Rabu, 12 Oktober 2016

Tragedy part II

Siang ini aku sengaja mempercepat langkahku. Di lorong-lorong kampus aku berharap menemukan sosok yang menjadi pencarianku.

"Ammi." Seruku. Aku sedikit berlari menghampirinya.

Dia pun menoleh.

"Dia, dimana dia?" Kataku memburu.

"Siapa?" Katanya bingung.

Tapi langsung saja dia paham.

"Oh. Tadi sih di halaman gak tau sekarang, mungkin di warung emak."

"Makasih." Lanjutku.

Baru beberapa langkah aku berjalan. Ada yang meriakiku.

"Han. Jangan ke sana!" Seru seseorang yang aku kenal betul suaranya.

Mereka menghampiriku dengan sedikit berlari.

"Jangan ke sana." Kata Nuri.

"Kita tunggu aja di sini." Tambah Angie sambil memegang lenganku.

Tapi aku menepis tangannya dan terus berjalan cepat. Atau bisa dibilang sedikit berlari.

Nuri dan Anggie pun mengikuti dari belakang.

"Duh, gak ada lagi." Kataku setelah sampai di lapangan.

Nuri dan Anggie pun menarik nafas lega.

"Udah tunggu aja di sini." Kata Anggie.

"Gak bisa."

Tak lama aku pun melihat seseorang yang aku kenal.

"Kamill!" Teriakku.

Kamil yang bersiap pergi bersama beberapa temannya menoleh ke arah kami.

Aku pun berjalan menghampirinya ke parkiran yang letaknya tak begitu jauh dari lapangan. Anggie dan Nuri masih tetap mengikutiku dari belakang.

"Kenapa Han?" Katanya setelah aku sudah cukup dekat dengannya.

"Mau kemana?"

"Mau balik nih, kenapa emang?"

"Mau mapir ke warung emak dulu gak?"

"Rencananya sih iya."

"Nebeng Mil." Kataku

"Kita ikut!" Kata Nuri.

"Kalian di sini aja." Kataku

"Gak mau!" Kata Anggie.

"Yaudah pada bareng aja sama temen-temen gua ya."

"Iya." Kata ku serempak dengan Anggie dan Nuri.

Sesampainnya aku di warung emak hal yang aku takutkan terjadi. Wajahnya babak belur. Bajunya berantakan. Pelipisnya robek dan bibirnya berdarah.

"Siapa yang ngelakuin ini?!" Kataku segera.

"Udah pulang?" Katanya sambil tersenyum.

"Jawab pertanyaan aku! Siapa yang ngelakuin ini?!"

"Agen C.I.A." Jawabnya.

"Jangan bercanda. Serius!" Kataku karena aku semakin kesal dengan jawaban-jawabannya.

"Kalau udah pulang aku anter." Katanya.

Benar-benar kesal di buatnya. Kebetulan emak lewat.

"Mak, siapa yang ngelakuin ini?" Kataku masih duduk di sebelahnya.

"Gak tau neng, bukan anak sini kayanya emak gak pernah liat."

"Berapa orang?"

"Antara 4 sampai 5 orang."

"Pulang yuk." Katanya mencoba berdiri.

Mau tidak mau aku harus menerima tawarannya. Aku harus membawanya kerumah sakit.

Ku pandang kedua sahabatku. Mereka menatap mengerti. Aku akan bolos satu mata kuliah dan aku butuh bantuan mereka.

"Hati-hati Han." Kata keduanya.

Aku pun membalasnya dengan angukan.

********

Sepanjang perjalanan, aku hanya terdiam. Beda dengan dia. Aku tau dia berusaha menghiburku. Aku sadar dia tau kalau aku sedang khawatir, dan hal itu yang paling dia tidak mau dariku.

Sampailah kita di rumah sakit. Rumah sakit ini aku pilih karena paling dekat dan ini adalah tempat kerja kakaknya.

Kakaknya seorang perawat di sini. Beruntungnya kami, seperti jodoh, kakanya lewat di ruang tunggu dan menghampiri kami.

"Kok kalian di sini?" Katanya sambil menunjuk ke arah kami.

Belum sempat aku menjawab, kakaknya langsung sadar.

"Berantem lagi?" Katanya sekarang menatapnya dan mengamati luka-lukanya.

"Ayo ikut kakak."

Dan kami pun mengekor di belakangnnya. Kakaknya membawa kami ke sebuah ruangan yang aku tau UGD.

Saat itu UGD sedang sepi, rumah sakit pun tak seramai biasanya. Jangan tanya aku kenapa bisa masuk UGD. Bukan urusanku.

"Kebetulan lukannya kena pembulu darah yang agak besar jadi darahnnya keluar banyak. Tapi gak sampai di jahit kok." Kata kakaknya tersenyum kepadaku.

"Kamu tuh, kenapa sih kalau berbuat gak pakai pikiran dulu? Kamu bukan anak kecil, kamu harus mikir ada gak yang di rugiin dengan kelakuan kamu." Kata kakaknya.

"Nanti gimana kamu bilang ke mama soal lukanya?" Kata kakaknya.

"Mama juga tau kok. Kalau aku berantem bukan aku duluan yang mulai." Katanya.

Aku hanya duduk diam sebagai penonton yang menikmati percakapan antara kakak dan adik.

Kakaknya tipe kakak yang pengayom dan lembut. Dia cantik dan bergigi gingsul. Saat tertawa wajahnya sangat manis.

Setelah semua luka dan memarnya di obati kita pun pamit pulang pada kakaknya.

"Registra....." kataku sebelum meninggalkan rumah sakit, yang langsung buru-buru di potong oleh kakaknya.

"Gak usah, itu urusan kakak. Makasih ya Han udah di anterin ke sini." Kata kakaknya sambik tersenyum.

Lalu kami pun berjalan menuju parkiran. Di parkiran aku masih belum berbicara padanya.

"Anter ke rumah ya?"

"Rumah kamu aja." Kataku.

"Kenapa?"

Tapi aku hanya diam dan langsung naik ke motornya.

Dia pun melajukan motornya, tapi bukan ke arah yang tadi aku minta, melainkan ke arah rumahku.

"Stop!" Kataku seketika.

"Kenapa?" Dia masih melajukan motornya.

"Aku bilang stop ya stop!" Nada ku mulai meninggi.

Dia pun memberhentikan motornya di jalan dekat tanah lapang. Aku pun segera turun dari motor dan berjalan  menjauh darinya sambil berharap ada angkot yang lewat.

Dia mengikutiku sambil mengendarai motornya dengan pelan. Berusaha agar kita sejajar dan dia bisa berbicara.

"Kenapa sih?" Katanya.

Aku masih diam dan terus berjalan. Jalan menuju rumahku memang jalan raya yang terlampau sepi. Angkot yang lewat pun bisa di hitung dengan jari.

"Han!" Katanya yang sekarang menarik tas gendongku.

"Kenapa?" Tanyanya. Aku yang benar-benar seperti bom atom siap meledak sekarang.

"Kamu tanya kenapa ke aku? Seharusnya pertanyaan itu cocoknya buat diri kamu!" Kataku sekarang mulai menghentikan langkahku.

"Apa?"

"Kamu mikir gak sih apa yang udah kamu lakuin tadi?" Kataku.

"Kamu bisa kehilangan jabatan kamu! Atau yang lebih parah kamu bisa di D.O!"

Dia masih diam.

"Kamu gak mikir sampai situkan? Aku tau kamu bela aku. Tapi caranya gak kaya gitu. Kamu pikir aku tersanjung dengan cara kamu yang urakan itu?!" Kataku.

Aku pun berbalik meninggalkannya dan kembali berjalan.

"Gua gak bilang sikap gua bener. Gua juga gak nyuruh lu suka dengan kelakuan gua. Gua cuma mau ngebela apa yang menurut gua bener. Apa itu salah?" Katanya.

Aku pun berbalik dan menatapnya.

"Tapi yang lu lakuin itu salah! Lu bisa pakai cara lain, gak cuma berantem!"

"Dia pantes dapet itu. Orang yang bilang lu murahan pantes buat di hajar!" Katanya keras.

Tak lama angkot yang aku nanti pun lewat dan aku pun naik sambil menghiraukan panggilannya.

Aku tau dia. Tapi bukan berarti aku membenarkan kelakuannya. Semoga dia bisa lebih berpikir logis.

*FIKSI

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar