Sabtu, 16 Januari 2016

Radiasi Bintang III

"Tawamu adalah alasan ku disini. Gadis pengeluh dan naif. Aku cinta kau."

Bukit bintang dan tawamu menjadi pemandangan indah yang Tuhan izinkan aku untuk melihatnya. Sahabat 6 tahun ku. Belum pernah ku lihat kau sehancur ini. Aku melihat mu sebagai sosok yang ceria, kuat, dan keras kepala. Semenjak kau mengenal laki-laki itu hidup mu berubah. Kau menjadi lemah dan pemurung. Kau jadi mudah untuk di takhlukan.

Aku masih melihat kehancuran di mata beningmu. Mata yang dulu selalu terlihat ceria dan bahagia. Gadis yang dulu aku nilai angkuh, kini menjadi sahabat baik ku. Gadis naif yang selalu mengangap semua orang baik. Dasar bodoh. Sering ku memakinya dalam hati. Gadis yang terlalu baik, di dunia yang terlalu jahat untuknya.

Tawanya adalah kebahagian untukku. Gadis pengeluh dan naif ini, sukses mengobrak-abrik pertahanan hatiku. Dari dulu aku tak pernah peduli hatinya untuk siapa. Yang penting hatiku selalu terjaga untuknya. Aku tak mau tau cintanya ada dimana. Yang aku mau tau dia tertawa lepas tanpa sekat, dan aku menjadi alasannya untuk tertawa. Entah sampai kapan, atau berapa lama aku seperti. Aku akan terus menyimpannya dengan rapat. Hingga akhirnya dia sadar bahwa akulah rumah yang nyaman untuknya kembali pulang.

Ketika tangisnya pecah di alun-alun keraton tadi. Aku ingin memaki diriku sendiri karena tidak ada yang bisa aku lakukan selain menatapnya. Terbesit pemikiran untuk memeluknya. Tapi apa aku gila, perempuan itu masih punya agama.

Taukah dia bahwa ada hati yang sakit ketika melihatnya terluka. Taukah dia masih banyak yang ingin melihatnya tertawa bahagia. Sadarkah dia bahwa air matanya terlalu mahal untuk menangisi hal yang seperti itu.

Sebagai sahabat selain membuatnya tertawa aku hanya bisa berdoa semoga dia mendapatkan yang terbaik di hidupnya. Tidak munafik memang aku mencintainya sejak pertama kali dia melpar buku ke mukaku. Gadis aneh yang susah mengendalikan emosinya. Anak tunggal yang jauh dari kata manja.

Aku selalu mendoakan kebahagianmu. Dengan siapa pun kau menghabiskan sisa hidupmu. Aku selalu berdoa itu yang terbaik dari Allah untukmu. Aku mencintaimu. Tidak munafik aku pun ingin bersamamu. Tapi jika Tuhan tidak mengizinkan, aku bisa apa? Aku hanya mengharap ridho Tuhan ku karena aku ingin bersama mu, tidak hanya di dunia tapi sampai di surga.

Kau pun tau aku selalu menjaga pandanganku, sama sepertimu menjaga pandanganmu. Aku selalu menyimpan tanganku, sama seperti kau menyimpan tanganmu untuk mengengam orang pertama yang sudah halal untukmu. Aku selalu menjaga hatiku untuk mencintaimu, wanita pertama yang sukses mengobrak-abrik pertahanan hatiku. Bukan kah kau selalu bilang bahwa "wanita-wanita yang baik itu untuk laki-laki yang baik Mar, dan wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji." Lalu kenapa wanita baik seperti mu, mendapat laki-laki keji sepertinya?

Aku tidak akan mengumbarnya seperti kebanyakan laki-laki di luar sana. Cintaku pun tidak ku simpan di dalam hati, tapi  aku akan menyimpannya di dalam doa. Karena hati manusia itu sifatnya berbolak-balik, tapi jika doa, doa itu akan di catat di langit.

"Ayo pulang Mar."

"Ngapain, gak nunggu pagi sekalian?"

"Dasar sakit. Di sini dingin."

"Yaudah ayo pulang. Udah jam 8 malam juga."

"Gak mau makan dulu. Laper Mar."

"Lah bukannya tadi udah makan? Makan atii hahahaha."

"Amarrrrrrrr."

Kita pun berlari-lari di bukit bintang. Saling berkejaran seperti anak kecil. Ini yang aku inginkan. Tawa lepas yang keluar dari mulutmu. Ini yang membuatku bahagia, melihat kau tertawa tanpa sekat di ujungnya. Malam ini tawamu sukses membuatku teradiasi  di bukit bintang gunung kidul Jogjakarta. Aku mencintaimu Han. Semoga Allah menyampaikan cintaku padamu.

                                 *****

Jumat, 15 Januari 2016

Radiasi Bintang II

"Bukan tentang siapa yang ada di dalam hati. Tapi tentang, siapa yang datang dan tidak melukai."

Malam ini tanah Jogja basah dengan hujan. Hawa dingin yang menusuk-nusuk tulang di sandingkan dengan secangkir teh manis hangat, sangat berjodoh sekali seperti Ali dan Fatimah. Setelah seharian menghabiskan waktu di pantai parangtritis yang panas, kakiku kebas sangking capeknya.

Tiba-tiba terbesit pemikiran kenapa dia kembali lagi? Setelah sekian lama pergi meninggalkan luka yang membekas hingga kini. Begitu mudahnya dia kembali dan bicara seperti itu. Tau kah dia sulitnya aku untuk bangkit dari keterpurukanku? Kemana saja dia dulu, sewaktu aku masih sanggup menunggunya pulang.

Dia menarik lagi luka masa laluku yang selama ini dengan susah payah aku kubur dalam diam. Apakah dia tau betapa sulitnya berdamai dengan masa lalu? Aku masih ingat kejadian itu. Di jalan malioboro ku lihat dia di gandeng seorang gadis cantik.

"Aku mau itu li?" Rayu perempuan itu.

"Iya, kita beli yang itu." Kata laki-laki itu. Gemetar ku lihat mereka berdua. Di sana tanpa lelah aku menunggunya pulang, dan percaya bahwa dia akan menjaga amanahnya.

"Ali.." panggilku lirih. Nafasku pun berat, melihat kenyataan yang ada di depanku. Gadis berambut panjang yang tergerai itu. Ali yang ku kira akan menjaga amanahnya ternyata bisa goyah.

"Han..na kamu kenapa bisa di sini?"

"Apa itu penting buatmu? Siapa perempuan itu?"

"Dia temanku."

"Apa mungkin teman sampai bergandengan tangan?"

"Sungguh dia temanku."

"Apa pun alasanmu, hanya Allah yang maha tau. Maaf sudah menggangu kalian." Kata ku sambil melirik perempuan itu dan berlalu pergi. Jilbabku berkibar di belakang ketika aku mulai berlari menjauh.

"Han...Hana... tunggu Han."

Genangan air mata ku tak dapat lagi ku bendung. Tangis ku pecah di alun-alun keraton jogja. Laki-laki yang selama ini aku tunggu dengan setia ke pulangannya hari ini aku lihat dia bersama wanita lain.

"Udah deh gak usah cengeng. Gitu doang."
Kata suara yang tidak asing di telinga. Aku pun menoleh sambil mengusap air mataku. Karena suasana gelap, maka aku harus membuka mata dengan lebar untuk melihat sosok yang menyapaku itu.

"Siapa sih?!" Masih dengan nada terisak.

"Enam tahun temenan masih aja nanya siapa sih?! Kebangetan lu Han!" Kata suara itu yang mulai mendekat.

" Amar? Nagapain disini? Kok tau.. gue disini?"

"Apa itu penting? Harusnya gua yang nanya ngapain lu malem-malem nangis di bawah pohon beringin begini. Kaya penampakan tau gak sih lu." Katanya sambil duduk di sebelahku.

"Bukan urusan lu. Gua baik baik aja. Udah sana pergi. Gua mau sendiri." Kataku yang mulai mengumpulkan nada suara.

"Ini nih yang lu bilang baik-baik aja? Coba deskripsiin ke gua di mana letak baik-baik aja di diri lu sekarang?"

"Dih, please lu gak tau apa-apa tentang gua."

"Gua lebih tau lu dari diri lu sendiri Han. Liat diri lu sekarang. Lu tuh parah tau gak! Berantakan, jilbab mencong sana sini, baju kucel, udah gak ada bedanya sama pengemis di pinggir jalan. " katanya sambil menatap mataku. Amar memang sahabatku semenjak SMA dia yang selalu menemani hari-hariku.

"Apa karena laki-laki itu? Bukannya udah sering gua kasih peringatan ke elu. Jangan dia, jangan sama dia. Itu resiko yang harus lu terima akibat lu gak dengerin kata orang lain." Lanjutnya sambil terus menatap wajahku.

"Gua masih percaya dia baik Mar.." kataku yang sekarang mulai menghapus sisa-sisa air mata.

"Coba lu jelasin ke gua baik dari sudut mana dia? Apa bikin perempuan nangis itu perbuatan yang baik? Lu terlalu naif Han. Lu angep semua orang itu baik."

"Tapi emang dia baik Mar, mungkin guanya aja yang bikin dia jadi gitu."

"Terserah lu lah Han. By the way tadi gak sengaja pas jalan-jalan di malioboro gua liat semua kejadiannya. Makanya gua ngikutin lu ke sini. Gua tau lu cengeng dan bener aja kan. Oh iya satu lagi kalo lu mau tau, perempuan itu temen kampusnya."

"Lu..."

"Kalo lu mau nanya gua tau dari mana? Gua liat sendiri. Gua KKP di kampusnya gua di tempatin di pengolahan program karena gua jurusan IT."

"Amar lu intel?" Kata ku meledeknya.

"Ah udah gak penting. Ayo ikut gua sekarang!" Dia berjalan di depanku. Walau pun kelihatanya berandalan Amar tidak berani menyentuhku walaupun sekedar tangan. Penampilan Amar mungkin tak serapi Ali. Dia jarang mengenakan kemeja. Dia lebih suka kaos dan jeans. Rambutnya pun berantakan. Tapi dia adalah laki-laki yang pantang menyentuh wanita yang bukan mukhrimnya.

Ternyata Amar mengajak ku ke bukit bintang di gunung kidul. Dia tau aku sangat suka bintang. Di dalam mobil kita saling bercerita.

"Mar, lu dari kapan di sini?"

"Awal semester 6 Han. Lu sendiri ngapain di sini?"

"Oh.. gua ada kerjaan di sini. Gua kan gabung di tim penulis. Nah untuk sementara waktu gua di sini nyusun naskah." Kata ku. Kita banyak bercincang-bincang hingga tak terasa perjalanan kita telah usai. Mobilnya pun di parkir di sebuah restoran dekat bukit bintang. Kita pun berjalan menuju bukit bintang.

"Emang bukan bintang beneran tapi seenggaknya ini duplikatnya." Katanya setelah kita sampai.

"Makasih Mar, ini bagus. Masya Allah."

"Lu tuh harus sering-sering di terapi di sini deh. Biar lu tau, dunia ini sayang kalau cuma di liat dari sudut sakitnya aja, pemandangan yang indah jadi sia-sia . Hati itu urusan nanti. Kalo laki itu baik buat lu dia juga balik."

"Iya Mar. Makasih ya."

"Masa makasih doang mana sini biaya konsultasi. Itu gak gratis loh." Katanya sambil menengadahkan tangan.

"Hih dasar cowo mata duitan." Kata ku sambil mengerenyit.

"Yee.. kan kaya kata lu cowo itu harus berotak bisnis karena bukan cuma dirinya yang akan di hidupin tapi keluarga, anak, dan istrinya." Katanya sambil mengodaku.

"Hahaha ya tapi gak semua juga lu duitin Mar. Ah udahlah nyesel gua konsul sama lu." Kata ku tertawa.

"Hahahah biarin aja." Dan akhirnya kita pun tertawa bersama menikmati malam di bukit bintang gunung kidul jogjakarta.

                           *****

Kamis, 14 Januari 2016

Ketika Agama ku Di Kambing Hitamkan

Siapa yang tidak sedih jika agamanya di kambing hitamkan. Siapa yang tidak miris jika agamanya di jadikan label "teroris". Siapa yang tidak sakit hati jika kejahatan di katakan jihad.

Apa Allah pernah memerintahkan untuk saling membunuh? Apa Rasulullah mengajarkan untuk saling berperang dengan sesama muslim? Apa dalam Al-Qur'an menyakiti itu di perbolehkan?

Allah tidak pernah memerintahkan untuk saling membunuh. Rasulullah tidak pernah mengajarkan untuk saling berperang, apa lagi sesama muslim. Beliau selalu menegaskan kalau orang muslim itu bersaudara dan di dalam Al-Qur'an tidak ada anjuran untuk menyakiti.

Lalu dari mana arti jihad yang engkau gembar gemborkan? Kau berucap Lailahailalloh tapi kau jadikan  agamamu label seorang "teroris". Kau dengan lantang berteriak Allahu Akbar. Tapi kau jadikan agamamu kambing hitam.

Arti jihad sendiri berjuang di jalan Allah. Lalu dari mana dikatakan "berjuang di jalan Allah" kalau engkau menebar ketakutan, menjadikan orang-orang yang tidak berdosa mati terbunuh. Apa itu yang kau maksud jihad? Apa Rasulullah mengajarkan itu?

Jangan membawa-bawa bendera islam untuk segala hal jahat yang engkau lakukan. Aku mungkin masih belum terlalu paham tentang islam. Tapi yang aku sadar islam itu menebar kedamaian bukan ketakutan. Islam menebar kasih sayang bukan peperangan.

Aku mohon jangan jadikan agamaku kambing hitam. Berhenti jadikan agamaku label seorang teroris. Aku mohon. Semoga Allah mengetuk pintu hatimu. Aamiin.

-Hana Larasati

Rabu, 13 Januari 2016

Kakek Tua dan Sapunya.

"Bukan bahagia yang membuat engkau bersyukur, tapi bersyukurlah yang membuat engkau akan bahagia."

Siang itu ketika aku sedang berjalan di bilangan Jakarta Selatan tepatnya di suatu perumahan elit Jakarta. Aku melihat ada seorang kakek-kakek tua yang membawa peralatan bersih-bersih.

Pakainya layak namun jauh dari kata indah. Umurnya aku taksir sekitar 70 tahun-an. Dia memakai baju biru yang sudah mulai pudar warnanya, celana hitam lusuh, sepatu yang sangat tua dan topi yang mulai robek-robek.

Ketika aku dan kakak ku lewat dia sedang duduk di pinggiran gerbang salah satu rumah besar yang ada di sana, sepertinya dia ingin makan siang. Kakak ku sendiri adalah tipe orang yang tidak tegaan. Dia selalu tidak tega melihat keadaan orang yang seperti itu.

Akhirnya kami pun melipir menghampiri kakek tua itu. Sangat mengenaskan, makan siang yang dia makan hanya sepotong roti harga seribuan yang  agak mulai berjamur dan bakwan goreng 2 buah. Miris sangat miris. Keadaannya dan tempat yang dia duduki sangat berbanding terbalik.

Ditengah-tengah rumah yang megah dan indah ini apa tidak ada yang terketuk pintu hatinya untuk sekedar memberi makan siang yang layak untuk kakek ini? Hanya makan siang. Kakak ku pun memberinya sedikit rezeki. Memang jauh dari kata cukup tapi setidaknya kami sudah memiliki niat untuk membantunya.

Yang membuatku salut. Di saat yang muda dan gagah memilih untuk mengemis kakek itu memilih bekerja walau hanya sebagai tukang sapu komplek, tapi menurutku derajatnya lebih tinggi dari seorang pengemis atau pengangguran yang menjadi sampah negara. Aku lebih respect pada kakek itu karena kakek itu tetap memilih bekerja keras  walaupun usianya sudah senja.

Untuk yang masih mengeluh tentang uang jajan, kendaraan yang ketingalan zaman, atau handphone yang jadul. Belajarlah untuk melihat ke bawah. Belajarlah untuk bersyukur. Belajarlah untuk lebih peka terhadap nikmat yang Allah kasih. Jangan hanya bersyukur dari hal yang besar saja, cobalah untuk mensyukuri yang kecil. Bisa berjalan dan bernafas pun adalah nikmat. Mulai belajarlah untuk mensyukuri yang kecil dan sederhana.

Jadilah 7 benda ini.

Sediakan kotak P3K (Pertolongan Pertama Pada Kehidupan) dalam kehidupan kita. Di dalamnya, ada 7 benda :

1. Tusuk Gigi 
Jangan suka mencongkel-congkel keburukan hati orang. Sebaliknya, carilah kebaikan orang lain yang terselip, yang tidak kelihatan selama ini.

2. Penghapus 
Hapus semua kesalahan orang yang menyebabkan kita sakit hati.

3. Pensil 
Tulis dalam hati: berkah/anugerah yang kita terima setiap hari.

4. Plester
Semua luka hati dapat disembuhkan, selama kita mengizinkannya.

5. Karet Gelang 
Bersikaplah fleksibel, bahwa tidak semua yang kita inginkan dapat terwujud.

6. Permen Karet
Bila kita sudah berkomitmen, lakukan semua dengan ikhlas dan selalu setia, seperti permen karet yang terus menempel.

7. Permen 
Berilah senyum manis ke setiap orang yang kita jumpai, karena senyum seperti permen, semua orang menyukainya.

Ingatlah : Waktu seperti sungai, kita tidak bisa menyentuh air yang sama untuk kedua kalinya, karena air yang telah mengalir akan terus berlalu dan tidak akan pernah kembali.

#RFA

-Pengusaha Kampus

Hari ini, wanita itu mendorong kursi rodaku. Wanita, yang selama ini aku campakan hatinya. 

Hari ini wanita itu, mengganti perban di kaki ku. Mengusapnya lembut, selembut tangan ibuku. Wanita yang dulu aku bohongi dia dengan kalimat-kalimatku

Hari ini masih dengan wanita yang sama. Dia menemaniku latihan berjalan. Menyemangati dan membantu ketika aku terjatuh. Wanita yang dulu aku lukai perasaannya.

Entahlah dia itu manusia atau titisan malaikat yang Tuhan hadiahkan padaku. Setelah banyak aku lukai hatinya, dengan penuh kesadaran dia tetap baik pada ku.

Perempuan Jogja itu. Tidak pernah aku bisa lupa senyumnya dengan satu lesung pipi di pipi kananya.

Ah bodohnya aku, kenapa dulu aku sakiti hatinya. Mungkin tidak secantik kekasihku kini. Tidak sepintar dia juga. Tapi dia sangat baik.

Dia yang tidak meninggalkan aku di keadaan apa pun, padahal sudah ku buat air matanya terjatuh. Ah perempuan itu.

Selasa, 12 Januari 2016

Cara Indah Allah Merangkul Hambanya

Siang ini matahari sangat terik , jaraknya seperti sejengkal dari ubun-ubun. Padahal hari ini rencananya aku dan dua kakak sepupuku ingin pergi ke luar, tapi karena panas dan juga pasti macet di bilangan antasari-kemang maka kami memutuskan untuk mengcancel acara kami.

Akhirnya kami pun menghabiskan waktu untuk saling bercerita. Dua kakak sepupuku bernama Ridwan dan Reza. Mereka bercerita tentang apa yang di dengarnya selepas solat Jum'at kemarin, di sekitaran masjid dekat Senayan City.

"Han kamu tau gak, kemarin waktu mas sama kakak Reza solat Jum'at kita denger kutbah seru, ya Za." Kata mas Ridwan

"Iya. Seru banget Han. Yah kamu sih gak ikut." Kak Reza melanjutkan

"Kan itu solat Jum'at kak. Masa iye Hana ikut, yang bener aja. Emang cerita apa kak, mas?"

"Soal orang keturunan Cina yang mualaf." Kata kak Reza.

"Biasa aja itu mah." Kata ku datar

" Yah dia sotoy, ini mah gak biasa ya Za. Orang Cinanya tuh bener-bener Cina. Matanya tuh sipitnya kaya balon di seset pisau. Gak bisa di bedain deh antara dia merem atau melek." Kata mas Ridwan penuh semangat.

"Terus apa yang bikin gak biasanya dari cerita dia?" Kata ku bingung

"Iya jadi dia itu ngalamin mati suri selama 38 jam." Kata kak Reza

"Wihh terus..terus.." kata ku yang mulai penasaran.

" Dia cerita ke jamaah tentang pengalaman sakaratul mautnya dan apa aja yang dia liat waktu dia mengalami mati suri. " kata kak Reza.

"Dia itu seorang GM di sebuah perusahaan waktu itu dia lagi makan, tau-tau dia meninggal. Pas nyawanya mau di cabut kata dia tuh sakit banget. Sakitnya kaya di silet-silet seluruh badan. Pokoknya katanya 1001 sakit jadi satu." Mas Ridwan semangat.

"Ih serem banget ya mas. Itu baru gladiresiknya meninggal, sakaratul mautnya aja begitu apa lagi yang benerannya ya." Kata ku merinding.

"Ya emang sakit banget, Nabi Muhammad yang Rasul nya Allah aja nangis pas di cabut nyawanya. Padahal Rasulullah udah di tiup kepalanya sama jibril buat ngurangin rasa sakitnya tapi tetep aja sakit." Kata kak Reza.

"Terus..terus.. mas."

"Nah dia bilang dia tuh kaya di bawa ke suatu tempat di padang pasir yang luas banget dan di sana banyak orang. Dia sama orang-orang itu di suruh jalan dan itu jalannya jauh.. banget tapi selama di perjalanan dia gak ngerasa haus atau lapar. Cuma ngerasa jauh banget udah jalan."

"Sampai di tengah jalan di suruh berhenti dan di tunjukin 7 pintu gede.. banget warnanya hijau dan itu harum banget. Katanya ada yang bilang ke dia itu pintu surga. Nah di tengah padang pasir itu orang-orang terbagi 2 golongan. Golongan kanan dan golongan kiri. Yang kanan itu pasti masuk surga dan muslim. Nah yang kiri itu orang-orang kafir. Kata dia orang islam pasti semuanya masuk surga, cuma orang yang durhaka sama orang tua perempuan walaupun dia Islam dia gak akan masuk surga. "

"Dia udah mau jalan aja ke sebelah kiri tuh. Eh tau tau ada yang ngomong ke dia. Belum waktunya. Tiba-tiba dia kaya di tarik. Dan bangun bangun dia udah ada di peti mati pakai jas dan mau di suntik boraks."

"Terus pada kabur dong mas?" Kata ku

"Iya kabur semua kecuali anak istrinya dan dari kejadian itu dia langsung memutuskan masuk islam. "

"Wihh langsung tuh mas?" Kata ku

"Iya, tapi bukan tanpa resiko. Karena dia memutuskan untuk mualaf dia jadi di buang dari keluarganya dan di pejat dari jabatannnya."

"Yang aku bilang tadi. Awalnya dia GM dan sekarang dia jadi kurir."

"Pas tau dia jadi mualaf pendeta dari gerejanya langsung datengin dia dan bilang dia udah sesat. Selama dia mati, dia udah di bisikin iblis. Pendeta itu nawarin kalo dia mau balik ke agamanya yang lama dia mau minta apa aja di kasih rumah, jabatan dan sebagainya. Terus dia jawab "kamu tuh iblisnya. Saya tau rasanya mati dan saya gak mau mati kedua kalinya. Kecuali setelah saya beragama islam."" Kata mas Ridwan.

Dari cerita atas aku hanya bisa bilang tiada Tuhan selain Allah. Jika kamu tau rasanya cinta dengan Allah, kamu pasti tau rasanya sakit jika jauh dari Allah. Hanya Allah yang maha pembolak balikan hati manusia. Kita sebagai hamba hanya bisa berdoa semoga tetap istiqomah di jalan Allah sampai ajal memanggil.

Ya muqolibal qulub tsabit qolbi ala di'inik. Ya Allah yang maha pembolak balikan hati teguhkan hatiku untuk teguh pada tali agamaMu. Aamiin.

-Hana Larasati.

Selasa, 05 Januari 2016

Radiasi Bintang

"Apa mungkin kepingan kaca bisa di perbaiki lagi menjadi gelas yang layak pakai?"

Desir pasir pantai parangtritis menyambut kedatanganku sore ini. Riuh deburan ombak menjadi alunan indah pemanis suasana. Setelah sekian lama, akhirnya ku beranikan diri menjejakan kaki di kota tempat mu menuntut ilmu.

Suasana di sini masih sama, asri dan menentramkan. Hmm... tidak teras sudah tiga tahun kita di aniaya jarak dan waktu. Kita dulu pasangan yang kompak dan bahagia, tapi itu jauh sebelum peran pendamping yang tiba-tiba kau undang ke dalam cerita kita, membawa sakit hati yang berujung nestapa.

Aku masih terngiang ucapanmu dua hari yang lalu di candi prambanan. Kau memohon agar aku kembali seperti dahulu. Tidak kah kau berpikir mustahil untuk kepingan kaca bersatu lagi menjadi gelas yang layak pakai.

Kau menungguku di balik batu-batuan candi dengan kemeja flanel warna hijau dan celana levis. Tidak banyak yang berubah di dirimu. Kau masih sama. Kurus dan tinggi. Kau pun sedikit bercerita. Hingga akhirnya kau sampaikan tujuanmu bertemu denganku.

"Aku minta maaf." Begitu katamu dengan wajah muram.

"Sudah aku maafkan, sejak pertama kali aku lihat kamu merangkul perempuan itu."

"Han.. aku benar-benar minta maaf."

"Apa kamu jauh-jauh mengajak ku bertemu di sini hanya untuk bilang maaf?"

"Aku sudah banyak menyakiti kamu Han."

"Kata siapa aku sakit? Aku baik-baik saja. Apa aku kelihatan sakit?"

"Aku mohon, kita perbaiki semuanya seperti dulu lagi Han." Sambil gemetar kau keluarkan kotak cincin warna merah dari sakumu. Kau menatapku penuh harap.

"Kamu tau, mustahil bagi kepingan kaca bersatu lagi menjadi gelas yang layak pakai. Kepercayaanku pun begitu saat ini, seperti kepingan kaca. "

"Tidak ada yang mustahil, karena cintaku berlandasan atas Allah dan Rasulnya. Tapi jika itu mustahil, aku akan tetap mencintai kepingan kaca sama seperti aku mencintainya sewaktu dia menjadi gelas. "

"Bagaimana jika kepingan kaca itu akan melukai mulutmu ketika kamu memaksa untuk memakainnya minum?"

"Aku akan tetap mencintainya, walau harus dalam keadaan terluka."

"Aku tetap tidak bisa."

"Kenapa? Aku mohon.. beri aku satu kali lagi kesempatan."

"Karena cinta di ciptakan bukan untuk membuat salah satunya terluka."

Ku lanjutkan lagi ucapanku.

"Kembalilah pada perempuan itu. Perempuan yang lebih baik dariku. Dia sangat mencintaimu."

"Tapi aku hanya mencintaimu Han."

"Jika begitu, kenapa dulu kau undang dia ke dalam cerita kita?"

"Itu kebodohanku."

Aku pun berjalan menjauh darinya. Langkah kaki ku membawaku pada candi Roro Jograng. Dia membuka percakapan lagi.

"Kamu ingat tidak Han.. kamu pernah bilang kamu suka dengan filosofi prambanan. Katamu prambanan itu bukan lambang dari keangkuhan wanita, tapi lebih ke eleganan wanita dalam hal memilih."

" Ya, ingat."

"Dan kamu seperti Roro Jongrang itu Han. Keras kepala dan elegan."

"Lantas kamu ingin mengubahku menjadi batu juga sepertinya?"

"Bukan.. bukan maksudku seperti itu Han." Dia berkata sambil sedikit panik.

"Aku hanya bercanda." Kata ku sambil tersenyum kecil. Dia pun menganguk.

Kita berjalan melintasi senja di pelataran Prambanan. Burung-burung camar hilir mudik mengelilingi kami. Di saat dia ingin membuka percakapan lagi tiba-tiba handphone-nya berdering.

"Assalamualaikum, ada apa?" Katanya ramah. Setelah beberapa detik mukanya berubah serius.

"Iya.. iya.. saya segera kesana." Dia pun buru pergi.

"Aku harus pergi Han.. ada masalah di kantor yang ada di Korea. Jika kau sudah tau jawabannya hubungi aku secepatnya. Assalamualaikum." Katanya sambil menatap mata ku.

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan mas." Kata ku ketika dia mulai berlari pergi.  Mendengar ucapanku dia pun berhenti dan berbalik sambil tersenyum.

"Demi Allah aku sangat menantikan jawabanmu itu Han. Aku harap kita bisa menjadi teman hidup di dunia dan akhirat."

"In shaa Allah jika kita jodoh, kita akan bertemu kembali."

Dia pun berlalu dan aku masih berjalan menuju senja. Tidak mau berharap, itu yang sekiranya ku tancapkan dalam hati. Mengingat segala perbuatannya dulu, sulit untuk ku menerima kembali walaupun aku sadar dia adalah kepingan hati yang selama ini hilang. Semunafik-munafiknya aku tetap saja dia masih tema yang sering aku perbincangkan dengan Tuhan.

                            ****