ada orang yang mau baca buku yang sama untuk ke dua kalinya. Assalamualaikum." Lanjutku.

Aku pun pergi meninggalkannya. Bersama angin malam yang menyapu membawa udara dingin.

Tidak ada air mata, hanya perasaan bersalah. Maafkan aku Fahri. Ujarku pelan. Tidak ada yang mau lukanya di bongkar lagi atas alasan apa pun.

-Hana Larasati.

Pertengkaran

Kita bertemu di persimpangan. Kau menatap ku lekat di tengah malam yang pekat. Tak ada bintang malam ini. Bulan pun sepertinya bersembunyi.

Aku berjalan tegap. Bukan menantang, hanya menunjukan bahwa aku benar-benar baik-baik saja semenjak keperergianmu.

Sorot mata yang ku tunjukan ini masih sama, hanya rasanya saja yang berbeda. Bukan lagi kasih sayang melainkan kebencian.

Aku harap kekasihmu sadar, dan berhenti menuduhku masih menyimpanmu dalam ingatan. Karena mau atau tidak mau prasangkanya harus di patahkan. Rasa sakit yang begitu besar mustahil masih bisa menyisakan cinta.

Derap langakah kaki semakin mantap. Dulu memang aku sangat rapuh. Untuk sekedar yakin saja, aku membutuhkan sahabatku. Tapi kini, aku lebih kuat dari yang kau tau.

"Assalamualaikum." Ucapmu sopan. Kau menyungingkan senyum kepadaku.

"Wa'alaikumusallam."

"Kita harus bicara."

"Maaf gua buru-buru." Kataku sambil berjalan melaluinya.

"Gak akan makan waktu lama." Teriaknya ketika aku hampir menjauh.

Aku berhenti. Menjauhnya aku bukan karena takut terjebak masa lalu. Hanya saja pahit saat semua yang sudah di kubur harus di bahas dan di bongkar ulang.

"Apa? Semoga ini penting." Kataku singkat.

Dia berjalan mendekat, gesture tubuhnya mengisyaratkan aku untuk mengikutinya duduk di bangku jalan.

Kita duduk dengan jarak. Mataku ku fokuskan untuk menatap jalan. Memang keluar dari adab berbicara. Tapi masih terlalu sakit untuk sekedar menatapnya.

"Maafin gua." Katanya sambil menatapku

"Apa butuh waktu sampai 4 tahun buat bilang maaf?"

"Oke gua salah, gua udah bikin hati lu sakit.."

"Sorry, wait wait.. apa gua keliatan sakit? Gua sangat baik-baik aja. Oke mungkin waktu itu gua sempet sakit hati. Tapi itu dulu."

"Na, gua punya penjelasan kenapa gua ngelakuin itu."

"Penjelasan lu cuma jadi alasan di mata gua. Kalo yang mau lu bahas soal itu sorry gua masih banyak kerjaan. Jadi.. Assalamualaikum."

Aku pun berdiri dan berjalan meninggalkannya. Dia ikut bangkit dan mengejarku.

"Na, gua sayang lu!" Katanya.

Amarahku rasanya sudah sampai di ubun-ubun. Tanganku mengepal dan dadaku sesak. Aku pun berbalik dan menghampirinya.

"Lu gila ya! Lu sadar gak sih apa yang lu omongin itu!"

"Kenapa? Apa gua salah?"

"Pikirlah! Lu udah sama Asma, dan gua juga udah bahagia sama Fahri."

"Ya tapi gua sayangnya sama lu Na."

"Sakit lu ya!" Aku pun berjalan tak karuan sangking emosinya.

Dia hanya terdiam menatapku menjauh. Tak lama dia mengejarku.

"Kasih gua kesempatan ke dua Na."

"Pergi gua mohon." Kataku dengan suara yang mulai bergetar.

Dia berhasil merarik tanganku dan menghentikan langkahku.

"Apa setiap pembelaan yang gua kasih gak pernah bikin lu mikir!"

"Bukan gua yang harus mikir, tapi lu! Pikirin gimana perasaan Asma di sana. "

"Gua sama Asma udah putus hampir satu tahun yang lalu."

"Terus sekarang dengan lu dateng ke gua dan ngakuin perasaan lu, lu mau bikin gua putus juga sama Fahri?! Gak akan bisa. Gua udah bahagia sama dia."

"Lu yakin bahagia? Kebahagian lu itu cuma gua Na."

"Jangan terlalu percaya diri bung!"

"Gua tau, Fahri cuma jadi pelampiasan kan buat lu!" Katanya sarkas.

"Jaga omongan lu ya!"

"Lu gak pernah sayang sama dia. Lu cuma kesepian dan kebetulan Fahri selalu ada buat lu."

"Berhenti!" Kataku sambil menutup kedua telingaku dengan telapak tangan.

"Kenapa? Ada yang salah sama omongan gua?" Katanya yang semakin mendekat.

"Lu bener-bener..." Kataku putus asa.

"Na, berhenti pura-pura."

"Dulu, lu kan yang minta gua buat ngelupain lu? Sekarang setelah hubungan lu hancur sama Asma lu balik ke gua dan berharap hubungan gua juga ikut hancur kaya hubungan lu. Mau lu apa?"

"Gua cuma mau kesempatan kedua gua Na."

"Tapi gua gak yakin kalo kesempatan kedua yang gua kasih akan buat lu lebih baik dari kesempatan pertama." Kataku.

"Gak ada orang yang mau baca buku yang sama untuk ke dua kalinya. Assalamualaikum." Lanjutku.

Aku pun pergi meninggalkannya. Bersama angin malam yang menyapu membawa udara dingin.

Tidak ada air mata, hanya perasaan bersalah. Maafkan aku Fahri. Ujarku pelan. Tidak ada yang mau lukanya di bongkar lagi atas alasan apa pun.

-Hana Larasati.

Sabtu, 25 Juni 2016

Kita

Tak mampu ucapkan kata-kata romantis saat bersama.. tak bisa seperti mereka .

Tak mampu ajak kamu makan berdua di restoran. Tak seperti mereka...

Tak mampu ajak kamu nonton berdua.. tak seperti mereka..

Tak mampu telfon setiap malam..
Tak seperti mereka..

Tak mampu ajak ketemu dan jalan-jalan bareng..
Tak seperti mereka..

Bukan kita orang ketinggalan zaman.
Cuma menghindari kemajuan zaman yang mulai aneh..
Tak cukup jika hanya sebagai sepasang kekasih tak karuan arah..
Harus ada pengikat..

Mungkin belum sekarang..
Tak mau banyak memaksa pada Allah..
Hanya mampu banyak-banyak bercerita ketika berduaan di sepertiga malam.. Mengadu semua hal.. .

Cukup dengar kabar..
Sehatkah?
Dimana kah?
Cukup.!

Nanti ada saatnya..😊 .

from  @febyanna_p -

Jumat, 24 Juni 2016

Amarah

Kali ini senja tak seindah biasanya. Untuk pertama kalinya dia membentakku. Sepertinya lukanya benar-benar parah.

