Minggu, 17 April 2016

Hujan

Kau datang kerumahku dalam dekapan hujan. Memohon ampunan dan menjanjikan perbaikan.

Aku hanya terdiam menatap mu merangkai kata. Sorot matamu meyakinkan bahwa semuanya benar dan sungguh.

Kau menatapku lekat. Pakaianmu basah dan bibir mu biru karena dingin. Tapi kau tetap bertahan dan terus meyakinkan aku.

Aku terus menatap matamu, mendengarkan setiap pengakuan yang aku tidak tau kebenarannya.

Sempat aku bertanya

"Kalian sangat terlihat bahagia."

"Kau melihatnya dari mana?"

"Dari setiap sosial mediamu. Namanya tercantum indah di sana."

"Apa selalu yang tercatat pasti membuat bahagia?"

"Aku tidak pernah tau. Kau sudah meninggalkan aku sebelum aku sempat merasakan hal itu."

Kini kau memeluk tubuhmu yang setengah basah itu dengan kedua tanganmu. Aku juga manusia yang memiliki rasa iba, aku ambilkan pakaian hangat untukmu.

"Pakailah."

"Tidak, terima kasih."

"Aku tidak ingin ibumu menyangka aku meyiksa anaknya di sini."

"Aku hanya sebentar."

"Tapi aku ingin kau lama disini. Banyak yang aku ingin dengar dari mulutmu bukan lagi dari mulut orang lain."

Dia menganguk kalah. Langakahnya di seret menuju kamar mandi rumahku. Selang lima menit dia sudah berganti pakaian dengan pakaian adikku yang aku berikan padanya.

"Pengakuan apa lagi yang ingin kau dengar dariku."

"Tentang, kenapa kau tidak mau berkata tidak suka padaku walau pun sudah aku paksa?"

"Harusnya kau bisa berpikir tentang itu."

"Bagaimana aku bisa tau kalau kau tidak pernah memberi tau."

"Karena aku yakin hatimu sudah tau kebenarannya tapi kau selalu menolaknya."

Aku hanya terdiam. Untuk pertama kalinya manusia introvert ini berani melawanku.

"Kenapa kau selalu menulis tentang aku? Menjadikan aku sebagai peran antagonis yang selalu menyakitimu?"

"Taylor Swift pun sering menulis seseorang menjadi lagu dan tidak ada yang keberatan akan hal itu. Bukankah menyindir lewat karya lebih berkelas dari pada aku memakimu?"

"Tapi kenapa harus begitu. Banyak yang bisa kau tulis."

"Karena itu kenyataanya."

"Sampai kapan kau terus menilaiku sebagai laki-laki yang jahat."

"Sampai aku percaya bahwa kau baik."

"Haruskah kita seperti ini? Sebelum sejauh ini kita pernah sedekat nadi."

"Tanyakan pada dirimu."

"Tidak bisakah kita kembali seperti dulu. Menjadi sahabat baik."

"Gelas yang pecah tidak bisa di pakai lagi."

"Apa maafmu tak pernah pantas untukku?"

" Sudahlah. Pulang dan beri kabar kepada wanitamu bahwa kau telah sampai dengan selamat. Dan titipkan salam ku untuknya."

"Berhentilah menyiksaku dengan sindiran itu."

"Dan berhentilah menyiksaku dengan memohon untuk kembali lagi padaku."

"Kau tau. Kau itu pemaksa, kau menyuruhku untuk berkata tidak suka padamu, tapi apa kau tau bagaimana perasaan ku padamu?"

"Jika kau sungguh, kau tidak akan mengundang dia dalam istana kita. Kau tau betapa susahnya merangkai dongen ini dan kau dengan seenaknya merusak dalam sekali hempasan."

"Berhentilah." Kali ini dia meninggikan suaranya.

"Apa kau tau betapa mati-matiannya aku untuk bangkit di sini?"

"Dan apa kau juga tau betapa menderitanya aku di sana? Berhentilah menjadi yang paling sakit di sini."

"Apa yang kau mau dariku."

"Memaafkan ku dan bersikaplah baik-baik saja."

"Aku sudah memaafkanmu. Tapi untuk baik-baik saja aku tidak bisa karena aku sudah lelah membohongi diriku sendiri."

"Aku harus apa agar kau kembali?"

"Tidak ada yang bisa kau lakukan selain berdoa karena hatiku milikNya."

"Maafkan aku."

"Aku juga."

Dia masih menatapku. Tapi tatapku ku arahkan pada punggung tanganku. Jika dia datang satu tahun yang lalu mungkin hatiku akan menjadi miliknya lagi. Tapi kali ini dia datang saat aku sudah sangat kuat untuk berdiri dan melawannya.

"Pulanglah, sudah larut malam. "

"Tapi masih ingin berbincang padamu."

"In shaa Allah masih ada lain kali."

"Baiklah." Dia pun berdiri dan mulai berjalan ke pintu.

Selang beberapa detik aku memanggilnya dan menghampirinya.

"Aku bohong." Ujarku

"Bohong untuk apa?"

"Aku bohong bilang bahwa kau jahat. Kau masih menjadi yang paling baik setelah ayahku."

Dia tertegun mendengar ucapanku.

"Aku sangat mengagumimu. Sangat. Kau penyabar dan peyayang. Tapi yang aku sesali kau belum bisa berperinsip. Itu yang menutup kebaikanmu."

"Dila.."

"Sudah itu saja yang ingin aku katakan. Maafkan aku dan terima kasih."

"Dila.."

"Sampaikan salam ku pada ibumu."

Kemudian aku menutup pintu sambil tersenyum kearahnya. Aku berjalan menuju kamarku. Tak berapa lama handponeku berdering. Ada pesan yang tak jelas pengirimnya.

"Maaf atas permintaanku tadi. Kini aku sadar kau terlalu indah, untuk menjalin hubungan itu lagi. Suatu hari nanti aku akan datang dan memberikan hubungan yang pantas untukmu."

Aku pun menutup pesan dan membalasnya lewat doa. Ku aamiinkan apa yang menjadi niat baikmu.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar