Minggu, 09 Oktober 2016

Pertengkaran.

Siang ini dia tiba-tiba masuk dalam kelasku.  Entah untuk alasan apa,  dia menghampiriku. 

Sesaat aku berpikir, enaknya jadi dia yang memiliki kekuasaan. Kekuasaan untuk membuat orang nyaman didekatnya.

Sosoknya adalah sosok yang baik, ramah, menyenangkan, dan dekat dengan semua orang.

"Hai. "

"Siapa ya? "Kataku dengan ekspresi melihat orang asing.

"Agen C.I.A" jawabnya serius.

"Wah, apa salah saya pak? "

"Kamu gak tau salah kamu? "

"Eem. Mencuri hati bapak? "

"Bukan. Kamu belum bayar nasi uduk. "

"Hahaha ngaco. Ngapain kesini?"

"Mau ketemu pak Maul. " Katanya sambil bersiap duduk di sampingku.

Tiba-tiba aku teringat sesuatu. 

"Eh iya, kamu pasti udah tau! " Kataku sambil menghadapnya.

"Udah. "

"Apaan? "

"Kamu cantik. "

"Huh. Bukan."

"Yang aku tau itu."

"Della ngundang kita ke acara ulang tahunnya."

"Oh."

"Tapi aku gak bisa dateng."

"Aku juga."

Tak lama pak Maul pun datang. Dia pun langsung menghampiri pak Maul.

"Pak." Katanya sambil bersalaman dengan pak Maul.

"Kenapa Ri?"

"Mau ngasih skrip nilai anak-anak semester 2 pak."

"Oh iya taruh aja. Makasih Ri." Katanya.

Dia pun bersalaman lagi dan kemudian keluar ruangan. Tapi belum sampai pintu, dia balik lagi mengahmpiri meja pak Maul.

"Pak, yang itu namanya Hana, jangan galak-galak pak sama dia." Katanya.

Aku pun jadi salah tingkah, perasaanku saat itu antara kesal dan gemas. Pak Maul yang sedang memasang infocus pun menoleh ke arah ku sambil tersenyum.

"Dia pacar kamu?" Kata pak Maul.

"Bukan pak."

"Kamu suka dia?"

"Iya."

"Bapak dukung kamu." Kata pak Maul sambil menepuk-nepuk pundaknya.

"Bapak jangan dukung saya, bapak dukung dia aja biar mau sama saya." Katanya.

Pak Maul  hanya tertawa.

Saat itu aku benar-benar ingin bisa menguasai mantra menghilangnya Harry Potter.

Selesai pelajaraan pak Maul dia pun mengahmpiriku yang sedang duduk dan mengobrol dengan teman-teman.

"Han."

"Ye?"

"Nonton yuk." Katanya sambil menarik bangku ke sampingku.

"Aku gak bisa, harus bantuin ngajar."

"Sekali-sekali lah bolos."

"Enggak bisa."

"Kamu ngapain sih ngajar."

"Ya karena tanggung jawab aku. Lagi juga lumayan dapet uang buat tambahan uang jajan."

"Tapi kamu jadi gak pernah ada waktu. Pagi sampai sore kuliah, sore sampai malem ngajar. Habis itu nugas."

"Ya gitulah aku."

"Kamu tuh bisa down. Kecapekan. Sekali-kali istirahat. Emang kamu bisa beli monas dengan kerjaan kamu yang kaya gitu."

"Kamu tuh gak pernah ngerti ya, ada orang yang harus kerja keras dulu biar bisa dapetin apa yang dia inginkan."

"Ya terus apa yang kamu dapet? Yang aku tau kamu cuma dapet sakit."

"Susah ngomong sama orang yang hidupnya gak  pernah susah."

"Kok kamu jadi bawa-bawa hidup aku."

"Habis kamu gak ngerti-ngerti. Aku bukan kamu yang dari lahir langsung kaya. Aku harus kerja keras dulu untuk sekedar beli sesuatu yang aku mau." Aku pun bangkit dan bersiap meninggalkannya.

Tapi karena aku memiliki darah rendah, jadi setiap setelah duduk dan langsung berdiri dengan tiba-tiba pasti mataku mendadak jadi gelap.

"Tuh kan. Ini yang kamu dapet kalo terlalu over kegiatannya." Dia masih memarahiku.

"Kamu juga pernah sakit kan waktu kecapean. Ini yang kamu mau?!" Nadanya sekarang benar-benar meninggi.

"Terus mau kamu apa?"

"Kamu istirahat."

"Aku gak papa."

"Keras kepala banget sih!"

"Apaan sih. Bukan hak kamu ngatur-ngatur hidup aku."

Dia yang kesal pun berlalu pergi. Mungkin aku juga salah tapi menurutku dia seharusnya bisa mengerti bahwa ada orang-orang yang hidupnya tidak semenyenangkan hidupnya.

Yang tinggal tunjuk langsung dapat. Aku juga tau dia pun bekerja, sama sepertiku. Menjadi asisten dosen. Tapi kita beda. Aku hanya guru ngaji, yang gajinya itu tidak seberapa.

Meski pun dia pernah bilang aku tidak perlu khawatir tentang segala sesuatu. Apa yang aku mau bisa dia wujudkan. Tapi aku bukan tipe orang yang seperti itu. Selama aku masih bisa bekerja dengan tenagaku, aku pasti akan berusaha memeperoleh apa yang aku mau tanpa harus merengek ke orang lain.

Suatu hari dia pasti sadar akan hal itu. Aku bukan dia dan segala kemewahan hidupnya. Iya suatu hari.

*FIKSI

-Hana Larasati


Tidak ada komentar:

Posting Komentar