Kamis, 10 Maret 2016

Untuk Mas Gagah dari Jogja

Ini adalah tulisan terakhir yang menggambarkan kepedihanku atas kamu. Empat huruf yang mampu membalikan hidup dan kehidupanku.

Aku tipe orang yang malas membagi dukaku pada media. Ini sudah puncaknnya, salahmu yang melukai hati seorang penulis. Maka terimalah, namamu akan abadi dalam karyaku.

Kau tentunya tau, maaf tidak pernah sepaket dengan lupa. Tuhan ku memang mengajarkan aku untuk memaafkan. Tapi Ia juga menciptakan kenangan untuk mengingatkan.

Dua tahun berjuang bersama luka bukan suatu hal yang mudah. Mataku sakit, karena sering menagisi laki-laki yang memikirkanku saja tidak. Penghianatan itu masih membekas hingga kini membuat aku mengigil ketakutan jika membayangkannya kembali.

Kau tau akibat dari perbuatanmu? Aku takut untuk membuka hati pada orang lain. Aku nilai semua orang sama.  Mereka akan melakukan apa yang kau lakukan dulunpadaku. Buatmu itu urusanku bukan urusanmu. Kau selalu mementingkan dirimu sendiri. Asal kau bahagia. Tak peduli ada hati yang terluka. 

Kini kau telah bahagia bersamanya. Bersama perempuan yang kau puja. Aku? Aku juga bahagia. Merajut hikmah dari benang-benang duka yang kalian ciptakan.
Dulu air mataku selalu jatuh. Karena hatiku sangat menyayangimu, cinta pertamaku.
Tapi kini air mata itu terlalu mahal untuk menangisi seseorang yang sebenarnya tak layak aku tangisi. Buat apa menangisi orang yang mengabaikanku padahal banyak orang yang menyayangiku.

Selama ini di matamu aku yang salah, padahal kau tidak pernah  mengajarkan aku caranya benar. Mulutmu selalu mengisyaratkanku untuk tinggal tapi sikapmu mendorongku untuk pergi.

Aku bukan wanita yang tanpa harga diri. Kini aku memutuskan untuk pergi. Perbuatanmu sudah sampai pada ambangku. Mungkin perempuan itu yang baik untukmu. Selamat tinggal cinta pertamaku.

Terima kasih berkatmu aku tau mana yang benar-benar menyayangiku dan mana yang hanya bisa menyakitiku. Aku berharap suatu saat kita akan bertemu lagi. Tanpa luka. Ketika saat itu tiba aku sudah bisa tersenyum lebar saat melihatmu.

-Hana Larasati

2 komentar:

  1. Semoga ini memang jadi yang terakhir :". Begitulah ketika seorang bisa menulis maka secara sadar ataupun tidak dia akan selalu menulis dengan subjek yang sama yang selalu ada dalam benak pikirannya. Walaupun dengan cara menyamarkan sang subjek itu agar tidak ketahuan dengan orang lain. Walaupun sang penulisnya sering menyangkal akan hal itu. Aku paham. Tapi apakah perempuan yang bersamanya kini begitu jahat? Bukankah selama ini sudah bertekad untuk melupakan? Bukankah sudah ada kesepakatan diantara kalian? Bagaimana jikalau melanjutkan tulisan dari sudut pandang perempuan itu?

    Hehe, hanya sekedar untuk lanjutannya mba :3. Penulis memang begitu, lebih nyata kalau yang ditulis hal yang pernah menyangkut tentang dirinya.

    BalasHapus
  2. Aku punya tantangan 30 hari menulis tanpa jeda. Aku ngambil inspirasi dari temanku. Gak semua tulisanku untuk DIA dan gak semua tokoh perempuan itu kamu. Sumpah kamu kalau berpikir gitu terus capek loh dan aku pun capek nangepinnya. Aku jarang nulis tentang aku tentang perasaan. Itu cerita sahabatku. Apa di dunia ini cuma aku yang punya mantan orang jogja? Apa cuma aku yang ngerasain di hiananti? Luka itu benar-benar sakit mba. Saya juga enggan menolehnya lagi apa lagi sudi untuk di jadikan tulisan. Itu temanya fiksi. Mau sampai kapan kamu gini terus mba? Saya capek. :(

    BalasHapus