Rabu, 02 Maret 2016

Mercusuar

Kau berjalan menuju senja. Aku hanya membuntuti bayanganmu dari belakang. Kita sampai di dermaga tak bertuan. Tidak ada kapal yang singah. Hanya jembatan kayu yang di bentuk sedemikian rupa.

Kau mulai membuka percakapan. Percakapan singkat menunggu senja masuk ke dalam peraduan.

"Pantai ini akan semakin indah bila ada mercusuar." Begitu katamu.

"Mencusuar tanpa kapal, apa itu bukan hal yang sia-sia?"

"Aku lupa soal kapalnya. Tapi kita bisa melihat bintang di sana." Katamu membela.

"Jangan membuat benda dengan meyalahkan fungsinya."

"Bagaimana kabarmu, Hana?" Katanya menganti topik pembicaraan kita.

"Aku sangat baik. Kalau kamu?"

"Aku gugup."

Kemudian aku memutar mataku kearahnya. Fokusku sekarang beralih yang awalnya menatap senja, kini aku mulai menatap matanya.

"Kenapa?"

"Ini pertama kalinya aku mengajak perempuan berbincang."

"Dasar introvert." Kataku sambil menyungingkan senyum kearahnya.

Kita sekarang berjalan menyusuri jembatan kayu. Tak sepatah kata pun keluar dari mulut kami selama perjalanan. Entah kita sedang sama-sama menikmati senja atau sibuk dengan pemikiran masing-masing.

Kita menemukan sebuah tempat duduk di pinggiran dermaga. Tempat duduk kayu yang sudah termakan usia.

"Menurutmu apa itu cinta?" Dia mulai membuka percakapan lagi ketika kami baru duduk.

"Menjaga. Seperti mercusuar pada kapal."

"Mercusuar akan memberikan tanda berupa cahaya jika ada kapal yang mulai mendekat. Alasanya agar sang kapal tau bahwa ada karang yang harus di hindari supaya ia tidak karam. Begitu maksudmu mercusuar menjaga kapal?"

"Benar."

"Bagaimana menurutmu jika kapal masih bisa karam di laut yang berbadai, sedangkan mercusuar tak akan sampai memperingatkan?"

"Itu sebabnya kenapa kapal harus mempunyai nahkoda yang baik untuk mengatasi segala masalah yang datang. Seperti halnya iman dalam diri manusia. Seberapa kuatnya masalah kehidupan menguncang raganya, jika imannya kokoh ia tak akan tergoyahkan."

Dia pun terdiam mendengar pernyataanku. Pantai pun mulai di hujani dengan semburat-semburat cahaya matahari yang bersiap masuk dalam peraduan. Matanya masih saja tak mau melepaskan senja yang semakin berwarna jinga.

"Ayo kita pulang, sudah masuk waktu magrib." Katanya setelah lama hening.

"Baiklah." Kata ku yang membututinya dari belakang.

"Hana.." katanya yang sekarang mulai menghentikan langkahnya.

"Ya?" Kata ku sambil menghentikan langkahku juga.

"Jika aku mendaftar jadi nahkodamu, bagaimana jawabmu?"

Akibat dari pertanyaan itu, sekarang aku yang terdiam. Dia pun melanjutkan perjalanan sambil tersenyum. Kita sama-sama menutup senja dengan bingung. Aku bingung menjawab apa, dia pun bingung apa yang akan menjadi jawabanku.

-Hana Larasati

2 komentar: