Jumat, 15 Januari 2016

Radiasi Bintang II

"Bukan tentang siapa yang ada di dalam hati. Tapi tentang, siapa yang datang dan tidak melukai."

Malam ini tanah Jogja basah dengan hujan. Hawa dingin yang menusuk-nusuk tulang di sandingkan dengan secangkir teh manis hangat, sangat berjodoh sekali seperti Ali dan Fatimah. Setelah seharian menghabiskan waktu di pantai parangtritis yang panas, kakiku kebas sangking capeknya.

Tiba-tiba terbesit pemikiran kenapa dia kembali lagi? Setelah sekian lama pergi meninggalkan luka yang membekas hingga kini. Begitu mudahnya dia kembali dan bicara seperti itu. Tau kah dia sulitnya aku untuk bangkit dari keterpurukanku? Kemana saja dia dulu, sewaktu aku masih sanggup menunggunya pulang.

Dia menarik lagi luka masa laluku yang selama ini dengan susah payah aku kubur dalam diam. Apakah dia tau betapa sulitnya berdamai dengan masa lalu? Aku masih ingat kejadian itu. Di jalan malioboro ku lihat dia di gandeng seorang gadis cantik.

"Aku mau itu li?" Rayu perempuan itu.

"Iya, kita beli yang itu." Kata laki-laki itu. Gemetar ku lihat mereka berdua. Di sana tanpa lelah aku menunggunya pulang, dan percaya bahwa dia akan menjaga amanahnya.

"Ali.." panggilku lirih. Nafasku pun berat, melihat kenyataan yang ada di depanku. Gadis berambut panjang yang tergerai itu. Ali yang ku kira akan menjaga amanahnya ternyata bisa goyah.

"Han..na kamu kenapa bisa di sini?"

"Apa itu penting buatmu? Siapa perempuan itu?"

"Dia temanku."

"Apa mungkin teman sampai bergandengan tangan?"

"Sungguh dia temanku."

"Apa pun alasanmu, hanya Allah yang maha tau. Maaf sudah menggangu kalian." Kata ku sambil melirik perempuan itu dan berlalu pergi. Jilbabku berkibar di belakang ketika aku mulai berlari menjauh.

"Han...Hana... tunggu Han."

Genangan air mata ku tak dapat lagi ku bendung. Tangis ku pecah di alun-alun keraton jogja. Laki-laki yang selama ini aku tunggu dengan setia ke pulangannya hari ini aku lihat dia bersama wanita lain.

"Udah deh gak usah cengeng. Gitu doang."
Kata suara yang tidak asing di telinga. Aku pun menoleh sambil mengusap air mataku. Karena suasana gelap, maka aku harus membuka mata dengan lebar untuk melihat sosok yang menyapaku itu.

"Siapa sih?!" Masih dengan nada terisak.

"Enam tahun temenan masih aja nanya siapa sih?! Kebangetan lu Han!" Kata suara itu yang mulai mendekat.

" Amar? Nagapain disini? Kok tau.. gue disini?"

"Apa itu penting? Harusnya gua yang nanya ngapain lu malem-malem nangis di bawah pohon beringin begini. Kaya penampakan tau gak sih lu." Katanya sambil duduk di sebelahku.

"Bukan urusan lu. Gua baik baik aja. Udah sana pergi. Gua mau sendiri." Kataku yang mulai mengumpulkan nada suara.

"Ini nih yang lu bilang baik-baik aja? Coba deskripsiin ke gua di mana letak baik-baik aja di diri lu sekarang?"

"Dih, please lu gak tau apa-apa tentang gua."

"Gua lebih tau lu dari diri lu sendiri Han. Liat diri lu sekarang. Lu tuh parah tau gak! Berantakan, jilbab mencong sana sini, baju kucel, udah gak ada bedanya sama pengemis di pinggir jalan. " katanya sambil menatap mataku. Amar memang sahabatku semenjak SMA dia yang selalu menemani hari-hariku.

"Apa karena laki-laki itu? Bukannya udah sering gua kasih peringatan ke elu. Jangan dia, jangan sama dia. Itu resiko yang harus lu terima akibat lu gak dengerin kata orang lain." Lanjutnya sambil terus menatap wajahku.

"Gua masih percaya dia baik Mar.." kataku yang sekarang mulai menghapus sisa-sisa air mata.

"Coba lu jelasin ke gua baik dari sudut mana dia? Apa bikin perempuan nangis itu perbuatan yang baik? Lu terlalu naif Han. Lu angep semua orang itu baik."

"Tapi emang dia baik Mar, mungkin guanya aja yang bikin dia jadi gitu."

"Terserah lu lah Han. By the way tadi gak sengaja pas jalan-jalan di malioboro gua liat semua kejadiannya. Makanya gua ngikutin lu ke sini. Gua tau lu cengeng dan bener aja kan. Oh iya satu lagi kalo lu mau tau, perempuan itu temen kampusnya."

"Lu..."

"Kalo lu mau nanya gua tau dari mana? Gua liat sendiri. Gua KKP di kampusnya gua di tempatin di pengolahan program karena gua jurusan IT."

"Amar lu intel?" Kata ku meledeknya.

"Ah udah gak penting. Ayo ikut gua sekarang!" Dia berjalan di depanku. Walau pun kelihatanya berandalan Amar tidak berani menyentuhku walaupun sekedar tangan. Penampilan Amar mungkin tak serapi Ali. Dia jarang mengenakan kemeja. Dia lebih suka kaos dan jeans. Rambutnya pun berantakan. Tapi dia adalah laki-laki yang pantang menyentuh wanita yang bukan mukhrimnya.

Ternyata Amar mengajak ku ke bukit bintang di gunung kidul. Dia tau aku sangat suka bintang. Di dalam mobil kita saling bercerita.

"Mar, lu dari kapan di sini?"

"Awal semester 6 Han. Lu sendiri ngapain di sini?"

"Oh.. gua ada kerjaan di sini. Gua kan gabung di tim penulis. Nah untuk sementara waktu gua di sini nyusun naskah." Kata ku. Kita banyak bercincang-bincang hingga tak terasa perjalanan kita telah usai. Mobilnya pun di parkir di sebuah restoran dekat bukit bintang. Kita pun berjalan menuju bukit bintang.

"Emang bukan bintang beneran tapi seenggaknya ini duplikatnya." Katanya setelah kita sampai.

"Makasih Mar, ini bagus. Masya Allah."

"Lu tuh harus sering-sering di terapi di sini deh. Biar lu tau, dunia ini sayang kalau cuma di liat dari sudut sakitnya aja, pemandangan yang indah jadi sia-sia . Hati itu urusan nanti. Kalo laki itu baik buat lu dia juga balik."

"Iya Mar. Makasih ya."

"Masa makasih doang mana sini biaya konsultasi. Itu gak gratis loh." Katanya sambil menengadahkan tangan.

"Hih dasar cowo mata duitan." Kata ku sambil mengerenyit.

"Yee.. kan kaya kata lu cowo itu harus berotak bisnis karena bukan cuma dirinya yang akan di hidupin tapi keluarga, anak, dan istrinya." Katanya sambil mengodaku.

"Hahaha ya tapi gak semua juga lu duitin Mar. Ah udahlah nyesel gua konsul sama lu." Kata ku tertawa.

"Hahahah biarin aja." Dan akhirnya kita pun tertawa bersama menikmati malam di bukit bintang gunung kidul jogjakarta.

                           *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar