Minggu, 19 Juni 2016

Pantas dan Masa Lalu

Kita berjalan beriringan di tengah siang yang terik. Aku menarik nafas panjang, yang hasilnya paru-paruku lebih banyak terisi polusi dari pada oksigen.

Dia berjalan di depan. Tanpa ekspresi dan kaku. Kakak kelas yang punya banyak penggemar itu benar-benar lebih mirip patung batu yang mukanya di pahat.

Hari ini dia mengenakan koko cokkat, rambutnya yang sebahu biasanya tergerai rapi, kali ini dia ikat. Selama perjalanan aku hanya berani menatap punggungnya saja. Tanpa berani berkata dan bersuara.

Dia terus berjalan di depanku. Sesekali menengok ke belakang hanya untuk sekedar memastikan aku tak tertinggal.

Tak ada 2 menit perjalanan, akhirnya kita pun sampai di kelas. Hawa dingin AC langsung menyapa kulitku yang terbakar terik siang. Membuat darah yang tadi hampir mendidih menjadi ternetralisir lagi.

Aku langsung mencari tempat strategis untuk duduk melepas lelah. Aku memilih di pojok belakang supaya aku bisa menyandarkan kepalaku di dinding.

Dia mengeser bangkunya dekat denganku. Aku yang sibuk membaca ayat-ayat Al-Qur'an di handphone hanya meliriknya dari sudut mataku.

Matanya sesekali menatap mataku. Tapi kita tetap bisu. Dia melakukan itu berulang-ulang. Aku yang akhirnya jengkel dengan kelakuannya pun memberanikan diri untuk bicara.

"Ada apa?" Kataku sambil menutup handphoneku.

"Enggak." Katanya singkat.

"Jangan bohong. Puasa. Nanti batal. " kataku yang sekarang duduk menghadapnya.

Dia mulai menatap wajahku dengan malu. Aku bisa melihat itu. Karena perubahan air mukanya, yang tadinya kaku kini mulai memudar dengan sedikit semburat merah di pipinya.

"Gua mau tanya."

"Silahkan." Kata ku.

"Lu beneran gak mau pacaran?"

"Iya."

"Beneran?"

"Iya. Ngapain juga pacaran. "

"Ya biar dapet jodoh."

"Emang udah pasti kalo pacar kita itu jodoh kita? Pacaran itu cuma kegiatan merawat dan menjaga jodoh orang lain." Kataku sambil menyungingkan sedikit senyum.

"Kolot." Katanya yang sekarang mulai membuka laptop.

"Tapi yang kolot itu, yang di perintahkan rosul. Gimana dong?"

"Tau ah."

"Jangan ngambek sih."

"Gak ngambek."

"Sama-sama saling memantaskan aja."

"Gua gak akan pernah pantas buat lu sayangnya."

"Kenapa gitu? Emang definisi pantas menurut lu itu gimana sih? Coba-coba mau tau?" Kataku. Dia mulai menatapku lagi dan menutup laptopnya.

Dia hanya terdiam. Merunduk dan engan menatapku. Aku pun berujar pelan dan lembut kepadanya.

"Pernah denger kisah pada zaman rosul. Ketika ada seorang kafir quraisy yang ingin menikahi seorang perempuan muslimin. Perempuan itu salah satu perempuan yang baik pada zamannya. Ketika itu perempuan itu menolak laki-laki tersebut karena imannya. Tapi laki-laki itu pantang menyerah dan akhirnya perempuan itu mengajukan satu pertanyaan 'apa benar jika kamu benar-benar ingin menikahi saya?' Kemudian laki-laki kafir quraisy itu berkata 'benar.' Dan si perempuan itu mengajukan satu syarat yaitu 'kalau begitu kau harus memberikan mahar untukku.' Laki-laki itu pun bertanya 'apa maharnya.' Kemudian perempuan itu menjawab 'masuk islam.' Dan laki laki itu menyangupinya."

"Memantaskan itu bukan cuma perkara kita sama dalam satu kufu, suku, ras, kasta, derajat. Memantaskan buat gue itu pantas gak sih orang itu ada dalam hidup kita setiap hari. Pantas gak sih orang itu yang selalu menemani di saat senang dan susah, dan pantas gak sih orang itu di ajak bersama-sama berjalan di jalan Allah. Definisi 'pantas' sering di salah artikan dan hanya di lihat pada lingkup dunia saja. Selama dia mau berusaha dan belajar jadi baik ya, menurut gua dia masuk kategori pantas."

Dia hanya tersenyum menatapku. Matanya berbinar-binar kali ini. Tak lepas korneanya dari sosok ku.

"Apa begitu?"

"Iya. Setiap orang pasti punya masa lalu yang kelam. Tapi sebaik-baiknya manusia dia yang mau belajar dan berusaha menjadi yang lebih baik."

"Tapi, gak semua orang bisa nerima masa lalu seseorang."

"Nah, itu ujiannya. Kebanyakan orang lebih banyak mengingat kejelekan orang lain dari pada kebaikannya. Sabar aja selama mau usaha jadi baik Allah pasti bantu."

Dia masih tersenyum, aku bisa melihatnya walaupun tertutup layar laptop yang dia buka kembali. Tapi senyumnya hanya bertahan sebentar dan mulai memudar lagi, berganti dengan raut keragu-raguan.

"Apa Allah mau nerima gua? Gua rasa Allah jauh banget dari gua."

"Allah sebaik-baiknya tempat kembali. Bukan Allah yang jauh, tapi lu yang menjauh. Coba deh buka hati lu buat Allah, tempatin Dia di tempat yang paling tinggi. Terus rasain sensasinya."

"Tapi gua bingung mau mulai dari mana?"

"Coba mulai dari memperbaiki solat lu. Karena kokohnya iman seseorang di liat dari kokohnya dia menjaga solatnya."

Sebagian orang mungkin punya masa lalu yang kelam. Jauh dari Tuhan, jauh dari Al-qur'an tapi bukan berarti masa depannya sama dengan masa lalunya.

Hidayah, keberkahan, dan rahmat selalu hadir di waktu yang tidak pernah di sangka-sangka. Jadi jangan pernah mencela seseorang karena masa lalu nya karena kita tidak pernah tau kapan Allah akan mengangkat derajatnya.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar