Senin, 07 Maret 2016

Hujan dan Percakapan

Kita masih saja terperangkap diam di tengah dinginnya hujan. Di temani teh hangat dan kue kering coklat buatan ibu sembari membaca buku.

Kamu masih saja menatapku. Mata bulatmu yang penuh tanya tak lepas kau sorotkan pada wajahku. Seakan membuncah pemikiran dalam otakmu yang ingin kau sampaikan padaku.

Akhirnya kau mulai menyerah juga dengan gengsimu. Rupanya kau kalah kali ini. Kau tidak bisa menemukan jawaban dari  pertanyaanmu sendiri. Kau mulai berjalan ragu ke arahku kemudian duduk dengan cangung di sampingku.

"Mba, apa aku boleh bertanya sesuatu?"

"Tentu. Tanyakan apa yang ingin kau tanyakan."

"Kenapa cinta itu hanya awalnya manis tapi akhirnya menyakitkan? "

Aku kaget dengan pertanyaannya. Selama ini aku selalu mengagapnya masih anak-anak. Ternyata adikku sudah mulai remaja.

Walaupun menurutku kamu masih terlalu kecil untuk paham. Tapi baiklah akan aku beritau sebisaku. Toh kata orang ingatan masa kecil itu yang paling kuat dan membekas.

"Cinta itu hakikatnya menjaga. Jika menyakiti atau merusak itu bukan cinta tapi nafsu."

"Apa ada pembeda cinta yang benar dengan yang hanya nafsu saja mba? Mereka benar-benar sulit di bedakan."

"Ada. Cinta yang benar menjadikan Allah sebagai pondasinya. Maka dari itu ia akan selalu menjaga dan tidak menyakiti. Iramanya santun dan lemah lembut bukan hanya di awal tapi sampai akhir." Lalu aku melanjutkan ucapanku.

"Beda dengan nafsu yang hanya mengebu-gebu di awal dan padam seiring berjalannya waktu."

Dia masih menatap wajahku. Sepertinya perasaannya gusar.

"Ada apa? Apa ada yang menyakitimu?" Kataku sambil menutup buku yang dari tadi aku baca.

"Tidak. Hanya tertipu harapan palsu."

"Haha. Aku pernah mengantungkan harapan pada selainNya dan yang paling sakit hempasannya adalah harapan pada manusia. Sejak saat itu aku hanya berharap padaNya."

"Apa itu yang membuat mba memutuskan untuk tidak membuka hati?"

"Hatiku selalu terbuka pada siapa pun. Yang aku tidak buka adalah peluang untuk pacaran."

"Ya maksudku itu. Kenapa?"

"Menurutku hidup itu penuh dengan pilihan. Begitu juga menjadi wanita. Kita bisa memilih menjadi sebesar-besarnya fitnah atau sebaik-baiknya perhiasan."

"Kalau ada yang bilang munafik?"

"Setiap orang punya hak untuk berbicara. Yang tau kita 100% itu hanya Allah."

"Aku selalu berhayal mendapatkan laki-laki yang perangainya seperti Nabi Muhammad yang santun dan menghargai wanita."

"Jika mengharap ingin mendapatkan seperti Muhammad maka Aisyah kan dirimu. Begitu pun sebaliknya. Bukankah jodohmu cerminanmu?"

"Benar mba. Tapi jujur hatiku masih sangat sakit mba."

"Sudah maafkan dan ikhlaskanlah."

"Aku sudah memaafkannya mba. Tapi luka dan lupa sepertinya sulit hilang."

"Tidak apa-apa kamu belum bisa melupakan kenangan. Toh kenangan itu di ciptakan untuk di ingat bukan untuk di lupakan. Jadikan kenangan itu sebagai penanda supaya kamu tidak terjerembab lagi."

"Benar mba. Lantas kapan mba ku ini menyusul teman-temannya menikah. Mas  pilot masih setia menunggumu loh mba." Ledeknya.

"Hahaha kamu."

"Aku serius loh nanyanya."

"Selain rasa dan logika cinta juga butuh iman. Supaya jangkarnya kuat. Supaya berkahnya terasa."

"Setelah iman cinta juga butuh imam loh mba haha." Dia pun tertawa dan berlari ke kamarnya.

Kita pun menutup malam dengan hangat percakapan. Cinta itu hakikatnya menjaga. Jika ia merusak atau menyakiti itu bukan cinta tapi nafsu. Cinta juga harusnya mengarahkan ke jalan yang lebih baik layaknya pilot pada pesawat. Karena cinta adalah salah satu berkah dari Allah.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar