Senin, 31 Oktober 2016

Mengenali Rintik di Matamu.

Oktober akan berlalu, tapi hujan masih menetap hingga November menjadi syahdu.

Bak tirai tanpa penyangga dia beramai-ramai menghujam bumi. Menyebabkan dawai yang rintiknya mengayun rindu hingga ke kalbu.

Hujan selalu jujur dengan keadaanya. Deras ya deras. Rintik ya rintik. Petir ya petir. Badai ya badai.

Tapi tidak denganmu. Berusaha kuat? Lelaki selalu begitu. Harga diri untuk tidak terlihat lemah yang membuatku muak.

Aku bisa di tipu dengan senyummu. Tapi aku tidak bisa di tipu saat matamu beralih ke mataku. Karena aku bisa mengenali rintik pada matamu.

Di rumahku sekarang pukul 18:40, dan aku tau lukamu.

-Hana Larasati

Mengenali Rintik di Matamu.

Oktober akan berlalu, tapi hujan masih menetap hingga November menjadi syahdu.

Bak tirai tanpa penyangga dia beramai-ramai menghujam bumi. Menyebabkan dawai yang rintiknya mengali rindu hingga ke kalbu.

Hujan selalu jujur dengan keadaanya. Deras ya deras. Rintik ya rintik. Petir ya petir. Badai ya badai.

Tapi tidak denganmu. Berusaha kuat? Lelaki selalu begitu. Harga diri untuk tidak terlihat lemah yang membuatku muak.

Aku bisa di tipu dengan senyummu. Tapi aku tidak bisa di tipu dengan matamu. Karena aku bisa mengenali rintik pada matamu.

Di rumahku sekarang pukul 18:40, dan aku tau lukamu. Aku sadar keegoisanku, dan aku minta maaf atas kebodohanku. Maaf telah melukaimu dengan hatiku.

-Hana Larasati

Minggu, 30 Oktober 2016

Menolong Yuk.

Menolong itu, bukan berarti kita lebih tinggi dari dia dan dia lebih rendah dari kita. Bukan, menolong tidak sereceh itu.

Menolong adalah tentang kewajiban kita untuk berkasih sayang pada sesama makhluk, demi memperoleh ridho Tuhan.

Menolong juga bukan persoalan aku si kaya dan kamu si miskin. Karena menurutku kaya dan miskin hanya kebetulan. Roda pasti berputarkan? Aku kebetulan di lebihkan rezekinya dari padamu, dan kamu kebetulan di lebihkan kesabarannya dari padaku.

Menolong juga tidak harus menunggu kaya, berkecukupan, atau bergelimang harta. Memberi minum pada yang haus, menghibur pada yang sedih, melapangkan pada yang susah, dan tersenyum pada yang membutuhkan semangat. Itu juga termasuk dalam kategori menolong.

Menolong itu indah, jika niatnya lillah. Tapi menjadi susah, jika niatnya salah. Yuk, mulai detik ini ikrarkan dalam hati untuk lebih lapang dalam menolong orang lain. Karena barang siapa yang mengulurkan tanggannya untuk menolong orang lain. Maka Allah akan mengulurkan tangan-Nya untuk menolongnnya saat dia sedang kesusahan.

-Hana Larasati

Senin, 24 Oktober 2016

Hujan, Langit dan Dia

Sore ini setelah  hujan aku memutuskan untuk berjalan-jalan. Sepertinya aku tidak punya hipotesa yang cukup jika kau tanya untuk alasan apa? Yang pasti mengusir penat.

Bau aroma tanah basah bekas hujan entah kenapa membuatku semakin mantap melangkah.

Kakiku terus ku pijakan, berjalan seolah tanpa tujuan. Meresapi setiap detik udara segar yang merasuk ke paru-paru

Ku hiraukan beceknya tanah yang kujejaki, kubangan air sisa-sisa hujan sore ini, dan berbagai macam hal yang bisa di temui.

Ku amati langit bekas mendung beberapa detik yang lalu. Betapa tingginya dia. Tapi dia tetap diam.

Betapa menakjubkannya dia, dan apa yang ada di dalamnya. Tapi dia tetap memilih diam.

Seketika aku malu. Kau tau? Apa yang aku dapat tidak ada seujung kuku dari apa yang langit punya. Tapi sifatku seolah melangit. Itu yang membuatku malu.

Ku tatap ia lagi. Terus ku pandangi ia dari atas bangku taman. Betapa mengahnya, betapa indahnya. Apa lagi sekarang semburat jingga mulai muncul, tanda matahari mulai masuk pada peraduannya.

Awan-awan mulai berarak membentuk pola-pola indah menyejukan mata. Ada satu yang tertangkap mataku. Awan itu berbentuk hati yang mengandeng awan lainnya.

Jadi terpikir, itu seperti aku dan cinta Rabbku yang selalu mendampingku. Walau terkadang lisan tak bisa di percaya, banyak perbuatan tercela, tapi tak sedikit pun cintaNya luntur untuk hambaNya.

Dia selalu seperti itu. MengingatNya untuk hal sedih atau senang selalu membuat kubangan di mataku. Betapa kecilnya aku, betapa tak berdayanya aku tanpaNya.

Jika apa yang ada di hidupku di tarik olehNya aku benar-benar bukan apa-apa dan siapa-siapa. Bahkan mungkin tak ada. Setiap jengkal nafas dan hidupku hanya Dia yang punya.

Maka aku mohon dengan sangat padaNya agar aku menjadi hamba yang selalu bersyukur kepadaNya.

-Hana Larasati

Jumat, 14 Oktober 2016

Tragedy Part I

Saat itu jam 09:00 pagi, semua terlihat baik-baik saja. Tak ada yang mencurigakan. Matahari bersinar cerah, langit biru dan semuanya aman.

Dia, seperti biasa duduk di kantin kampus sambil bermain laptop. Kali ini dia tidak sendiri, dia ditemani oleh seseorang.

"Heh.. heh.." kataku sambil lewat di depannya.

Dia pun celingukan seolah tidak tau siapa yang aku panggil.

Aku pun tersenyum.

"Jangan senyum mba. Nanti ada yang jatuh." Katanya.

"Apaan?"

"Hati saya." Katanya.

Aku pun tersipu.

"Mau kekelas nih. Bareng gak?" Kataku.

"Jalan apa terbang?"

"Jalan."

"Duluan aja. Aku masih mau ngerjain ini." Katanya sambil menunjuk ke laptop.

"Oke." Aku pun berlalu.

Dari arah yang berlawanan ada seseorang yang menghampiri ke arahnya.

"Hei boss." Kata seorang itu.

"Weii." Kata dia.

"Lu deket sama anak kelas K yang aneh itu?" Kata orang itu sambil melirik sinis ke arahku.

Dia hanya diam dan terus memainkan laptopnya.

"Ngapain bos?" Tanya orang itu.

"Benerin easy campus buat versi kittkat." Kata temannya.

Dia masih saja diam.

"Lu marah bro?" Tanya orang itu.

"Enggak."

"Sabrina nanyain lu tuh bos. Kenapa gak lu terima aja sih. Kan dia cantik dari pada anak kelas K itu."

Dia terus diam.

"Lagi juga apaan tuh cewe, paling ngedeketin lu karena ada maunya. Karena lu asdos jadi dia mau sama lu."

"Kata-kata itu pantesnya buat temen lu." Katanya sarkas.

"Alaahhh paling lengket karena udah ngapa-ngapain. Cewe murahan." Kata orang itu.

Dia pun langsung bangkit dan mengebrak meja kantin.

"Brakkkkkkk."

"Ngomong apa lu!" Katanya yang sekarang meremas kerah baju orang itu.

"Eng...ngak bos."

"Ulangin satttt!"

Orang itu hanya menunduk tak berani menatap.

"Punya mulut tuh di pake yang bener!" Katanya.

Akhirnya orang itu pun terpancing juga emosinya karena banyak mata yang melihat ke arahnnya.

"Kalo emang enggak, kenapa lu marah. Berarti emang kenyataannya  gitu kan!!"

"Bukkk"

Satu tonjokan melayang ke muka orang itu. Dia pun terjatuh.

"Lu denger ya! Dia itu beda gak kaya cewe lainnya!!!" Katanya saat orang itu masih terkapar di lantai.

"Gua gak pernah nyentuh dia sedikit pun. Lu catet! gak pernah sedikit pun. Walupun sekedar tangan!" Lanjutnya.

"Dan jangan ngejudge dia macem-macem! Awas sekali lagi lu ngehina dia. Abis lu sama gua!"

Dia pun memtur badannya dan berjalan pergi. Tapi saat dia baru berjalan beberapa langkah, orang itu melemparnya dengan botol dan kemudian berlari ke arah lapangan.

Dia pun mengejar dan timbulah perkelahian lagi.

"Banggg. Udah woy, lu bisa kena masalah nanti." Kata sahabatnya yang ikut juga berlari ke arah lapangan.

"Bodo amat. "

"Bang, orang gila kaya gitu gak usah di layanin."

"Tapi dia harus di kasih pelajaran!"

Tapi belum sampai dia menghajar orang itu untuk yang kedua kalinya beberapa dosen pun datang dan melerai.

Keadaan yang di takutkan pun tidak terjadi. Tapi, masalah untuknya pasti datang. Dia dapat teguran dari dosennya dan jika membuat keributan lagi akan di copot jabatannya.

Dia pun memutuskan untuk pergi ke warung emak.

Tak berapa lama, mungkin selang waktu 30 menit aku mendapat kabar dari temanku saat sedang di kelas bersama Nuri dan Anggie bahwa dia di keroyok.

"Han! Dia, di keroyok." Kata temannya dan aku pun langsung pergi mencari keberadaannya.

*to be continue.

*FIKSI

-Hana Larasati

Rabu, 12 Oktober 2016

Tragedy part II

Siang ini aku sengaja mempercepat langkahku. Di lorong-lorong kampus aku berharap menemukan sosok yang menjadi pencarianku.

"Ammi." Seruku. Aku sedikit berlari menghampirinya.

Dia pun menoleh.

"Dia, dimana dia?" Kataku memburu.

"Siapa?" Katanya bingung.

Tapi langsung saja dia paham.

"Oh. Tadi sih di halaman gak tau sekarang, mungkin di warung emak."

"Makasih." Lanjutku.

Baru beberapa langkah aku berjalan. Ada yang meriakiku.

"Han. Jangan ke sana!" Seru seseorang yang aku kenal betul suaranya.

Mereka menghampiriku dengan sedikit berlari.

"Jangan ke sana." Kata Nuri.

"Kita tunggu aja di sini." Tambah Angie sambil memegang lenganku.

Tapi aku menepis tangannya dan terus berjalan cepat. Atau bisa dibilang sedikit berlari.

Nuri dan Anggie pun mengikuti dari belakang.

"Duh, gak ada lagi." Kataku setelah sampai di lapangan.

Nuri dan Anggie pun menarik nafas lega.

"Udah tunggu aja di sini." Kata Anggie.

"Gak bisa."

Tak lama aku pun melihat seseorang yang aku kenal.

"Kamill!" Teriakku.

Kamil yang bersiap pergi bersama beberapa temannya menoleh ke arah kami.

Aku pun berjalan menghampirinya ke parkiran yang letaknya tak begitu jauh dari lapangan. Anggie dan Nuri masih tetap mengikutiku dari belakang.

"Kenapa Han?" Katanya setelah aku sudah cukup dekat dengannya.

"Mau kemana?"

"Mau balik nih, kenapa emang?"

"Mau mapir ke warung emak dulu gak?"

"Rencananya sih iya."

"Nebeng Mil." Kataku

"Kita ikut!" Kata Nuri.

"Kalian di sini aja." Kataku

"Gak mau!" Kata Anggie.

"Yaudah pada bareng aja sama temen-temen gua ya."

"Iya." Kata ku serempak dengan Anggie dan Nuri.

Sesampainnya aku di warung emak hal yang aku takutkan terjadi. Wajahnya babak belur. Bajunya berantakan. Pelipisnya robek dan bibirnya berdarah.

"Siapa yang ngelakuin ini?!" Kataku segera.

"Udah pulang?" Katanya sambil tersenyum.

"Jawab pertanyaan aku! Siapa yang ngelakuin ini?!"

"Agen C.I.A." Jawabnya.

"Jangan bercanda. Serius!" Kataku karena aku semakin kesal dengan jawaban-jawabannya.

"Kalau udah pulang aku anter." Katanya.

Benar-benar kesal di buatnya. Kebetulan emak lewat.

"Mak, siapa yang ngelakuin ini?" Kataku masih duduk di sebelahnya.

"Gak tau neng, bukan anak sini kayanya emak gak pernah liat."

"Berapa orang?"

"Antara 4 sampai 5 orang."

"Pulang yuk." Katanya mencoba berdiri.

Mau tidak mau aku harus menerima tawarannya. Aku harus membawanya kerumah sakit.

Ku pandang kedua sahabatku. Mereka menatap mengerti. Aku akan bolos satu mata kuliah dan aku butuh bantuan mereka.

"Hati-hati Han." Kata keduanya.

Aku pun membalasnya dengan angukan.

********

Sepanjang perjalanan, aku hanya terdiam. Beda dengan dia. Aku tau dia berusaha menghiburku. Aku sadar dia tau kalau aku sedang khawatir, dan hal itu yang paling dia tidak mau dariku.

Sampailah kita di rumah sakit. Rumah sakit ini aku pilih karena paling dekat dan ini adalah tempat kerja kakaknya.

Kakaknya seorang perawat di sini. Beruntungnya kami, seperti jodoh, kakanya lewat di ruang tunggu dan menghampiri kami.

"Kok kalian di sini?" Katanya sambil menunjuk ke arah kami.

Belum sempat aku menjawab, kakaknya langsung sadar.

"Berantem lagi?" Katanya sekarang menatapnya dan mengamati luka-lukanya.

"Ayo ikut kakak."

Dan kami pun mengekor di belakangnnya. Kakaknya membawa kami ke sebuah ruangan yang aku tau UGD.

Saat itu UGD sedang sepi, rumah sakit pun tak seramai biasanya. Jangan tanya aku kenapa bisa masuk UGD. Bukan urusanku.

"Kebetulan lukannya kena pembulu darah yang agak besar jadi darahnnya keluar banyak. Tapi gak sampai di jahit kok." Kata kakaknya tersenyum kepadaku.

"Kamu tuh, kenapa sih kalau berbuat gak pakai pikiran dulu? Kamu bukan anak kecil, kamu harus mikir ada gak yang di rugiin dengan kelakuan kamu." Kata kakaknya.

"Nanti gimana kamu bilang ke mama soal lukanya?" Kata kakaknya.

"Mama juga tau kok. Kalau aku berantem bukan aku duluan yang mulai." Katanya.

Aku hanya duduk diam sebagai penonton yang menikmati percakapan antara kakak dan adik.

Kakaknya tipe kakak yang pengayom dan lembut. Dia cantik dan bergigi gingsul. Saat tertawa wajahnya sangat manis.

Setelah semua luka dan memarnya di obati kita pun pamit pulang pada kakaknya.

"Registra....." kataku sebelum meninggalkan rumah sakit, yang langsung buru-buru di potong oleh kakaknya.

"Gak usah, itu urusan kakak. Makasih ya Han udah di anterin ke sini." Kata kakaknya sambik tersenyum.

Lalu kami pun berjalan menuju parkiran. Di parkiran aku masih belum berbicara padanya.

"Anter ke rumah ya?"

"Rumah kamu aja." Kataku.

"Kenapa?"

Tapi aku hanya diam dan langsung naik ke motornya.

Dia pun melajukan motornya, tapi bukan ke arah yang tadi aku minta, melainkan ke arah rumahku.

"Stop!" Kataku seketika.

"Kenapa?" Dia masih melajukan motornya.

"Aku bilang stop ya stop!" Nada ku mulai meninggi.

Dia pun memberhentikan motornya di jalan dekat tanah lapang. Aku pun segera turun dari motor dan berjalan  menjauh darinya sambil berharap ada angkot yang lewat.

Dia mengikutiku sambil mengendarai motornya dengan pelan. Berusaha agar kita sejajar dan dia bisa berbicara.

"Kenapa sih?" Katanya.

Aku masih diam dan terus berjalan. Jalan menuju rumahku memang jalan raya yang terlampau sepi. Angkot yang lewat pun bisa di hitung dengan jari.

"Han!" Katanya yang sekarang menarik tas gendongku.

"Kenapa?" Tanyanya. Aku yang benar-benar seperti bom atom siap meledak sekarang.

"Kamu tanya kenapa ke aku? Seharusnya pertanyaan itu cocoknya buat diri kamu!" Kataku sekarang mulai menghentikan langkahku.

"Apa?"

"Kamu mikir gak sih apa yang udah kamu lakuin tadi?" Kataku.

"Kamu bisa kehilangan jabatan kamu! Atau yang lebih parah kamu bisa di D.O!"

Dia masih diam.

"Kamu gak mikir sampai situkan? Aku tau kamu bela aku. Tapi caranya gak kaya gitu. Kamu pikir aku tersanjung dengan cara kamu yang urakan itu?!" Kataku.

Aku pun berbalik meninggalkannya dan kembali berjalan.

"Gua gak bilang sikap gua bener. Gua juga gak nyuruh lu suka dengan kelakuan gua. Gua cuma mau ngebela apa yang menurut gua bener. Apa itu salah?" Katanya.

Aku pun berbalik dan menatapnya.

"Tapi yang lu lakuin itu salah! Lu bisa pakai cara lain, gak cuma berantem!"

"Dia pantes dapet itu. Orang yang bilang lu murahan pantes buat di hajar!" Katanya keras.

Tak lama angkot yang aku nanti pun lewat dan aku pun naik sambil menghiraukan panggilannya.

Aku tau dia. Tapi bukan berarti aku membenarkan kelakuannya. Semoga dia bisa lebih berpikir logis.

*FIKSI

-Hana Larasati

Selasa, 11 Oktober 2016

Maaf.

Senja, kali ini aku menikmati sinarmu seorang diri. Di tempat kesukaanku, aku duduk menekuk kaki dan mengerjakan beberapa tugas ringan. Di temani lantunan suara Raisa aku hanyut di keadaan itu.

Aku rasa hari ini cukup baik. Tanpa kehadirannya yang selalu mengoceh di sampingku. Ya, aku rasa cukup baik.

Oke oke, kau tau kalimat di atas bohong. Aku tidak cukup baik. Ada sebagian diriku yang hilang saat dia tidak ada. Hampa dan sepi. Aku tau itu.

Aku sempat bertemu dengannya siang ini. Tapi, dia malah membalikan badannya dan membelakangiku.

Padahal aku ingin bilang, dia sangat tampan dengan stelan kemeja hitam polos yang dia kenakan. Tapi apa daya, dia seolah tak ingin melihat wajahku.

Di tengah lamunanku aku mendengar hentakan kaki yang mendekat ke arahku. Aku pun menolehh dan tersenyum kepada orang itu.

"Hai." Sapanya.

Aku pun tersenyum membalasnya.

"Sendirian? Satpamnya mana?" Katanya.

"Ada di kulkas. Haha."

"Pasti lagi marahan."

"Beda pendapat doang, gak sampe marahan." Kataku sambil terus menulis tugas.

"Tadi gua ketemu dia." Lanjutnya.

"Dianya siapa?"

"Dianya elu."

"Oh."

"Dia cerita." Katanya yang sekarang mulai duduk di sisiku.

"Cerita nenek sihir?"

"Bukan."

"Ceritain elu." Lanjutnya.

"Katanya?"

"Tadi siang ketemu ya?"

"Iya."

"Terus lu malah ngobrol sama cowok."

"Ngobrolin tugas."

"Terus.."

"Dia ngebelakangin gua kan. Childish." Potongku.

"Hahahahahaha. Udahan kek ngambeknya."

"Enggak ngambek kan gua bilang."

"Kadang cewe tuh gak pernah tau, kalo cowo gak bisa sebebas mereka menyampaikan apa yang dia rasa."

"Ini curhat?"

"Dengerin dulu."

"Iya."

"Dia sebenernya pengen bilang dia khawatir. Apa lagi lu gampang sakit. Dia gak mau lu sakit kalo lu kecapean."

"Tapi mau gimana lagi, emang kerjaan gua begitu."

"Iya, dia bilang dia tau. Tapi sekali-sekali refreshing lah. Waktu dia ajak nonton lu gak mau."

"Gua takut gelap. Lagi pula waktu itu gua lagi bokek."

"Kan di bayarin sama doi."

"Emang dia bapak gua yang nangung biaya hidup gua."

"Itu yang dia gak suka. Elu tuh apa-apa gak mau nurut."

"Lah kan dia bukan Tuhan yang harus gua turutin segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya. Haha." Kataku.

"Tapi sekali-sekali jadi cewe pada umumnya lah Han. Yang nurut kalo mau di bayarin, di ajak jalan."

"Wessttt. Aku berbeda, aku tak sama, aku bukanlah sebuah boneka~" kataku sambil menyanyikan lagu baby doll.

"Tau ah." Dia mulai sebal.

Aku pun tertawa.

"Bilang ke dia, makasih buat semua niat baiknnya. Terus, bilangin juga kalo ngumpet cari tempat yang strategis. Keliatan tuh." Kataku sambil sedikit berteriak dan melirik ke salah satu pilar besar.

Aku sudah tau dia ada di sana, tepat saat temannya datang menghampiriku. Makanya aku tersenyum.

Dia pun berjalan mendekat dengan senyum yang salah tingkah.

"Apa lo." Kataku sambil menahan tawa.

"Emang dasar bocah pinterr, gua suruh nunggu di kantin aja malah nyusul." Kata temannya.

"Muka lu gak bisa di percaya. But thanks bro." Katanya sambil menepuk pundak temannya.

"Besok lagi, jangan mau di suruh-suruh sama dia." Kataku sambil tersenyum.

"Kalo enggak mau, nanti nilai gua E lagi Han. Kan gua ngulang yang megang dia nih. Gua gak mau ngulang untuk yang ketiga kalinya." Kata temannya.

Aku hanya tertawa.

"Yaudah gua pamit yo. Yang akur." Kata temannya.

"Iyeh makasih." Katanya.

"Tiati di jalan." Kataku.

Dia pun berlalu pergi sambil melambaikan tangan.

"Ngapain nyuruh-nyuruh orang, gak punya mulut buat ngomong sendiri?" Kataku sarkas.

"Kalo aku yang bilang kamu kan gak mau denger." Katanya tertunduk.

"Iyalah gak mau denger." Masih dengan intonasi galak

Dia masih terdiam.

"Tapi makasih udah khawatir." Kataku

Dia pun tersenyum.

"Aku cuma gak mau jadi perempuan yang lemah. Selama aku bisa sendiri aku harus kerjain sendiri."

"Tapi.."

"Enggak apa-apa."

"Makasih udah jadi orang yang selalu peduli." Lanjutku.

"Sama-sama."

"Maaf juga udah galak."

"Tapi tetep aja enggak bisa."

"Bisa kok."

"Mana ada orang marah sambil nahan senyum." Katanya.

"Biarin." Kataku sambil bersiap untuk berdiri.

"Kumis." Panggilku saat sedang berjalan.

"Kamu ganteng pakai kemeja itu. Suka." Lanjutku dan aku pun meneruskan langkahku.

Dia tersenyum.

"Gak aku ganti ah sampai wisuda."

"Ya jangannnnn. Ngaco hahha." Kataku.

Akhirnya aku menikmati sinarmu kembali dengan partnerku, senja. Jangan bosan mendengar kisah kita.

-Hana Larasati

Minggu, 09 Oktober 2016

Pertengkaran.

Siang ini dia tiba-tiba masuk dalam kelasku.  Entah untuk alasan apa,  dia menghampiriku. 

Sesaat aku berpikir, enaknya jadi dia yang memiliki kekuasaan. Kekuasaan untuk membuat orang nyaman didekatnya.

Sosoknya adalah sosok yang baik, ramah, menyenangkan, dan dekat dengan semua orang.

"Hai. "

"Siapa ya? "Kataku dengan ekspresi melihat orang asing.

"Agen C.I.A" jawabnya serius.

"Wah, apa salah saya pak? "

"Kamu gak tau salah kamu? "

"Eem. Mencuri hati bapak? "

"Bukan. Kamu belum bayar nasi uduk. "

"Hahaha ngaco. Ngapain kesini?"

"Mau ketemu pak Maul. " Katanya sambil bersiap duduk di sampingku.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. 

"Eh iya, kamu pasti udah tau! " Kataku sambil menghadapnya.

"Udah. "

"Apaan? "

"Kamu cantik. "

"Huh. Bukan."

"Yang aku tau itu."

"Della ngundang kita ke acara ulang tahunnya."

"Oh."

"Tapi aku gak bisa dateng."

"Aku juga."

Tak lama pak Maul pun datang. Dia pun langsung menghampiri pak Maul.

"Pak." Katanya sambil bersalaman dengan pak Maul.

"Kenapa Ri?"

"Mau ngasih skrip nilai anak-anak semester 2 pak."

"Oh iya taruh aja. Makasih Ri." Katanya.

Dia pun bersalaman lagi dan kemudian keluar ruangan. Tapi belum sampai pintu, dia balik lagi mengahmpiri meja pak Maul.

"Pak, yang itu namanya Hana, jangan galak-galak pak sama dia." Katanya.

Aku pun jadi salah tingkah, perasaanku saat itu antara kesal dan gemas. Pak Maul yang sedang memasang infocus pun menoleh ke arah ku sambil tersenyum.

"Dia pacar kamu?" Kata pak Maul.

"Bukan pak."

"Kamu suka dia?"

"Iya."

"Bapak dukung kamu." Kata pak Maul sambil menepuk-nepuk pundaknya.

"Bapak jangan dukung saya, bapak dukung dia aja biar mau sama saya." Katanya.

Pak Maul  hanya tertawa.

Saat itu aku benar-benar ingin bisa menguasai mantra menghilangnya Harry Potter.

Selesai pelajaraan pak Maul dia pun mengahmpiriku yang sedang duduk dan mengobrol dengan teman-teman.

"Han."

"Ye?"

"Nonton yuk." Katanya sambil menarik bangku ke sampingku.

"Aku gak bisa, harus bantuin ngajar."

"Sekali-sekali lah bolos."

"Enggak bisa."

"Kamu ngapain sih ngajar."

"Ya karena tanggung jawab aku. Lagi juga lumayan dapet uang buat tambahan uang jajan."

"Tapi kamu jadi gak pernah ada waktu. Pagi sampai sore kuliah, sore sampai malem ngajar. Habis itu nugas."

"Ya gitulah aku."

"Kamu tuh bisa down. Kecapekan. Sekali-kali istirahat. Emang kamu bisa beli monas dengan kerjaan kamu yang kaya gitu."

"Kamu tuh gak pernah ngerti ya, ada orang yang harus kerja keras dulu biar bisa dapetin apa yang dia inginkan."

"Ya terus apa yang kamu dapet? Yang aku tau kamu cuma dapet sakit."

"Susah ngomong sama orang yang hidupnya gak  pernah susah."

"Kok kamu jadi bawa-bawa hidup aku."

"Habis kamu gak ngerti-ngerti. Aku bukan kamu yang dari lahir langsung kaya. Aku harus kerja keras dulu untuk sekedar beli sesuatu yang aku mau." Aku pun bangkit dan bersiap meninggalkannya.

Tapi karena aku memiliki darah rendah, jadi setiap setelah duduk dan langsung berdiri dengan tiba-tiba pasti mataku mendadak jadi gelap.

"Tuh kan. Ini yang kamu dapet kalo terlalu over kegiatannya." Dia masih memarahiku.

"Kamu juga pernah sakit kan waktu kecapean. Ini yang kamu mau?!" Nadanya sekarang benar-benar meninggi.

"Terus mau kamu apa?"

"Kamu istirahat."

"Aku gak papa."

"Keras kepala banget sih!"

"Apaan sih. Bukan hak kamu ngatur-ngatur hidup aku."

Dia yang kesal pun berlalu pergi. Mungkin aku juga salah tapi menurutku dia seharusnya bisa mengerti bahwa ada orang-orang yang hidupnya tidak semenyenangkan hidupnya.

Yang tinggal tunjuk langsung dapat. Aku juga tau dia pun bekerja, sama sepertiku. Menjadi asisten dosen. Tapi kita beda. Aku hanya guru ngaji, yang gajinya itu tidak seberapa.

Meski pun dia pernah bilang aku tidak perlu khawatir tentang segala sesuatu. Apa yang aku mau bisa dia wujudkan. Tapi aku bukan tipe orang yang seperti itu. Selama aku masih bisa bekerja dengan tenagaku, aku pasti akan berusaha memeperoleh apa yang aku mau tanpa harus merengek ke orang lain.

Suatu hari dia pasti sadar akan hal itu. Aku bukan dia dan segala kemewahan hidupnya. Iya suatu hari.

*FIKSI

-Hana Larasati


Jumat, 07 Oktober 2016

Saturnus

"Jogja kota impianku, untuk menua bersamamu."

Dia tersenyum membaca tulisanku. Aku pun membalasnya dengan senyumanku.

Aku menyisakan beberapa detik waktu di hidupku untuk menatapnya. Tatapan ini, tatapan yang lebih lama dari pada siapa pun.

Aku senang menelitinya. Meneliti setiap jengkal garis wajahnya. Menyelami, teduh sorot matanya dan mengabadikan setiap senyum di wajahnya.

Kau tau kenapa? Karena aku adalah penikmat senyumnya.

Bukan karena pemilik senyum itu adalah orang yang tampan. Tapi lebih kepada, kenyataan bahwa orang yang memiliki senyum itu memberikan senyumannya tulus padaku, orang yang rela jatuh cinta padaku meskipun pada saat itu hatiku bukan untuknya.

"Kenapa harus Jogja?" Katanya, di barengi dengan desir angin yang menerbangkan helai-helai rambutnya.

"Itu kota kelahiran ibuku." Kataku.

"Sudah tidak takut?" Katanya sambil menatapku.

Di saat itu, matanya benar-benar menyorot mataku. Dalam hati aku berkata -Tuhan sampel galaksi mana yang Kau selipkan di bola matanya.

"Sedikit." Kataku sambil menunduk, karena tak tahan dengan keindahan matanya.

"Tapi ada yang pernah bilang, ketakutan hanya sebatas pemikiranku saja." Lanjutku.

Dia hanya tersenyum.

Lagi-lagi, kita terperangkap di antara ashar dan senja. Dengan perasaan yang berbagai macam rupa.

"Aku mau kasih tau ini." Katanya sambil menunjukan sebuah foto.

Aku hanya tersenyum. Kemudian aku melanjutkan menulis lagi.

"Lihat dulu."

"Aku udah lihat. Foto kamu sama perempuan itu kan? " Kataku sambil tersenyum.

Dia terdiam.

"Marah?" Katanya.

"Enggak kok."

Dia terdiam.

"Cemburu?" Katanya lagi.

"Kata Dilan; Cemburu hanya untuk orang-orang yang gak percaya diri."

"Kamu percaya diri?"

"Jawabnya harus jujur?"

"Iya."

"Enggak. Hahaha."

Kemudian dia meraih laptopku.

"Jangan cemburu, nanti wajahmu mendung. Kalau mendung, nanti pelangiku hilang."

Aku berusaha menahan senyum  saat itu.

"Kemarin aku ketemu Rangga." Katanya mengganti topik.

"Rangga mana?"

"Mantan teman sekelasmu."

"Oh iya, aku kenal."

"Terus aku ngobrol-ngobrol sama dia."

"Ngobrolin apa?"

"Banyak."

"Ketemu di mana?"

"Di warung emak. Dia nanya aku kenal kamu gak."

Warung emak adalah tempat nongkrong anak-anak. Penjualnya adalah ibu-ibu yang sudah lanjut usia. Dia bilang, emak adalah penjual yang religius. Karena emak percaya kalau anak-anak gak akan bohong dalam mengambil makanan. Kalau pun bohong ada malaikat yang mencatat.

"Kamu jawab?"

"Kenal. Deket malah."

"Terus?"

"Dia bilang, kamu orangnnya pendiam. Terus dia nanya aku kok bisa deket sama kamu, ngobrolnya gimana?"

"Terus?"

"Aku jawab pakai semapur."

Aku tertawa saat itu.

"Dia percaya?" Kataku.

"Enggak. Hahahah."

Selagi kita berbincang, temannya datang menghampiri kami.

"Bang, di cariin pak Anto di suruh ke ruang dosen katanya."

"Iyah makasih Den." Katanya, lalu temannya pun berlalu.

"Udah sana." Kata ku sambil merapikan laptop.

"Sana mana?"

"Ruang dosen."

"Males ah."

"Hih kamu. Kali aja penting."

"Paling cuma di suruh setor nilai anak-anak." Katanya.

"Eh aku mau ke warung emak. Kamu mau ikut gak?" Lanjutnya.

"Enggak ah, bau rokok. Aku gak suka."

"Yasudah."

"Aku gak suka perokok."

"Kalo perokoknya gak suka kamu gimana?"

"Biarin."

"Kalo perokoknya bilang biarin juga gimana?"

"Biarin aja."

"Kalo perokoknya aku gimana?"

"Aku gak suka kamu."

"Aku juga gak suka kalo kamu marah-marah. Tapi aku suka kalo kamu ketawa."

"Jangan ngerokok. "

"Insya Allah."

"Insya Allah - nya insya Allah orang Indonesia atau insya Allah  orang islam? "

"Insya Allah-nya orang Indonesia yang islam. "

"Awas ya kalo aku ketemu kamu,  kamu nya bau rokok. "

"Kalau nanti kamu ketemu aku,  terus aku bau rokok,  itu berarti teman-teman aku yang niupin asep rokoknya ke baju aku. "

"Biar apa kaya gitu?"

"Biar dimarahi kamu. "

Dalam perbincangan kita,  tiba-tiba aku teringat sesuatu. 

"Eh iya, waktu kamu naik gunung,  kamu tau gak Della bilang apa ke aku? "

"Enggak tau. Kan akunya lagi naik gunung. "

"Hish. Jangan di potong dulu kan aku belum selesai ngomongnya. "

"Iya. "

"Della bilang aku jangan deket-deket kamu."

"Kenapa? Dia suka sama kamu? "

"Hish si ngaco.  Ya enggak lah. " 

"Terus? "

"Kata dia kamu bukan anak baik-baik. Dia ngingetin aku. Dia juga bilang temen kamu anak berandalan semua. "

"Yang keliatan berandalan bukan berarti gak baik.  Yang keliatan baik bukan berarti gak jahat. "

"Aku juga pengen bilang gitu.  Tapi gak kepikiran. "

"Kamu.  " Katanya sambil melemparku dengan kertas dan menyungingkan senyum.

"Aku berteman dengan siapa aja yang mau berteman dengan ku." Lanjutnya.

"Pemabuk atau pencandu sekali pun? "

"Iya. "

"Kenapa? "

"Aku bukan Tuhan, yang berhak menghakimi perilakunya. Itu bukan kapasitasku. Aku cukup menerima dia dengan jalan hidupnya, dan yang paling penting. Aku gak ikut. "

"Iya. "

"Mereka bilang kami anak berandalan,  nakal. Tapi kami gak pernah nyakitin siapa pun atau merugikan siapa pun. Mereka bilang mereka anak baik-baik,  tapi pikirannya ke orang lain negatif mulu.  Dimana baiknya?" Katanya sambil menatap lurus ke jalan.

"Maaf. "

"Ngapain minta maaf. Kan gak salah. "

"Iya. "

Lalu matanya melirik naskahku. 

"Kamu beneran mau tinggal di Jogja? " katanya

"Kalo kamu mau. "

"Aku mau. "

"Nanti kita bikin rumah di bukit. "

"Jangan nanti longsor. "

"Yaudah di pantai. "

"Kalau tsunami gimana? "

"Di desa? "

"Jauh dari mana-mana. "

"Yaudah di kota. "

"Jangan macet. "

"Kamu mah apa-apa jangan."

"Kita bikin rumah di Saturnus. Kan dia planet paling besar, enak lega. Bisa buat main bola. "

"Gak ada orang yang bikin rumah di sana. "

"Biarin kita aja.  Harga tanah di sana juga murah."

"Tau ah."

"Yaudah aku mau ke warung emak dulu."

"Ke pak Anto dulu. "

"Ah, aku males."

"Aku temenin."

"Yah batal deh malesnya."

Aku membalasnya dengan tertawa.

- Hana Larasati