Aku hanya menunduk tak berani menatapnya. Sebaliknya, dia berdiri dan menatapku tajam.

Aku sengaja tak bilang tentang ini. Aku pikir itu tak terlalu penting untuknya. Toh ini hanya masalah sepele dari masa lalu yang di ungkit lagi.

"Kamu harus selalu kaya gini?!"

"Apa salah aku?"

"Salahnya kamu gak pernah bilang kalau perempuan itu berkali-kali marah-marah sama kamu!"

"Ya karena itu enggak penting buat di bicarain."

"Terus buat kamu yang penting itu apa?!"

"Yaa.. banyak tapi bukan itu. Toh kalau pun aku bilang terus kenapa? Kamu mau balik marah sama dia gitu?" 

"Kamu tuh bener-bener ya. Di mata dia sekarang tuh kamu keliatan masih ngarep sama pacarnya. Kamu gak malu di tuduh gitu."

"Ya ngapain malu orang itu enggak bener."

" Astagfirullah Nirina!!"

"Astagfirullah Fahri."

"Aku tuh bingung mau gimana lagi sama kamu."

"Sama aku juga."

"Makanya kamu berhenti nulis masa lalu kamu. Banyak yang bisa kamu bahas gak cuma itu!"

"Tapi aku gak bisa berhenenti nulis."

"Aku gak nyuruh kamu berhenti nulis Na. Aku cuma mau kamu berhenti bawa-bawa masa lalu kamu."

"Itu sama aja kamu ngebatesin aku buat nulis. Apa bedanya sama nyuruh berhenti nulis?"

"Na.."

"Apa?"

Dia menatap putus asa ke arah ku. Dia pun memutuskan duduk di lantai, mungkin lelah menopang tubuhnya atau lelah menghadapi kenyataan bahwa aku menyebalkan.

"Fahri.." kataku yang ikut menyusulnya duduk di lantai tangga kampus.

Dia enggan menoleh ke arahku. Dia tetap duduk diam menatap jendela besar di samping tangga.

"Fahri, aku punya alasan kenapa aku gitu."

"Harusnya kalau kamu punya alasan kamu bilang ke aku."

"Percuma. Kamu juga gak akan ngerti."

"Kalau kamu mau jelasin aku pasti ngerti."

"Kamu gak akan ngerti gimana rasanya waktu kamu pertama kali jatuh cinta tau tau orang yang kamu cintai nyakitin kamu."

"Fix, i'm forgive but not forget. And you know,  Aku gak tau harus ngelampiasin kemana. Yang aku tau cuma nulis Ri. Kamu juga tau aku susah buat cerita sama orang lain."

"Tapi itu bukan alasan Na."

"Tuh kan bener kamu gak akan ngerti. Kamu gak ngeliat dari sudut pandang aku, kamu cuma ngeliat dari sudut pandang kamu, sama aja kaya dia." Kataku.

Dia hanya diam. Kemudian mengacak rambutnya dengan jari.

"Terserah kamu deh Na." Katanya sembari bangkit dan berjalan menjauh.

Aku hanya terdiam membatu melihat sosoknya yang berjalan menjauh. Tidak ada air mata hanya pengap dan sesak di dada.

"Aku pikir kamu bisa ngerti Ri." Kataku pelan. Tapi seberapa kuat aku tahan, bulir-bulir air mata ini akhirnya jatuh juga.

Beberapa menit meratap, akhirnya aku pun berdiri dan mengokohkan pijakanku. Berjalan gontai ke arah pintu. Dalam mata sembab yang terselubung air mata. Samar-samar aku melihat sosoknya duduk di atas motor.

Spontan aku langsung mengelap sisa-sisa air mataku. Ketika melihat sosokku dia berdiri dan menghampiriku.

"Aku pikir kamu udah pulang." Kataku dengan suara yang masih agak tersekat.

"Udah di elap dulu air matanya. Di pikir cantik apa kalo nangis." Katanya sambil tersenyum.

"Maafin aku." Kataku.

"Aku cuma gak mau kamu di tuduh macem-macem Nirina."

"Dia gak nuduh aku Fahri. Kita berteman kok."

"Kamu yakin berteman?"

"Iya." Kataku mantap.

"Na's gak ada sejarahnya mantan pacar sama pacar barunya mantan temenan."

"Kamu mah su'udzon terus orangnnya."

"Aku gak su'udzon. Cuma antisipasi toh prasangka itu manusiawi kan?"

"Aku percaya dia. Dimata aku perempuan itu selalu sama. Baik."

"Iya. Tapi jangan terlalu percaya sama orang Na."

"Iya Bang Kumis. Bawel nih!" Kataku sambil memukulnya dengan kertas.

"Oke siip." Katanya sambil mengacungkan jempolnya.

"Jadi? Ngambeknya gak jadi nih?" Kataku sambil tersenyum ke arahnya.

"Bodo."

"Yeeh. Padahal aku udah nangis tuh eh gak jadi." Kataku semakin meledeknya.

Dia menatapku sebal dan kemudian tertawa sambil berucap.

"Aku sayang kamu." Katanya pelan di perjalanan ketika mau mengantar ku pulang.

"Aku udah tau." Kataku yang kemudian lari dan masuk ke dalam angkot.

Dia hanya diam dan tersenyum di atas motornya. Sambil melambaikan tangan bibirnya bergerak mengucapkan hati-hati di jalan.

Entah makna cerita ini apa? Hahaha. Yang aku tau aku sayang dia.

Np : CERITA INI HANYA FIKTIF JIKA ADA KESAMAAN NAMA ATAU KEJADIAN JANGAN BAPER!

-Hana Larasati

Rabu, 22 Juni 2016

Untuk Idolaku

Mungkin ini waktunya. Sayap-sayap malaikat yang sempat menjadi hijab untuk memisahkanmu dengannya kini mulai tersingkap membuka.

Perempuan ayu yang dulu pernah luka hatinya. Kini muncul ke permukaan dengan cahaya keimanan dan kepintaran yang menyinari sekitarnya.

Masa-masa jahiliah pernah di lewatinya. Saat hati menolak untuk berpisah. Sangat wajar karena itu sebagian proses dari kehidupan manusia.

Laki-laki itu meninggalkannya karena satu alasan yang dulu sempat di tolak oleh akal manusia.

Dia meninggalkan perempuan ayu itu karena satu hal. Takut pada Sang Maha Kuasa. Alasan yang klise memang dan terselubung kebohongan apa lagi di usia yang sangat belia.

Tapi dia serius dengan ucapannya. Tak pernah ku lihat dia menyentuh perempuan yang bukan mukhrimnya. Jangankan menyentuh sekedar menatap pun dia tak bisa.

Di belahan bumi yang lain. Perempuan ayu itu pun mulai membenahi lukanya. Membalut sedikit demi sedikit dengan ilmu dan iman.

Hingga pada suatu masa dia benar-benar siap berdiri tegap di atas kakinya. Pikiranya lurus, selurus jalanMu menuju surga.

Hanya Engkau satu-satunya yang kini menjadi cinta di hatinya. Dia terus bergerak, berjuang melawan nafsu dan kebodohan di jalanMu.

Aku selalu banga dengan sosoknya. Perempuan akhir zaman yang menjadi pelita bagi sahabatnya.

Matanya yang teduh dan tutur katanya yang lebut tapi tegas untuk segala hal kemunkaran.

Dia tak hanya sahabat di mataku. Tapi guru dan teman hidup yang selalu menuntun jalanku.

Tak lepas lisanku mendoakan kebahagian mereka. Dua insan yang sempat terpisah karena taat pada Allah menjadi teladan untuk semua.

Mereka sadar ketika jatuh cinta Pencipta di urutan tertinggi dari pada ciptaanNya. Di jalan yang sulit, mereka berdua sama-sama menjadikan Allah sebagai pelindungnya.

Semoga kalian selalu bahagia. Bagaimana pun jalannya kedepan. Entah kalian akan di bersatukan lagi atau sama-sama mendapatkan yang terbaik, itu masih jadi rahasia.

Satu yang aku tau. Kalian adalah salah satu teladan di akhir zaman ini. Yang walau pun aku tau keterbatasan manusia dalam melawan nafsunya, tapi kalian bisa meredamnya.

Benar-benar menjaga izzah dan iffah hingga kata halal terucap. Semoga terus menjadi contoh untuk para sahabat mu ya. Kalian pasti lebih tau bahwa yang baik untuk yang baik. Semoga kalian berdua mendapatkan yang terbaik. Aamiin.

-Hana Larasati

Ar- Rahman dan Al-Qur'an Coklat

Aku mengintipnya dari sudut mataku. Dia duduk tepat di depanku. Kali ini dia mengenakan koko coklat.

Rambutnya yang biasanya tergerai sebahu, kali ini dia ikat rapi. Aku terus menatapnya. Tak terasa sesunging senyum terlontar untuknya.

Dia berjalan dengan tegap keluar kelas, ketika pergantian mata kuliah. Aku masih saja mengintipnya dari bangku.

Ingin sekali mulutku mencegahnya pergi. Tapi... ah lancang sekali lisan ini. Jadi aku memutuskan untuk merunduk lagi.

Dari tiap detik yang berpendar hanya dia yang melekat dalam ingatan. Membuat senyum terkembang dengan lebar.

Tiba akhir jam mata kuliah, dan mataku terus mencari sosoknya. Dalam derap langkah para mahasiswa yang keluar dari kelasnya. Mataku tak lepas mencari dimana dia?

"Nyari siapa non?" Suara yang aku kenal betul siapa orangnya. Aku pun memejamkan mata malu dan berbalik berharap tebakan ku salah.

Dia sudah berdiri gagah di hadapanku. Seakan dari tadi menungguku keluar pintu. Seketika terlihat semburat merah jambu di pipiku.

Aku mencoba menenangkan debar ini saat berpapasan dengannya. Tapi dia seolah memiliki telepati ke otakku hingga selalu tau bahwa aku sedang meredam perasaanku.

"Gak nyari siapa-siapa." Kataku singkat.

"Mana mungkinnnnn." Katanya mengejek. Dia benar-benar menyebalkan jika sudah begini.

Aku pun berlalu pergi. Usaha yang jitu untuk menetralisir detak nadiku. Tapi dia mengikutiku seperti Tinkerbell dengan Pater Pan.

Aku pun melangkah kan kaki dengan sedikit berlari. Dia masih saja mengikutiku di belakang. Hingga kita berpisah di suatu lorong. Dia masuk ke salah satu kelas di sana. Aku pun menghela nafas lega.

Dia pria pendiam yang hanya mengamatiku lewat senyum dan tatapan mata. Entah kenapa akhir-akhir ini dia menjadi agak menyebalkan.

Muncul tiba-tiba, tanpa suara dan selalu mengagetkan. Aku pun duduk di pinggir taman. Membuka halaman perhalaman bukuku. Mencoba mengerjakan tugas-tugas yang aku rasa baru bisa menyelesaikan semua tugas ini ketika lulus.

"Mau di bantuin gak?" Suara itu lagi. Benar kan kataku, dia selalu datang tiba-tiba bagai hantu.

"Enggak." Kata ku singkat.

"Kenapa? gua bisa kok ngajarin lu." Dia sekarang duduk di sampingku.

"Karena, lu bukan ngajarin gua, tapi ngerjain tugas gua. Gimana gua mau bisa kalo gitu terus?" Kataku yang masih sibuk menghitung rumus fuzzy.

Dia hanya mengangkat bahunya kemudian menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya.

Kita terdiam cukup lama. Hanya suara angin dan deru kendaraan yang membuat suasana tak begitu sunyi.

"Mantan masih ngehubungin?" Katanya yang langsung membuka percakapan tanpa basa basi.

"Enggak kok, terakhir dia cuma ngehubungin pas awal puasa." Kataku yang masih saja menulis.

"Apa?" Matanya mulai fokus padaku.

"Dia bilang gua suruh ngelupain dia." 

"Haha. Orang mah bulan puasa dateng minta maaf, ini minta di lupain. Antik." Dia tertawa mengejek.

"Gak taulah. Setelah 2 tahun ngilang tanpa kabar, dateng-dateng cuma bilang minta di lupain. "

"Lah udah kaya film AADC."

Dia mulai mendekatkan letak duduknya denganku. Dan berbisik pelan di kupingku.

"Bilangin dia Han. Kurang-kurangin yang kaya begitu." Lanjutnya

"Sudi!"

Dia tertawa mengejek. Tersemat lesung pipi pada kedua pipinya. Aku suka jika sudah begitu. Wajahnya benar-benar sangat manis.

"Lu sakit hati gak Han? Atau kesel gitu?" Katanya.

"Sakit hati buat masalah kaya gitu? Lu bercanda? Banyak yang harus di pikirin."

"Tapi perlakuannya."

"Ya dia begitu mungkin karena emang gua salah dari sudut pandangnya." Kataku santai.

"Lu masih sayang ya Han?" Katanya yang sekarang mulai mendekatkan mukanya ke binderku. Meneliti rumus-rumus yang aku gunakan dalam mengerjakan tugasku.

"Ada gitu hubungannya? Itu cuma pemikiran gua aja." Kali ini aku menutup bukuku tepat di depan mukanya yang ingin tau.

"Tapi itu lu ngebela." Katanya tak mau kalah. Sekarang dia benar-benar sangat menyebalkan.

"Harus ya setiap kita ketemu, masa lalu yang harus di bicarain?!"

"Ya.. karena gua masih aja rancu."

"Kita gak mau ngomongin soal kita?" Kataku yang membuat matanya menyorot ke mataku.

"Kita?"

"Iya. Gimana tilawahnya? Yang janjiin surah Ar-Rahman apa kabar ya?" Aku menatapnya mengejek. Dia sedikit salah tingkah dan aku suka.

"Em... baru hafal 5 ayat Han." Katanya malu.

"Semangat ya." Kataku.

Dia hanya tersenyum simpul dan langsung membacakan 5 ayat yang berhasil dia hafal.

"Ar Rahman. Allamal qur'an. Khalaqal insān. Allamahul bayān. Asy syamsu wal qamaru bihusbān."

Aku hanya tersenyum menatapnya menghafal. Dengan mata tertutup, hanya bibir yang mengantup-antup membuat kumisnya yang tipis bergoyang mengumamkan ayat suci Al-qur'an.

Mungkin dia bukan laki-laki dengan tipe penampilan anak masjid. Walaupun dia selalu berusaha begitu. Tapi usahanya selalu saja membuatku terkikik.

Walaupun begitu dia selalu menjauhi hal-hal yang dilarang selama hidupnya berkat nasihat ayahnya. " Sebelum kamu melakukan sesuatu, ingat kamu menyandang nama Muhammad."

Aku masih saja menatapnya. Dia masih tertunduk membuka aplikasi Al-qur'an dalam handphonenya. Bibirnya masih mengantup-antup mengumamkan ayat-ayat yang ada di dalamnya.

"Jangan ngeliatin nanti batal puasanya." Katanya yang sukses membuat aku jadi salah tingkah.

"Fa bi'ayyi ala'i rabbikuma tukazziban." Kataku membalasnya.

"Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan?" Aku mengerling ke arahnya dan mulai menatap jalan lagi.

Dia hanya tersipu malu. Dan bergumam pelan.

"Makasih kamu mau mengenalkan aku pada Tuhanku dan Tuhanmu."

"Aku tidak mengenalkan hanya sedikit mengajak mu menjadi teman perjalanan. Dan dalam perjalanan aku sedikit bercerita tentang tempat tujuan kita. Alhamdulillah kamu mau tau, dan akhirnya jatuh cinta pada tempat tujuanmu."

"Terima kasih." Katanya yang masih mengengam Al-Qur'an coklat hadiah ulang tahun ke 21 nya yang aku berikan beberapa bulan yang lalu.

-Hana Larasati

Senin, 20 Juni 2016

Pesan Ibuku

Aku pernah menemukanmu dalam dizkir panjang. Tak terasa lisan dengan lancang menyebut namamu di depanNya.

Aku tau ini salah, saat iffah dan izah yang mati-matian aku syiarkan dalam lisan dan tulisan goncang karena sedetik kerlingan matamu.

Senyum ini masih tersekat Tuan, karena pada saat yang sama Tuhan sedang memperhatikan.

Mata ini masih merunduk Tuan, walau kadang sesekali durhaka untuk melihatmu yang belum pantas untukku.

Aku pernah membaca, entah sajak atau tulisan seseorang yang sedang resah hatinya sepertiku.

"Saat seorang hamba jatuh cinta ia sedang mempertaruhkan jalan hatinya. Lebih condong kemana. Ciptaan-Nya atau Penciptanya "

Berat memang menahan semua ini di usiaku yang tergolong masih dini. Perasaan yang menuntut di sampaikan dan cinta yang menuntut untuk di ungkapkan.

Bukan tau mu akan perasaanku yang aku tuntut. Tapi kesabaran ku untuk menahan semua ini yang selalu aku semogakan di setiap doa. Seperti Fatimah pada Ali atau Muhammad SAW dan Khadijah. Yang menjaga perasaannya hingga batas sepi.

Ibuku pernah berpesan "kamu boleh menyukai siapa saja, tapi bukan berarti apa yang kamu sukai itu yang akan kamu pilih. Pilihlah pilihan yang di pilih Allah. Maka kamu akan beruntung. Sebab tidak semua yang kamu sukai akan baik bagimu dan tidak semua apa yang kamu benci akan buruk bagimu."

-Hana Larasati

Hidup dan Mati, bagai Adzan dan Iqomah

Malaikat kini sedang memayungi sang empunya jasad. Silih berganti berdoa memohon safaat untuk sang mayat.

Sayap-sayap teduh dalam irama doa ta'ziah berpendar bagai cahaya yang tak kasap mata.

Satu hikmah yang tercurah dalam siang yang haru ini. Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.

Saat raga tak bisa lagi bergerak, nyawa yang terbang meninggalkan jasad. Mulut terkunci dan tangan kaki tak bisa meronta melawan takdir. Saat itu pula Allah satu-satunya tempat kembali.

Mungkin roh melihat gurat kesedihan, dari sanak keluaraga dan sahabat. Tapi tak ada lagi yang bisa di lakukan. Bahkan untuk mandi dan bersuci pun harus di mandikan.

Terbesit pertanyaan diri. Kemana hartamu? Kemana anak-anakmu? Kemana istri/ suamimu? Bisakah ia merasakan sakitnya sakaratul maut, yang orang yang paling suci pun Rasulullah SAW mengeluh akan sakitnya.

Dimana rumahmu? Dimana pekerjaanmu? Saat tempat terakhir yang kau tau hanya lubang kecil dan di tutup tanah. Alangkah gelapnya. Alangkah sempitnya. Tidak kah sesak? Tidak kah pengap?

Aku jadi teringat kisah Abu Hurairah saat berada pada sakaratul mautnya. Dia menangis sejadi-jadinya. Bukan karena dia mencintai dunia. Ketika ia sakit menjelang kewafatannya, tampak ia amat sedih dan menangis, sehingga orang-orang menanyakan sebab kesedihannya tersebut. Abu Hurairah berkata, “Aku menangis bukan karena sedih akan berpisah dengan dunia ini. Aku menangis karena perjalananku masih jauh, perbekalanku sedikit, dan aku berada di persimpangan jalan menuju ke neraka atau surga, dan aku tidak tahu di jalan mana aku berada?

Ketika banyak sahabat yang menjenguknya dan mendoakan kesembuhan baginya, segera saja Abu Hurairah berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah rindu bertemu dengan-Mu, semoga demikian juga dengan Engkau….!

Semua hal yang di kejar saat di dunia pada akhirnya harus di tinggal. Hanya tiga perkara yang benar-benar membantu suatu perjalanan. Yaitu Amal ibadah, ilmu yang betmanfaat, serta anak yang soleh.

Sudah cukupkah bekal itu? Sudah berapa banyak amal soleh yang kau kerjakan. Amal tanpa balas perhatian manusia. Amal tanpa rasa ujub dan riya? Sudah yakinkah bahwa amal mu akan di terima Sang Empunya Agenda Dunia?

Sampai dimana kau menyiarkan ilmu mu untuk masyarakat? Sampai dimana ilmu mu membuat orang merasa bahwa itu akan bermanfaat? Ketika kau selalu membangkan kepintaran otakmu, tapi kau lupa kepintaran hatimu untuk peka  terhadap apa yang ada di sekitarmu.

Apa kau yakin ilmu yang kau kejar mati-matian itu akan menjadi ilmu bermafaat yanh akan menyelamatkanmu dari azab kubur?

Dimana anak yang selama ini kau manja dan kau didik dengan urusan dunia? Bisakah ia membacakan doa untuk ayah dan ibunya? Ingatkan dia saat sepeninggalmu?

Atau bagaimana dengan kita? Sudah merasa pantaskah di sebut anak soleh dan solehah. Penerang jalan gelap di akhirat untuk ayah dan bunda?

Saat lisan selalu membentak. Saat perintah selalu di tolak. Saat kebohongan menjadi hal yang lumrah. Apa yakin kita bisa memberikan bantuan dari apa yang kita lakukan?

Ini hanya sebuah kisah. Curahan perasaan dari seorang hamba yang jahil yang ilmunya masih sedikit. Yang lisannya masih suka menyakiti hati dan perilakunya masih dzolim.

Tapi Allah sebaik-baiknya tempat kembali. Allah sebaik-baiknya yang mengetahui isi hati. Semoga kita selalu pada jalanNya. Meski sulit dan sering terjatuh semoga kita tetao istiqomah. Karena jarak hidup dan kematian bagai adzan dan iqomah. Sangat dekat. Semoga jadi pembelajaran yang berharga. Aamiin.

Untuk yang di tinggalkan semoga di beri kesabaran dan ketabahan. Aamiin.

-Hana Latasati

Minggu, 19 Juni 2016

Pantas dan Masa Lalu

Kita berjalan beriringan di tengah siang yang terik. Aku menarik nafas panjang, yang hasilnya paru-paruku lebih banyak terisi polusi dari pada oksigen.

Dia berjalan di depan. Tanpa ekspresi dan kaku. Kakak kelas yang punya banyak penggemar itu benar-benar lebih mirip patung batu yang mukanya di pahat.

Hari ini dia mengenakan koko cokkat, rambutnya yang sebahu biasanya tergerai rapi, kali ini dia ikat. Selama perjalanan aku hanya berani menatap punggungnya saja. Tanpa berani berkata dan bersuara.

Dia terus berjalan di depanku. Sesekali menengok ke belakang hanya untuk sekedar memastikan aku tak tertinggal.

Tak ada 2 menit perjalanan, akhirnya kita pun sampai di kelas. Hawa dingin AC langsung menyapa kulitku yang terbakar terik siang. Membuat darah yang tadi hampir mendidih menjadi ternetralisir lagi.

Aku langsung mencari tempat strategis untuk duduk melepas lelah. Aku memilih di pojok belakang supaya aku bisa menyandarkan kepalaku di dinding.

Dia mengeser bangkunya dekat denganku. Aku yang sibuk membaca ayat-ayat Al-Qur'an di handphone hanya meliriknya dari sudut mataku.

Matanya sesekali menatap mataku. Tapi kita tetap bisu. Dia melakukan itu berulang-ulang. Aku yang akhirnya jengkel dengan kelakuannya pun memberanikan diri untuk bicara.

"Ada apa?" Kataku sambil menutup handphoneku.

"Enggak." Katanya singkat.

"Jangan bohong. Puasa. Nanti batal. " kataku yang sekarang duduk menghadapnya.

Dia mulai menatap wajahku dengan malu. Aku bisa melihat itu. Karena perubahan air mukanya, yang tadinya kaku kini mulai memudar dengan sedikit semburat merah di pipinya.

"Gua mau tanya."

"Silahkan." Kata ku.

"Lu beneran gak mau pacaran?"

"Iya."

"Beneran?"

"Iya. Ngapain juga pacaran. "

"Ya biar dapet jodoh."

"Emang udah pasti kalo pacar kita itu jodoh kita? Pacaran itu cuma kegiatan merawat dan menjaga jodoh orang lain." Kataku sambil menyungingkan sedikit senyum.

"Kolot." Katanya yang sekarang mulai membuka laptop.

"Tapi yang kolot itu, yang di perintahkan rosul. Gimana dong?"

"Tau ah."

"Jangan ngambek sih."

"Gak ngambek."

"Sama-sama saling memantaskan aja."

"Gua gak akan pernah pantas buat lu sayangnya."

"Kenapa gitu? Emang definisi pantas menurut lu itu gimana sih? Coba-coba mau tau?" Kataku. Dia mulai menatapku lagi dan menutup laptopnya.

Dia hanya terdiam. Merunduk dan engan menatapku. Aku pun berujar pelan dan lembut kepadanya.

"Pernah denger kisah pada zaman rosul. Ketika ada seorang kafir quraisy yang ingin menikahi seorang perempuan muslimin. Perempuan itu salah satu perempuan yang baik pada zamannya. Ketika itu perempuan itu menolak laki-laki tersebut karena imannya. Tapi laki-laki itu pantang menyerah dan akhirnya perempuan itu mengajukan satu pertanyaan 'apa benar jika kamu benar-benar ingin menikahi saya?' Kemudian laki-laki kafir quraisy itu berkata 'benar.' Dan si perempuan itu mengajukan satu syarat yaitu 'kalau begitu kau harus memberikan mahar untukku.' Laki-laki itu pun bertanya 'apa maharnya.' Kemudian perempuan itu menjawab 'masuk islam.' Dan laki laki itu menyangupinya."

"Memantaskan itu bukan cuma perkara kita sama dalam satu kufu, suku, ras, kasta, derajat. Memantaskan buat gue itu pantas gak sih orang itu ada dalam hidup kita setiap hari. Pantas gak sih orang itu yang selalu menemani di saat senang dan susah, dan pantas gak sih orang itu di ajak bersama-sama berjalan di jalan Allah. Definisi 'pantas' sering di salah artikan dan hanya di lihat pada lingkup dunia saja. Selama dia mau berusaha dan belajar jadi baik ya, menurut gua dia masuk kategori pantas."

Dia hanya tersenyum menatapku. Matanya berbinar-binar kali ini. Tak lepas korneanya dari sosok ku.

"Apa begitu?"

"Iya. Setiap orang pasti punya masa lalu yang kelam. Tapi sebaik-baiknya manusia dia yang mau belajar dan berusaha menjadi yang lebih baik."

"Tapi, gak semua orang bisa nerima masa lalu seseorang."

"Nah, itu ujiannya. Kebanyakan orang lebih banyak mengingat kejelekan orang lain dari pada kebaikannya. Sabar aja selama mau usaha jadi baik Allah pasti bantu."

Dia masih tersenyum, aku bisa melihatnya walaupun tertutup layar laptop yang dia buka kembali. Tapi senyumnya hanya bertahan sebentar dan mulai memudar lagi, berganti dengan raut keragu-raguan.

"Apa Allah mau nerima gua? Gua rasa Allah jauh banget dari gua."

"Allah sebaik-baiknya tempat kembali. Bukan Allah yang jauh, tapi lu yang menjauh. Coba deh buka hati lu buat Allah, tempatin Dia di tempat yang paling tinggi. Terus rasain sensasinya."

"Tapi gua bingung mau mulai dari mana?"

"Coba mulai dari memperbaiki solat lu. Karena kokohnya iman seseorang di liat dari kokohnya dia menjaga solatnya."

Sebagian orang mungkin punya masa lalu yang kelam. Jauh dari Tuhan, jauh dari Al-qur'an tapi bukan berarti masa depannya sama dengan masa lalunya.

Hidayah, keberkahan, dan rahmat selalu hadir di waktu yang tidak pernah di sangka-sangka. Jadi jangan pernah mencela seseorang karena masa lalu nya karena kita tidak pernah tau kapan Allah akan mengangkat derajatnya.

-Hana Larasati

Rabu, 15 Juni 2016

Aku hanya mendengar gema, yang berbisik lirih merasuk ke hati. Tangismu. Iya tangismu ada di sana. Tersembunyi di balik sudut mata yang terlihat baik-baik saja.

Ketika kau mengusirku pergi. Aku lihat dengan jelas guratan penyesalan di sudut mata beningmu. Dan kau harusnya tau sudut matamu tak pandai berbohong seperti lidahmu.

Bias itu, mengisyaratkan aku untuk menetap dan jangan pernah menghilang. Tapi seperti ada tekanan yang membuncah di ronga-ronga rusukmu. Kau tertekan Tuan!

Baiklah jika kau ingin aku pergi. Tapi aku pergi bukan terusir. Aku sudah lama berkemas hanya kau saja yang tidak tau bahwa hatiku sudah lama hijrah.

Jangan khawatir. Kau bukan lagi prioritasku jadi kau bukan urusanku. Dan segala hal yang menyangkut dirimu bukan menjadi topikku.

Satu pertanyaan ku. Bahagiamu di sana bukan semu seperti fatamorganakan?

*cerita hanya fiktif dan jangan baper!!!

*Hana Larasati

Senin, 13 Juni 2016

TISARIANA

12 tahun dalam satu hari. Tidak ada yang berubah dari ukhuwah kami. Selalu terikat kuat karena cinta Ilahi.

9 Agustus 2004 kami membuat sepakat. Tak terpikir hari ini akan semakin kuat. Cinta, pengertian, kasih sayang, selalu tercurah dalam rahmat Tuhan.

Kita tertawa tanpa jeda. Pembicaraan kali agak berbeda. Jika 12 tahun yang lalu kita hanya berbincang soal sekolah, kali ini kita berbincang tentang dunia dan rencana.

Sebuah ikatan yang di restui Ilahi. Tak akan luntur hanya karena ego diri. Semoga semakin kuat dan terikat. Bukan hanya di dunia tapi sampai di akhirat. Aamiin.

Kamis, 09 Juni 2016

APA ITU IMSAK?

Imsak adalah penanda waktu sekitar sepuluh menit sebelum waktu fajar untuk memberitahukan supaya segera selesaikan makan sahur.

Imsak hanya dikenal di Asia Tenggara (Khususnya Indonesia), kemungkinan yang membuat ajaran Imsak ini berniat baik agar kita ada waktu untuk bersiap diri melaksanakan sholat dan mempersiapkan waktu terbitnya fajar.

Namun Islam yg diajarkan Rasulullah Saw sudah sempurna sehingga tidak perlu ditambah atau dikurangi. Akibatnya pada hari ini banyak umat menganggap batas akhir makan sahur adalah Imsak Sehingga menghilangkan Ajaran Rasulullah Saw yg

Sesungguhnya.
Dalilnya :
"Jika salah seorang dari Kamu Mendengar Adzan Sedangkan ia Masih Memegang Piring (Makanan), Maka Janganlah Ia Meletakkannya Hingga Ia Menyelesaikan Hajatnya (makannya).
[HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim, dishahihkan oleh Adz Zahabi]

Ibnu Umar berkata, "Alqamah Bin Alatsah Pernah Bersama Rasulullah, Kemudian Datang Bilal akan mengumandangkan adzan, kemudian Rasulullah Saw Bersabda, "Tunggu sebentar wahai bilal..❗️, Alqamah sedang makan sahur".
[Hadist ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani]

"Dan Makan Dan Minumlah Kamu Hingga Terang Bagimu Benang Putih Dan Benang Hitam Yaitu Fajar". (QS Al Baqarah 2 : 187)

Jadi sahabatku,Batas Santap Sahur Adalah waktu fajar (saat adzan subuh/fajar), Bukan IMSAK.

"Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu maka tinggalkanlah". (QS Al Hasyr 59 : 7)
Mohon sebarkan pesan ini, agar tidak makin tersebar kesalahan dan kekeliruan di masyarakat, terutama keluarga kita dalam melaksanakan amalan di bulan Ramadhan..
بَارَكَ اللهُ فِيْك....

@dakwahislam

Kisah 70.000 Malaikat menghalangi matahari

Ada sebuah cerita yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik RA Disuatu pagi Rasulullah SAW berbarengan dengan sahabatnya Anas bin Malik RA saksikan satu keanehan. Bagaimana tidak, matahari terlihat sekian redup dan kurang bersinar seperti umumnya.

Selang beberapa saat Rasulullah SAW dihampiri oleh Malaikat Jibril.

Lantas Rasulullah SAW kemukakan pertanyaan pada Malaikat Jibril : “Wahai Jibril, mengapa Matahari pagi ini terbit dalam keadaan redup? Walaupun sesungguhnya tak mendung? ”

“Ya Rasulullah, Matahari ini tampak redup karena demikian banyak sayap sebagian malaikat yang menghalanginya. ” jawab Malaikat Jibril.

Rasulullah SAW kemukakan pertanyaan lagi : “Wahai Jibril, berapakah jumlah Malaikat yang menghalangi matahari saat ini? ” “Ya Rasulullah, 70 ribu Malaikat. ” jawab Malaikat Jibril.

Rasulullah SAW kemukakan pertanyaan lagi : “Apa sangkanya yang menjadikan Malaikat menutupi Matahari? ”

Lantas Malaikat Jibril menjawab : “Ketahuilah wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah SWT sudah mengutus 70 ribu Malaikat supaya membacakan shalawat pada satu di antara umatmu. ”

“Siapakah dia, wahai Jibril? ” ajukan pertanyaan Rasulullah SAW.

“Dialah Muawiyah…!!! ”jawab Malaikat Jibril.

Rasulullah SAW kemukakan pertanyaan lagi : “Apa yang telah ditangani oleh Muawiyah hingga saat ia wafat dapatkan kemuliaan yang sekian mengagumkan ini? ”

Malaikat Jibril menjawab : “Ketahuilah wahai Rasulullah, sebenarnya Muawiyah itu semasa hidupnya banyak membaca Surat Al‐Ikhlas di saat malam, siang, pagi, saat duduk, saat jalan, waktu berdiri, bahkan juga dalam tiap-tiap keadaan selalu membaca Surat Al‐Ikhlas. ”

Malaikat Jibril melanjutkan penuturannya : “Dari itu Allah SWT mengutus sebagian 70 ribu malaikat untuk membacakan shalawat pada umatmu yang bernama Muawiyah itu. ”

Subhanallah, sungguh besar kekuasaan Allah SWT Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Silahkan LIKE&SHARE jika dirasa bermanfaat.....

cek juga IG instagram.com/dakwahislamid

Ada Cinta Di Papua

Inilah salah satu akhlak yang di ajarkan oleh agama manapun. Karna yang kutahu semua Agama mengajarkan cinta kasih sesama manusia, kelembutan, kesabaran.
Seperti dalam foto ini. Terlihat sebuah keharmonisan antara orang tua dan anak meski beda Agama.

Rudi kecil memilih memeluk agama Islam, sedang sang ayah beragama Keristen.
Meski beda agama keharmonisan Anak dan orangtua di Papua ini tidak sedikitpun menimbulkan sebuah masalah dalam kehidupan sehari".

Bahkan Rudi juga di izinkan oleh sang ayah untuk menimba ilmu di Pon Pes Al Payage.
Lihatlah betapa perbedaan suatu agama tidak menjadi sebuah sekat dalam keluarga. Rudi yang setiap hari mengaji, mendengar petuah" Kh Saiful Islam Al Payage di Pondok, mengerti betul pentingnya Akhlak terhadap orang tua meski berbeda Agama.

Saya jadi teringat sebuah kisah. Dimana dahulu ketika Kanjeng Rasulullah SAW mengakhiri salat subuh berjamaah dengan salam, lalu melakukan zikir bersama-sama dan selesai berdoa, Sahabat Umar bin Khaththab memberanikan diri untuk bertanya kepada Rasulullah.

“Wahai Rasulullah, mengapa hari ini salat Subuhmu tidak seperti biasanya?”

“Kenapa? Apa yang berbeda?” Tanya Nabi.

“Sangat lain, ya Rasulullah.
Biasanya engkau ruku dalam rakaat yang kedua tidak sepanjang pagi ini. Tapi engkau ruku lama sekali. Mengapa?”

“Aku juga tidak tahu. Cuma tadi, pada saat aku sedang ruku dalam rakaat yang kedua, Malaikat Jibril turun lalu menekan punggungku sehingga aku tidak dapat bangun I’tidal.”

Umar semakin heran.
“Mengapa Jibril berbuat seperti itu, ya Rasul?”

Nabi menggeleng ramah seraya berkata, “Aku juga belum tahu, karena Malaikat JIbril belum menceritakannya kepadaku.”

Dengan perkenan Allah SWT, beberapa waktu kemudian, Malaikat Jibril, berkata kepada Nabi SAW:

“Ya Muhammad. Aku tadi diperintahkan Allah SWT untuk menekan punggungmu dalam rakaat yang kedua. Sengaja agar Ali mendapat kesempatan shalat berjamaah denganmu, karena Allah sangat suka kepadanya bahwa ia telah menjalani ajaran agama-Nya secara bertanggung jawab, yaitu dengan menghormati seorang kakek tua beragama Yahudi. Dari penghormatannya itu sampai terpaksa dia berjalan pelan sekali. Jika punggungmu tidak kutekan tadi, pasti Ali akan terlambat dan tidak memperoleh peluang untuk menunaikan shalat Subuh berjamaah bersama denganmu.”

Kenapa dengan Sahabat Ali?
Inilah kisahnya:

Pada hari itu Sahabat Ali bin Abi Thalib bergegas bangun untuk dapat mengerjakan shalat Subuh berjamaah seperti biasanya di masjid bersama Rasulullah SAW.

Langit masih amat gelap ketika Sahabat Ali keluar dari rumahnya dan berjalan tergesa-gesa menuju ke masjid.

Sahabat Bilal sudah memanggil-manggil dengan suara azannya yang berkumandang merdu ke segenap penjuru dan sudut-sudut kota Madinah.

Namun ketika Sahabat Ali bin Abi Thalib berada di jalan menuju tempat jamaah yang jaraknya masih cukup jauh, ternyata di depannya ada seorang kakek tua beragama Yahudi yang melangkah pelan sekali karena usianya yang telah lanjut (uzur).

Kakek itu berjalan tertatih-tatih.
Sahabar Ali sebenarnya sudah berusaha agar tidak ketinggalan mengerjakan salat tahiyatul masjid dan qab liyah Subuh sebelum bersama Rasulullah SAW dan para sahabat lainnya melaksanakan jamaah.
Tapi, lantaran Nabi mengajarkan supaya setiap umat Islam menghormati orang tua, siapa pun orang tua itu dan apa pun agamanya, maka Sahabat Ali terpaksa berjalan di belakang kakek itu.

Karena si kakek berjaan amat lambat, Sahabat Ali pun melangkah sangat pelan. Kakek itu lemah sekali, dan Ali tidak sampai hati untuk mendahuluinya, takut kalau-kalau kakek Yahudi tersebut kena celaka atau terjatuh.
Akibatnya, ketika mendekati masjid langit sudah hampir kuning.

Kakek itu melanjutkan perjalanannya, melewati masjid dan tidak masuk ke dalamnya, sebab tempat ibadah agama Yahudi bukan di masjid. Sahabat Ali menyangka shalat Subuh pasti sudah usai. Namun ia tetap cepat-cepat masuk ke dalam masjid.

Alangkah herannya Sahabat Ali. Tahu-tahu Nabi dan para sahabat masih ruku pada rakaat yang kedua, berarti ia masih bisa mengerjakan shalat subuh berjamaah walaupun tertinggal rakaatnya.

Wallohu'alam

Silahkan LIKE&SHARE jika dirasa bermanfaat.....

cek juga IG instagram.com/dakwahislamid

Mr.Kumis

Dia menatapku lewat mata bulatnya. Meyakinkan aku bahwa tidak sedang baik-baik saja.

Kaos hijau toska yang berkibar di terpa angin sore membuatnya tampak gagah. Rambutnya masih sepundak dan berkumis tipis.

Belum pernah hatiku bergetar seperti ini lagi, di saat aku yakin pasti ada sesuatu yang tidak baik. Pipiku pun bersemburat merah seperti matahari sore ketika dia menatap ku lama.

Dia hanya tertawa mengejek rona merah pada pipiku dan menyentil keningku. Kebiasaan buruknya yang selalu aku cela.

"Kamu masih belum bisa move on?" Dia berdiri menatap lurus ke jalan. Entah kenapa kata-kata itu tiba-tiba muncul dari mulutnya.

"Manusia introvert yang gak peduli sama orang lain tumben nanya gitu?" Kataku yang duduk di pinggir gedung lantai 2 sambil mengoyang-goyangkan kaki.

"Bisa gak sih, kalo orang nanya itu di jawab jangan di tanya balik."

"Oke, Mr.Kumis oke."

"Kamu maunya aku jawab apa?" Lanjutku.

"Jujur."

"Sudah."

"Kenapa kamu masih menulis soal dia? Kamu masih sayang kan?"

"Hahaha. Apa Taylor Swift menulis lagu untuk Joe Jonas karena dia masih sayang?"

"Jangan sependek itulah pikiranmu." Kataku sambil melemparkan kertas ke arahnya.

"Semua yang di abadikan pastilah berarti." Katanya yang kembali menatap lurus ke jalan.

"Iya dia berarti. Dia membuat luka yang parah lebih dari siapa pun. Aku mengabadikannya supaya aku tau, bahwa aku jangan sampai kembali padanya."

Dia hanya tersenyum getir. Sepertinya dia masih saja tidak percaya dengan kata-kataku. Memang sulit meyakinkan hal ini, tapi jika dia cinta dia harus percaya.

"Aku hilang akal jika sudah membahas masa lalu mu Han."

"Kenapa? Dia sudah tertinggal jauh di belakang, apa yang perlu kau khawatirkan."

"Yang masih aku khawatirkan. Hatimu juga masih tertinggal di sana."

"Kalau hatiku masih disana. Bukan kamu yang aku pilih untuk menemaniku saat ini. Mungkin sekarang aku masih mengejar-ngejarnya."

"Aku ragu."

"Tapi selama ini kamu diam dan tidak protes?"

"Karena aku malas berdebat Han, aku pikir kamu akan paham dengan sendirinya."

"Jadi selama ini kau bermanin dengan dugaanmu saja?"

"Bukan dugaan tapi kenyataan."

"Bagaimana kau tau itu nyata, sedangkan aku sebagai objeknya menyangkalnya?"

Dia masih diam. Sepertinya dia marah. Aku bisa melihat perubahaan air mukanya.

"Kenapa kamu begini?"  Kataku.

"Kamu harusnya paham!" Dia meninggikan suaranya dari pada yang dia inginkan.

"Bagaimana bisa aku paham jika kamu tidak memberi tau. Allah tidak memberiku kemampuan telepati. Pikirkanlah."

Dia masih diam. Pertemuan laki-laki introvert dan perempuan tidak peka benar-benar bencana.

Dia mulai duduk di sampingku. Ikut mengoyang-goyangkan kaki menendang udara di balkon lantai 2 kampus.

"Aku merasa saat aku di sampingmu kau tidak ada di sana. Imajinasimu selalu menuntunmu pada masa lalumu. Itu selalu membuatku sakit."

"Tapi saat kau di sampingku. Aku tau masa lalu hanya sekedar imajinasi dan kau yang sekarang bersama ku di masa depan." Kataku sambil menatap wajahnya.

Mungkin aku tidak sepeka wanita pada umumnya. Tapi aku sadar, aku telah melukai hati laki-laki di sampingku yang selalu terlihat baik-baik saja.

Dia masih menatap jalan dan engan melihat wajahku. Sedikit geli dan takut. Aku mengenalnya sebagai laki-laki yang introvert dan tak peduli pada masalah orang lain.

Tapi kini dia duduk di sampingku sambil membicarakan masa laluku. Begitu serius hingga aku tak tahan untuk tidak tersenyum.

Dia tampaknya kesal. Aku pun mencoba bicara lagi padanya.

"Bukannya dulu pernah aku katakan padamu sebelum kau bilang kau mencintaiku. Aku tidak sama seperti wanita pada umumnya. Kau tidak akan pernah bisa menyentuhku walau sekedar tangan. Kita tidak akan bisa foto berdua seperti pasangan pada umumnya..."

"Aku terima itu." Katanya memutus perkataanku.

"Yang aku belum bisa terima kau masih mengenangnya. Hilangkan ingatanmu darinya."

"Kalau begitu kau harus membuatku kecelakaan parah supaya aku jadi amnesia. Manusia tidak bisa dengan sengaja menghilangkan ingatan. Kecuali kau memukulku keras dan ingatanku hilang." Kataku sambil sedikit tersenyum di ujung bibirku.

" Apa yang kamu takutkan? Aku mencintaimu. Apa itu masih kurang?" Lanjutku.

Akhirnya dia berani menatap wajahku. Dia tersenyum lebih ikhlas dari senyumnya yang sebelumnya.

"Aku hanya takut kau pergi Han."

"Haha aku bukan tipe orang yang mudah pindak kelain hati."

"Itu hanya teorimu."

Aku mengembungkan pipiku sebal.

"Sekarang aku yang bertanya." Kataku.

"Aku malas menjawabnya." Katanya sambil memasang muka meledek yang menyebalkan.

"Kenapa kamu memilih aku dari sekian banyak pilihan yang baik."

"Karena dari sekoan banyak pilihan yang baik itu. Kamu yang terbaik."

Muka ku bersemburat merah lagi. Dia senang jika aku seperti itu dan tak henti-hentinya mengejekku.

"Itu hanya teorimu." Kataku membalikan kata-katanya yang tadi.

"Kamu perempuan yang paling tidak peka, sembarangan, berantakan, apa adanya, dan menyebalkan. Itu yang membuat aku suka."

"Apa itu sebuah pujian?" Kata ku sambil mengerenyit.

"Yang paling penting. Kamu bisa merasakan perasaan orang lain. Ikut sedih saat orang lain sedih dan bahagia saat orang lain bahagia. Itu yang membuat manusia baik."

"Itu kata-kata di stand by me doraemon." Kataku mencela.

Aku terkekeh. Dia itu pendiam dan sangat aneh jika dia banyak bicara seperti ini. Entahlah kita pasangan paling aneh sedunia. Aku bahagia memilikinya.

M.F.G (Mr.Kumis)

-Hana Larasati

Selasa, 07 Juni 2016

Wanita Tidak Peka

Perjumpaan perempuan yang tidak peka dengan laki-laki yang pendiam adalah bencana. Adalah aku dan kamu.

Aku yang tak berbakat menerjemahkan keterdiaman. Aku terlalu lugu merasa bahwa semua baik baik saja. Aku yang punya keterampilan kurang memadai dalam mengerti apa yang ada di dalam hati.

Dan kamu yang batu atau patung tanpa ekspresi. Tak bergerak tak bersuara bahkan untuk sekedar berucap 'aduh' atau 'tidak'.

Karena kamu yang diam-diam hatinya terluka. Diam dalam sunyi untuk menyembunyikan kesedihan. Menyimpannya sendiri di tempat-tempat yang tak mungkin ku temui.

Karena aku wanita yang tidak peka.

Yang bisa-bisanya tertawa saat jiwamu merintih. Yang terus melangkah saat kau kelelahan dan tertinggal jauh di belakang.

Maafkan aku menjadi wanita yang tidak peka. Yang mungkin di matamu secara sengaja melubangi seluruh hatimu.

Tapi bisakah kau mulai belajar untuk tidak berteka-teki? Kau pun tau aku bukan wanita pencinta teka-teki. 

Maafkan aku menjadi wanita yang tidak peka.

Inspirasi tulisan : @azharnurunala

-Hana Larasati