Jumat, 29 April 2016

Sebening Syahadat

Kita berjalan di tengah purnama. Kau mengengam erat tanganku dan aku pun melakukan yang sama.

Kita saling bercengkrama. Terkadang kau mengeluhkan kakimu yang sakit karena lelah berjalan.

Kadang kau mengodaku dengan manja. Sedikit merengek namun aku suka.

Tapi tatapan itu yang paling aku suka. Mata bulat dan hitammu sukses membuatku gemas.

Di tengah perjalan, kita setuju untuk duduk di pelataran masjid. Kau masih memakan ice creammu yang membuat mulutmu belepotan.

Aku mengelapnya dengan halus dan kau pun tertawa. Di saat itu tiba-tiba kau terdiam. Aku pun bertanya pelan.

"Ada apa sayang?"

"Kakek itu kenapa di situ mba?" Katamu sambil menunjuk seorang kakek tua yang sedang mengemis.

"Oh kakek itu sedang mengemis."

"Kenapa dia mengemis? Bukannya islam tidak menganjurkan untuk mengemis?"

"Memang benar, tapi apa lagi yang bisa di lakukan kakek tua itu selain mengemis. Dia menyambung hidupnya dari mengemis itu."

"Apa tua menjadi alasan seseorang untuk mengemis? "

Aku hanya terdiam. Memang benar mengemis tidak di anjurkan oleh islam. Karena Allah melarang manusia untuk merendahkan dirinya.

Tapi apa yang bisa dinlakukan seorang yang sudah tua renta seperti itu selain mengemis demi menyambung hidup.

Aku pun bingung menjawab pertanyaannya. Di depannya aku harus terlihat menjadi seorang kakak yang baik.

Dia masih menatap mataku, tatapannya benar-benar menuntut jawabanku.

"Sebenarnya memang kita tidak boleh mengemis. Islam mengajarkan untuk berusaha. Karena mengemis adalah seburuk-buruknya pekerjaan. Tapi coba kamu lihat, kakek itu sudah sangat tua pekerjaan apa yang sangup dia kerjakan ?"
Kataku lembut kepadanya.

Matanya langsung di arahkan kepada kakek di sebrang jalan itu. Dia menatapnya gambang.

"Bukannya Allah sudah berjanji. Barang siapa yang mau berusaha maka Ia akan melapangkannya. Innama'al yusri yusro. Di balik kesulitan pasti ada kemudahan."

Aku tersentak mendengar ucapannya. Anak kecil yang baru berusia 9 tahun mampu berpikir seperti itu. Aku mencium kepalanya, mengisyaratkan aku salut terhadapnya.

"Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali ia sendiri yang berusaha merubahnya."

Setelah mendengar jawabanku dia tidak bertanya lagi soal kakek tua itu. Dia asik bermain dengan mobil-mobilan barunya.

Mengingat dia belum makan malam aku mengeluarkan roti coklat kesukaannya dari dalam tas. Ketika sedang merogoh tas, tak sengaja terambil sebuah foto keluarga seorang teman.

Aku menatap keluarga itu. Aku melihat sedikit keanehan dalam foto itu. Di foto temanku yang berparas ayu menikah dengan laki-laki yang menurutku tak sepadan dengannya. Kakinya cacat dan dia memakai tongkat. Parasnya pun menurutku jauh dari indah.

Ketika sedang memandang foto itu adikku mendekat.

"Foto siapa itu mba?"

"Foto teman, oh iya ini roti mu. Kamu belum makan malam kan. Makan ini dulu sambil menunggu mas Fahmi jemput kita." Kataku sambil menyodorkan rotinya.

Dia mengambilnya, tapi matanya masih saja menatap foto yang aku gengam.

"Ada apa sayang?"

"Tidak ada apa-apa." Katanya singkat.

"Apa kamu melihat ada yang aneh di foto ini?" Kataku berharap dia mengemukakan jawaban yang sama dengan yang aku pikirkan.

"Kita pernah ketempat ini kan ya mba. Waktu kita liburan dengan mas Fahmi?" Dia menunjuk suatu tempat yang kecil di sudut foto itu, 3 kali lebih kecil dari objek yang aku fokuskan.

"Apa ada lagi?" Kali ini aku berharap dia mengatakan hal yang sama dengan yang aku pikirkan.

"Tidak ada. Hanya... tempat ini sekarang ada taman bungannya. Ketika kita kesana sebelumnya taman itu belum ada." Lagi-lagi dia menunjuk objek yang paling kecil dari foto itu.

Sekali lagi aku terdiam mendengar jawabannya. Menurutku sikapnya menjurus pada pribahasa "Semut di sebrang laut terlihat, sedangkan gajah di pelupuk mata tak terlihat." Namun dalam konotasi yang baik.

Aku tersadar semakin dewasa pikiran negatif semakin mengikis jiwaku. Aku selalu mengedepankan hal yang negatif dan mengesampingkan hal poditif yang ada di dekatnya.

Memfokuskan pada apa yang jelek, dan mengabaikan hal-hal yang baik. Aku lupa bahwa pendamping hidup yang baik tidak selalu harus yang sempurna dalam fisik, melaikan yang sempurna dalam akhlak.

Hatinya benar-benar sebening syahadat. Aku jadi iri dengannya. Padahal umurnya sangat jauh di bawahku. Tapi cara pandangnya sangat mengetarkan jiwa.

Memang pelajaran itu tidak selalu di dapat oleh orang yang strata pendidikannya tinggi saja, melainkan dari anak kecil pun pelajaran bisa di dapat.

Hanya kita perlu sedikit peka dan mengalahkan gengsi yang mengangap bahwa kita jauh lebih pintar dari mereka yang kecil. Karena buatku ilmu itu bukan di lihat dari siapa yang berbicara melainkan di dengar dari apa yang dia bicarakan.

"Tinnnn... tinnn." Kelakson mobil Fahmi memecah lamunankun. Aku tersenyum menatapnya. Dia keluar dari mobil dan tersenyum sambil menghampiri kami.

"Assalamualaikum. " ucapnya sambil tersenyum.

"Waalaikumusalam. Mas Fahmiiii." Kata Rafi yang langsung memeluk tubuh Fahmi dengan girang.

"Sudah lama menunggu?"

"Emm... lumayan." Kataku

"Apa kamu bosan jagoan?" Katanya sambil mengangkat Rafi.

"Enggak kok mas. Aku ngobrol sama Mba Anna jadi gak bosan."

"Wahh.. benarkah? Kalian ngobrolin apa nih? Ngobrolin mas ya?"

"Hih.. ge'er." Kataku sambil mengernyitkan bibir.

"Kita ngobrolin.... banyak deh. Tapi bukan mas. Kalo ngobrolin mas namanya gibah. Gak boleh dosa." Katanya polos. 

"Emm... pelit nih. Yaudah ayo kita pulang sudah lapar kan?"

"Iya mas. Tapi aku mau ke sana dulu." Dia berlari menuju pengemis itu dan memberikan uang yang ada dalam sakunya.
Dia berlari balik sambil tersenyum ke arahku dan Fahmi.

"Kata mba Anna, kalau kita rajin sedekah maka Allah akan melapangkan rezeki kita."

Dia pun tersenyum ke arahku dan mengandeng Fahmi serta aku ke dalam mobil.

"Ayoooo aku lapar. Bude pasti masak enak."
Kami pun masuk ke mobil dan pulang. Dalam perjalanan aku dan Fahmi saling tatap tatapan. Sepertinya pikiran kita sama. Kita sama-sama kagum pada anak kecil itu.

"Esok, jadilah ibu yang baik. Aku ingin anakku memiliki madrasah yang baik di rumahnya. " kata Fahmi dan aku hanya terdiam mendengarnya.

-Hana Larasati

Jalan Masing-masing

Lepaskan dekapmu sekarang. Karena bukan hangat yang aku rasa, melainkan sesak. Kurang lebih 2 tahun kau mendekapku dengan janji.

Seakan memberi pasti, tapi malah kau pergi. Dalam keadaan ini bukan kau yang terluka, tapi aku. Aku yang hanya bisa menangis sendiri.

Kau tau? Betapa susahnya merajut semuanya kembali. Merangkai kepercayaan yang sudah kau rusak dengan sengaja.

Dalam rintik hujan yang jatuh, air mataku pun mengalir di sana. Tak perlu kau lihat. Karena aku tak ingin di lihat oleh seorang penghianat.

Pergi dan cari bahagiamu. Karena aku terlalu sibuk untuk mengurusimu dan segala macam janji yang kau bawa pulang.

Tidak usah repot-repot menjajikan perbaikan. Karena perbaikan tidak akan pernah bisa terjadi. Sebab kau telah merusak semuanya dengan sempurna.

Cinta ini sudah aku tinggalkan ketika ku bersujud. Tuhanku berkata apa pun yang menjadi takdirku tak akan pernah meninggalkanku.

Sekarang mulailah berkemas dan merancang hidup baru. Karena aku pun sudah melakukannya di sini. Kita berjalan pada jalan masing-masing.

-Hana Larasati

Selasa, 26 April 2016

Resah

Resah singgah saat cinta datang dengan sungguh. Mengabaikan benar atau salah di mata Tuhan, bayangmu selalu hadir dalam imajiku.

Bagai menyulam jaring laba-laba di tembok keraton putih. Dengan hikmat aku menikmati perasaan ini. Tanpa menuntut balik apa yang ada di hatimu.

Mungkin aku benar-benar gagal menjadi Fatimah untukmu. Yang sangup menahan hatinya hingga batas sepi.

Tapi apa aku salah jika rasa ini hadir? Dia datang tanpa aku minta dan mustahil aku bisa menghindarinya.

Ada yang sedang aku khawatirkan. Saat hatiku lebih condong kepadamu, tak kan kah Rabb ku akan cemburu?

Aku terus berusaha untuk memalingkan semuanya. Dan kau tau apa jadinya? Hatiku semakin resah tanpa jeda.

Sekarang yang bisa aku lakukan hanya berlindung padaNya. Berlindung akan sebuah nama yang hanya berani aku sebut ketika sujud menghadapNya.

-Hana Larasati

Sabtu, 23 April 2016

Berdamai Dengan Luka

Ada kalanya kita tidak sangup menghadapi hidup. Pernah ingin belari sejauh-jauhnya dari masalah, berharap setelah kembali semuanya berjalan normal. Atau menangis sejadi-jadinya melampiaskan segala beban.
Saat peluh sudah tercurah dan asa semakin mengkis masa tapi tetap tak ada jalan terang di depan mata.

Ikhlas hanya itu yang aku percaya. Saat di paksa harus rela dengan ketetapanNya. Menerima segala apa yang sudah menjadi takdirNya. Tidak hanya memainkan sandiwara dimana semua terlihat baik-baik saja. Tapi mewujudkan segala cara agar tercipta keadaan yang baik-baik saja walaupun sulit.

Berjuang bersama luka. Mencoba keluar dari kubangannya adalah sesuatu yang sulit di jangkau oleh akal manusia. Tapi tidak ada yang sulit jika dari dalam diri mempunyai kemauan untuk berjuang.

Karena menurutku kebahagian itu di ciptakan bukan di tunggu kedatangannya. Tinggal bagaimana kita sepintar-pintarnya membangun kebahagiaan itu. Walaupun banyak yang harus di korbankan air mata, mimpi, harapan. Segalanya.

Satu-satu nya hal yang bisa di lakukan setelah segala cara sudah di tempuh adalah dengan tawakal. Menyerahkan semuanya hanya pada Sang Pencipta.

Berdamai dengan masa lalu. Menutup segala rasa sakit. Mengesampingkan siapa yang benar dan siapa yang berdusta. Hidup adalah pilihan. Mau terus memelihara rasa sakit atau berdamai dengan luka dan mencoba bersahabat dengan kehadirannya.

-Hana Larasati

Rabu, 20 April 2016

Surau dan Senja.

Aku duduk terdiam menatap senja. Mataku kuarahkan pada semburatnya yang berwarna jingga. Meresapi setiap helaan nafas yang ada. Tuhan sungguh Engkau Maha Sempurna.

Aku masih duduk menatap senja, kali ini ditemani dengan pasukan burung yang terbang di mana-mana. Terbang menari di saat sang mentari mulai masuk dalam  peraduaannya.

Kau masih di sampingku. Mata teduhmu memayungiku dalam sinar senja yang mulai berubah kelabu.

Kau tetap di sampingku, membaca ayat suci penyambut adzan. Lantunan lagu-lagu surga yang kau nyayikan mengudang ribuan malaikat datang.

Tapi aku tetap menatap senja, sambil berdoa di tengah kumandang adzan. Merayu Tuhan agar mengabadikan cerita kami dan memayungi dengan ketaatan dan pahala.

Setelah adzan selesai berkumandang kau berdiri tegak menjadi imam untuk kita semua. Dengan fasih kau melantunkan bacaan-bacaan solat.

Dalam sujud aku berdoa pada Tuhan. Semoga kita selalu di persatukan. Dalam dekapan cinta-Nya bukan hanya sekedar hawa nafsunya.

Doa itu terus terlantun. Karena hanya dalam doa aku mampu menyebut namamu. Karena doa adalah cara berbisik pada Tuhan yang semesta tidak harus tau maksudnya.

Aku duduk di pinggir surau ketika solat usai. Menatap bintang yang seperti di sebar dalam pekatnya malam. Sekali lagi aku bertasbih menyucikan asma-Mu, Allah.

Dalam keharuan mengagumi segala ciptaanMu dia datang dan duduk di sampingku. Sesekali matanya menatap lembut padaku.

Entahlah mungkin ini salah satu keajaibanMu yang luput aku syukuri nikmatnya. Dulu kita bukan sahabat baik tapi hatiku selalu percaya bahwa kau yang terbaik.

Kau menatapku malu dan aku pun berperilaku begitu. Tak ada kata yang terucap walau jarum jam semakin berdetak cepat.

"Hana, ada yang mau Fahri (bukan nama sebenarnya) tanyain." Akhirnya dia mengeluarkan kata katanya.

"Ya ada apa?"

" Mau tanya boleh? Kalo mau cari calon suami, Kriteria nya apa secara sifat/kepribadian? Trus kalo secara fisik gmana?"

" Yang mencintai Allah juga Rasull Nya. Yang patuh sama Allah. Yang sayang sama ibu bapaknya juga ibu bapak gue. Yang bisa jadi pembimbing supaya gua jadi lebih baik. Tapi ya.. jodoh kan cerminan diri, gua maunya gitu ya gua juga harus bisa gitu. Apa adil gua berharap tapi masa gua gak bisa menjadi harapan? Simpel sih. "

" Trus secara fisik? "

"Enggak kepikiran sih. Fisik kan bonus. Tapi...semoga Hana dapet bonus Ya Allah hahah."

" Ya makanya yg ky gmana? "

"Ya gua gak tau kan gua bilang gua belom kepikirannnnn. Emang kenapa sih? Buat tugas kuliah ya? "

"Gapapa Han. Pengen tau aja."

Dia pun beranjak dari tempat duduknya. Entahlah apa maksudnya bertanya seperti itu. Aku hanya terdiam menatap punggungnya.

Dia berjalan masuk ke dalam surau. Aku terus menatapnya. Tanpa berani bertanya sebetulnya kenapa dia berkata seperti itu padaku.

Ya.. yang ku lakukan hanya sebatas menatap dan berdoa. Entah apa pun makdudnya semoga, Allah selalu melindungi hatiku dari pedihnya pengharapan.

-Hana Larasati

Move On.

Move on. Bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Terserah mau bagaimana mengawalinya. Entah dengan tangis yang masih terisak atau luka yang berdarah dimana-mana.

Hakikatnya manusia itu pasti berpindah. Tidak bisa menetap. Seperti kita tidak bisa terus menuntut semi padahal salju sudah menanti. Karena waktu tidak abadi.

Jarum jam terus bergerak. Setiap harinya pasti ada orang yang datang dan pergi. Tinggal bagaimana kita menyikapinya entah sebagai luka atau sebagai pelajaran hidup. Semuanya tergantung pada kita.

Ingin memeliharanya sebagai kenangan buruk atau mengenangnya sebagai pelajaran hidup yang membuat kita kuat dan sangup berdiri tegak. Itu semua pilihan.

Aku bukan manusia yang tanpa cacat. Pernah aku mencintai seorang laki-laki yang aku rasa dia yang paling sempurna di dunia. Hingga akhirnya Tuhan cemburu dan menariknya dari hidupku sehingga membuat hatiku koyak tanpa sisa.

Sempat aku menangis dan menyalahkan semua yang ada. Aku menyalahkan perempuan yang masuk di hidupnya. Sangking depresinya aku pernah sakit hingga harus minum obat 1 bulan lamanya.

Tapi Allah tidak akan memberikan cobaan melebihi kapasitas hamba-Nya. Allah mengirimkan mereka dalam hidup dan kehidupanku. Sahabat yang selalu memberi motivasi dan energi untuk melanjutkan hidup yang baru.

Aku ingat ketika salah satu dari mereka datang kerumah dan mengajakku pergi. Saat itu mataku masih merah, dan tangisku masih terisak. Dia mendandaniku dan mengajaku kesuatu tempat yang merubah duniaku.

Di pelataran tempat itu kita sedikit bercengkrama. Terpaan angin yang sepoi-sepoi dan pemandangan yang asri semakin menambah betah aku di sini. Dia berkata padaku.

"Hana, tau gak kenapa Ayu ajak kesini?"

"Gak tau."

"Cuma mau kasih tau masih banyak laki-laki baik di sini. Tapi kita juga harus tau kalau yang baik itu pasti jodohnya sama yang baik."

Dari situ aku mulai menata hidupku yang baru. Mulai menyusunnya satu persatu. Move itu tidak akan menjadi sulit jika ada kemauan yang kuat untuk beranjak.

Allah memberikan kesempatan kita hidup, bukan hanyan untuk di ratapi dan di hiasi dengan air mata. Tujuan Allah menciptakan manusia di bumi adalah untuk menjadi seorang khalifah atau pemimpin.

Pemimpin sendiri tidak hanya di artikan sebagai pemimpin suatu negara atau wilayah saja. Tapi pemimpin bisa diartikan sebagai pemimpin dari setiap hawa nafsu yang ada di diri sendiri. Bukankah orang yang kuat adalah orang yang mampu mengalahkan hawa nafsunya. say no to galau.

Jangan sia-siakan hidup yang sudah Allah berikan untuk kita. Setiap hal yang Allah gariskan pasti ada maksudnya. Ingatlah apa-apa yang sudah melewatkanmu itu bukan takdirmu. Dan apa-apa yang menjadi takdirmu pasti tidak akan melewatkanmu.

Ayo angkat kepala, hapus air mata dan ikhlaskanlah. Kamu pasti baik-baik saja, karena Allah selalu menjaga hambaNya. Balas dendam terbaik adalah dengan menunjukan bahwa hidupmu baik-baik saja dan sempurna.

-Hana Larasati




Minggu, 17 April 2016

Hujan

Kau datang kerumahku dalam dekapan hujan. Memohon ampunan dan menjanjikan perbaikan.

Aku hanya terdiam menatap mu merangkai kata. Sorot matamu meyakinkan bahwa semuanya benar dan sungguh.

Kau menatapku lekat. Pakaianmu basah dan bibir mu biru karena dingin. Tapi kau tetap bertahan dan terus meyakinkan aku.

Aku terus menatap matamu, mendengarkan setiap pengakuan yang aku tidak tau kebenarannya.

Sempat aku bertanya

"Kalian sangat terlihat bahagia."

"Kau melihatnya dari mana?"

"Dari setiap sosial mediamu. Namanya tercantum indah di sana."

"Apa selalu yang tercatat pasti membuat bahagia?"

"Aku tidak pernah tau. Kau sudah meninggalkan aku sebelum aku sempat merasakan hal itu."

Kini kau memeluk tubuhmu yang setengah basah itu dengan kedua tanganmu. Aku juga manusia yang memiliki rasa iba, aku ambilkan pakaian hangat untukmu.

"Pakailah."

"Tidak, terima kasih."

"Aku tidak ingin ibumu menyangka aku meyiksa anaknya di sini."

"Aku hanya sebentar."

"Tapi aku ingin kau lama disini. Banyak yang aku ingin dengar dari mulutmu bukan lagi dari mulut orang lain."

Dia menganguk kalah. Langakahnya di seret menuju kamar mandi rumahku. Selang lima menit dia sudah berganti pakaian dengan pakaian adikku yang aku berikan padanya.

"Pengakuan apa lagi yang ingin kau dengar dariku."

"Tentang, kenapa kau tidak mau berkata tidak suka padaku walau pun sudah aku paksa?"

"Harusnya kau bisa berpikir tentang itu."

"Bagaimana aku bisa tau kalau kau tidak pernah memberi tau."

"Karena aku yakin hatimu sudah tau kebenarannya tapi kau selalu menolaknya."

Aku hanya terdiam. Untuk pertama kalinya manusia introvert ini berani melawanku.

"Kenapa kau selalu menulis tentang aku? Menjadikan aku sebagai peran antagonis yang selalu menyakitimu?"

"Taylor Swift pun sering menulis seseorang menjadi lagu dan tidak ada yang keberatan akan hal itu. Bukankah menyindir lewat karya lebih berkelas dari pada aku memakimu?"

"Tapi kenapa harus begitu. Banyak yang bisa kau tulis."

"Karena itu kenyataanya."

"Sampai kapan kau terus menilaiku sebagai laki-laki yang jahat."

"Sampai aku percaya bahwa kau baik."

"Haruskah kita seperti ini? Sebelum sejauh ini kita pernah sedekat nadi."

"Tanyakan pada dirimu."

"Tidak bisakah kita kembali seperti dulu. Menjadi sahabat baik."

"Gelas yang pecah tidak bisa di pakai lagi."

"Apa maafmu tak pernah pantas untukku?"

" Sudahlah. Pulang dan beri kabar kepada wanitamu bahwa kau telah sampai dengan selamat. Dan titipkan salam ku untuknya."

"Berhentilah menyiksaku dengan sindiran itu."

"Dan berhentilah menyiksaku dengan memohon untuk kembali lagi padaku."

"Kau tau. Kau itu pemaksa, kau menyuruhku untuk berkata tidak suka padamu, tapi apa kau tau bagaimana perasaan ku padamu?"

"Jika kau sungguh, kau tidak akan mengundang dia dalam istana kita. Kau tau betapa susahnya merangkai dongen ini dan kau dengan seenaknya merusak dalam sekali hempasan."

"Berhentilah." Kali ini dia meninggikan suaranya.

"Apa kau tau betapa mati-matiannya aku untuk bangkit di sini?"

"Dan apa kau juga tau betapa menderitanya aku di sana? Berhentilah menjadi yang paling sakit di sini."

"Apa yang kau mau dariku."

"Memaafkan ku dan bersikaplah baik-baik saja."

"Aku sudah memaafkanmu. Tapi untuk baik-baik saja aku tidak bisa karena aku sudah lelah membohongi diriku sendiri."

"Aku harus apa agar kau kembali?"

"Tidak ada yang bisa kau lakukan selain berdoa karena hatiku milikNya."

"Maafkan aku."

"Aku juga."

Dia masih menatapku. Tapi tatapku ku arahkan pada punggung tanganku. Jika dia datang satu tahun yang lalu mungkin hatiku akan menjadi miliknya lagi. Tapi kali ini dia datang saat aku sudah sangat kuat untuk berdiri dan melawannya.

"Pulanglah, sudah larut malam. "

"Tapi masih ingin berbincang padamu."

"In shaa Allah masih ada lain kali."

"Baiklah." Dia pun berdiri dan mulai berjalan ke pintu.

Selang beberapa detik aku memanggilnya dan menghampirinya.

"Aku bohong." Ujarku

"Bohong untuk apa?"

"Aku bohong bilang bahwa kau jahat. Kau masih menjadi yang paling baik setelah ayahku."

Dia tertegun mendengar ucapanku.

"Aku sangat mengagumimu. Sangat. Kau penyabar dan peyayang. Tapi yang aku sesali kau belum bisa berperinsip. Itu yang menutup kebaikanmu."

"Dila.."

"Sudah itu saja yang ingin aku katakan. Maafkan aku dan terima kasih."

"Dila.."

"Sampaikan salam ku pada ibumu."

Kemudian aku menutup pintu sambil tersenyum kearahnya. Aku berjalan menuju kamarku. Tak berapa lama handponeku berdering. Ada pesan yang tak jelas pengirimnya.

"Maaf atas permintaanku tadi. Kini aku sadar kau terlalu indah, untuk menjalin hubungan itu lagi. Suatu hari nanti aku akan datang dan memberikan hubungan yang pantas untukmu."

Aku pun menutup pesan dan membalasnya lewat doa. Ku aamiinkan apa yang menjadi niat baikmu.

-Hana Larasati

Allah, Peluk Aku Sekarang.

Ketika air mata ini tidak dapat lagi aku bendung, aku percaya bahwa Engkau Maha Pelindung.

Entah harus kualirkan kemana segala sesak dan penat di dada. Karena bercerita pada manusia tidak akan membawa dapak yang nyata.

Aku takut akan suatu yang belum bisa aku lihat adanya. Bukan, aku bukan takut bagaimanna diriku esok. Tapi aku takut tidak bisa membahagiakan mereka.

Setiap ekspektasi yang mereka hayalkan untukku aku takut tidak bisa mewujudkannya. Aku menangis bukan karena sedih memikirkan diriku tapi aku menangis memikirkan bagaimana tuanya wajah orang tuaku, dan belum ada yang bisa aku berikan untuk membahagiakannya.

Allah, apa aku terlalu berlebihan jika aku meminta Engkau untuk memelukku sekarang. Hanya engkau tempatku bercerita. Hampir mati aku di bunuh sepi dan hanya Engkau tempatku kembali.

Aku ingin membahagiakan mereka Allah. Aku ingin melukis senyum indah abadi di wajahnya, Allah. Banyak yang sudah mereka korbankan demi aku anaknya. Tapi apa yang aku perbuat, aku masih belum bisa menjadi sebab bahagiannya.

Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil. Dan mampukan aku untuk membahagiakan mereka di dunia dan akhirat. Aamiin.

-Hana Larasati

Allah, Peluk Aku Sekarang.

Ketika air mata ini tidak dapat lagi aku bendung, aku percaya bahwa Engkau Maha Pelindung.

Entah harus kualirkan kemana segala sesak dan penat di dada. Karena bercerita pada manusia tidak akan membawa dapak yang nyata.

Aku takut akan suatu yang belum bisa aku lihat adanya. Bukan, aku bukan takut bagaimanna diriku esok. Tapi aku takut tidak bisa membahagiakan mereka.

Setiap ekspektasi yang mereka hayalkan untukku aku takut tidak bisa mewujudkannya. Aku menangis bukan karena sedih memikirkan diriku tapi aku menangis memikirkan bagaimana tuanya wajah orang tuaku, dan belum ada yang bisa aku berikan untuk membahagiakannya.

Allah, apa aku terlalu berlebihan jika aku meminta Engkau untuk memelukku sekarang. Hanya engkau tempatku bercerita. Hampir mati aku di bunuh sepi dan hanya Engkau tempatku kembali.

Aku ingin membahagiakan mereka Allah. Aku ingin melukis senyum indah abadi di wajahnya, Allah. Banyak yang sudah mereka korbankan demi aku anaknya. Tapi apa yang aku perbuat, aku masih belum bisa menjadi sebab bahagiannya.

Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil. Dan mampukan aku untuk membahagiakan mereka di dunia dan akhirat. Aamiin.

-Hana Larasati

Allah, Peluk Aku Sekarang.

Ketika air mata ini tidak dapat lagi aku bendung, aku percaya bahwa Engkau Maha Pelindung.

Entah harus kualirkan kemana segala sesak dan penat di dada. Karena bercerita pada manusia tidak akan membawa dapak yang nyata.

Aku takut akan suatu yang belum bisa aku lihat adanya. Bukan, aku bukan takut bagaimanna diriku esok. Tapi aku takut tidak bisa membahagiakan mereka.

Setiap ekspektasi yang mereka hayalkan untukku aku takut tidak bisa mewujudkannya. Aku menangis bukan karena sedih memikirkan diriku tapi aku menangis memikirkan bagaimana tuanya wajah orang tuaku, dan belum ada yang bisa aku berikan untuk membahagiakannya.

Allah, apa aku terlalu berlebihan jika aku meminta Engkau untuk memelukku sekarang. Hanya engkau tempatku bercerita. Hampir mati aku di bunuh sepi dan hanya Engkau tempatku kembali.

Aku ingin membahagiakan mereka Allah. Aku ingin melukis senyum indah abadi di wajahnya, Allah. Banyak yang sudah mereka korbankan demi aku anaknya. Tapi apa yang aku perbuat, aku masih belum bisa menjadi sebab bahagiannya.

Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil. Dan mampukan aku untuk membahagiakan mereka di dunia dan akhirat. Aamiin.

-Hana Larasati

Allah, Peluk Aku Sekarang.

Ketika air mata ini tidak dapat lagi aku bendung, aku percaya bahwa Engkau Maha Pelindung.

Entah harus kualirkan kemana segala sesak dan penat di dada. Karena bercerita pada manusia tidak akan membawa dapak yang nyata.

Aku takut akan suatu yang belum bisa aku lihat adanya. Bukan, aku bukan takut bagaimanna diriku esok. Tapi aku takut tidak bisa membahagiakan mereka.

Setiap ekspektasi yang mereka hayalkan untukku aku takut tidak bisa mewujudkannya. Aku menangis bukan karena sedih memikirkan diriku tapi aku menangis memikirkan bagaimana tuanya wajah orang tuaku, dan belum ada yang bisa aku berikan untuk membahagiakannya.

Allah, apa aku terlalu berlebihan jika aku meminta Engkau untuk memelukku sekarang. Hanya engkau tempatku bercerita. Hampir mati aku di bunuh sepi dan hanya Engkau tempatku kembali.

Aku ingin membahagiakan mereka Allah. Aku ingin melukis senyum indah abadi di wajahnya, Allah. Banyak yang sudah mereka korbankan demi aku anaknya. Tapi apa yang aku perbuat, aku masih belum bisa menjadi sebab bahagiannya.

Allah ampunilah dosaku dan dosa kedua orang tuaku. Sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku di waktu kecil. Dan mampukan aku untuk membahagiakan mereka di dunia dan akhirat. Aamiin.

-Hana Larasati

Sabtu, 16 April 2016

Disable

Tema ini di ambil, akibat dari tugas kecerdasan buatan yang mengharuskan saya membuat suatu program fuzzy logic.

Saya kebetulan mendapatkan tema tentang diagnosa. Setelah mencari di suatu situs yang sudah tidak asing lagi bagi mahasiswa tingkat akhir. Saya pun mendapatkan tema  diagnosa untuk mendeteksi penyakit autism sejak dini.

Dari dulu memang saya tertarik dengan penderita disable. Maka dari itu saya senang sekali mendapat tema itu.

Menurut pandangan saya mereka itu unik. Mereka itu sama seperti kita tapi mungkin di bungkus dengan kemasan yang berbeda dan menyebabkan mereka istimewa.

Saya pernah membaca di sebuah situs. Di situs itu menceritakan tentang seorang penderita disable yang mencari alamat guna menjadi standar kelulusannya di sekolah SLB. Orang itu berusia 37 tahun tapi dengan daya pikir setara anak 13 tahun.

Jarak yang harus di tempuh orang itu adalah berpuluh puluh kilometer karena dia berasal dari Jogja dan pergi ketujuannya yaitu Surabaya, dan itu memerlukan waktu hingga 10 jam.

Dalam ujiannya dia tidak boleh diantar, meminta-minta dan naik kendaraan yang mengantar sampai tujuan sperti taxi dan becak.

Dari cerita ini saya berpikir, seorang yang memiliki pikiran yang setara dengan anak 13 tahun bisa sampai pada tujuannya yang memerlukan waktu hingga 10 jam lamanya.

Jadi bisa di tarik kesimpulan penderita disable bukan seorang yang berketerbatasan bila kita, lingkungannya mendukung dan membantu mereka untuk lebih mandiri.

Karena saya selalu percaya Tuhan tidak menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Apa lagi Ia sudah berkata bahwa manusia adalah makhluk yang sempurna.

Di balik keterbatasannya ada sesuatu yang, membuat kita berpikir jika kita ada di posisinya saat ini mungkinkah bisa melewatinya?

Keterbatasan justru menjadi jendela awal untuk melewati batas dan melampauinya. Secara garis besar, seorang disable bukan seorang yang menyebabkan beban jika kita bisa membantunya dan mengajarkannya.

Bantulah dan jangan kucilkan. Disable bukan suatu penyakit yang menular jadi kita sebagai yang normal ada baiknya membantu, kalau pun tidak bisa cukup dengan tidak mengucilkan karena mereka memiliki hak yang sama dengan kita.

-Hana Larasati

Jumat, 15 April 2016

Secemerlang Khadijah

Mungkin aku gagal menjadi Fatimah untukmu. Yang sanggup menjaga hatinya dan memendam perasaan hingga batas sepi.

Merangkai angan dalam setiap doa yang terucap. Aku benar-benar gagal menjadi Fatimah untukmu. Yang sangup menjaga rasa dan mengesampikan segala asa.

Tapi berilah aku satu kali lagi kesempatan untuk menjadi Khadijahmu. Walau pun kau bukan yang pertama untukku tapi aku akan mengabdi untukmu.

Menjadi wanita terhebat pada zamannya. Yang tekun dan penyayang. Menjadi sebaik-baiknya perhiasan dunia.

Yang ketika enggkau melihatnya akan menyenangkan hatimu. Yang jika kau perintah akan mematuhimu dan ketika engkau tinggalkan ia, ia akan menjaga kehormatannya dan hartamu.

Aku ingin menjadi Khadijah untukmu. Bisakah kau menungguku dalam perbaikan diri ini?

Aku tau memperbaiki diri itu di peruntukkan hanya untuk Allah. Tidak ada alasan lain untuk berubah selain Ia. Tapi bukankah jodoh itu cerminan diri?

Izinkan aku menjadi secemerlang Khadijah, dan kau pun harus me Muhammadkan dirimu. Supaya kita menjadi sejarah seperti mereka walau pun aku tau akan sangat amat jauh berbeda. Aku hanya ingin penduduk langit berbisik membicaralan ketaatan kita pada jalan-Nya. Semoga dan semoga. Aamiin.

-Hana Larasati

Selasa, 12 April 2016

Pengejar Mimpi

Pernah terhenti harap di tengah peluh. Berteriak pun rasanya percuma. Tidak ada yang bisa menerjemahkan kata ke dalam bahasa.

Aku berlari dengan gontai. Sempat putus harapan di tengah perjalanan. Rasanya kaki ku tak kuat menyelesaikan setengahnya.

Air mata sudah habis tercurah dalam pahitnya perjuangan. Jadi kini menangis pun aku rasa percuma. Sama sekali tidak mengubah keadaan.

Entah sudah di kilometer berapa saat ini aku berlari. Mengapai tujuan yang masih terselubung fatamorgana. Entah nyata atau tidak.

Berat memang jika perjalanan ini hanya di lalui sendiri. Tapi jika bukan aku siapa lagi. Kesuksesan tidak bisa hanya berpangku tangan pada orang lain.

Jadi aku terus berlari. Mengabaikan semua pencibir dan peragu mimpiku. Aku terus berlari dalam langkah yang terseok. Karena aku percaya tujuan itu ada walau entah dimana.

Akhirnya aku sampai pada sebuah titik terang. Dimana mimpiku mulai terlihat hasilnya. Walaupun lama dan banyak yang meragukan tapi aku terus berjuang demi mengapainya. Asalkan ada Allah aku kuat dan ikhlas.

-Hana Larasati

Sabtu, 09 April 2016

Untuk Bidadari Bersayap Patah

Selamat pagi perempuan yang aku tidak kenal bagaimana sifatnya. Apa air mata mu masih berlinang pagi ini?

Aku maklumi jika kau menemuiku dengan lahar api, karena aku telah merampas sebab kebahagian di hidupmu.

Em... koreksi aku bukan merampasnya tapi aku memaksa mu untuk berbagi denganku. Dan apa pun yang di paksa akan menyebabkan luka. Aku paham itu.

Bagaimana kabar lukamu? Masihkah menganga di hatimu. Mungkin sekarang, ia telah menjadi jurang kebencian yang entah dimana ujungnya.

Maafkan aku. Tapi kau pun tau perasaan tidak dapat di cegah keberadaannya. Apa jadi salahku jika dia mencintaiku saat dia masih bersamamu?

Aku sempat mencegahnya, tapi lama kelamaan parit hati pun runtuh dengan debit air cinta yang sedemikian deras. Apa lagi jika itu setiap hari.

Apa masih jadi salahku jika aku pun mulai mencintainya? Sudah hapus air matamu. Percuma kau terisak-isak di sana, karena di sini dia sedang tertawa bahagia bersamaku.

Sudah jangan menangis lagi. Apa kau pikir aku mau jadi seperti ini? Yang bahagia setelah merusak kebahagiaan orang lain. Sekarang mulailah untuk mengikhlaskan merpatimu pergi. Toh tidak semua yang kau percaya akan setia kan?

Semoga di sana kau menemukan kebahagianmu. Seperti aku yang bahagia di sini.

Dari perempuan perampas kebahagianmu.

Inspire by Surga Yang Tak Dirindukan.

-Hana Larasati.

Kamis, 07 April 2016

Teman (Hidup)

Kamis 7 April 2016

Tuan, entahlah aku juga tidak mengerti apa yang di rasakan hati. Saat melihatmu di hari senin lalu, aku begitu senang. Setelah lama kita terpisah. Aku mengagumimu dalam kata yang tidak di mengerti bahasa.

Kau tau tuan? Aku sangat menyukai rambut panjangmu yang bergelombang itu. Tertata rapi di kepalamu setiap hari. Laki-laki yang saat ini hanya bisa aku gapai dalam doa.

Hari ini aku senang sekali. Kita bisa tertawa bersama. Walau aku tau perasaan yang kau rasakan biasa saja padaku. Tapi aku cukup senang.

Tuan tak sadarkah kau jika dari tadi aku selalu menatapmu. Tapi jangan sadar tuan, aku malu jika kau membalas tatapanku. Cukup aku saja yang begitu, kau tak harus tau.

Ini lucu jarak kita hanya sebatas lengan, tapi aku merasa kau jauh sekali. Kau adalah sahabat baik ku kurang berhak jika aku bilang aku kagum padamu.

Hari ini kita berteduh di atap yang sama dalam derasnya hujan. Aku harap suatu hari nanti kita bisa seatap. Bukan hanya sementara tapi selamanya.

Tuan, aku sangat suka hujan. Tapi aku selalu menghindari jika hujan datang dan malah memilih berteduh bersamamu saat ini. Begitulah perasaan kagum ku padamu tuan.

Tuan, aku suka rambut panjang berombakmu yang sebahu itu. Pas dengan kulitmu yang kecoklatan dan hidungmu yang mancung.

Aku suka jika kau tertawa, kau memiliki gigi yang gingsulkan tuan? Haha aku tau semuanya tentangmu karena setiap hari aku selalu memperhatikanmu dalam diam.

Tuan, jangan tanya sampai kapan rasa ini ada. Yang pasti aku selalu menjaganya. Entahkau merasakanya atau tidak. Aku juga malas mencari tau. Biarkan saja, toh aku kan tak mengharap untuk di balas.

Terimakasih tuan untuk hari ini. Walau kendaraan dan arah kita beda tapi hatiku masih milikmu.

-Hana Larasati

Selasa, 05 April 2016

Nona

Sabtu 26 Maret 2016

Hai nona manis yang jarang menyungingkan senyum. Aku sudah membaca tulisanmu. Kau pasti terkejut aku mampir di diary terbukamu.

Aku hanya ingin bilang aku baik-baik saja di sini. Semoga kau pun begitu di sana. Sudah ku duga Jogja menyimpan kenangan yang tak ingin kau kenang. Aku bisa melihatnya dari sorot matamu ketika aku bilang ingin pergi sebentar kesana.

Aku terkikik geli membaca tulisanmu. Di depanku kau terlihat acuh, tapi di sini kau merengek mengisyaratkan aku untuk tidak pergi.

Kau tau kenapa aku memilihmu, nona? Karena kau berbeda. Mungkin dari tampak luar kau terlihat manja nona, dengan status anak semata wayang yang kau punya.

Tapi semua berubah ketika sudah tau lebih banyak. Kau mandiri dan pantang menyerah. Itu yang membuat hatiku jatuh padamu.

Entahlah bagaimana perasaanmu. Aku tidak akan memaksa. Aku yakin kau pun bingung dengan apa yang di rasakan hatimu saat ini.

Memang sulit membangun kepercayaan jika itu pernah rusak. Apa lagi aku adalah orang baru untukmu. Wajar jika kau tidak mudah membuka hatimu untukku.

Nona, kau pernah bilang padaku. "Temukan aku dalam doamu. Carilah aku di sepertiga malammu. Walau semua ini hanya terisi malu. Sekarang simpan saja semuanya dalam hatimu. Pastikan rasamu aman dalam hatimu."

Nona, aku yakin kau pasti tau itu sulit untukku. Kata itu seperti mengisyaratkan aku untuk pergi jauh darimu. Tapi nona, mungkin definisi kita itu berbeda-beda. Kau dengan pemikiranmu dan aku dengan pemikiranku.