Senin, 07 Maret 2016

Bogor dan Calon Imam.

(Fiksi lanjutan Kue Coklat)

Rindang dedaunan Bogor yang asri menyapaku kali ini. Baru semalam aku bertanya pada hati kapan aku akan kembali ke sini.

Tak banyak yang berubah dari kota hujan ini. Masih menyenangkan sama seperti dua tahun yang lalu.

Aku terus melangkahkan kaki di dalam kebun raya. Suasana yang asri dan sejuk benar-benar menunjukan betapa besar karunia dari Tuhan.

Jika dulu aku kesini seorang diri kini ada kamu yang menemani langkahku. Kita sama-sama berjalan menyusuri kebun raya. Menikmati rindang pohon dan senjuknya udara sekalian bersyukur supaya tidak ada nikmat Tuhan yang bisa kita dustakan.

Langkah kita membawa ke danau teratai. Kau menghentikan langkahmu. Wajahmu terlihat risau kali ini. Seperti ada yang ingin kau bicarakan tapi kau takut untuk menyampaikan.

"Apa apa?" Kata ku

"Tidak ada apa-apa."

"Benarkah? Kata tidak apa-apa itu artinya misteri loh."

"Iya, benar tidak ada apa-apa."

Walaupun tidak yakin dengan jawabannya tapi aku menghormati keputusannya untuk tidak bercerita. Kami pun melanjutkan perjalanan kami. Tak berapa lama melangkah dia yang berjalan di belakangku tiba-tiba menarik tali tas ku.

"Hana.. aku ingin bicara sesuatu."

"Baik, katakanlah." Kata ku yang mulai berbalik menghadapnya.

"Aku sudah menahannya sebisaku. Kau pun tau itu. Lima tahun aku bisu dan memendam perasaan ini sendiri. Aku tau dulu aku pernah menyakitimu. Aku minta maaf untuk semua itu. "

"Bukannya sudah aku bilang. Aku sudah memaafkanmu dari pertama aku tau. Lalu?"

"Hana, Demi Allah ini di luar kapasitasku. Aku sayang kamu."

Aku pun tertegun mendengar ucapannya. Aku tidak tau apa aku di bohongi lagi atau dia benar-benar serius kali ini. Tapi kita semua sepakat maaf tidak pernah sepaket dengan lupa.

"Mikail, aku benar-benar berterima kasih. Tapi kamu juga harus tau maaf tidak pernah sepaket dengan lupa."

"Ya aku tau. Memang aku yang harus tau diri."

"Tapiii..

"Sayangnya luka itu sudah sembuh kini and for your information. Namamu masih menjadi trending topik ku dengan Tuhan."

"Jadii.."

"Apa?"

"Jadi kamu juga masih mencintaiku?"

"Iya." Kata ku malu.

"Apa aku tidak dengar?"

"Yes, i love you too, mas."

Matanya pun berkaca-kaca. Senyumnya merekah. Ya memang benar dulu aku pernah bersumpah tak sudi lagi jatuh cinta. Tapi wanita mana yang sangup hidup sendiri di dunia ini. Dia menebus kesalahannya dengan tekatnya dan aku menghargai itu. Toh hati manusia pun sifatnya berbolak-balik.

Kita menutupnya sangat manis kali ini. Bukan senja lagi yang menjadi saksi tapi kebun raya Bogor yang asri. Dia menatapku sekali lagi. Kali ini dia mulai merogoh saku kemejanya.

"Hana, will you marry me?" Dia mengeluarkan kotak cincin. Aku benar-benar di buat bingung sekarang.

"Yes, I will."

Dia pun tersenyum menatapku. Tidak ada solusi untuk dua orang yang sedang jatuh cinta selain menikah. Aku masih menatapnya lekat. Selain mendapatkan pemandangan yang indah di kebun raya ini aku pun mendapatkan calon imamku. Semoga bukan hanya disini kita di persatukan tapi sampai nanti, di surga.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar