Kamis, 24 Maret 2016

Jogja dan Jarak (Lagi)

Kita sempat bertemu sebelum akhirnya berpisah. Di lapangan ini lagi.

"Hana."

"Hei."  Sapaku yang kali ini dengan senyum.

"Kamu disini?" Katanya yang mulai duduk di sampingku.

"Iya."

"Menonton siapa?"

"Kamu." Kataku. Dia pun menatapku ragu. Dia mengosok-gosokan tangan ke hidung mancungnya.

"Bohong." Katanya.

"Aku sudah ingat siapa kamu."

"Benarkah?"

"Kamu Aby (bukan nama sebenarnya) yang menolongku ketika ada kucing yang jatuh di plapon Tk dulu kan?"

"Hahaha iya. Kamu ingat."

"Iya. Ibuku yang mengingatkan. Maaf jika ingatanku buruk."

"Tidak apa-apa. Yang penting kamu ingat."

"Bagaimana dengan ujiannya?"

"Belum. Aku masih liburan saat ini. "

"Sukses ya."

"Siip. Aku main dulu ya." Dia pun berjalan ke lapangan.

Aku membalasnya dengan angukan. Dia tersenyum menatapku. Aku balas menatapnya di lapangan. Dia bertubuh kurus, tinggi, tegap dan gagah. Alisnya tebal dan hidungnya mancung.

Aku ingat bagaimana dulu dia menjadi penolongku sewaktu kecil. Itu terjadi 15 tahun silam. Aku hanya tersenyum memandangnnya. Sekiranya hanya itu yang bisa aku lakukan.

Sekarang sudah pukul 21:00 pertandingan pun sudah selesai. Dia berjalan menghampiriku. Kulit putihnya berubah merah karena kelelahan. Pakaiannya pun basah dengan keringat.

"Kamu masih di sini?"

"Iya."

"Menunggu seseorang?"

"Iya."

"Siapa? Pacar?"

"Bukan. Kakakku."

"15 tahun itu bukan waktu yang sebentar."

"Iya itu tergolong sangat lama. Tapi ingatan mu tidak luntur."

"Hahah iya. Bahkan nama panjangmu saja aku ingat."

"Namaku susah. Mustahil bisa ingat."

"Hananing Sumaningdiah Larasati."
 
Aku menatap terkejut kearahnya. Teman kuliah ku pun yang hampir 4 tahun sekelas tidak hafal.

"Seberapa banyak kamu tau aku?"

"Lumayan. Kamu paling suka nasi goreng."

"Aku bingung harus bilang apa."

"Yasudah aku saja yang bilang."

"Kamu mau bilang apa?"

"Aku akan di tugaskan di Jogja."

"Haha Jogja lagi."

"Kamu ada masalah dengan Jogja."

"Tidak. Hanya sedikit kenangan buruk."

"Mantan?"

"Mungkin."

"Pasti jarak yang membuat kalian berpisah."

"Iya. Dan itu yang aku takutkan saat ini."

Dia menoleh kearahku. Tapi mataku masih memandang lurus ke arah lapangan.

"Jangan khawatirkan jarak. 15 tahun saja aku masih ingat. Jika Tuhan berkehendak maka tidak ada yang bisa mengelak."

Aku pun tersenyum ke arahnya. Entahlah aku tidak terlalu yakin dengan ingatanku. Tapi aku takut di tinggal lagi. Ada yang bilang ini trauma masa lalu. Tapi aku bilang ini hanya ketakutan akan kehilangan seorang teman.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar