Senin, 14 Maret 2016

Sesuci Maryam

Temaram lampu di sekitaran jalan Asia-Afrika menjadi penerangku malam ini. Aku masih metap foto mu lekat. Satu-satunya foto yang aku punya.

Kau tersenyum manis di sana. Kau terlihat bahagia. Semoga kebahagiaanmu masih bertahta setelah dulu aku rengut dengan sengaja.

Aku tidak begitu paham bagaimana perasaan ini bermula. Aku merasa kau wanita pertama yang membuat aku merasa perasaan ini untuk pertama kalinya.

Rasanya ingin aku mengulang. Tapi ekspektasi itu terlalu tinggi rupanya. Kau benar-benar serius dengan ucapanmu. Kau pergi. Sebelum aku sempat mengemis dan memohon agar kau tetap di sini.

Sangat dalam lukamu itu sayang. Tidak sampai hati aku membayangkan bagaimana air mata mu berlinang dan nafasmu tersekat sangking sedihnya.

Sering aku menyesal kenapa kau harus mengenal aku. Kau mungkin bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik selainku. Yang bisa menjaga hatimu bukan mematahkannya sepertiku.

"Masih di pandang aja, Ziq." Suara itu memecahkan lamunanku.

"Iya."

"Rindu?"

"Mungkin."

"Gak mencoba untuk menghubungi?"

"Aku tidak ingin merusak kebahagiaannya lagi."

"Jika dia perempuan baik dia pasti sudah memaafkanmu."

"Dia memang sudah memaafkanku. Mengikhlaskan pun juga iya. Tapi apa kau lupa tentang melupakan? Dia tidak akan pernah melupakannya."

"Sebegitu parahnya kah kau menyakitinya?"

"Sangat. Sangat parah."

"Terkadang memang maaf tidak pernah sepaket dengan lupa."

Ya sepertinya aku setuju dengan ucapannya. Maaf tidak pernah sepaket dengan lupa. Aku masih tengelam dengan pemikiranku. Fotomu masih menjadi fokusku. Tak peduli dengan ramainya hilir mudik orang yang berjalan di jalan Asia-Afrika atau  malam yang semakin kelabu.

"Sampai ketemu besok ya Maryam." Ujar seorang wanita.

Seketika aku menolehkan pandanganku. Fokusku beralih. Nama itu. Tapi ah tidak mungkin, nama Maryam banyak di kota Bandung ini. Sepertinya memang aku benar-benar rindu.

" Males ah ketemu kamu haha. Iya hati-hati di jalan ya." Ejek perempuan yang aku kenal betul suaranya. Dia mengenakan kerudung merah marun malam ini dengan baju terusan panjang warna hitam. Masih sama seperti 4 tahun yang lalu. Manis.

Dia lewat saja di depan ku. Sepertinya dia tidak menyadari keberadaanku. Atau dia lupa denganku. Aku lebih suka dia melupakanku dari pada harus ingan tapi dengan kenangan pahit yang membuntuti.

"Maryam.. Woi Mary." Tak ku sangka Riza memanggilnya. Aku tertegun. Seketika dia menghentikan langkahnya. Dia menoleh dan menghampiri kami. Jantungku sudah tak aku mengerti bagaimana iramanya.

"Kamu Riza kan, teman SMA dulu?"

"Iya iya benar. Kalau sama dia masih ingat gak?" Kata Riza.

Dia pun mulai menoleh ke arah ku. Dia kaget sekali. Aku masih bisa melihat ada luka di mata beningnya ketika dia menatapku. Seakan melihat hantu, dia pun bergegas pergi tanpa mengucapkan salam.

"Kejar!" Bentak Riza.

"Aku tidak ingin melukainya."

"Karena sikapmu yang tidak ingin membuatnya terluka justru itu yang selama ini melukainya. "

"Aku takut."

"Dasar pengecut! Penjelasanmu yang ia butuhkan selama ini."

"Kejarlah! Kalau pun dia tidak percaya dengan ucapanmu setidaknya kamu sudah mengatakan hal yang benar."

Aku pun menuruti ucapan Riza. Aku buru-buru berlari mengejarnya. Sedikit sulit menemukannya di tengah keramaian kota Bandung. Hilir mudik orang yang lewat benar-benar menyulitkan aku untuk menemuinya.

Aku terus berjalan. Beharap bisa menemukan sosoknya. Lama tak aku temukan dia. Lelah dan pasrah mulai mengelayuti ku. Langkahku benar-benar tak tau arah sekarang.

Dia duduk menyendiri di pinggiran jalan. Tatapan matanya kosong. Aku berjalan mendekat. Dia pun menoleh. Seketika dia bangkit dan berjalan pergi.

"Aku mohon, sekali saja dengarkan aku." Kataku sambil memengang tas selempangnya.

"Lepas. Selagi aku memintanya dengan baik." Katanya dingin.

"Bukan maksudku meninggalkanmu tanpa kabar waktu itu."

"Kau selalu seperti itu."

"Aku hanya bercanda saat itu Maryam. "

"Kau pikir itu lucu? Hampir 3 jam aku mati beku menunggumu dalam dingin di puncak pangrango."

"Maafkan aku."

"Apa perlu waktu hingga 4 tahun untuk bilang maaf?"

" Berhentilah bersikap kejam bagai Hitler, Maryam."

"Kau pikir meninggalkan perempuan yang hampir mati beku itu bukan sikap yang kejam?" Dia murka. Aku diam.

Dia pun menghempaskan tanganku dari tasnya. Dia berjalan pergi. Aku tak kuasa lagi mengejarnya. Melihat sikapnya yang bahkan menatapku saja enggan membuatku makin sakit. Aku harus apa sekarang?

Aku duduk dengan luka yang semakin bertambah parah. Andai dia tau apa yang terjadi di sana waktu itu. Riza yang dari tadi mengintai kita, mulai berjalan menghampiriku.

"Kenapa kau katakan itu lagi padanya? Itu semakin membuatnya terluka. Jujurlah."

"Aku tidak kuat melihat ekspresinya jika dia tau kenyataannya."

"Kau selalu seperti itu."

"Jangan berbicara sepertinya."

"Hah, aku bingung harus dengan apa lagi menasehatimu."

"Maryam itu sensitif. Dia mudah terenyuh dan khawatir. Biarkan saja dia mengangap aku yang jahat."

"Setidaknya kalau kau jujur kalian bisa berbaikan. Saling berbincang, bergandengan...."

"Aku tidak pernah menyentuh Maryam. Walaupun hanya tangan."

"Are you sure? Lalu yang naik gunung waktu itu?"

"Kita tidak berdua saja. Dia memintaku menemaninya bersama kedua temannya. Karena itu adalah pengalaman pertamanya mendaki dan aku menghancurkanya. Semenjak saat itu dia tidak pernah mendaki lagi."

"Tapi itu bukan maumu. Jangan terus menyiksanya dengan kebohonganmu. Kata temanku lebih baik di sakiti dengan kejujuran dari pada di bahagiakan dengan kebohongan. Tapi kebohonganmu toh tidak membuatnya bahagia sedikit pun. Lalu apa maanfaatnya yang kau lakukan selama ini? Jika kejujuran dan kebohongan nilainya sama lebih baik kau jujur."

Aku terdiam mendengar ucapan Riza. Aku bingung harus bagaimana. Aku terus terpaku diam menatap bintang. Bintang itu kesukaanmu. Kau selalu tersenyum menatapnya, dan aku selalu tersenyum jika mengingat itu.

*to be continue

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar