Kamis, 18 Januari 2018

Pecahan Kaca

Tanganku memegang pecahan kaca, yang entah siapa yang memecahkannya.

Aku merapikannya. Satu demi satu ku pasang dengan seksama.

Lalu tanganku luka. Namun pecahan kaca masih ku gengam dengan tangan yang berbeda.

Aku suka merapikan yang berhamburan. Menyusun yang berantakan. Menyambungkan semua yang pecah kembali walau tak akan sama lagi.

Tak ada yang kudapat, walau hanya ucapan selamat. Memang aku tak menuntut hak apa pun termasuk luka-luka yang memenuhi tanganku.

Aku hanya ingin tak ada orang yang merasakan hal sama seperti aku. Yang untuk memasuki hatinya kau harus memakai alas kaki karena banyak pecahan yang tak sempat di rapikan lagi.

-Hana Larasati

Dari Sekat Jadi Dekat

Waktu itu kita bertengkar hebat, hingga aku ragu bahwa kita bisa jadi sahabat. Kau dengan argumenmu dan aku dengan presepsiku.

Lewat ego, kita bagai kutub magnet yang sama, namun jika dekat saling tolak menolak.

Aku tertawa saat membaca ulang semuanya. Kamu yang sarkastis bertemu aku yang egois.

Tapi dari kelapangan hatimu kau mau menerimaku yang pada saat itu adalah bayangan masa lalu dan dengan kerendahan hatiku, aku bisa menerimamu yang dulu pernah ku sebut perebut kekasihku.

Meski berat, terkadang bicara dapat mengubah hal yang sekarat menjadi sesuatu yang lebih manfaat.

Kita bukan nabi yang tidak punya kesal di hati. Namun untuk menjadi orang yang lebih baik, kita seharusnya bisa menurunkan ego hati.

Akhirnya dia jadi sahabat dan kita jadi dekat.

-Hana Larasati

Sabtu, 13 Januari 2018

Menulis Itu Mengasikkan.

Pada detak yang menghasilkan detik. Tergulir pemikiran untuk menanyakan hal yang sudah mengakar.

"Bagaimana jika pengagummu seorang penulis?" 

Kutanya begitu, saat hari Selasa tepat pukul 02:00 AM. Dia hanya membalas pesanku dengan tawa.

"Bagaimana jika pengangummu seorang penulis?" Ku tanya lagi padanya.

"Aku akan jadi pembaca setianya."

"Meski kau tak suka baca?"

"Iya, meski aku tidak suka membaca?"

"Kenapa?"

"Karena jika penulis jatuh cinta, maka aku akan selalu abadi dalam karyanya."

Sekarang aku yang tertawa.

"Kenapa kamu suka menulis?" Kali ini dia yang balik bertanya.

"Menyenangkan."

"Makan ice cream juga menyenangkan."

"Tapi makan ice cream gak bisa setiap hari. Nanti pilek. Menulis bisa dan gak bikin pilek."

Dia tertawa. "Serius Hana."

"Aku suka menulis karena aku bisa berbicara pada diriku sendiri, namun orang lain bisa ikut merasakannya."

"Itu sebabnya banyak orang yang bisa kau menangkan hatinya?" Dia terkekeh.

"Menulis itu bukan tentang memenangkan hati siapa pun. Tapi lebih kepada memenangkan hatiku sendiri dan menebarkan cinta kepada para pembaca. Masalah bahagia atau tidak biar mereka yang memaknainnya."

"Pantas banyak yang bilang penulis itu romantis."

"Menurutmu aku begitu?" Tawaku.

"Tidak."

"Kenapa bukan kamu saja yang jadi penulis?"

"Biar apa?"

"Romantis."

"Aku gak bisa nulis."

"Bukan gak bisa. Hanya belum ada kemauan. Ilmu itu diusahakan, bukan ditunggu untuk datang. Termasuk ilmu menulis."

"Apa untungnya buatku?"

"Banyak, jika kau mau tau. Salah satunya adalah kau bisa menembus jutaan kepala hanya dari satu karya."

Jika kau seorang penulis kau tak perlu marah-marah untuk menyampaikan argumentasimu. Tak perlu juga menangis untuk mendeskripsikan perasaanmu. Kau cukup menulis dengan jujur apa yang ada dihatimu dan mereka pun akan tau tanpa perlu susah payah kau beri tau. Menulis itu menyenangkan kan? Jadi kapan kamu mau beralih dari seorang pembaca ke penulis?

-Hana Larasati