Jumat, 04 Maret 2016

Kota Tua

Kita selalu di pertemukan oleh senja. Setelah dermaga, kini kita bertemu di kota tua. Padahal kita tidak pernah sepakat menjadikan senja sebagai saksi. Tapi entahlah, mungkin takdir yang membuatnya sepakat.

Sudah setengah jam aku menunggu. Beruntunglah kau, aku bukan gadis perajuk. Karena kebetulan aku memang lebih suka menunggu dari pada di tunggu.

Tak lama, ragamu mulai terlihat di tengah kerumunan orang yang sedang bersenda gurau di pelataran Fatahilah. Kau berlari-lari kecil menghampiriku. Kantong plastik hitam yang kau bawa pun ikut mengayun-ayun indah di tanganmu.

"Assalamualaikum Hana." Sapa mu.

"Wa'alaykumusalam."

"Maaf lama menunggu." Katamu yang sedikit terengah-engah.

"Tidak apa-apa, aku memang lebih suka menunggu dari pada di tunggu." Jawabku sambil menyungingkan senyum ke arahnya.

" Ini buatmu." Katanya sambil menyodorkan kantong plastik hitam yang memang dari tadi menjadi fokusku.

Dengan sopan aku pun mengambilnya. Dia melihat ke arahku. Matanya mengisyaratkan aku untuk membukanya. 

Setelah ku buka, ternyata bunga mawar cantik yang ada di dalamnya. Entah harus tertawa atau bagaimana. Tapi ini lucu. Bunga mawar cantik yang bungkus plastik. Benar-benar antik.

"Maaf aku tidak tau bagaimana caranya memberikan bunga pada seorang wanita." Katanya dengan wajah yang mulai memerah. Sepertinya dia tau aku sedang menahan tawa.

" Tidak apa-apa."

"Baguslah, karena ini pertama kalinya."

"Apa aku selalu jadi yang pertama buatmu?" Kataku menyelidik.

"Iya."

"Meskipun kau tau, kau bukan yang pertama untukku?"

"Iya. Tapi aku optimis aku akan jadi yang terakhir di hidupmu." Katanya yang sekarang mulai tersenyum sembari menatap mataku.

Kita menghabiskan senja berdua. Berjalan-jalan mengitari seluruh kota tua. Tidak banyak percakapan di antara kita. Seperti yang aku bilang sebelumnya. Dia seorang introvert. Sedangkan aku, perempuan yang malas memulai percakapan duluan.

Museum wayang. Tak sedikit pun aku lihat perubahanmu sejak terakhir kali aku menghampirimu. Kita pun duduk di pelatarannya. Aku menatapnya lekat. Entah dia tau atau tidak sedang aku tatap.

"Sampai kapan?" Dia memulai percakapan.

"Maksudnya?"

"Sampai kapan aku harus menunggu jawabanmu."

"Apa kamu lelah?"

"Tidak. Hanya sedikit butuh kepastian."

"Yang paling pasti di dunia ini adalah ketidakpastian." Kata ku.

"Seperti itu ya."

"He'eh. Jika lelah. Berhentilah menunggu."

"Tidak. Cinta butuh pengorbanan. Menunggu salah satunya."

"Menurutku tidak. Pengorbanan cinta itu berjuang atau merelakan. Bukan menunggu."

"Apa kamu tidak mau aku tunggu?"

"Bukan seperti itu. Aku hanya takut kau lelah menungguku."

"Aku tidak lelah."

"Allah Maha pembolak-balik hati manusia. Jadi jangan terlalu yakin."

"Sampai kapan kamu tidak akan mempercayakan hatimu pada laki-laki?"

"Sampai ada yang bisa meyakinkanku bahwa apa yang aku pikirkan tidak seperti itu."

"Bagaimana bisa kau menuntut keyakinan tapi tidak ada satu orang pun yang boleh mencoba untuk membuatmu percaya?"

"Aku tidak tau. Yang aku tau aku tidak ingin merasakan kembali luka itu."

"Dasar keras kepala."

"Tapi kau cinta."

Kita menutupnya dengan manis kali ini. Menunggu. Aku masih ragu dengan kata-kata itu. Andai kau tau maksudku. Aku tidak mau di tunggu. Sebagai perempuan rasanya wajar jika yang aku mau adalah kau memperjuangkanku. Berjuang di jalan yang baik. Menurutku itu lebih berkelas. Dari pada sekedar menunggu.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar