Jumat, 29 April 2016

Sebening Syahadat

Kita berjalan di tengah purnama. Kau mengengam erat tanganku dan aku pun melakukan yang sama.

Kita saling bercengkrama. Terkadang kau mengeluhkan kakimu yang sakit karena lelah berjalan.

Kadang kau mengodaku dengan manja. Sedikit merengek namun aku suka.

Tapi tatapan itu yang paling aku suka. Mata bulat dan hitammu sukses membuatku gemas.

Di tengah perjalan, kita setuju untuk duduk di pelataran masjid. Kau masih memakan ice creammu yang membuat mulutmu belepotan.

Aku mengelapnya dengan halus dan kau pun tertawa. Di saat itu tiba-tiba kau terdiam. Aku pun bertanya pelan.

"Ada apa sayang?"

"Kakek itu kenapa di situ mba?" Katamu sambil menunjuk seorang kakek tua yang sedang mengemis.

"Oh kakek itu sedang mengemis."

"Kenapa dia mengemis? Bukannya islam tidak menganjurkan untuk mengemis?"

"Memang benar, tapi apa lagi yang bisa di lakukan kakek tua itu selain mengemis. Dia menyambung hidupnya dari mengemis itu."

"Apa tua menjadi alasan seseorang untuk mengemis? "

Aku hanya terdiam. Memang benar mengemis tidak di anjurkan oleh islam. Karena Allah melarang manusia untuk merendahkan dirinya.

Tapi apa yang bisa dinlakukan seorang yang sudah tua renta seperti itu selain mengemis demi menyambung hidup.

Aku pun bingung menjawab pertanyaannya. Di depannya aku harus terlihat menjadi seorang kakak yang baik.

Dia masih menatap mataku, tatapannya benar-benar menuntut jawabanku.

"Sebenarnya memang kita tidak boleh mengemis. Islam mengajarkan untuk berusaha. Karena mengemis adalah seburuk-buruknya pekerjaan. Tapi coba kamu lihat, kakek itu sudah sangat tua pekerjaan apa yang sangup dia kerjakan ?"
Kataku lembut kepadanya.

Matanya langsung di arahkan kepada kakek di sebrang jalan itu. Dia menatapnya gambang.

"Bukannya Allah sudah berjanji. Barang siapa yang mau berusaha maka Ia akan melapangkannya. Innama'al yusri yusro. Di balik kesulitan pasti ada kemudahan."

Aku tersentak mendengar ucapannya. Anak kecil yang baru berusia 9 tahun mampu berpikir seperti itu. Aku mencium kepalanya, mengisyaratkan aku salut terhadapnya.

"Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum kecuali ia sendiri yang berusaha merubahnya."

Setelah mendengar jawabanku dia tidak bertanya lagi soal kakek tua itu. Dia asik bermain dengan mobil-mobilan barunya.

Mengingat dia belum makan malam aku mengeluarkan roti coklat kesukaannya dari dalam tas. Ketika sedang merogoh tas, tak sengaja terambil sebuah foto keluarga seorang teman.

Aku menatap keluarga itu. Aku melihat sedikit keanehan dalam foto itu. Di foto temanku yang berparas ayu menikah dengan laki-laki yang menurutku tak sepadan dengannya. Kakinya cacat dan dia memakai tongkat. Parasnya pun menurutku jauh dari indah.

Ketika sedang memandang foto itu adikku mendekat.

"Foto siapa itu mba?"

"Foto teman, oh iya ini roti mu. Kamu belum makan malam kan. Makan ini dulu sambil menunggu mas Fahmi jemput kita." Kataku sambil menyodorkan rotinya.

Dia mengambilnya, tapi matanya masih saja menatap foto yang aku gengam.

"Ada apa sayang?"

"Tidak ada apa-apa." Katanya singkat.

"Apa kamu melihat ada yang aneh di foto ini?" Kataku berharap dia mengemukakan jawaban yang sama dengan yang aku pikirkan.

"Kita pernah ketempat ini kan ya mba. Waktu kita liburan dengan mas Fahmi?" Dia menunjuk suatu tempat yang kecil di sudut foto itu, 3 kali lebih kecil dari objek yang aku fokuskan.

"Apa ada lagi?" Kali ini aku berharap dia mengatakan hal yang sama dengan yang aku pikirkan.

"Tidak ada. Hanya... tempat ini sekarang ada taman bungannya. Ketika kita kesana sebelumnya taman itu belum ada." Lagi-lagi dia menunjuk objek yang paling kecil dari foto itu.

Sekali lagi aku terdiam mendengar jawabannya. Menurutku sikapnya menjurus pada pribahasa "Semut di sebrang laut terlihat, sedangkan gajah di pelupuk mata tak terlihat." Namun dalam konotasi yang baik.

Aku tersadar semakin dewasa pikiran negatif semakin mengikis jiwaku. Aku selalu mengedepankan hal yang negatif dan mengesampingkan hal poditif yang ada di dekatnya.

Memfokuskan pada apa yang jelek, dan mengabaikan hal-hal yang baik. Aku lupa bahwa pendamping hidup yang baik tidak selalu harus yang sempurna dalam fisik, melaikan yang sempurna dalam akhlak.

Hatinya benar-benar sebening syahadat. Aku jadi iri dengannya. Padahal umurnya sangat jauh di bawahku. Tapi cara pandangnya sangat mengetarkan jiwa.

Memang pelajaran itu tidak selalu di dapat oleh orang yang strata pendidikannya tinggi saja, melainkan dari anak kecil pun pelajaran bisa di dapat.

Hanya kita perlu sedikit peka dan mengalahkan gengsi yang mengangap bahwa kita jauh lebih pintar dari mereka yang kecil. Karena buatku ilmu itu bukan di lihat dari siapa yang berbicara melainkan di dengar dari apa yang dia bicarakan.

"Tinnnn... tinnn." Kelakson mobil Fahmi memecah lamunankun. Aku tersenyum menatapnya. Dia keluar dari mobil dan tersenyum sambil menghampiri kami.

"Assalamualaikum. " ucapnya sambil tersenyum.

"Waalaikumusalam. Mas Fahmiiii." Kata Rafi yang langsung memeluk tubuh Fahmi dengan girang.

"Sudah lama menunggu?"

"Emm... lumayan." Kataku

"Apa kamu bosan jagoan?" Katanya sambil mengangkat Rafi.

"Enggak kok mas. Aku ngobrol sama Mba Anna jadi gak bosan."

"Wahh.. benarkah? Kalian ngobrolin apa nih? Ngobrolin mas ya?"

"Hih.. ge'er." Kataku sambil mengernyitkan bibir.

"Kita ngobrolin.... banyak deh. Tapi bukan mas. Kalo ngobrolin mas namanya gibah. Gak boleh dosa." Katanya polos. 

"Emm... pelit nih. Yaudah ayo kita pulang sudah lapar kan?"

"Iya mas. Tapi aku mau ke sana dulu." Dia berlari menuju pengemis itu dan memberikan uang yang ada dalam sakunya.
Dia berlari balik sambil tersenyum ke arahku dan Fahmi.

"Kata mba Anna, kalau kita rajin sedekah maka Allah akan melapangkan rezeki kita."

Dia pun tersenyum ke arahku dan mengandeng Fahmi serta aku ke dalam mobil.

"Ayoooo aku lapar. Bude pasti masak enak."
Kami pun masuk ke mobil dan pulang. Dalam perjalanan aku dan Fahmi saling tatap tatapan. Sepertinya pikiran kita sama. Kita sama-sama kagum pada anak kecil itu.

"Esok, jadilah ibu yang baik. Aku ingin anakku memiliki madrasah yang baik di rumahnya. " kata Fahmi dan aku hanya terdiam mendengarnya.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar