Sabtu, 12 Maret 2016

Sehari Menjadi Anak Palestina

Pagi ini masih sama seperti pagi yang sebelumnya penuh kegaduhan dan jerit tangis. Jika anak yang lain menyambut paginya dengan sarapan masakan bunda. Lain halnya dengan ku, yang menyambut pagi dengan dentuman senjata.

Aku saja sampai lupa kapan terakhir kali aku makan dengan perasaan tenang. Saat ini bisa meminum segelas air putih untuk sarapan saja, aku sudah bersyukur.

Aku heran kenapa kamu berkata Allah tidak adil padamu? Tidak kah kau berpikir tentangku? Berhentilah mencaci Tuhan. Sesunguhnya hidupmu masih lebih baik dari keadaanku saat ini yang setiap tidur masih berpikir. "Akan bangunkah aku besok?"

Kamu tau rudal  tentara Israel tidak pernah pasti waktu jatuhnya. ketika aku tidur, aku hanya berdoa.
"Allah, aku serahkan ibadahku, hidupku, dan matiku hanya untuk Engkau. Jika aku mati, matikanlah aku dalam keadaan syahid."
Aku sangat  menghargai setiap helaan nafas yang keluar dari hidungku. Aku bersyukur Allah masih memberiku nikmat umur panjang.

Kamu mengeluh tentang ayahmu yang pengatur? Aku malah bersyukur jika masih ada ayah di sisiku. Ayahku meninggal di medan perang, ketika tentara israel menuduhnya sebagai pemberontak.

Aku melihatnya saat itu. Ayah menyangkal semuanya. Tapi tentara itu tidak mau tau. Dua peluru menembus dada ayah dan saat itu terucap kalimat tauhid dari mulutnya. Ayahku syahid di sana.

Kamu tau bagaimana sakitnya aku? Ketika orang yang aku cintai mati di depan mataku? Aku menangis sejadi-jadinya di depan jasad ayahku. Tapi ibu berkata.
"Ayahmu, akan bersama Allah di surga. Yang menjemput ayah pun malaikat pilihan Allah. Jadi tenanglah dan doakan ia." 

Tidak pernahkah kau berpikir tentang aku? Buat kami jihad adalah harga mati. Sekarang aku yang mengantikan tugas ayah untuk menjaga ibu dan saudari perempuanku.

Usiaku baru 15 tahun saat ini. Tapi aku harus mengangkat senjata. Sedang apa kalian di usiaku saat ini? Pasti sedang bermain dan belajar. Hah itu adalah hal yang mewah untuk kami, anak-anak Palestina.

Siang begitu terik di sini. Patroli para tentara yang hilir mudik bukan menjadi hal yang asing buatku. Ketika kami pulang sekolah bukan ibu atau makan siang yang menyambut kami tapi pekerjaan. Kami harus bertahan hidup di sini. Bahan makanan semakin menipis dan harga pun mulai melonjak.

Hari terasa singkat jika berada sini. Siang berlalu bagai kuda pacu. Kini sore mulai menyapa kami. Sejnak melepas penat aku dan sahabatku bermain bola di sini. Tapi kita tidak bisa menerka keadaan jika sedang di sini.

Suara rudal tiba-tiba mengelegar. Seketika langit keruh karena asap. Aku berlari kencang saat itu. Menghampiri ibu dan saudari perempuanku.

"Brukk.." Bangunan itu tiba-tiba runtuh ke arahku. Akibat gempuran rudal yang mengenai pondasi bagunan.

"Allahu Akbar." Aku berteriak sekencang kencangnya. Kakiku tertindih tembok beton itu. Alhamdulillah ada seseorang yang mendengar suaraku dan dia menolongku. Dia memapah ku ke camp camp pengungsian.

Dengan tertatih aku berjalan mencari ibu dan saudari perempuanku di camp itu. Alhamdulillah Allah masihbmenyrlamatkan kami semua. Malam ini kami tutup dengan doa serta syukur. Kami masih Allah izinkan untuk berkumpul.

Tulisan ini di buat agar kita melihat bagaimana keadaan saudara kita di sana. Ini hanya pengalan dari kesakitan dan tekanan yang mereka rasakan. Bukan dengan bahagia kita bersyukur tapi dengan bersyukur kita akan bahagia.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar