Senin, 14 Maret 2016

Teh Manis

Aku berjalan dalam dekapan dingin kota Bandung. Pikiranku mengelana entah kemana. Aku berjalan dengan bimbang, yang aku tau aku harus cepat dalam langkahku supaya tak bertemu laki-laki pembuat luka itu.

Setelah empat tahun berlalu, aku tidak menyangka kau datang lagi di hidupku. Alasan yang kau ucapkan benar-benar membuat aku sakit kepala. Kau bilang, kau hanya bercanda meninggalkan ku di gunung pangrango waktu itu. Kau tau? aku hampir mati beku di sana dan kini kau bilang itu hanya bercanda!

Menangis pun rasanya aku sudah amat sangat lelah. Terlalu banyak luka yang menghujamku hingga rasanya aku sudah mati rasa.  Penghianatan. Kebohongan. Gunung. Kekecewaan. Sekarang semuanya berputar di otakku. Aku benar-benar lelah. Kenapa kau kembali! Taukah kau bagaimana susahnya aku mengubur semuanya dan kau dengan seenaknya kembali membukanya?

Aku harap kau masih ingat ketika kau bilang ke semua orang kita bukan apa-apa. Kau tinggalkan aku bagai sampah waktu itu. Tidak terpikirkah kau bagaimana menderitanya aku? Ingatkah kau seberapa kuatnya usahaku menahanmu pergi. Aku menangis saat itu, dan kau membuang muka tak peduli. Hingga akhirnya aku menunggumu selama 3 jam dalam dekapan dingin gunung pangrango.

Sekarang kenapa kau datang lagi? Membawa semua harapan dan menjanjikan perbaikan. Apa kau pikir hidup sebercanda ini?

Aku terus mempercepat langkah kaki. Tak terasa sudah sampailah aku pada tujuan. Rumah Ayu, teman baikku yang memberikan aku tumpangan tinggal selama aku dinas di Bandung.

"Assalamualaikum." Kataku sambil mengetuk pintu.

"Wa'alaikumsalam Mary." Katanya. Dia menatapku lekat. Aku pun langsung masuk dan duduk dengan muka yang masih risau.

"Ada apa?"katanya lagi.

"Tidak ada apa-apa."

"Kata-kata andalan wanita. Cepat beritau aku ada apa?" Dia mulai memaksa.

"Laki-laki itu menemuiku lagi."

"Siapa? Riziq?"

"Iya."

"Mau apa lagi sih dia. Belum puaskah dia menyiksamu selama ini?"

"Entahlah. Mungkin ini hukuman untukku. Hukuman karena telah menjalin hubungan dengan seseorang yang bukan mukhrimku. Allah menampakkan semua dampaknya dan akan ku terima itu semua."

"Mary...." Dia mulai menatapku nanar.

"Aku yang salah. Andai saja waktu itu aku bisa menahan perasaanku dan menolaknya menjadi sesuatu yang berarti dalam hidupku. Mungkin ceritanya tak sesakit ini." Sekarang suaraku mulai bergetar.

"Berhentilah mengandai-andai Maryam, seakan kau menyalahkan takdir Tuhan. Itu semua sudah kehendakNya. Ingatkah kau tentang surat Tā Hā ayat 50?"

"Ya. Aku ingat. Kalau tidak salah begini bunyinya 'Dia (Musa) menjawab : "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang telah memberikan bentuk kejadian kepada segala sesuatu, kemudian memberinya petunjuk."'Itu kan?"

"Ya. Setiap kejadian itu tidak ada yang kebetulan. Semuanya sudah diatur oleh Sang Maha Kuasa."

"Tapi kenangan pahit itu seakan berputar kembali, Ay. Kau pun tau, bagaimana hancurnya aku saat dia tidak mengakui bahwa menjalin hubungan denganku? Dia menyangkal semua kenyataannya." Sekarang tangisku mulai pecah.

"Maryam...." Dia mencoba menenangkanku.

"Kau juga tau betapa susahnya aku untuk bangkit. Aku harus mengumpulkan tenagaku, hatiku, kepercayaanku dan setelah semua itu berhasil dia kembali dan merusaknya lagi." Kataku masih dalam tangis yang terisak.

Ayu menghampiriku sekarang, dia duduk dan mengelus pundakku. Aku masih saja dalam tangis. Kemudian dia berkata.

"Berarti saat ini Allah sedang mencintaimu. Ketika Allah mencintai seorang hamba dia akan menimpakan cobaan kepada hambaNya, dan jika kau bisa melewatinya dengan tetap berbuat baik dan tidak menyakiti siapa pun maka Ia akan mengangkat derajatmu."

Aku mulai bisa mengontrol emosiku setelah mendengar ucapannya. Tangisku mulai sedikit reda. Ayu pun beranjak dan mengambilkan teh hangat untukku. Tak lama berselang ada yang mengetuk pintu.

"Tok...tok..tokk."

"Sebentarr..." Kata Ayu sambil berteriak dari dapur.

"Tunggu, biar aku saja." Kata ku sambil beranjak dan berjalan menuju pintu.

"Assalamualaikum." Ujar orang itu ketika aku sudah membuka pintu.

"Waalaikumusalam, maaf cari siapa ya?" Kata ku bingung. Aku asing dengan orang itu karena orang itu bukan temanku atau teman Ayu. Sebelum aku mulai bertanya lagi, Fikri suami Ayu pun muncul.

"Oh.... Ken. Sudah aku tunggu dari tadi, mari silahkan masuk." Kata Fikri sambil mengandeng tangan Ken. Aku pun menyingkir dan mempersilahkannya masuk.

" Oh iya sampai lupa. Mary kenalkan ini Ken, dia temanku yang pilot, aku pernah menceritakannya padamu kan? Nah, Ken kenalkan ini Maryam, dia sahabat istriku yang sekarang sedang dinas di sini. Dia seorang penulis loh." Kata Fikri.

Aku hanya tersenyum tersipu mendengar ucapannya. Aku pun bergegas menghampiri Ayu yang sedang membuat teh.

"Maryam siapa yang datang, kayanya mas Fikri sampai turun juga ya?" Kata Ayu yang sedang mengaduk teh.

"Oh itu, temannya yang pilot."

"Oh si Ken. Iya memang dia teman mas Fikri sewaktu kuliah dulu."

"Lah bukannya Fikri itu kuliahnya Teknik Elektro, Ay?"

"Iya, jadi sewaktu semester satu Ken sempat satu kuliah sama mas Fikri. Ketika tau di terima di STPI dia pun hijrah kesana."

"Oh seperti itu."

"Yaudah yuk kedepan."

Aku dan Ayu pun melangkahkan kaki kami ke depan. Dengan membawa teh manis hangat dan beberapa kue kering.

"Wah ada tamu jauh, mari mari diminum dulu tehnya." Ucap Ayu ramah.

"Iya terima kasih Yu."

"Ken, tumben ke Bandung. Ada pekerjaan kah?"

"Oh enggak Yu. Kesini cuma mau jalan-jalan. Niatnya mau minta temani Fikri untuk jadi tourguide."

"Iya, dia memintaku menemani selama dia di Bandung, tapi sayangnya pekerjaanku gak mendukung. Jadi....." Kata Fikri yang mulai melirik kearahku. Perasaanku mulai tidak enak, pasti ada apa-apanya.

"Maryam kamu maukan sementara jadi tourguide-nya? Kamukan penulis artikel bebas. Mau ya Maryam." Katanya lagi yang sudah aku tebak akan seperti ini.

"Mas, Maryam kan sibuk." Kata Ayu yang mulai melirik Fikri.

"Gapapa Ay, jalan-jalannya sekalian buat ngambil foto buat artikel." Kataku.

"Tuh kan Maryam setuju Ay. Yaudah, mari diminum sebelum dingin tehnya." Kata Fikri.

"Mulai kapan saya menemani mas di Bandung?" Kata ku kepada Ken.

"Kalau besok gimana? Kamu bisa?"

"In shaa Allah bisa mas." Kataku dan kami semua pun menutup malam dengan teh serta perbincangan.

Sebagian orang percaya bahwa teh bisa merelaksasikan pikiran. Menjernihkannya dan menetramkan hati. Aku rasa iman dalam diri seseorang pun layaknya teh, menetramkan dan merelaksasi. Ketika kalut dan takut bergelayut dalam hati, hanya kepada Tuhan tempat kembali.

*to be continue

-Hana Larasati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar