Selasa, 23 September 2014

If You're Not The One



Jika itu bukan dirimu, mengapa hatiku merasa gembira hari ini? Jika itu bukan dirimu, mengapa tanganku seserasi ini dengan tanganmu? Jika kau bukan milikku, mengapa hatimu membalas panggilanku? Jika kau bukan milikku, mungkinkah aku punya kekuatan untuk berdiri?

Aku tidak pernah tau apa yang dibawa sang masa depan tapi aku tau kau disini bersamaku saat ini. Kita akan melaluinya. Dan ku harap denganmulah akan ku habiskan sisa hidupku.

Jika aku tidak membutuhkanmu, mengapa aku menangis diatas ranjangku setiap malam? Jika aku tidak membutuhkanmu, mengapa namamu menggema di kepalaku? Jika kau bukanlah untukku, mengapa jarak diantara kita mengoyakkan hidupku? Jika kau bukanlah untukku, mengapa aku memimpikanmu menjadi suamiku?

Aku tidak ingin melarikan diri, tapi aku tidak bisa terima. Aku tidak mengerti, jika aku tidaklah tercipta untukmu mengapa hatiku berkata lain? Adakah jalan lain agar aku bisa tetap tinggal dalam rangkulanmu?

Sampai sejauh ini aku tidak mengerti hidup, tapi aku tau ia hanyalah perjalanan. Kita akan melaluinya. Dan ku harap denganmulah akan ku habiskan sisa hidupku. Dan aku berharap bersamamulah aku akan mati. Dan aku berdoa semoga denganmulah akan ku bangun rumahku. Ku berharap aku akan mencintaimu sepanjang hidupku.

Karena aku merindukanmu, jiwa dan raga sangat kuat sampai-sampai aku kehabisan nafas. Dan aku pun menghirup dirimu kedalam hatiku. Dan berdoa semoga aku punya kekuatan untuk berdiri hari ini. Karena aku mencintaimu, aku tidak peduli ini benar atau salah. Dan meskipun aku tidak bisa bersamamu hari ini, kau tau hatiku berada disisimu.

Hana Larasati.

Minggu, 14 September 2014

Surat Cinta Seno

Tik tok tik tok tik tok.. hanya suara dentak jarum jam yang menemani ku malam ini. Aku merasa  suaranya lebih ramai dari biasanya, atau mungkin hidupku yang terlalu sepi.  Sekarang sudah pukul 02:58 dan mataku masih saja terjaga. Akhir-akhir ini aku sering tidur larut, aku tidak tau kenapa bisa begitu. Yang aku tau kepala ku terasa berat akhir-akhir ini. Seperti pengap, entah apa yang kupikirkan. 

Hampa? mungkin benar itu yang ku rasakan. Tapi bagaimana hampa bisa begitu menyakitkan? Hampa harusnya berarti tidak ada apa-apa. Tidak apa-apa berarti tidak ada masalah. Termasuk rasa sakit. Aku ingin sekali mengubah rutinitasku agar rasa hampa itu tidak lagi aku rasa. Tapi bukanya mengubah rutinitas itu sama saja dengan menawar bumi agar berhenti mengelilingi matahari?

Sesaat aku menatap langit. Sejenak aku berpikir, kadang-kadang langit bisa kelihatan seperti lembar kosong. Padahal sebenarnya tidak. Bintang-bintang kita tetap disana. Bumi hanya sedang berputar.

Aku terbayang wajah itu lagi, wajah yang lelahnya akan selalu menjadi lelahku, dan bahagiannya tentu jadi bahagiaku. Kita selalu berbagi dalam banyak hal, seperti sudah menjadi takdir kecuali setiap dia jatuh hati pada orang lain. Ada perasaan sakit saat hal itu terjadi. Tapi aku memilih untuk bungkam. Aku tidak mau dia tau, cukup berada disampingnya sudah membuatku puas.

Terkadang aku merasa sudah hampir habis dayaku, untuk membuktikan padanya bahwa aku memiliki cinta yang nyata. Aku selalu setia hadir dalam hidupnya setiap hari, tapi dia seperti tidak peduli dengan kehadiranku. Pernah aku berpikir ingin meninggalkanya sendiri tapi aku tak tega, meskipun sering kali dia malah asik dengan duniannya sendiri.

Mungkin dia tidak melihat, terkadang malaikat itu tidak perlu sayap, tidak harus cemerlang dan tidak mesti rupawan. Kasih sayang ini bisa dia adu, dengan yang lain untuk membuktikannya  tapi satu hal yang ingin aku bilang malaikat pun juga sudah tau siapa yang akan menjadi juaranya.

Rasa sakitnya mungkin tidak akan bisa hilang dalam semalam, meski pun ada pacar impian disampingnya. Tanpa dia meminta, aku akan terus menemani. Tak jarang dia bercanda, andai saja wajahku diganti. Andaikan ada kesempatan untukku yang mungkin tak sesempurna mereka, tapi aku siap untuk dia uji. Aku yakin dan sangat percaya diri bahwa cintakulah yang sejati.


Kamis, 04 September 2014

Tanpa perlu menatap.



Aku bukan yang terbaik, tapi aku selalu belajar untuk menjadi yang terbaik. Mencoba segala macam cara untuk membuatnya bahagia. Namun aku merasa apa yang ku lakukan bukan membuat segalanya semakin baik tapi malah merubahnya menjadi lebih buruk.

Aku tidak pernah tau kenapa bisa begitu. Aku bukan malaikat, yang tau siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tapi menurutku itu tidak terlalu penting.

Karena menurutku cinta adalah kumpulan air mata, keringat, dan pengorbanan untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang.

Selama ini aku memandangimu tanpa perlu menatap. Aku mendengarmu tanpa perlu alat. Aku menemuimu tanpa perlu hadir. Aku mencintaimu tanpa perlu apa-apa.

Tidak pernahkan kau dengar keluhanku? Sebab aku mencintaimu mengunakan alat yang bernama hati. Tanpa pamrih, tanpa ungkitan, tulus dan ikhlas.

Hana Larasati.



Hanya Isyarat



Aku sampai di bagian bahwa aku telah jatuh cinta
Namun orang itu hanya mampu kugapai sebatas punggungnya saja
Seseorang yang hadir sekelebat bagai bintang jatuh
Yang lenyap keluar dari bingkai masa
Sebelum tangan ini sangup mengejar
Seseorang yang hanya bisa ku kirim isyarat
Sehalus udara, langit, awan atau hujan.

-Rectoverso

Selasa, 02 September 2014

Tanah Surga "Katanya"



Pagi  ini terlihat tidak ramah. Dingin, gelap, dan agaknya matahari pun engan untuk menapakan wujudnya, sangat tidak ramah. Mungkin langit sedang marah. Sesaat kemudian langit dengan jahatnya menurunkan hujan yang sangat deras bagai air yang di tumpahkan. Mungkin bagi sebagian orang hujan adalah berkah tapi pada saat ini hujan menjadi bencana untuk anak-anak kecil ini.

Walaupun hujan sangat deras tapi semangat bocah-bocah kecil itu tidak pernah luntur, dengan nekatnya mereka tetap berlari menerobos derasnya hujan sampai tertatih-tatih demi mengejar waktu. Tak perduli dinginya air hujan pagi ini, tak perduli tubuh kecilnya itu mengigil. Mereka terus berlari berkejar-kejaran dengan waktu.

Mungkin kalau aku di posisinya aku akan memilih untuk duduk manis di rumah menikmati teh hangat. Persetanlah dengan apa yang orang-orang sebut  “sekolah” terlalu banyak peraturan disana, terlalu banyak larangan, terlalu banyak drama. Tapi mereka terus berlari, mengejar apa yang dituju, mencari apa yang mereka sebut “ilmu”.

 Ilmu? Terkadang aku berfikir apakah indonesia kenal dengan definisi “ilmu” ? Mungkin. Tapi definisi ilmu versi Indonesia. Ilmu yang diketahui indonesia adalah nilai tinggi, peringkat pertama, sekolah ternama tanpa mereka perduli lewat proses mana  “ilmu” itu di dapat. Apakah mencontek? menyogok? Hahaha itu sebabnya murid sekarang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka sebut ilmu.

Tapi lihatlah anak-anak itu. Semangat dari tubuh kecilnya. Seorang anak dari desa terbelakang. Desa yang jarang di injak pejabat-pejabat tinggi. Semangatnya belajarnya tidak luntur oleh hujan deras atau terik matahari. Walaupun bersekolah ditempat yang hanya berdinding bambu dan beratap jerami tidak pernah aku lihat kemalasan dari wajah-wajah lugu mereka.  Dengan lantai tanah yang kalau musim hujan becek dan ketika tiba kemarau berdebu mereka tidak pernah mengeluh. Tidak pernah sedikit pun terfikir di benaknya tentang  konspirasi yang terjadi di dalam dunia pendidikan, yang mereka tau bagaimana bisa sampai disekolah tanpa telat dan mendapatkan pelajaran.

Terkadang aku mendengar nada-nada perusak mental yang menanyai mereka “kenapa sih mau bersekolah ditempat yang lebih mirip dengan kandang ayam itu?” dan aku selalu mengingatkan kepada mereka. “ kalian semua, ingat sekolah itu hanya bangunan. Kuncinya itu ada disini (hati) dan disini (otak). Ilmu itu tidak mengenal kata dimana tapi bagaimana. Untuk menjadi sukses bukan dimana kalian mendapatkan ilmu tapi bagaimana cara kalian mendapatkanya.”
  
Sejauh 10 km mereka lalui setiap harinya, menuruni gunung, melewati hutan sepertinya rutinitas yang sangat biasa. Jalan terjal dan curam dengan diameter hanya 1 meter yang diapit oleh 2 jurang sepertinya sudah menjadi sahabatnya. Sering terbesit pertanyaan mengelitik dalam benak ku. “Apa cita-cita kalian?  dan inilah jawaban yang aku dapat dari murid ku Aku tidak punya cita-cita bu guru.” Jujur saja ketika dia mengatakan hal ini air mata ku jatuh. Sekejam apa negri ini hingga anak sekecil ini takut untuk bermimpi?
Tuhan, aku bisa lihat semangatnya, tapi tidak impianya. Mau jadi apa Ya Tuhan jika untuk bermimpi saja mereka takut. Apakah sesulit ini untuk mendapatkan ilmu di negri yang “katanya” tanah surga? Hey petinggi-petinggi negri lihatlah! Apakah sesulit ini untuk mendapatkan sebuah pendidikan di negara kita! Hey orang-orang yang katanya pengayom bangsa buka mata kalian. Lihatlah anak-anak  timur ini! Anak-anak yang selalu kalian anak tirikan.

Aku selalu berpikir buat apa 69 tahun kita merdeka, dan setiap tahun kita selalu mengibarkan bendera tapi masih banyak rakyat yang menderita. Negri kita ini seperti Palestina hanya dalam kondisi yang berbeda. Jika memang kita merdeka kenapa pendidikan dan kesehatan masih sulit seperti di jalur Gaza?
Ada jerit kemarahan setelah kata-kata polos itu terlontar dari bibir bocah itu. Ingin rasanya berteriak, memaki semua yang ikut berkonspirasi di sini. Tapi aku bisa apa? Aku hanya seorang guru honorer yang di tugaskan di sini yang gajinya pun belum tentu 1 bulan turun, bisa apa aku?

Dalam dialog dengan diriku sendiri akhirnya aku sadar aku bisa, aku bisa merubah pemikiran mereka. Memotivasi mereka untuk berani bermimpi, karena mimpi adalah kunci untuk memotivasi diri mereka supaya menjadi yang lebih baik.

Akhirnya aku mengikuti anak-anak itu ke desa mereka yang terletak di kaki gunung. Setelah sampai aku pun berdialong dengan masyarakat disana. Hampir semua masyarakat disana masih mengunakan tungku untuk memasak. Bukanya tidak kebagian subsidi LPG dan kompor gas tapi mereka tidak bisa memakainya dengan baik dikarenakan sulitnya untuk membeli gas itu, mereka harus kekota yang jaraknya sekitar 20 km dari desa mereka untuk mendapatkan gas dan itulah sebabnya mereka engan mengunakan kembali bantuan dari pemerintah itu, dan aku melihat banyaknya ternak disana, akhirnya aku pun mendapatkan ide.

Pada bulan Juli nanti ada ajang lomba karya ilmiah antar kabupaten dan aku pun berniat untuk mendaftakan anak-anak muridku untuk ikut lomba tersebut, dan tawaranku mendapat sambutan yang sangat baik. Mereka sangat bersemangat untuk mengikuti lomba itu. Kita akan membuat bio gas berkaitan dengan banyaknya ternak di desa mereka dan aku melihat banyak limbah dari ternak yang tidak digunakan dan dengan sedikit ilmuku aku berencana mengubah apa yang mereka pikir tidak berguna menjadi sesuatu yang sangat menguntungkan.

1 bulan sudah kita lewati dengan berbagai macam percobaan dan penelitian akhirnya apa yang kita usahakan berhasil, dan kami pun berbondong-bondong pergi ke kota untuk mempresentasikan hasil karya kami dan Alhamdulillah nya kami juara. Rasa suka cita itu tak dapat aku bendung lagi rasanya jantungku ingin melompat dari tempatnya. Melihat perjuangan kita yang tidak instan yang  berkali-kali mengalami kegagalan dan akhirnya kita menang. Kita bisa menunjukan kepada mereka bahwa kita bisa. Kita yang selama ini tersisihkan tak kalah berprestasi dengan mereka yang dikota.

Dan hasil percobaan kami pun kini bisa diaplikasikan oleh masyarakat desa dan kamu, murid kecilku akhirnya cita-citamu ingin mengubah desamu sedikit demi sedikit mulai terwujud. Ini bukan apa-apa masih banyak perubahan-perubahan yang bisa kalian ciptakan dari tangan-tangan kecil kalian. Karena kalian adalah penerus bangsa. Jangan pernah takut bermimpi karena keberhasilan berasal dari sana dan jangan lupa untuk terus berdoa dan berusaha dengan giat, karena mimpi tanpa usaha dan doa hanya akan menjadi  mimpi.
****