Kamis, 24 Maret 2016

Surat Untuk Mas Gagah dari Jogja

Semenjak di sapa, hayalan ini liar berkenala. Sadar diri. Itu yang sekiranya aku tanamkan dalam hati. 

Mencoba baik-baik saja di tengah perasaan  yang tidak bisa di bawa baik-baik saja bukan suatu perkara yang mudah.

Aku menamaimu Tuan singah. Berawal dari sapa yang tidak direncanakan. Kemudian berlanjut pada pembicaraan yang sederhana mungkin menurutmu buatmu, tapi sangat berarti untukku.

Tuan singah dengan tubuh gagah kini harus pergi melaksanakan tugasnya. Menangis? Ah sudahlah aku bukan lagi gadis ABG yang segalanya menjadi drama.

Itu pilihannya dan aku sebagai seorang sahabat harus mendukung keputusannya. Calon pilot dengan senyum teduh dan tutur kata ramah kini tak bisa lagi aku temui karena jarak yang membuat kita berpisah.

Sempat dia bertanya padaku. Sudikah aku menunggunya kembali. Pertanyaan itu ibarat candaan bagiku. Sebagian besar laki-laki hanya mengumbar janjinya dan kata manisnya lalu berlengang pergi.

Aku tidak menangapi serius kata-katanya. Walaupun sebenarnya aku ingin, hahah aku memang gadis yang munafik. Tapi jika dia benar dengan kata-katanya dia akan kembali dan menemuiku. Tidak hanya sendiri seperti biasa. Tapi dengan rombongan keluarga.

Bukan aku menutup hati pada siapa pun. Tapi aku hanya ingin satu langkah lebih taat. Bukannya cinta itu menjaga? Ini bukti cintaku padamu. Aku menjagamu bukan hanya di dunia tapi sampai di akhirat. Aku tidak ingin karena perasaanku kau terkena murka Tuhanku. Izinkan aku mencintaimu dengan caraku. Kalau pun kita di takdirkan satu, tidak akan ada yang membuat runtuh.

Sekarang kejar saja segala impian, cita-cita, dan segala hal yang ingin kau raih. Karena aku pun melakukan hal yang sama di sini. Jika suatu hari nanti bertemu, kita akan menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnnya.

Sukses my capt. My bestfriend. 😊

-Hana Larasati

Jogja dan Jarak (Lagi)

Kita sempat bertemu sebelum akhirnya berpisah. Di lapangan ini lagi.

"Hana."

"Hei."  Sapaku yang kali ini dengan senyum.

"Kamu disini?" Katanya yang mulai duduk di sampingku.

"Iya."

"Menonton siapa?"

"Kamu." Kataku. Dia pun menatapku ragu. Dia mengosok-gosokan tangan ke hidung mancungnya.

"Bohong." Katanya.

"Aku sudah ingat siapa kamu."

"Benarkah?"

"Kamu Aby (bukan nama sebenarnya) yang menolongku ketika ada kucing yang jatuh di plapon Tk dulu kan?"

"Hahaha iya. Kamu ingat."

"Iya. Ibuku yang mengingatkan. Maaf jika ingatanku buruk."

"Tidak apa-apa. Yang penting kamu ingat."

"Bagaimana dengan ujiannya?"

"Belum. Aku masih liburan saat ini. "

"Sukses ya."

"Siip. Aku main dulu ya." Dia pun berjalan ke lapangan.

Aku membalasnya dengan angukan. Dia tersenyum menatapku. Aku balas menatapnya di lapangan. Dia bertubuh kurus, tinggi, tegap dan gagah. Alisnya tebal dan hidungnya mancung.

Aku ingat bagaimana dulu dia menjadi penolongku sewaktu kecil. Itu terjadi 15 tahun silam. Aku hanya tersenyum memandangnnya. Sekiranya hanya itu yang bisa aku lakukan.

Sekarang sudah pukul 21:00 pertandingan pun sudah selesai. Dia berjalan menghampiriku. Kulit putihnya berubah merah karena kelelahan. Pakaiannya pun basah dengan keringat.

"Kamu masih di sini?"

"Iya."

"Menunggu seseorang?"

"Iya."

"Siapa? Pacar?"

"Bukan. Kakakku."

"15 tahun itu bukan waktu yang sebentar."

"Iya itu tergolong sangat lama. Tapi ingatan mu tidak luntur."

"Hahah iya. Bahkan nama panjangmu saja aku ingat."

"Namaku susah. Mustahil bisa ingat."

"Hananing Sumaningdiah Larasati."
 
Aku menatap terkejut kearahnya. Teman kuliah ku pun yang hampir 4 tahun sekelas tidak hafal.

"Seberapa banyak kamu tau aku?"

"Lumayan. Kamu paling suka nasi goreng."

"Aku bingung harus bilang apa."

"Yasudah aku saja yang bilang."

"Kamu mau bilang apa?"

"Aku akan di tugaskan di Jogja."

"Haha Jogja lagi."

"Kamu ada masalah dengan Jogja."

"Tidak. Hanya sedikit kenangan buruk."

"Mantan?"

"Mungkin."

"Pasti jarak yang membuat kalian berpisah."

"Iya. Dan itu yang aku takutkan saat ini."

Dia menoleh kearahku. Tapi mataku masih memandang lurus ke arah lapangan.

"Jangan khawatirkan jarak. 15 tahun saja aku masih ingat. Jika Tuhan berkehendak maka tidak ada yang bisa mengelak."

Aku pun tersenyum ke arahnya. Entahlah aku tidak terlalu yakin dengan ingatanku. Tapi aku takut di tinggal lagi. Ada yang bilang ini trauma masa lalu. Tapi aku bilang ini hanya ketakutan akan kehilangan seorang teman.

-Hana Larasati

Jogja dan Jarak (Lagi)

Kita sempat bertemu sebelum akhirnya berpisah. Di lapangan ini lagi.

"Hana."

"Hei."  Sapaku yang kali ini dengan senyum.

"Kamu disini?" Katanya yang mulai duduk di sampingku.

"Iya."

"Menonton siapa?"

"Kamu." Kataku. Dia pun menatapku ragu. Dia mengosok-gosokan tangan ke hidung mancungnya.

"Bohong." Katanya.

"Aku sudah ingat siapa kamu."

"Benarkah?"

"Kamu Aby (bukan nama sebenarnya) yang menolongku ketika ada kucing yang jatuh di plapon Tk dulu kan?"

"Hahaha iya. Kamu ingat."

"Iya. Ibuku yang mengingatkan. Maaf jika ingatanku buruk."

"Tidak apa-apa. Yang penting kamu ingat."

"Bagaimana dengan ujiannya?"

"Belum. Aku masih liburan saat ini. "

"Sukses ya."

"Siip. Aku main dulu ya." Dia pun berjalan ke lapangan.

Aku membalasnya dengan angukan. Dia tersenyum menatapku. Aku balas menatapnya di lapangan. Dia bertubuh kurus, tinggi, tegap dan gagah. Alisnya tebal dan hidungnya mancung.

Aku ingat bagaimana dulu dia menjadi penolongku sewaktu kecil. Itu terjadi 15 tahun silam. Aku hanya tersenyum memandangnnya. Sekiranya hanya itu yang bisa aku lakukan.

Sekarang sudah pukul 21:00 pertandingan pun sudah selesai. Dia berjalan menghampiriku. Kulit putihnya berubah merah karena kelelahan. Pakaiannya pun basah dengan keringat.

"Kamu masih di sini?"

"Iya."

"Menunggu seseorang?"

"Iya."

"Siapa? Pacar?"

"Bukan. Kakakku."

"15 tahun itu bukan waktu yang sebentar."

"Iya itu tergolong sangat lama. Tapi ingatan mu tidak luntur."

"Hahah iya. Bahkan nama panjangmu saja aku ingat."

"Namaku susah. Mustahil bisa ingat."

"Hananing Sumaningdiah Larasati."
 
Aku menatap terkejut kearahnya. Teman kuliah ku pun yang hampir 4 tahun sekelas tidak hafal.

"Seberapa banyak kamu tau aku?"

"Lumayan. Kamu paling suka nasi goreng."

"Aku bingung harus bilang apa."

"Yasudah aku saja yang bilang."

"Kamu mau bilang apa?"

"Aku akan di tugaskan di Jogja."

"Haha Jogja lagi."

"Kamu ada masalah dengan Jogja."

"Tidak. Hanya sedikit kenangan buruk."

"Mantan?"

"Mungkin."

"Pasti jarak yang membuat kalian berpisah."

"Iya. Dan itu yang aku takutkan saat ini."

Dia menoleh kearahku. Tapi mataku masih memandang lurus ke arah lapangan.

"Jangan khawatirkan jarak. 15 tahun saja aku masih ingat. Jika Tuhan berkehendak maka tidak ada yang bisa mengelak."

Aku pun tersenyum ke arahnya. Entahlah aku tidak terlalu yakin dengan ingatanku. Tapi aku takut di tinggal lagi. Ada yang bilang ini trauma masa lalu. Tapi aku bilang ini hanya ketakutan akan kehilangan seorang teman.

-Hana Larasati

Maryam

11 tahun yang lalu aku menemuimu sebagai gadis yang ayu dan lugu. Dengan rambut sebahu dan kulit putih semakin menambah manis dirimu.

Kau menyapaku dengan senyum yang menampakan ke dua gigi kelincimu. Awalnya aku menilaimu sebagai wanita yang pendiam dan pemalu. Lama waktu memandu, ternyata kau adalah gadis yang ceria. Harus di sapa dulu maka kau akan membuka dirimu.

Sekarang gadis kecil itu sudah tumbuh semakin dewasa dan mempesona. Dengan kerudung panjangnya dia membawa perubahan-perubahan yang mampu mencerahkan para sahabatnya.

Seorang yang dulunya adalah gadis desa biasa kini hadir menjadi aktifis yang mengetarkan keimanan kita. Menyiarkan apa yang harus tersiar.

Dia bagaikan mercusuar bagi kami. Yang selalu mendampingi dan mengawasi di setiap langkah kami.  Walau pun terlihat lembut dia tergolong wanita yang tegas.

Apa lagi jika itu menyangkut soal kemunkaran. Tak segan ia menegur jika kami salah. Dengan tutur kata yang santun dan tidak menyakiti.

Dia juga gadis yang pandai menjaga harga dirinya. Yang selalu mengingatkan kami bahwa tak semua perasaan harus di siarkan. Yang menyadarkan bahwa pandangan harus di tahan. Aku suka menamainya sebagai Maryam. Karena kuatnya dalam menjaga dirinya dan sangat mempesonanya dia.

Betapa takutnya dia akan amarah Tuhan. Mencerminkan bahwa dia adalah gadis yang bertakwa. Selalu ada Allah dalam setiap langkahnya dan membawa para sahabat dalam kebaikan.

Bukankah kata orang sahabat yang baik apa bila engaku melihatnya semakin dekat engkau pada Tuhanya. Ketika engkau mendengar suaranya, yabg terdengar seruan mengajak pada kebaikan dan ketika engkau ada di sampingnya kebaikan-kebaikan yang tercipta.

Katanya Allah, tidak akan membiarkan seorang hamba masuk ke dalam surga seorang diri. Maka Allah akan menyuruhnya membawa sahabatnya. Semoga Allah menjaga kita dan kita bisa selalu bersama tak hanya di dunia tapi sampai di surga. Aamiin.

-Hana Larasati



Rabu, 23 Maret 2016

Khadijah

Aku menjulukimu sebagai Khadijah. Perempuan percontohan pada zamannya dan salah satu pedangan wanita yang berjaya pada saat itu. Khadijah juga istri yang paling di cinta oleh baginda Rasulullah SAW. Dia di lambangkan sebagai wanita yang kuat dan pemberani.

Hampir 11 tahun kita bersahabat. Tak ada perubahan yang mencolok pada dirimu, kalau pun ada itu berarah pada kebaikan. Perempuan dengan perawakan tinggi dan cantik itu kini bertambah dewasa. Dia memiliki hidung mancung dan mata yang indah.

Bukan tanpa alasan aku menjulikimu sebagai Khadijah. Terlahir sebagai anak ke dua dari 6 bersaudara, membuat nyalimu pantang surut. Membuat setiap mata memandang salut. Pembawaan yang ceria adalah ciri khasmu. Entah apa yang sedang kau hadapi, kau selalu tersenyum seakan hidup selalu baik-baik saja.

Bukan hanya cantik di luar tapi engkau pun cantik dari dalam. Mengayomi dan penyabar dalam setiap masalah semakin menjadikanmu istimewa. Jalan hidup yang terkadang tidak mudah, tak pernah meruntuhkan nyalimu. Karena engkau selalu yakin bahwa Allah selalu mendampingimu.

Kau ibarat matahari yang menundukan setiap mata sebelum sempat melihat. Kau juga tipe perempuan yang cerdas, tangkas, dan tegas. Sekali lagi aku berterima kasih pada Allah karena Ia menganugrahkan engkau sebagai sahabat terbaik ku. Yang mengingatkan di saat salah dan menghibur di saat lelah.

-Hana Larasati

Senin, 21 Maret 2016

Hujan dan Masa Lalu

"Bukan aku yang menghampirimu atau kau yang berlari kepadaku tapi takdir. Takdir yang membuat kita bertemu."

Aku berlari menerobos hujan. Deras sekali bagai tirai tanpa penyanga. Hampir setengah basah pakaianku. Tiba-tiba ada yang aneh. Kenapa hujannya reda hanya di kepalaku

"Pakai ini. Kamu tau ada teknologi bernama payung?" Kata suara yang sepertinya aku sudah tidak asing lagi.

"Gak sempet."

"Kamu mau kemana hujan-hujan begini?"

"Mau beli hvs buat merangkum."

"Mari saya antar."

"Gak usah makasih, deket kok."

"Sedeket-deketnya kalau hujan ya basah, Han." Katanya.

Aku pun menyerah, dan setuju diantarnya membeli hvs.

"Jauh banget beli hvs di Jakarta. Bogor emang gak jual?"

"Ada. Tapi kan lagi di sini yaudah beli aja di sini."

Aku duduk di tempat foto kopi. Dia masih menatap ku.

"Ada apa?" Kataku.

"Kamu masih gak kenal siapa saya?"

"Enggak."

"Ingatanmu lebih buruk dari ikan."

Aku hanya diam menatap hujan. Jujur aku bukan tipe wanita yang senang berbincang dengan orang asing. Terlebih itu laki-laki.

"Han."

"Ya?"

"Kamu sekolah dimana?"

"Di universitas yang kalau aku sebutkan pun kamu gak akan tau."

"Jangan bicara begitu."

"Pengalamanku yang bisa membuatku bicara seperti itu."

"Sekolah itu ibarat baju. Baju bagus tergantung siapa yang pakai."

"Haha itu hanya kiasan yang sering terdengar. Pengaplikasian di dunia nyatanya yang terkenal yang menang."

"Kalau kamu aja gak banga sama apa yang kamu punya gimana orang lain mau bangga?"

"Hah entahlah."

"Han. Kamu benar-benar lupa siapa saya?"

"Iya. Maklum lah saya pindah dari sini sudah 11 tahun yang lalu."

"Saya Abimanyu Senopati. Teman Tk kamu dulu?"

Aku berpikir sejenak. Ingatan ku, ku seret pada masa 15 tahun yang lalu. Entahlah nama itu terlalu asing. Aku tidak bisa mengingatnya.

"Maaf, tapi aku benar-benar lupa." Kataku

"Yasudah." Katanya.

"Kamu memang tinggal dimana?"

"Dulu rumahku dekat dengan Tk. Tapi sekarang pindah di sekitaran Cilandak."

"Oh begitu."

"Oh iya, tadi aku beli cup cake. Nih buat kamu. Kamu suka cup cake kan?"

"Iya suka. Terima kasih."

"Hujannya sudah reda. Aku pulang duluan ya. Tidak apa-apa kan kamu aku tinggal."

"Iya tidak apa-apa. Hati-hati dan terima kasih." Kataku

"Sama-sama." Ucapnya sambil tersenyum.
Dia pun berjalan pergi. Belum terlalu jauh aku pun berteriak.

"Sukses buat ujian terbangnnya." Dia menoleh sambil tersenyum dan mengacungkan jempolnya.

Buatku di sapa masa lalu, ibarat di sapa hujan di tengah kemarau. Walau  tidak tau sebabnya tapi merasa gembira karena kesejukan yang tiba-tiba menyapa.

Aku cukup terharu dia masih ingat kepadaku. Seseorang yang sudah 15 tahun hilang di hidupnya. Efek dari kejadian itu aku berpikir aku adalah bagian penting di hidupnya. Dia cukup sopan untuk di ajak berteman. Apa lagi statusnya sebagai calon pilot. Alhamdulillah sekali lagi Allah mengirimkan seorang teman yang baik untukku.

-Hana Larasati

Pria Kurus.

Kita bertemu lewat tatap ragu-ragu. Waktu itu Desember 2015 kau mengenalkan namamu padaku. Aku hanya diam menatap ragu.

"Seno (bukan nama sebenarnya)." Kau mengulurkan tanganmu.

"Hana." Kata ku ragu.

Kau lama menatapku. Aku hanya terdiam bingung. Entah apa yang sedang kau pikirkan.

"Sudah lama?" Katamu.

"Iya."

"Aku gugup." Katanya. Aku bingung apa maksud dari ucapannya.

"Maksudnya?"

"Sebentar lagi ujian terbang."

"Kamu pilot?"

"Iya."

Pemuda dengan tubuh tinggi tegap dan kurus yang menyapa ku ini ternyata pilot. Entahlah perasaanku bercampur aduk sekarang. Binggung, heran, aneh semuanya bercampur jadi satu.

"Kamu gak salah cerita sama orang yang baru kamu kenal?" Kataku.

"Apa kamu terganggu?" Katanya yang mulai menatapku lagi.

"Bukan.. bukan.. seperti itu."

"Baiklah aku pergi." Dia mulai bangkit dan berjalan pergi.

"Aku suka mendengar ceritamu." Kataku. Dia pun menoleh.

"Aku hanya heran kita baru kenal dan kau menceritakannya padaku." Lanjutku.

"Kita sudah lama kenal. Kau saja yang baru menyadari itu." Katanya sambil tersenyum.

"Maksudmu?"

"Benar kata mereka Hana, kamu bukan wanita yang peka." Dia pun berjalan pergi.

Aku jadi makin bingung. Dalam lapangan futsal aku hanya menatapnya bermain sambil berpikir, dia siapa?

-Hana Larasati

Sabtu, 19 Maret 2016

Teman Perjalanan

Memaknai cinta bagai menyulam benang menuju surga. Awalnya melelahkan dan membosankan. Penuh dengan derai air mata dan kekecewaan. Tapi perjuangan itu dibayar lunas saat ini. Ketika tau apa maksud Sang Pemilik Hati.

Awalnya kita memulai cinta bukan karena Allah. Di usia yang terbilang masih sangat muda, nafsu dan egois yang membuat cinta kita bermula. Namun kita bisa mengakhirinya karena Allah.

Aku menamaimu sebagai teman perjalanan. Kita sempat berpisah. Kau meninggalkan aku karena satu alasan kuat yang tertancap di hatimu. Aku sempat menangis dan memohon agar kau memikirkan keputusanmu. Tapi kau tetap pada pendirianmu.

Aku ingat saat kau meninggalkanku. Kau bilang "Pacaran itu bukan suatu pilihan tapi kesalahan dan aku tidak ingin menjadi manusia yang selalu salah. Kita putus karena tidak ada pacaran dalam islam."

Awalnya aku meragukan kata-katamu. Kau pasti sama dengan laki-laki lainnya. Hanya memainkan janji sesuka lidahmu. Aku benar-benar khawatir kau akan sama seperti yang lainnya. Allah hanya kau jadikan alasan untuk mencari penganti.

Tapi seiring berjalannya waktu. Aku akhirnya melihat kesungguhan ucapanmu. Kau benar-benar menjaga hatimu, menahan pendanganmu, menjaga hawa nafsumu. Kau tidak mendekat dengan perempuan yang bukan mukhrimmu.

Kau adalah laki-laki yang tampan dengan perawakan tinggi tegap dan gagah. Kau juga tergolong pintar dan santun. Tutur katamu lembut tapi tegas. Kau selalu menjaga sikapmu tidak pernah ku dengar kau berkata kasar. Maka tak heran jika banyak wanita yang mengidam-idamkanmu. Tapi kau hanya diam dan bersikap sopan secukupnya kepada mereka.

Kau tau? Kau menunjukan sesuatu yang membuat tangisku reda seketika. Kekhawatiranku juga memudar. Aku pun memutuskan untuk bangkit dan berpikir kenapa harus ditangisi kalau bisa di perjuangkan. Bukannya laki-laki yang baik untuk pempuan yang baik?

Mulai saat itu aku pun berbenah diri. Aku menjadi perempuan yang lebih baik. Aku ulurkan jilbabku hingga dada. Aku perdalam ilmu agama. Aku lakukan apa yang menjadi ridho Tuhanku.

Seiring berjalannya waktu aku tau perubahan bukan di niatkan karena mengejar suatu hal. Tapi lebih kepada membuat Allah ridho dunia akhirat pada kita. 

Aku terus belajar dari saat itu. Bukan kau yang aku kejar, tapi Allah. Kamu bukan lagi prioritas untukku. Sekarang yang terpenting Allah ridho kepadaku.

Masalah kau akan jadi pendampingku atau tidak, biar Allah saja yang mengurus. Toh Dia pun tau, kau masih jadi tema yang selalu aku perbincangkan denganNya. Jika kau yang terbaik maka kita akan sama-sama membangun cinta sampai ke surga. Jika kau bukan yang terbaik maka akan ada yang lebih baik. Kita hanya bisa berencana tapi Allah yang menentukan hasil akhirnya.

Terima kasih teman perjalananku. Dari kau aku tau memaknai cinta di jalan yang benar.

-Hana Larasati

Senin, 14 Maret 2016

Teh Manis

Aku berjalan dalam dekapan dingin kota Bandung. Pikiranku mengelana entah kemana. Aku berjalan dengan bimbang, yang aku tau aku harus cepat dalam langkahku supaya tak bertemu laki-laki pembuat luka itu.

Setelah empat tahun berlalu, aku tidak menyangka kau datang lagi di hidupku. Alasan yang kau ucapkan benar-benar membuat aku sakit kepala. Kau bilang, kau hanya bercanda meninggalkan ku di gunung pangrango waktu itu. Kau tau? aku hampir mati beku di sana dan kini kau bilang itu hanya bercanda!

Menangis pun rasanya aku sudah amat sangat lelah. Terlalu banyak luka yang menghujamku hingga rasanya aku sudah mati rasa.  Penghianatan. Kebohongan. Gunung. Kekecewaan. Sekarang semuanya berputar di otakku. Aku benar-benar lelah. Kenapa kau kembali! Taukah kau bagaimana susahnya aku mengubur semuanya dan kau dengan seenaknya kembali membukanya?

Aku harap kau masih ingat ketika kau bilang ke semua orang kita bukan apa-apa. Kau tinggalkan aku bagai sampah waktu itu. Tidak terpikirkah kau bagaimana menderitanya aku? Ingatkah kau seberapa kuatnya usahaku menahanmu pergi. Aku menangis saat itu, dan kau membuang muka tak peduli. Hingga akhirnya aku menunggumu selama 3 jam dalam dekapan dingin gunung pangrango.

Sekarang kenapa kau datang lagi? Membawa semua harapan dan menjanjikan perbaikan. Apa kau pikir hidup sebercanda ini?

Aku terus mempercepat langkah kaki. Tak terasa sudah sampailah aku pada tujuan. Rumah Ayu, teman baikku yang memberikan aku tumpangan tinggal selama aku dinas di Bandung.

"Assalamualaikum." Kataku sambil mengetuk pintu.

"Wa'alaikumsalam Mary." Katanya. Dia menatapku lekat. Aku pun langsung masuk dan duduk dengan muka yang masih risau.

"Ada apa?"katanya lagi.

"Tidak ada apa-apa."

"Kata-kata andalan wanita. Cepat beritau aku ada apa?" Dia mulai memaksa.

"Laki-laki itu menemuiku lagi."

"Siapa? Riziq?"

"Iya."

"Mau apa lagi sih dia. Belum puaskah dia menyiksamu selama ini?"

"Entahlah. Mungkin ini hukuman untukku. Hukuman karena telah menjalin hubungan dengan seseorang yang bukan mukhrimku. Allah menampakkan semua dampaknya dan akan ku terima itu semua."

"Mary...." Dia mulai menatapku nanar.

"Aku yang salah. Andai saja waktu itu aku bisa menahan perasaanku dan menolaknya menjadi sesuatu yang berarti dalam hidupku. Mungkin ceritanya tak sesakit ini." Sekarang suaraku mulai bergetar.

"Berhentilah mengandai-andai Maryam, seakan kau menyalahkan takdir Tuhan. Itu semua sudah kehendakNya. Ingatkah kau tentang surat Tā Hā ayat 50?"

"Ya. Aku ingat. Kalau tidak salah begini bunyinya 'Dia (Musa) menjawab : "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk."'Itu kan?"

"Ya. Setiap kejadian itu tidak ada yang kebetulan. Semuanya sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa."

"Tapi kenangan pahit itu seakan berputar kembali, Ay. Kau pun tau, bagaimana hancurnya aku saat dia tidak mengakui bahwa menjalin hubungan denganku? Dia menyangkal semua kenyataannya." Sekarang tangisku mulai pecah.

"Maryam...." Dia mencoba menenangkanku.

"Kau juga tau betapa susahnya aku untuk bangkit. Aku harus mengumpulkan tenagaku, hatiku, kepercayaanku dan setelah semua itu berhasil dia kembali dan merusaknya lagi." Kataku masih dalam tangis yang terisak.

Ayu menghampiriku sekarang, dia duduk dan mengelus pundakku. Aku masih saja dalam tangis. Kemudian dia berkata.

"Berarti saat ini Allah sedang mencintaimu. Ketika Allah mencintai seorang hamba dia akan menimpakan cobaan kepada hambaNya, dan jika kau bisa melewatinya dengan tetap berbuat baik dan tidak menyakiti siapa pun maka Ia akan mengangkat derajatmu."

Aku mulai bisa mengontrol emosiku setelah mendengar ucapannya. Tangisku mulai sedikit reda. Ayu pun beranjak dan mengambilkan teh hangat untukku. Tak lama berselang ada yang mengetuk pintu.

"Tok...tok..tokk."

"Sebentarr..." Kata Ayu sambil berteriak dari dapur.

"Tunggu, biar aku saja." Kata ku sambil beranjak dan berjalan menuju pintu.

"Assalamualaikum." Ujar orang itu ketika aku sudah membuka pintu.

"Waalaikumusalam, maaf cari siapa ya?" Kata ku bingung. Aku asing dengan orang itu karena orang itu bukan temanku atau teman Ayu. Sebelum aku mulai bertanya lagi, Fikri suami Ayu pun muncul.

"Oh.... Ken. Sudah aku tunggu dari tadi, mari silahkan masuk." Kata Fikri sambil mengandeng tangan Ken. Aku pun menyingkir dan mempersilahkannya masuk.

" Oh iya sampai lupa. Mary kenalkan ini Ken, dia temanku yang pilot, aku pernah menceritakannya padamu kan? Nah, Ken kenalkan ini Maryam, dia sahabat istriku yang sekarang sedang dinas di sini. Dia seorang penulis loh." Kata Fikri.

Aku hanya tersenyum tersipu mendengar ucapannya. Aku pun bergegas menghampiri Ayu yang sedang membuat teh.

"Maryam siapa yang datang, kayanya mas Fikri sampai turun juga ya?" Kata Ayu yang sedang mengaduk teh.

"Oh itu, temannya yang pilot."

"Oh si Ken. Iya memang dia teman mas Fikri sewaktu kuliah dulu."

"Lah bukannya Fikri itu kuliahnya Teknik Elektro, Ay?"

"Iya, jadi sewaktu semester satu Ken sempat satu kuliah sama mas Fikri. Ketika tau di terima di STPI dia pun hijrah kesana."

"Oh seperti itu."

"Yaudah yuk kedepan."

Aku dan Ayu pun melangkahkan kaki kami ke depan. Dengan membawa teh manis hangat dan beberapa kue kering.

"Wah ada tamu jauh, mari mari diminum dulu tehnya." Ucap Ayu ramah.

"Iya terima kasih Yu."

"Ken, tumben ke Bandung. Ada pekerjaan kah?"

"Oh enggak Yu. Kesini cuma mau jalan-jalan. Niatnya mau minta temani Fikri untuk jadi tourguide."

"Iya, dia memintaku menemani selama dia di Bandung, tapi sayangnya pekerjaanku gak mendukung. Jadi....." Kata Fikri yang mulai melirik kearahku. Perasaanku mulai tidak enak, pasti ada apa-apanya.

"Maryam kamu maukan sementara jadi tourguide-nya? Kamukan penulis artikel bebas. Mau ya Maryam." Katanya lagi yang sudah aku tebak akan seperti ini.

"Mas, Maryam kan sibuk." Kata Ayu yang mulai melirik Fikri.

"Gapapa Ay, jalan-jalannya sekalian buat ngambil foto buat artikel." Kataku.

"Tuh kan Maryam setuju Ay. Yaudah, mari diminum sebelum dingin tehnya." Kata Fikri.

"Mulai kapan saya menemani mas di Bandung?" Kata ku kepada Ken.

"Kalau besok gimana? Kamu bisa?"

"In shaa Allah bisa mas." Kataku dan kami semua pun menutup malam dengan teh serta perbincangan.

Sebagian orang percaya bahwa teh bisa merelaksasikan pikiran. Menjernihkannya dan menetramkan hati. Aku rasa iman dalam diri seseorang pun layaknya teh, menetramkan dan merelaksasi. Ketika kalut dan takut bergelayut dalam hati, hanya kepada Tuhan tempat kembali.

*to be continue

-Hana Larasati.

Sesuci Maryam

Temaram lampu di sekitaran jalan Asia-Afrika menjadi penerangku malam ini. Aku masih metap foto mu lekat. Satu-satunya foto yang aku punya.

Kau tersenyum manis di sana. Kau terlihat bahagia. Semoga kebahagiaanmu masih bertahta setelah dulu aku rengut dengan sengaja.

Aku tidak begitu paham bagaimana perasaan ini bermula. Aku merasa kau wanita pertama yang membuat aku merasa perasaan ini untuk pertama kalinya.

Rasanya ingin aku mengulang. Tapi ekspektasi itu terlalu tinggi rupanya. Kau benar-benar serius dengan ucapanmu. Kau pergi. Sebelum aku sempat mengemis dan memohon agar kau tetap di sini.

Sangat dalam lukamu itu sayang. Tidak sampai hati aku membayangkan bagaimana air mata mu berlinang dan nafasmu tersekat sangking sedihnya.

Sering aku menyesal kenapa kau harus mengenal aku. Kau mungkin bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik selainku. Yang bisa menjaga hatimu bukan mematahkannya sepertiku.

"Masih di pandang aja, Ziq." Suara itu memecahkan lamunanku.

"Iya."

"Rindu?"

"Mungkin."

"Gak mencoba untuk menghubungi?"

"Aku tidak ingin merusak kebahagiaannya lagi."

"Jika dia perempuan baik dia pasti sudah memaafkanmu."

"Dia memang sudah memaafkanku. Mengikhlaskan pun juga iya. Tapi apa kau lupa tentang melupakan? Dia tidak akan pernah melupakannya."

"Sebegitu parahnya kah kau menyakitinya?"

"Sangat. Sangat parah."

"Terkadang memang maaf tidak pernah sepaket dengan lupa."

Ya sepertinya aku setuju dengan ucapannya. Maaf tidak pernah sepaket dengan lupa. Aku masih tengelam dengan pemikiranku. Fotomu masih menjadi fokusku. Tak peduli dengan ramainya hilir mudik orang yang berjalan di jalan Asia-Afrika atau  malam yang semakin kelabu.

"Sampai ketemu besok ya Maryam." Ujar seorang wanita.

Seketika aku menolehkan pandanganku. Fokusku beralih. Nama itu. Tapi ah tidak mungkin, nama Maryam banyak di kota Bandung ini. Sepertinya memang aku benar-benar rindu.

" Males ah ketemu kamu haha. Iya hati-hati di jalan ya." Ejek perempuan yang aku kenal betul suaranya. Dia mengenakan kerudung merah marun malam ini dengan baju terusan panjang warna hitam. Masih sama seperti 4 tahun yang lalu. Manis.

Dia lewat saja di depan ku. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku. Atau dia lupa denganku. Aku lebih suka dia melupakanku dari pada harus ingan tapi dengan kenangan pahit yang membuntuti.

"Maryam.. Woi Mary." Tak ku sangka Riza memanggilnya. Aku tertegun. Seketika dia menghentikan langkahnya. Dia menoleh dan menghampiri kami. Jantungku sudah tak aku mengerti bagaimana iramanya.

"Kamu Riza kan, teman SMA dulu?"

"Iya iya benar. Kalau sama dia masih ingat gak?" Kata Riza.

Dia pun mulai menoleh ke arah ku. Dia kaget sekali. Aku masih bisa melihat ada luka di mata beningnya ketika dia menatapku. Seakan melihat hantu, dia pun bergegas pergi tanpa mengucapkan salam.

"Kejar!" Bentak Riza.

"Aku tidak ingin melukainya."

"Karena sikapmu yang tidak ingin membuatnya terluka justru itu yang selama ini melukainya. "

"Aku takut."

"Dasar pengecut! Penjelasanmu yang ia butuhkan selama ini."

"Kejarlah! Kalau pun dia tidak percaya dengan ucapanmu setidaknya kamu sudah mengatakan hal yang benar."

Aku pun menuruti ucapan Riza. Aku buru-buru berlari mengejarnya. Sedikit sulit menemukannya di tengah keramaian kota Bandung. Hilir mudik orang yang lewat benar-benar menyulitkan aku untuk menemuinya.

Aku terus berjalan. Beharap bisa menemukan sosoknya. Lama tak aku temukan dia. Lelah dan pasrah mulai mengelayuti ku. Langkahku benar-benar tak tau arah sekarang.

Dia duduk menyendiri di pinggiran jalan. Tatapan matanya kosong. Aku berjalan mendekat. Dia pun menoleh. Seketika dia bangkit dan berjalan pergi.

"Aku mohon, sekali saja dengarkan aku." Kataku sambil memengang tas selempangnya.

"Lepas. Selagi aku memintanya dengan baik." Katanya dingin.

"Bukan maksudku meninggalkanmu tanpa kabar waktu itu."

"Kau selalu seperti itu."

"Aku hanya bercanda saat itu Maryam. "

"Kau pikir itu lucu? Hampir 3 jam aku mati beku menunggumu dalam dingin di puncak pangrango."

"Maafkan aku."

"Apa perlu waktu hingga 4 tahun untuk bilang maaf?"

" Berhentilah bersikap kejam bagai Hitler, Maryam."

"Kau pikir meninggalkan perempuan yang hampir mati beku itu bukan sikap yang kejam?" Dia murka. Aku diam.

Dia pun menghempaskan tanganku dari tasnya. Dia berjalan pergi. Aku tak kuasa lagi mengejarnya. Melihat sikapnya yang bahkan menatapku saja enggan membuatku makin sakit. Aku harus apa sekarang?

Aku duduk dengan luka yang semakin bertambah parah. Andai dia tau apa yang terjadi di sana waktu itu. Riza yang dari tadi mengintai kita, mulai berjalan menghampiriku.

"Kenapa kau katakan itu lagi padanya? Itu semakin membuatnya terluka. Jujurlah."

"Aku tidak kuat melihat ekspresinya jika dia tau kenyataannya."

"Kau selalu seperti itu."

"Jangan berbicara sepertinya."

"Hah, aku bingung harus dengan apa lagi menasehatimu."

"Maryam itu sensitif. Dia mudah terenyuh dan khawatir. Biarkan saja dia mengangap aku yang jahat."

"Setidaknya kalau kau jujur kalian bisa berbaikan. Saling berbincang, bergandengan...."

"Aku tidak pernah menyentuh Maryam. Walaupun hanya tangan."

"Are you sure? Lalu yang naik gunung waktu itu?"

"Kita tidak berdua saja. Dia memintaku menemaninya bersama kedua temannya. Karena itu adalah pengalaman pertamanya mendaki dan aku menghancurkanya. Semenjak saat itu dia tidak pernah mendaki lagi."

"Tapi itu bukan maumu. Jangan terus menyiksanya dengan kebohonganmu. Kata temanku lebih baik di sakiti dengan kejujuran dari pada di bahagiakan dengan kebohongan. Tapi kebohonganmu toh tidak membuatnya bahagia sedikit pun. Lalu apa maanfaatnya yang kau lakukan selama ini? Jika kejujuran dan kebohongan nilainya sama lebih baik kau jujur."

Aku terdiam mendengar ucapan Riza. Aku bingung harus bagaimana. Aku terus terpaku diam menatap bintang. Bintang itu kesukaanmu. Kau selalu tersenyum menatapnya, dan aku selalu tersenyum jika mengingat itu.

*to be continue

-Hana Larasati

Bunga di Kota Jogja

Cerita ini ibarat teori relatifitas Einstein dimana teorinya bumi mengangap matahari yang mengelilinginya dan matahari mengangap bumilah yang mengelilinginya. Dua-duanya mengangap dirinya sebagai pusat. Sama seperti kita.

Aku mengenalmu lewat kata yang bernama tidak suka. Aku sering menulis hal yang buruk tentangmu. Penghianatan, rasa sakit, kekecewaan, semuanya aku luapkan di situ. Karena memang hanya itu yang aku tau.

Tapi entahlah walaupun semua tulisanku selalu menyudutkanmu tapi dari hatiku aku tidak pernah membencimu. Aku juga tidak tau kenapa. Terserah kau mau percaya atau tidak. Kali ini aku serius dengan ucapanku.

Ini lucu biasanya pertemanan di awali dengan pertemuan yang baik, saling sapa, bertukar hadiah. Tapi kita aneh ke salah pahaman yang membuat kita akhirnya berteman.

Dimulai dari tulisan ke 26  ku, kamu mulai menegurku. Aku menulis hanya dengan pengetahuanku yang selama ini aku tau. Seperti yang bisa kalian duga. Aku murka, aku angap kau pengangu, aku marah padamu.

Kita pun beradu argumen. Saat itu, aku seperti biasa tidak mau mengalah. Hingga kau jelaskan semuanya padaku. Bukan kau perebutnya, kita hanya kurang komunikasi.

Kali ini bukan sakit hati lagi yang aku terima tapi rasa lega. Aku benar-benar tertawa saat itu. Haruskah aku menunggu hingga 2 tahun untuk tau semua ini?

Sepertinya prinsip kita sama. Lebih baik di sakiti dengan kejujuran dari pada di bahagiakan dengan kebohongan. Bukan tangis yang aku rasakan tapi tawa gembira yang aku ungkapkan lewat tulisan ini.

Rasanya aku ingin memelukmu. Tapi kamu terlalu jauh. Ah entahlah lagi-lagi jarak yang membuatnya rumit. Sekarang kamu benar-benar menjadi perempuan kesayanganku.

Sepertinya apa yang aku tuliskan benar-benar menjadi doa atau intuisiku? Ya banyak orang yang bilang intuisi perempuan itu kuat. Dari dulu aku memang tidak pernah menyimpan benci padamu. Sudah aku katakan kan.

Sudah aku duga. Kamu menyenangkan dan ramah. Intuisiku benar-benar tepat. Aku senang bisa mengenalmu, semoga kau juga begitu. Sayang sekali 2 tahun hanya di habiskan untuk saling benci dan caci.

Tapi kini kita sudah melepas topengnya masing-masing. Dua perempuan yang bernama sama. Aku terjemahan namamu dalam bahasa Jepang, dan kamu adalah arti namaku. Hana dan Bunga.

Menyalahkan orang yang membuat kita salah paham? Ah sudahlah aku sudah sangat amat lelah dengan semuanya. Tidak ada yang taukan rasanya 2 tahun berjuang dengan luka. SENDIRIAN.

Kau harus berusaha bangun, menopang tubuhmu, hatimu, kepercayaanmu. Setelah kau berhasil, luka itu mengahajarmu lagi dan kau harus berusaha bangkit kembali. Begitu terus. Berulang-ulang.

Meminta Allah untuk menghukum pun rasanya aku benar-benar malas. Aku hanya bersyukur pada Allah tidak ada kesalah pahaman lagi di antara kita dan sepertinya aku sudah bisa melaksanakan wasiat sang nabi : "Jadilah hamba-hamba yang bersaudara."

Ini adalah tantangan hari terakhir. Terima kasih. Lewat 30 day writing challenge aku menemukan musuhku. Yang sekarang jadi sahabat baik ku. Semoga kita bisa lebih baik. For your information tulisan ini gak di bawah tekanan loh hahah.

Teruntuk Bunga Permata Adviani. :D

-Hana Larasati

Minggu, 13 Maret 2016

Untuk Perempuan Kesayanganku

Mungkin dulu beda antara kau, aku, dan dia sering jadi sengketa, karena pembenaran diri sendiri sering kita tinggikan di atas kebenaran yang sesungguhnya. Tidak ada yang mau mengalah jika perasaan sudah berbicara. Karena satu kesalahanmu padaku seolah menghapus sejuta kebaikan yang belum aku tau. Seketika wasiat Sang Nabi itu rasanya berat sekali: “jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara”

Pertama kali aku tau kau, aku menilai kau adalah gadis yang riang, cerdas, dan mudah bergaul. Pernah terbesit hayalan kita akan mengelilingi kota Jogja bertiga. Aku, kau dan dia. Yah walaupun kita mungkin belum kenal dengan baik tapi aku yakin kau akan menjadi teman yang baik. Aku sempat memintanya untuk membawa aku dan kau jalan bertiga. Permintaan itu jauh sebelum aku tau kau dan dia telah bersama. Tapi responnya hanya diam, dan dia pun mengalihkan pembicaraan.

Dia adalah orang yang baik, aku bersyukur kau yang menjaganya di sana. Sakit hati itu pasti, tapi bukan berarti harus benci. Demi Allah aku selalu merasa senang jika bercakap-cakap denganmu. Walaupun temanya yang membuat aku muak. Tentang salah paham. Aku merasa ada kemiripan di antara kita. Namaku Hana yang jika di terjemahkan dalam bahasa jepang artinya adalah namamu. Wajah kita pun kata teman-temanku mirip, yah tapi aku berani bertaruh kau pasti jauh lebih cantik.

Penulis memang seperti itu, sering membuat orang salah paham. Kau tidak sepenuhnya salah dan aku pun tidak sepenuhnya benar. Aku juga sering mengambil objek dari masa lalu. Kemudian aku jadikan fiksi di saat imajinasiku buntu. Tapi bukan berarti apa yang kamu baca selalu kamu dan yang aku tulis pasti aku.

Aku tidak menyalahkanmu tentamg presepsimu padaku. Karena objek dan latar tempat yang sangat mendekati serta ceritanya memang hampir sama dengan cerita masalaluku. Jadi, maafkan aku telah membuatmu salah paham.

Suatu hari nanti aku akan mengenalkan kalian pada sosok yang selalu aku puji dalam ceritaku. Dia adalah objek tulisanku selama ini. Supaya tidak ada salah paham lagi di antara kita.

Tapi mungkin berpisah sementara ini lebih baik bagi kita, sejenak saja menjadi kepompong dan menyendiri berdiri malam-malam, bersujud dalam-dalam bertafakkur bersama iman yang menerangi hati hingga tiba waktunya menjadi kupu-kupu yang terbang menari melantun kebaikan di antara bunga, menebar keindahan pada dunia.

Aku sangat ingin menjadi sahabatmu. Jadi maukah kau memaafkanku atas semuannya?

-Hana Larasati

Sabtu, 12 Maret 2016

Sehari Menjadi Anak Palestina

Pagi ini masih sama seperti pagi yang sebelumnya penuh kegaduhan dan jerit tangis. Jika anak yang lain menyambut paginya dengan sarapan masakan bunda. Lain halnya dengan ku, yang menyambut pagi dengan dentuman senjata.

Aku saja sampai lupa kapan terakhir kali aku makan dengan perasaan tenang. Saat ini bisa meminum segelas air putih untuk sarapan saja, aku sudah bersyukur.

Aku heran kenapa kamu berkata Allah tidak adil padamu? Tidak kah kau berpikir tentangku? Berhentilah mencaci Tuhan. Sesunguhnya hidupmu masih lebih baik dari keadaanku saat ini yang setiap tidur masih berpikir. "Akan bangunkah aku besok?"

Kamu tau rudal  tentara Israel tidak pernah pasti waktu jatuhnya. ketika aku tidur, aku hanya berdoa.
"Allah, aku serahkan ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Engkau. Jika aku mati, matikanlah aku dalam keadaan syahid."
Aku sangat  menghargai setiap helaan nafas yang keluar dari hidungku. Aku bersyukur Allah masih memberiku nikmat umur panjang.

Kamu mengeluh tentang ayahmu yang pengatur? Aku malah bersyukur jika masih ada ayah di sisiku. Ayahku meninggal di medan perang, ketika tentara israel menuduhnya sebagai pemberontak.

Aku melihatnya saat itu. Ayah menyangkal semuanya. Tapi tentara itu tidak mau tau. Dua peluru menembus dada ayah dan saat itu terucap kalimat tauhid dari mulutnya. Ayahku syahid di sana.

Kamu tau bagaimana sakitnya aku? Ketika orang yang aku cintai mati di depan mataku? Aku menangis sejadi-jadinya di depan jasad ayahku. Tapi ibu berkata.
"Ayahmu, akan bersama Allah di surga. Yang menjemput ayah pun malaikat pilihan Allah. Jadi tenanglah dan doakan ia." 

Tidak pernahkah kau berpikir tentang aku? Buat kami jihad adalah harga mati. Sekarang aku yang mengantikan tugas ayah untuk menjaga ibu dan saudari perempuanku.

Usiaku baru 15 tahun saat ini. Tapi aku harus mengangkat senjata. Sedang apa kalian di usiaku saat ini? Pasti sedang bermain dan belajar. Hah itu adalah hal yang mewah untuk kami, anak-anak Palestina.

Siang begitu terik di sini. Patroli para tentara yang hilir mudik bukan menjadi hal yang asing buatku. Ketika kami pulang sekolah bukan ibu atau makan siang yang menyambut kami tapi pekerjaan. Kami harus bertahan hidup di sini. Bahan makanan semakin menipis dan harga pun mulai melonjak.

Hari terasa singkat jika berada sini. Siang berlalu bagai kuda pacu. Kini sore mulai menyapa kami. Sejnak melepas penat aku dan sahabatku bermain bola di sini. Tapi kita tidak bisa menerka keadaan jika sedang di sini.

Suara rudal tiba-tiba mengelegar. Seketika langit keruh karena asap. Aku berlari kencang saat itu. Menghampiri ibu dan saudari perempuanku.

"Brukk.." Bangunan itu tiba-tiba runtuh ke arahku. Akibat gempuran rudal yang mengenai pondasi bagunan.

"Allahu Akbar." Aku berteriak sekencang kencangnya. Kakiku tertindih tembok beton itu. Alhamdulillah ada seseorang yang mendengar suaraku dan dia menolongku. Dia memapah ku ke camp camp pengungsian.

Dengan tertatih aku berjalan mencari ibu dan saudari perempuanku di camp itu. Alhamdulillah Allah masihbmenyrlamatkan kami semua. Malam ini kami tutup dengan doa serta syukur. Kami masih Allah izinkan untuk berkumpul.

Tulisan ini di buat agar kita melihat bagaimana keadaan saudara kita di sana. Ini hanya pengalan dari kesakitan dan tekanan yang mereka rasakan. Bukan dengan bahagia kita bersyukur tapi dengan bersyukur kita akan bahagia.

-Hana Larasati

Jumat, 11 Maret 2016

Cerita Seorang Kakek Tua

"Bukan bahagia yang membuat engkau bersyukur, tapi bersyukurlah yang membuat engkau akan bahagia."

Siang itu ketika aku sedang berjalan di bilangan Jakarta Selatan tepatnya di suatu perumahan elit Jakarta. Aku melihat ada seorang kakek-kakek tua yang membawa peralatan bersih-bersih.

Pakainya layak namun jauh dari kata indah. Umurnya aku taksir sekitar 70 tahun-an. Dia memakai baju biru yang sudah mulai pudar warnanya, celana hitam lusuh, sepatu yang sangat tua dan topi yang mulai robek-robek.

Ketika aku dan kakak ku lewat dia sedang duduk di pinggiran gerbang salah satu rumah besar yang ada di sana, sepertinya dia ingin makan siang. Kakak ku sendiri adalah tipe orang yang tidak tegaan. Dia selalu tidak tega melihat keadaan orang yang seperti itu.

Akhirnya kami pun melipir menghampiri kakek tua itu. Sangat mengenaskan, makan siang yang dia makan hanya sepotong roti harga seribuan yang  agak mulai berjamur dan bakwan goreng 2 buah. Miris sangat miris. Keadaannya dan tempat yang dia duduki sangat berbanding terbalik.

Ditengah-tengah rumah yang megah dan indah ini apa tidak ada yang terketuk pintu hatinya untuk sekedar memberi makan siang yang layak untuk kakek ini? Hanya makan siang. Kakak ku pun memberinya sedikit rezeki. Memang jauh dari kata cukup tapi setidaknya kami sudah memiliki niat untuk membantunya.

Yang membuatku salut. Di saat yang muda dan gagah memilih untuk mengemis kakek itu memilih bekerja walau hanya sebagai tukang sapu komplek, tapi menurutku derajatnya lebih tinggi dari seorang pengemis atau pengangguran yang menjadi sampah negara. Aku lebih respect pada kakek itu karena kakek itu tetap memilih bekerja keras  walaupun usianya sudah senja.

Untuk yang masih mengeluh tentang uang jajan, kendaraan yang ketingalan zaman, atau handphone yang jadul. Belajarlah untuk melihat ke bawah. Belajarlah untuk bersyukur. Belajarlah untuk lebih peka terhadap nikmat yang Allah kasih. Jangan hanya bersyukur dari hal yang besar saja, cobalah untuk mensyukuri yang kecil. Bisa berjalan dan bernafas pun adalah nikmat. Mulai belajarlah untuk mensyukuri yang kecil dan sederhana.

-Hana Larasati

Kamis, 10 Maret 2016

Untuk Mas Gagah dari Jogja

Ini adalah tulisan terakhir yang menggambarkan kepedihanku atas kamu. Empat huruf yang mampu membalikan hidup dan kehidupanku.

Aku tipe orang yang malas membagi dukaku pada media. Ini sudah puncaknnya, salahmu yang melukai hati seorang penulis. Maka terimalah, namamu akan abadi dalam karyaku.

Kau tentunya tau, maaf tidak pernah sepaket dengan lupa. Tuhan ku memang mengajarkan aku untuk memaafkan. Tapi Ia juga menciptakan kenangan untuk mengingatkan.

Dua tahun berjuang bersama luka bukan suatu hal yang mudah. Mataku sakit, karena sering menagisi laki-laki yang memikirkanku saja tidak. Penghianatan itu masih membekas hingga kini membuat aku mengigil ketakutan jika membayangkannya kembali.

Kau tau akibat dari perbuatanmu? Aku takut untuk membuka hati pada orang lain. Aku nilai semua orang sama.  Mereka akan melakukan apa yang kau lakukan dulunpadaku. Buatmu itu urusanku bukan urusanmu. Kau selalu mementingkan dirimu sendiri. Asal kau bahagia. Tak peduli ada hati yang terluka. 

Kini kau telah bahagia bersamanya. Bersama perempuan yang kau puja. Aku? Aku juga bahagia. Merajut hikmah dari benang-benang duka yang kalian ciptakan.
Dulu air mataku selalu jatuh. Karena hatiku sangat menyayangimu, cinta pertamaku.
Tapi kini air mata itu terlalu mahal untuk menangisi seseorang yang sebenarnya tak layak aku tangisi. Buat apa menangisi orang yang mengabaikanku padahal banyak orang yang menyayangiku.

Selama ini di matamu aku yang salah, padahal kau tidak pernah  mengajarkan aku caranya benar. Mulutmu selalu mengisyaratkanku untuk tinggal tapi sikapmu mendorongku untuk pergi.

Aku bukan wanita yang tanpa harga diri. Kini aku memutuskan untuk pergi. Perbuatanmu sudah sampai pada ambangku. Mungkin perempuan itu yang baik untukmu. Selamat tinggal cinta pertamaku.

Terima kasih berkatmu aku tau mana yang benar-benar menyayangiku dan mana yang hanya bisa menyakitiku. Aku berharap suatu saat kita akan bertemu lagi. Tanpa luka. Ketika saat itu tiba aku sudah bisa tersenyum lebar saat melihatmu.

-Hana Larasati

Rabu, 09 Maret 2016

Dalam Dekapan Ukhuwah.

Kamu menyelamatkan ku dari gulita. Di saat hati patah dan pasrah mulai mengelayuti jiwa. Allah sangat jauh dari ku saat itu. Aku pun tidak ada niat untuk mencoba dekat padaNya.

Saat itu hidupku benar-benar tersesaat pada lembah kecewa. Yang awannya selalu kelabu dan anginnya dingin membekukan raga. Aku bingung harus lari kemana. Bercerita pun ku rasa percuma tak ada yang memahami segala kata.

Tiba-tiba kau datang dengan cahaya. Senyum tulus yang terkembang dari bibirmu seakan menjadi telaga. Kau mengajakku bangkit tapi tidak dengan mencela. Uluran tangan lembutmu tanpa paksa menopangku untuk berdiri saat itu.

Tapi air mata ini belum kering ternyata. Sehingga kau hapus dengan tutur kata mu yang lemah lembut. Kau berkata "Allah itu maha kuasa. Mendekatlah. Sapa Dia. Maka Dia akan mendekapmu dengan cinta." dan benar saja. Luka itu seperti mendapatkan obatnya.

Sejak saat itu aku mulai mencari tau siapa Tuhanku. Aku baca kitab suci sesuai saranmu. Seketika aku terenyuh. Kenapa aku jauhi hal yang selama ini ternyata selalu dekat padaku? Bahkan Dia lebih dekat dari urat nadiku.

Banyak hal yang Dia berikan untukku. Tapi selalu aku dustakan segala nikmatNya. Untunglah ia Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Memberi kesempatanku untuk pulang dan mengejarNya. 

Mulai saat itu aku terus memahami agamaNya. Aku terus menyelami ajaran-ajaran Rasull Nya. Makin lama aku makin cinta padaNya.

Terima kasih sahabatku. Dalam dekapanmu aku tau apa itu rindu menyapa Tuhanku, aku menikmati setiap sujud panjang di tengah malamku. Aku bahagia, dan lupa dengan segala kecewaku. Sekali lagi terima kasih.

Ketika kecewa sebagian orang memilih untuk menjadi hancur dan sebagiannya lagi bangkit dengan gagah perkasa. Aku pernah menjadi keduanya. Tapi berkat para sahabat terbaiku aku bisa memaknai kecewa. Bukan untuk di tangisi tapi untuk di jalani. Semoga Allah menjaga pershabatan kita. Tidak hanya di dunia tapi sampai di surga.

Teruntuk Ayu Meidhita dan Ria Tita.

-Hana Larasati



Senin, 07 Maret 2016

Hujan dan Percakapan

Kita masih saja terperangkap diam di tengah dinginnya hujan. Di temani teh hangat dan kue kering coklat buatan ibu sembari membaca buku.

Kamu masih saja menatapku. Mata bulatmu yang penuh tanya tak lepas kau sorotkan pada wajahku. Seakan membuncah pemikiran dalam otakmu yang ingin kau sampaikan padaku.

Akhirnya kau mulai menyerah juga dengan gengsimu. Rupanya kau kalah kali ini. Kau tidak bisa menemukan jawaban dari  pertanyaanmu sendiri. Kau mulai berjalan ragu ke arahku kemudian duduk dengan cangung di sampingku.

"Mba, apa aku boleh bertanya sesuatu?"

"Tentu. Tanyakan apa yang ingin kau tanyakan."

"Kenapa cinta itu hanya awalnya manis tapi akhirnya menyakitkan? "

Aku kaget dengan pertanyaannya. Selama ini aku selalu mengagapnya masih anak-anak. Ternyata adikku sudah mulai remaja.

Walaupun menurutku kamu masih terlalu kecil untuk paham. Tapi baiklah akan aku beritau sebisaku. Toh kata orang ingatan masa kecil itu yang paling kuat dan membekas.

"Cinta itu hakikatnya menjaga. Jika menyakiti atau merusak itu bukan cinta tapi nafsu."

"Apa ada pembeda cinta yang benar dengan yang hanya nafsu saja mba? Mereka benar-benar sulit di bedakan."

"Ada. Cinta yang benar menjadikan Allah sebagai pondasinya. Maka dari itu ia akan selalu menjaga dan tidak menyakiti. Iramanya santun dan lemah lembut bukan hanya di awal tapi sampai akhir." Lalu aku melanjutkan ucapanku.

"Beda dengan nafsu yang hanya mengebu-gebu di awal dan padam seiring berjalannya waktu."

Dia masih menatap wajahku. Sepertinya perasaannya gusar.

"Ada apa? Apa ada yang menyakitimu?" Kataku sambil menutup buku yang dari tadi aku baca.

"Tidak. Hanya tertipu harapan palsu."

"Haha. Aku pernah mengantungkan harapan pada selainNya dan yang paling sakit hempasannya adalah harapan pada manusia. Sejak saat itu aku hanya berharap padaNya."

"Apa itu yang membuat mba memutuskan untuk tidak membuka hati?"

"Hatiku selalu terbuka pada siapa pun. Yang aku tidak buka adalah peluang untuk pacaran."

"Ya maksudku itu. Kenapa?"

"Menurutku hidup itu penuh dengan pilihan. Begitu juga menjadi wanita. Kita bisa memilih menjadi sebesar-besarnya fitnah atau sebaik-baiknya perhiasan."

"Kalau ada yang bilang munafik?"

"Setiap orang punya hak untuk berbicara. Yang tau kita 100% itu hanya Allah."

"Aku selalu berhayal mendapatkan laki-laki yang perangainya seperti Nabi Muhammad yang santun dan menghargai wanita."

"Jika mengharap ingin mendapatkan seperti Muhammad maka Aisyah kan dirimu. Begitu pun sebaliknya. Bukankah jodohmu cerminanmu?"

"Benar mba. Tapi jujur hatiku masih sangat sakit mba."

"Sudah maafkan dan ikhlaskanlah."

"Aku sudah memaafkannya mba. Tapi luka dan lupa sepertinya sulit hilang."

"Tidak apa-apa kamu belum bisa melupakan kenangan. Toh kenangan itu di ciptakan untuk di ingat bukan untuk di lupakan. Jadikan kenangan itu sebagai penanda supaya kamu tidak terjerembab lagi."

"Benar mba. Lantas kapan mba ku ini menyusul teman-temannya menikah. Mas  pilot masih setia menunggumu loh mba." Ledeknya.

"Hahaha kamu."

"Aku serius loh nanyanya."

"Selain rasa dan logika cinta juga butuh iman. Supaya jangkarnya kuat. Supaya berkahnya terasa."

"Setelah iman cinta juga butuh imam loh mba haha." Dia pun tertawa dan berlari ke kamarnya.

Kita pun menutup malam dengan hangat percakapan. Cinta itu hakikatnya menjaga. Jika ia merusak atau menyakiti itu bukan cinta tapi nafsu. Cinta juga harusnya mengarahkan ke jalan yang lebih baik layaknya pilot pada pesawat. Karena cinta adalah salah satu berkah dari Allah.

-Hana Larasati

Bogor dan Calon Imam.

(Fiksi lanjutan Kue Coklat)

Rindang dedaunan Bogor yang asri menyapaku kali ini. Baru semalam aku bertanya pada hati kapan aku akan kembali ke sini.

Tak banyak yang berubah dari kota hujan ini. Masih menyenangkan sama seperti dua tahun yang lalu.

Aku terus melangkahkan kaki di dalam kebun raya. Suasana yang asri dan sejuk benar-benar menunjukan betapa besar karunia dari Tuhan.

Jika dulu aku kesini seorang diri kini ada kamu yang menemani langkahku. Kita sama-sama berjalan menyusuri kebun raya. Menikmati rindang pohon dan senjuknya udara sekalian bersyukur supaya tidak ada nikmat Tuhan yang bisa kita dustakan.

Langkah kita membawa ke danau teratai. Kau menghentikan langkahmu. Wajahmu terlihat risau kali ini. Seperti ada yang ingin kau bicarakan tapi kau takut untuk menyampaikan.

"Apa apa?" Kata ku

"Tidak ada apa-apa."

"Benarkah? Kata tidak apa-apa itu artinya misteri loh."

"Iya, benar tidak ada apa-apa."

Walaupun tidak yakin dengan jawabannya tapi aku menghormati keputusannya untuk tidak bercerita. Kami pun melanjutkan perjalanan kami. Tak berapa lama melangkah dia yang berjalan di belakangku tiba-tiba menarik tali tas ku.

"Hana.. aku ingin bicara sesuatu."

"Baik, katakanlah." Kata ku yang mulai berbalik menghadapnya.

"Aku sudah menahannya sebisaku. Kau pun tau itu. Lima tahun aku bisu dan memendam perasaan ini sendiri. Aku tau dulu aku pernah menyakitimu. Aku minta maaf untuk semua itu. "

"Bukannya sudah aku bilang. Aku sudah memaafkanmu dari pertama aku tau. Lalu?"

"Hana, Demi Allah ini di luar kapasitasku. Aku sayang kamu."

Aku pun tertegun mendengar ucapannya. Aku tidak tau apa aku di bohongi lagi atau dia benar-benar serius kali ini. Tapi kita semua sepakat maaf tidak pernah sepaket dengan lupa.

"Mikail, aku benar-benar berterima kasih. Tapi kamu juga harus tau maaf tidak pernah sepaket dengan lupa."

"Ya aku tau. Memang aku yang harus tau diri."

"Tapiii..

"Sayangnya luka itu sudah sembuh kini and for your information. Namamu masih menjadi trending topik ku dengan Tuhan."

"Jadii.."

"Apa?"

"Jadi kamu juga masih mencintaiku?"

"Iya." Kata ku malu.

"Apa aku tidak dengar?"

"Yes, i love you too, mas."

Matanya pun berkaca-kaca. Senyumnya merekah. Ya memang benar dulu aku pernah bersumpah tak sudi lagi jatuh cinta. Tapi wanita mana yang sangup hidup sendiri di dunia ini. Dia menebus kesalahannya dengan tekatnya dan aku menghargai itu. Toh hati manusia pun sifatnya berbolak-balik.

Kita menutupnya sangat manis kali ini. Bukan senja lagi yang menjadi saksi tapi kebun raya Bogor yang asri. Dia menatapku sekali lagi. Kali ini dia mulai merogoh saku kemejanya.

"Hana, will you marry me?" Dia mengeluarkan kotak cincin. Aku benar-benar di buat bingung sekarang.

"Yes, I will."

Dia pun tersenyum menatapku. Tidak ada solusi untuk dua orang yang sedang jatuh cinta selain menikah. Aku masih menatapnya lekat. Selain mendapatkan pemandangan yang indah di kebun raya ini aku pun mendapatkan calon imamku. Semoga bukan hanya disini kita di persatukan tapi sampai nanti, di surga.

-Hana Larasati

Minggu, 06 Maret 2016

Kue Coklat

Kata orang, hidup ini memang tentang menunggu. Menunggu sampai  kita menyadari kapan kita akan beranjak dan melangkah pergi dari apa yang kita tunggu.

Aku masih menunggu kedatangannya di dalam cafe yang tidak terlalu besar. Aku memesan kue coklat kesukaanmu. Bukan karena aku suka coklat tapi aku suka ketika melihat kue ini, aku teringat ekspresimu yang gembira ketika memakannya. Lebih tepatnya aku suka membayangkan wajahmu.

"Kak Mikail.." seru seorang pemuda yang sekarang berjalan menuju ke arahku. Pemuda itu berwajah manis kulitnya kecoklatan dan matanya agak sipit. Mirip sepertimu. Pemuda itu tidak lain adalah sepupumu.

"Assalamualaikum, Hilman."

"Eh iya, wa'alaikumusalam kak. Hehe."

"Oh iya ada apa kak manggil Ilman ke sini?" Lanjutnya sembari duduk di sebelahku yang masih mengenakan seragam sekolahnya.

"Gak ada apa-apa aku cuma mau tanya soal Hana."

"Oh mba Hana. Jadi kapan kakak berhenti menunggu mba ku?" Ledeknya.

"Sepertinya satu bulan yang lalu. Sejak dia meminta supaya aku berhenti menunggunya."

"Mba Hana bilang kakak jangan menunggunya?"

"Ndak.. Hana gak pernah bilang seperti itu. Tapi dari gelagatnya aku paham dia tidak mau aku tunggu."

"Tau apa kakak soal mbaku. Mba ku itu susah di tebak."

"Intuisi ku yang bilang. Aku tau Hana, apa yang sudah menjadi katanya ya itu tidak bisa di ganggu gugat."

"Bagaimana bila suatu saat Allah membolak-balikan hati mba ku apa kakak benar-benar tidak mau kembali padanya?"

"Suatu saat itu kapan Man?"

"Aku gak bisa menargetkannya kak. Aku gak punya kalkulasi yang tepat. Mungkin 2 atau 4 tahun setelah mba ku lulus?"

"Yang aku percaya apa-apa yang melewatkanku sudah pasti bukan menjadi takdirku dan apa pun yang menjadi takdirku sudah pasti tidak akan melewatkanku."

Lama tak ada percakapan antara aku dan adik sepupu kesayangan Hana. Hanya suara rintik-rintik hujan mulai menguyur Jakarta yang membuat suasana tidak terlalu sepi.

"Di minum dulu Man." Kata ku sambil menyodorkan capuccino hangat kesukan Hilman.

"Makasih kak."

"Man, apa Hana masih sangat menyayangi laki-laki itu?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutku. Itu adalah pertanyaan yang selama ini hanya menjadi endapan dalam kalbu.

"Kayanya udah enggak kak."

"Tapi tulisannya..."

"Kan gak semua yang mba Hana tulis itu adalah dia dan gak semua yang kakak baca itu adalah laki-laki itu."

"Oh seperti itu."

"Jadi apa kakak masih mau menunggu mba Hana?"

"Sepertinya enggak Man." Seketika muncul gurat kekecewaan dari raut wajahnya.

"Aku cuma belum berhenti mendoakannya." Lanjutku dan dia pun tersenyum ke arahku sambil menghabis kan minumannya.

Aku tidak tau apa yang aku lakukan ini benar atau salah. Aku juga tidak peduli pemikiran orang terhadapku. Biarkan saja mereka menganggap aku bodoh yang rela menunggu hingga 6 tahun lamanya.

Toh hidup ini juga seperti kue coklat. Karena tidak seutuhnya coklat itu manis pasti ada rasa pahit yang membuatnya menjadi khas. Sama seperti hidup harus ada pengalaman pahit supaya hidup mu menjadi khas.

-Hana Larasati

Sabtu, 05 Maret 2016

Bekerja Dengan Hobi

Kebanyakan dari kita menghabiskan uang demi hobi. Jarang ada yang menghasilkan uang dari hobi. Padahal jika kita melakukan pekerjaan lewat hal yang kita cintai dampaknya akan sangat bagus.

Selain bisa semakin bekerja keras kita juga bisa bekerja cerdas. Saya rasa kolaborasi dari dua unsur itu yang membuat Iwan Fals, Raditya Dika, Oki Setiana Dewi, dan Asma Nadia menjadi bukan orang yang sembarangan.

Karena ketika kita bekerja dengan mengunakan hobi lelah pun akan terasa menyenangkan karena kita melakukannya dengan ikhlas dan rasa senang.

Bagaimana Hobi menjadi Pekerjaan?

Memang sedikit sulit sih mengabungkan hobi kedalam pekerjaan yang menghasilkan uang. Tapi jika kita rajin tidak ada yang tidak mungkin. Ada beberapa cara supaya hobi menjadi lahan pencarian juga :

1. Ada Kemauan

Selama ada kemauan pasti ada jalan. Ayo coba kita ganti mindset kita. Bukan membuang uang tapi menghasilkan uang. Segala macam hobi bisa kok di jadiin bisnis. Bahkan hobi yang di luar batas kewajaran pun bisa kita jadikan bisnis salah satu contohnya panjat tebing. Kalau kita benar-benar tekuni bidang itu, kita bisa menjadikan panjat tebing sebagai bisnis. Contohnya jadi pemandu para pemula. Selain bisa menyalurkan hobi kita juga bisa mendapatkan uang dari orang yang kita pandu tersebut.

2. Yakin

Bukan susah yang membuat takut. Tapi takut yang membuatnya susah. Ketika kita yakin bahwa hobi kita bisa di jadiin bisnis maka hayalan kita akan terwujud. Yang harus di pupuk adalah keyakinan dalam diri sendiri.

3. Pantang Menyerah

Seorang yang sukses adalah orang yang pantang menyerah. Maksimalkan hobi yang kita punya dan jangan mudah menyerah dalam setiap tantangan. Walaupun banyak yang meragukan tapi tutup telinga saja lakukan apa yang menurut kamu positif dan tidak merusak.

Melakukan pekerjaan dengan hati, memang jarang sekali terjadi. Banyak dari kita hanya bekerja keras, bukan menikmati pekerjaan. Jika kamu adalah salah satu orang yang ingin keluar dari zona ini, coba buat pekerjaanmu sendiri dengan mengunakan hobi.

Lelah pun akan terasa menyenangkan ketika kita melakukannya dengan hati. Kerjakan apa yang kamu cintai dan cintai apa yang kamu kerjakan.

-Hana Larasati

Jumat, 04 Maret 2016

Kota Tua

Kita selalu di pertemukan oleh senja. Setelah dermaga, kini kita bertemu di kota tua. Padahal kita tidak pernah sepakat menjadikan senja sebagai saksi. Tapi entahlah, mungkin takdir yang membuatnya sepakat.

Sudah setengah jam aku menunggu. Beruntunglah kau, aku bukan gadis perajuk. Karena kebetulan aku memang lebih suka menunggu dari pada di tunggu.

Tak lama, ragamu mulai terlihat di tengah kerumunan orang yang sedang bersenda gurau di pelataran Fatahilah. Kau berlari-lari kecil menghampiriku. Kantong plastik hitam yang kau bawa pun ikut mengayun-ayun indah di tanganmu.

"Assalamualaikum Hana." Sapa mu.

"Wa'alaykumusalam."

"Maaf lama menunggu." Katamu yang sedikit terengah-engah.

"Tidak apa-apa, aku memang lebih suka menunggu dari pada di tunggu." Jawabku sambil menyungingkan senyum ke arahnya.

" Ini buatmu." Katanya sambil menyodorkan kantong plastik hitam yang memang dari tadi menjadi fokusku.

Dengan sopan aku pun mengambilnya. Dia melihat ke arahku. Matanya mengisyaratkan aku untuk membukanya. 

Setelah ku buka, ternyata bunga mawar cantik yang ada di dalamnya. Entah harus tertawa atau bagaimana. Tapi ini lucu. Bunga mawar cantik yang bungkus plastik. Benar-benar antik.

"Maaf aku tidak tau bagaimana caranya memberikan bunga pada seorang wanita." Katanya dengan wajah yang mulai memerah. Sepertinya dia tau aku sedang menahan tawa.

" Tidak apa-apa."

"Baguslah, karena ini pertama kalinya."

"Apa aku selalu jadi yang pertama buatmu?" Kataku menyelidik.

"Iya."

"Meskipun kau tau, kau bukan yang pertama untukku?"

"Iya. Tapi aku optimis aku akan jadi yang terakhir di hidupmu." Katanya yang sekarang mulai tersenyum sembari menatap mataku.

Kita menghabiskan senja berdua. Berjalan-jalan mengitari seluruh kota tua. Tidak banyak percakapan di antara kita. Seperti yang aku bilang sebelumnya. Dia seorang introvert. Sedangkan aku, perempuan yang malas memulai percakapan duluan.

Museum wayang. Tak sedikit pun aku lihat perubahanmu sejak terakhir kali aku menghampirimu. Kita pun duduk di pelatarannya. Aku menatapnya lekat. Entah dia tau atau tidak sedang aku tatap.

"Sampai kapan?" Dia memulai percakapan.

"Maksudnya?"

"Sampai kapan aku harus menunggu jawabanmu."

"Apa kamu lelah?"

"Tidak. Hanya sedikit butuh kepastian."

"Yang paling pasti di dunia ini adalah ketidakpastian." Kata ku.

"Seperti itu ya."

"He'eh. Jika lelah. Berhentilah menunggu."

"Tidak. Cinta butuh pengorbanan. Menunggu salah satunya."

"Menurutku tidak. Pengorbanan cinta itu berjuang atau merelakan. Bukan menunggu."

"Apa kamu tidak mau aku tunggu?"

"Bukan seperti itu. Aku hanya takut kau lelah menungguku."

"Aku tidak lelah."

"Allah Maha pembolak-balik hati manusia. Jadi jangan terlalu yakin."

"Sampai kapan kamu tidak akan mempercayakan hatimu pada laki-laki?"

"Sampai ada yang bisa meyakinkanku bahwa apa yang aku pikirkan tidak seperti itu."

"Bagaimana bisa kau menuntut keyakinan tapi tidak ada satu orang pun yang boleh mencoba untuk membuatmu percaya?"

"Aku tidak tau. Yang aku tau aku tidak ingin merasakan kembali luka itu."

"Dasar keras kepala."

"Tapi kau cinta."

Kita menutupnya dengan manis kali ini. Menunggu. Aku masih ragu dengan kata-kata itu. Andai kau tau maksudku. Aku tidak mau di tunggu. Sebagai perempuan rasanya wajar jika yang aku mau adalah kau memperjuangkanku. Berjuang di jalan yang baik. Menurutku itu lebih berkelas. Dari pada sekedar menunggu.

-Hana Larasati

Rabu, 02 Maret 2016

Mercusuar

Kau berjalan menuju senja. Aku hanya membuntuti bayanganmu dari belakang. Kita sampai di dermaga tak bertuan. Tidak ada kapal yang singah. Hanya jembatan kayu yang di bentuk sedemikian rupa.

Kau mulai membuka percakapan. Percakapan singkat menunggu senja masuk ke dalam peraduan.

"Pantai ini akan semakin indah bila ada mercusuar." Begitu katamu.

"Mencusuar tanpa kapal, apa itu bukan hal yang sia-sia?"

"Aku lupa soal kapalnya. Tapi kita bisa melihat bintang di sana." Katamu membela.

"Jangan membuat benda dengan meyalahkan fungsinya."

"Bagaimana kabarmu, Hana?" Katanya menganti topik pembicaraan kita.

"Aku sangat baik. Kalau kamu?"

"Aku gugup."

Kemudian aku memutar mataku kearahnya. Fokusku sekarang beralih yang awalnya menatap senja, kini aku mulai menatap matanya.

"Kenapa?"

"Ini pertama kalinya aku mengajak perempuan berbincang."

"Dasar introvert." Kataku sambil menyungingkan senyum kearahnya.

Kita sekarang berjalan menyusuri jembatan kayu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut kami selama perjalanan. Entah kita sedang sama-sama menikmati senja atau sibuk dengan pemikiran masing-masing.

Kita menemukan sebuah tempat duduk di pinggiran dermaga. Tempat duduk kayu yang sudah termakan usia.

"Menurutmu apa itu cinta?" Dia mulai membuka percakapan lagi ketika kami baru duduk.

"Menjaga. Seperti mercusuar pada kapal."

"Mercusuar akan memberikan tanda berupa cahaya jika ada kapal yang mulai mendekat. Alasanya agar sang kapal tau bahwa ada karang yang harus di hindari supaya ia tidak karam. Begitu maksudmu mercusuar menjaga kapal?"

"Benar."

"Bagaimana menurutmu jika kapal masih bisa karam di laut yang berbadai, sedangkan mercusuar tak akan sampai memperingatkan?"

"Itu sebabnya kenapa kapal harus mempunyai nahkoda yang baik untuk mengatasi segala masalah yang datang. Seperti halnya iman dalam diri manusia. Seberapa kuatnya masalah kehidupan menguncang raganya, jika imannya kokoh ia tak akan tergoyahkan."

Dia pun terdiam mendengar pernyataanku. Pantai pun mulai di hujani dengan semburat-semburat cahaya matahari yang bersiap masuk dalam peraduan. Matanya masih saja tak mau melepaskan senja yang semakin berwarna jinga.

"Ayo kita pulang, sudah masuk waktu magrib." Katanya setelah lama hening.

"Baiklah." Kata ku yang membututinya dari belakang.

"Hana.." katanya yang sekarang mulai menghentikan langkahnya.

"Ya?" Kata ku sambil menghentikan langkahku juga.

"Jika aku mendaftar jadi nahkodamu, bagaimana jawabmu?"

Akibat dari pertanyaan itu, sekarang aku yang terdiam. Dia pun melanjutkan perjalanan sambil tersenyum. Kita sama-sama menutup senja dengan bingung. Aku bingung menjawab apa, dia pun bingung apa yang akan menjadi jawabanku.

-Hana Larasati

Percakapan

Kamu masih saja menatapku. Mata bulatmu yang penuh tanya tak lepas kau sorotkan pada wajahku. Seakan membuncah pemikiran dalam otakmu yang ingin kau sampaikan padaku.

Kamu masih terlalu kecil untuk mengerti sayang. Tapi baiklah akan aku beritau sebisaku. Toh kata orang ingatan masa kecil itu yang paling kuat dan membekas.

Bibir mungilmu mulai berujar.

"Kakak kenapa kita tidak boleh membalas orang yang sudah menyakiti kita?"

"Siapa bilang tidak boleh? Boleh tapi lebih baik jangan membalas. Nanti bagimu surga."

"Tapi kata kakak, setiap perbuatan pasti ada balasannya."

"Benar tapi hanya Allah yang berhak membalas."

Dia bertanya lagi padaku. Kali ini dia mulai duduk di pangkuanku.

"Jika kakak disakiti apa yang kakak lakukan?"

"Mendoakannya."

"Kenapa?"

"Karena doa melibatkan Tuhan. Tuhan adalah satu-satunya yang tau apa yang terbaik untuk hambaNya."

Dia tersenyum menatapku dan seketika mengecup pipiku.

"Semoga kakak jadi bidadari surga kakak ku."

"Aamiin."

Kemudian dia berlari pergi kearah pemuda yang aku tau, adalah kakaknya. Dia memeluknya erat sambil melambaikan tangan dan mengucapkan selamat tinggal padaku.

-Hana Larasati

Selasa, 01 Maret 2016

Fatimah pada Ali.

Hujan memang paling juara dalam mendistorsi ingatan. Rintik dan dinginnya semakin menyempurnakan hayalan.

Aku masih duduk sambil menatap hujan. Masih terus berpikir. Entahlah dari mana rasa ini bermula. Tapi aku tidak terlalu peduli. Yang aku tau wajahku tiba-tiba merona ketika berpapasan dengannya.

"Assalamualaikum, Hana." Kata pertama yang terucap dari mulutnya ketika berjumpa denganku. Hatiku sempat bergetar ketika mendengarnya. Lengkungan senyumpun tak bisa aku tahan keberadaannya.

"Waalaikumusalam." Balasku masih dengan perasaan yang entah bagaimana. Kita sempat berbincang-bincang. Tidak banyak. Tapi cukup untuk membuat gugup. Berpura-pura tidak suka pada orang yang di suka itu lebih sulit dari mengerjakan soal algoritma.

Katanya, kualitas seseorang bisa di lihat dari bahasanya. Dia memiliki bahasa yang sopan dan santun. Perangainya pun tegas, tapi dia juga lembut.

Aku tak pernah berpikir akan jatuh hati pada laki-laki yang menjadi sahabat baikku selama ini. Cinta ini seperti Fatimah pada Ali. Cintanya dua orang sahabat kecil yang terpendap hinga Tuhan berjanji akan mempersatukannya nanti.

Aku layak di katanya artis profesional ketika berada di depannya. Aku acuh, tapi perasaanku mengatakan aku butuh dirimu. Aku diam, tapi dalam hati melompat girang.

Bukan munafik, tapi Tuhanku Maha Pencemburu. Aku takut jika aku mencintaimu berlebihan Tuhanku akan cemburu dan mematahkan hatiku, untuk memberi tau sakitnya jika berharap kepada selainNya.

Jangan berpikir aku tidak berjuang. Aku memperjuangkanmu lewat sujud dalam di tengah malam. Tidak pernahkah kau berpikir keajaiban sujud. Kapan lagi berbisik ke bumi tapi langit mendengarkan.
Butiran doa dalam tasbih tak lepas aku lantunkan ketika menghadap pada Tuhan. Doa itu terus-menerus aku ulang. Aku tidak pernah bosan, karena aku tau doa itu menganulir takdir.

Kata ibuku jika cinta perjuangkanlah di jalan yang baik. Jalan yang tidak memancing murkaNya tapi mendapatkan ridhoNya. Layaknya Fatimah pada Ali.

Untukmu tuan berwajah teduh.

-Hana Larasati.