Selasa, 05 Januari 2016

Radiasi Bintang

"Apa mungkin kepingan kaca bisa di perbaiki lagi menjadi gelas yang layak pakai?"

Desir pasir pantai parangtritis menyambut kedatanganku sore ini. Riuh deburan ombak menjadi alunan indah pemanis suasana. Setelah sekian lama, akhirnya ku beranikan diri menjejakan kaki di kota tempat mu menuntut ilmu.

Suasana di sini masih sama, asri dan menentramkan. Hmm... tidak teras sudah tiga tahun kita di aniaya jarak dan waktu. Kita dulu pasangan yang kompak dan bahagia, tapi itu jauh sebelum peran pendamping yang tiba-tiba kau undang ke dalam cerita kita, membawa sakit hati yang berujung nestapa.

Aku masih terngiang ucapanmu dua hari yang lalu di candi prambanan. Kau memohon agar aku kembali seperti dahulu. Tidak kah kau berpikir mustahil untuk kepingan kaca bersatu lagi menjadi gelas yang layak pakai.

Kau menungguku di balik batu-batuan candi dengan kemeja flanel warna hijau dan celana levis. Tidak banyak yang berubah di dirimu. Kau masih sama. Kurus dan tinggi. Kau pun sedikit bercerita. Hingga akhirnya kau sampaikan tujuanmu bertemu denganku.

"Aku minta maaf." Begitu katamu dengan wajah muram.

"Sudah aku maafkan, sejak pertama kali aku lihat kamu merangkul perempuan itu."

"Han.. aku benar-benar minta maaf."

"Apa kamu jauh-jauh mengajak ku bertemu di sini hanya untuk bilang maaf?"

"Aku sudah banyak menyakiti kamu Han."

"Kata siapa aku sakit? Aku baik-baik saja. Apa aku kelihatan sakit?"

"Aku mohon, kita perbaiki semuanya seperti dulu lagi Han." Sambil gemetar kau keluarkan kotak cincin warna merah dari sakumu. Kau menatapku penuh harap.

"Kamu tau, mustahil bagi kepingan kaca bersatu lagi menjadi gelas yang layak pakai. Kepercayaanku pun begitu saat ini, seperti kepingan kaca. "

"Tidak ada yang mustahil, karena cintaku berlandasan atas Allah dan Rasulnya. Tapi jika itu mustahil, aku akan tetap mencintai kepingan kaca sama seperti aku mencintainya sewaktu dia menjadi gelas. "

"Bagaimana jika kepingan kaca itu akan melukai mulutmu ketika kamu memaksa untuk memakainnya minum?"

"Aku akan tetap mencintainya, walau harus dalam keadaan terluka."

"Aku tetap tidak bisa."

"Kenapa? Aku mohon.. beri aku satu kali lagi kesempatan."

"Karena cinta di ciptakan bukan untuk membuat salah satunya terluka."

Ku lanjutkan lagi ucapanku.

"Kembalilah pada perempuan itu. Perempuan yang lebih baik dariku. Dia sangat mencintaimu."

"Tapi aku hanya mencintaimu Han."

"Jika begitu, kenapa dulu kau undang dia ke dalam cerita kita?"

"Itu kebodohanku."

Aku pun berjalan menjauh darinya. Langkah kaki ku membawaku pada candi Roro Jograng. Dia membuka percakapan lagi.

"Kamu ingat tidak Han.. kamu pernah bilang kamu suka dengan filosofi prambanan. Katamu prambanan itu bukan lambang dari keangkuhan wanita, tapi lebih ke eleganan wanita dalam hal memilih."

" Ya, ingat."

"Dan kamu seperti Roro Jongrang itu Han. Keras kepala dan elegan."

"Lantas kamu ingin mengubahku menjadi batu juga sepertinya?"

"Bukan.. bukan maksudku seperti itu Han." Dia berkata sambil sedikit panik.

"Aku hanya bercanda." Kata ku sambil tersenyum kecil. Dia pun menganguk.

Kita berjalan melintasi senja di pelataran Prambanan. Burung-burung camar hilir mudik mengelilingi kami. Di saat dia ingin membuka percakapan lagi tiba-tiba handphone-nya berdering.

"Assalamualaikum, ada apa?" Katanya ramah. Setelah beberapa detik mukanya berubah serius.

"Iya.. iya.. saya segera kesana." Dia pun buru pergi.

"Aku harus pergi Han.. ada masalah di kantor yang ada di Korea. Jika kau sudah tau jawabannya hubungi aku secepatnya. Assalamualaikum." Katanya sambil menatap mata ku.

"Wa'alaikumsalam. Hati-hati di jalan mas." Kata ku ketika dia mulai berlari pergi.  Mendengar ucapanku dia pun berhenti dan berbalik sambil tersenyum.

"Demi Allah aku sangat menantikan jawabanmu itu Han. Aku harap kita bisa menjadi teman hidup di dunia dan akhirat."

"In shaa Allah jika kita jodoh, kita akan bertemu kembali."

Dia pun berlalu dan aku masih berjalan menuju senja. Tidak mau berharap, itu yang sekiranya ku tancapkan dalam hati. Mengingat segala perbuatannya dulu, sulit untuk ku menerima kembali walaupun aku sadar dia adalah kepingan hati yang selama ini hilang. Semunafik-munafiknya aku tetap saja dia masih tema yang sering aku perbincangkan dengan Tuhan.

                            ****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar