Jumat, 07 Oktober 2016

Saturnus

"Jogja kota impianku, untuk menua bersamamu."

Dia tersenyum membaca tulisanku. Aku pun membalasnya dengan senyumanku.

Aku menyisakan beberapa detik waktu di hidupku untuk menatapnya. Tatapan ini, tatapan yang lebih lama dari pada siapa pun.

Aku senang menelitinya. Meneliti setiap jengkal garis wajahnya. Menyelami, teduh sorot matanya dan mengabadikan setiap senyum di wajahnya.

Kau tau kenapa? Karena aku adalah penikmat senyumnya.

Bukan karena pemilik senyum itu adalah orang yang tampan. Tapi lebih kepada, kenyataan bahwa orang yang memiliki senyum itu memberikan senyumannya tulus padaku, orang yang rela jatuh cinta padaku meskipun pada saat itu hatiku bukan untuknya.

"Kenapa harus Jogja?" Katanya, di barengi dengan desir angin yang menerbangkan helai-helai rambutnya.

"Itu kota kelahiran ibuku." Kataku.

"Sudah tidak takut?" Katanya sambil menatapku.

Di saat itu, matanya benar-benar menyorot mataku. Dalam hati aku berkata -Tuhan sampel galaksi mana yang Kau selipkan di bola matanya.

"Sedikit." Kataku sambil menunduk, karena tak tahan dengan keindahan matanya.

"Tapi ada yang pernah bilang, ketakutan hanya sebatas pemikiranku saja." Lanjutku.

Dia hanya tersenyum.

Lagi-lagi, kita terperangkap di antara ashar dan senja. Dengan perasaan yang berbagai macam rupa.

"Aku mau kasih tau ini." Katanya sambil menunjukan sebuah foto.

Aku hanya tersenyum. Kemudian aku melanjutkan menulis lagi.

"Lihat dulu."

"Aku udah lihat. Foto kamu sama perempuan itu kan? " Kataku sambil tersenyum.

Dia terdiam.

"Marah?" Katanya.

"Enggak kok."

Dia terdiam.

"Cemburu?" Katanya lagi.

"Kata Dilan; Cemburu hanya untuk orang-orang yang gak percaya diri."

"Kamu percaya diri?"

"Jawabnya harus jujur?"

"Iya."

"Enggak. Hahaha."

Kemudian dia meraih laptopku.

"Jangan cemburu, nanti wajahmu mendung. Kalau mendung, nanti pelangiku hilang."

Aku berusaha menahan senyum  saat itu.

"Kemarin aku ketemu Rangga." Katanya mengganti topik.

"Rangga mana?"

"Mantan teman sekelasmu."

"Oh iya, aku kenal."

"Terus aku ngobrol-ngobrol sama dia."

"Ngobrolin apa?"

"Banyak."

"Ketemu di mana?"

"Di warung emak. Dia nanya aku kenal kamu gak."

Warung emak adalah tempat nongkrong anak-anak. Penjualnya adalah ibu-ibu yang sudah lanjut usia. Dia bilang, emak adalah penjual yang religius. Karena emak percaya kalau anak-anak gak akan bohong dalam mengambil makanan. Kalau pun bohong ada malaikat yang mencatat.

"Kamu jawab?"

"Kenal. Deket malah."

"Terus?"

"Dia bilang, kamu orangnnya pendiam. Terus dia nanya aku kok bisa deket sama kamu, ngobrolnya gimana?"

"Terus?"

"Aku jawab pakai semapur."

Aku tertawa saat itu.

"Dia percaya?" Kataku.

"Enggak. Hahahah."

Selagi kita berbincang, temannya datang menghampiri kami.

"Bang, di cariin pak Anto di suruh ke ruang dosen katanya."

"Iyah makasih Den." Katanya, lalu temannya pun berlalu.

"Udah sana." Kata ku sambil merapikan laptop.

"Sana mana?"

"Ruang dosen."

"Males ah."

"Hih kamu. Kali aja penting."

"Paling cuma di suruh setor nilai anak-anak." Katanya.

"Eh aku mau ke warung emak. Kamu mau ikut gak?" Lanjutnya.

"Enggak ah, bau rokok. Aku gak suka."

"Yasudah."

"Aku gak suka perokok."

"Kalo perokoknya gak suka kamu gimana?"

"Biarin."

"Kalo perokoknya bilang biarin juga gimana?"

"Biarin aja."

"Kalo perokoknya aku gimana?"

"Aku gak suka kamu."

"Aku juga gak suka kalo kamu marah-marah. Tapi aku suka kalo kamu ketawa."

"Jangan ngerokok. "

"Insya Allah."

"Insya Allah - nya insya Allah orang Indonesia atau insya Allah  orang islam? "

"Insya Allah-nya orang Indonesia yang islam. "

"Awas ya kalo aku ketemu kamu,  kamu nya bau rokok. "

"Kalau nanti kamu ketemu aku,  terus aku bau rokok,  itu berarti teman-teman aku yang niupin asep rokoknya ke baju aku. "

"Biar apa kaya gitu?"

"Biar dimarahi kamu. "

Dalam perbincangan kita,  tiba-tiba aku teringat sesuatu. 

"Eh iya, waktu kamu naik gunung,  kamu tau gak Della bilang apa ke aku? "

"Enggak tau. Kan akunya lagi naik gunung. "

"Hish. Jangan di potong dulu kan aku belum selesai ngomongnya. "

"Iya. "

"Della bilang aku jangan deket-deket kamu."

"Kenapa? Dia suka sama kamu? "

"Hish si ngaco.  Ya enggak lah. " 

"Terus? "

"Kata dia kamu bukan anak baik-baik. Dia ngingetin aku. Dia juga bilang temen kamu anak berandalan semua. "

"Yang keliatan berandalan bukan berarti gak baik.  Yang keliatan baik bukan berarti gak jahat. "

"Aku juga pengen bilang gitu.  Tapi gak kepikiran. "

"Kamu.  " Katanya sambil melemparku dengan kertas dan menyungingkan senyum.

"Aku berteman dengan siapa aja yang mau berteman dengan ku." Lanjutnya.

"Pemabuk atau pencandu sekali pun? "

"Iya. "

"Kenapa? "

"Aku bukan Tuhan, yang berhak menghakimi perilakunya. Itu bukan kapasitasku. Aku cukup menerima dia dengan jalan hidupnya, dan yang paling penting. Aku gak ikut. "

"Iya. "

"Mereka bilang kami anak berandalan,  nakal. Tapi kami gak pernah nyakitin siapa pun atau merugikan siapa pun. Mereka bilang mereka anak baik-baik,  tapi pikirannya ke orang lain negatif mulu.  Dimana baiknya?" Katanya sambil menatap lurus ke jalan.

"Maaf. "

"Ngapain minta maaf. Kan gak salah. "

"Iya. "

Lalu matanya melirik naskahku. 

"Kamu beneran mau tinggal di Jogja? " katanya

"Kalo kamu mau. "

"Aku mau. "

"Nanti kita bikin rumah di bukit. "

"Jangan nanti longsor. "

"Yaudah di pantai. "

"Kalau tsunami gimana? "

"Di desa? "

"Jauh dari mana-mana. "

"Yaudah di kota. "

"Jangan macet. "

"Kamu mah apa-apa jangan."

"Kita bikin rumah di Saturnus. Kan dia planet paling besar, enak lega. Bisa buat main bola. "

"Gak ada orang yang bikin rumah di sana. "

"Biarin kita aja.  Harga tanah di sana juga murah."

"Tau ah."

"Yaudah aku mau ke warung emak dulu."

"Ke pak Anto dulu. "

"Ah, aku males."

"Aku temenin."

"Yah batal deh malesnya."

Aku membalasnya dengan tertawa.

- Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar