Minggu, 06 Maret 2016

Kue Coklat

Kata orang, hidup ini memang tentang menunggu. Menunggu sampai  kita menyadari kapan kita akan beranjak dan melangkah pergi dari apa yang kita tunggu.

Aku masih menunggu kedatangannya di dalam cafe yang tidak terlalu besar. Aku memesan kue coklat kesukaanmu. Bukan karena aku suka coklat tapi aku suka ketika melihat kue ini, aku teringat ekspresimu yang gembira ketika memakannya. Lebih tepatnya aku suka membayangkan wajahmu.

"Kak Mikail.." seru seorang pemuda yang sekarang berjalan menuju ke arahku. Pemuda itu berwajah manis kulitnya kecoklatan dan matanya agak sipit. Mirip sepertimu. Pemuda itu tidak lain adalah sepupumu.

"Assalamualaikum, Hilman."

"Eh iya, wa'alaikumusalam kak. Hehe."

"Oh iya ada apa kak manggil Ilman ke sini?" Lanjutnya sembari duduk di sebelahku yang masih mengenakan seragam sekolahnya.

"Gak ada apa-apa aku cuma mau tanya soal Hana."

"Oh mba Hana. Jadi kapan kakak berhenti menunggu mba ku?" Ledeknya.

"Sepertinya satu bulan yang lalu. Sejak dia meminta supaya aku berhenti menunggunya."

"Mba Hana bilang kakak jangan menunggunya?"

"Ndak.. Hana gak pernah bilang seperti itu. Tapi dari gelagatnya aku paham dia tidak mau aku tunggu."

"Tau apa kakak soal mbaku. Mba ku itu susah di tebak."

"Intuisi ku yang bilang. Aku tau Hana, apa yang sudah menjadi katanya ya itu tidak bisa di ganggu gugat."

"Bagaimana bila suatu saat Allah membolak-balikan hati mba ku apa kakak benar-benar tidak mau kembali padanya?"

"Suatu saat itu kapan Man?"

"Aku gak bisa menargetkannya kak. Aku gak punya kalkulasi yang tepat. Mungkin 2 atau 4 tahun setelah mba ku lulus?"

"Yang aku percaya apa-apa yang melewatkanku sudah pasti bukan menjadi takdirku dan apa pun yang menjadi takdirku sudah pasti tidak akan melewatkanku."

Lama tak ada percakapan antara aku dan adik sepupu kesayangan Hana. Hanya suara rintik-rintik hujan mulai menguyur Jakarta yang membuat suasana tidak terlalu sepi.

"Di minum dulu Man." Kata ku sambil menyodorkan capuccino hangat kesukan Hilman.

"Makasih kak."

"Man, apa Hana masih sangat menyayangi laki-laki itu?" Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulutku. Itu adalah pertanyaan yang selama ini hanya menjadi endapan dalam kalbu.

"Kayanya udah enggak kak."

"Tapi tulisannya..."

"Kan gak semua yang mba Hana tulis itu adalah dia dan gak semua yang kakak baca itu adalah laki-laki itu."

"Oh seperti itu."

"Jadi apa kakak masih mau menunggu mba Hana?"

"Sepertinya enggak Man." Seketika muncul gurat kekecewaan dari raut wajahnya.

"Aku cuma belum berhenti mendoakannya." Lanjutku dan dia pun tersenyum ke arahku sambil menghabis kan minumannya.

Aku tidak tau apa yang aku lakukan ini benar atau salah. Aku juga tidak peduli pemikiran orang terhadapku. Biarkan saja mereka menganggap aku bodoh yang rela menunggu hingga 6 tahun lamanya.

Toh hidup ini juga seperti kue coklat. Karena tidak seutuhnya coklat itu manis pasti ada rasa pahit yang membuatnya menjadi khas. Sama seperti hidup harus ada pengalaman pahit supaya hidup mu menjadi khas.

-Hana Larasati

2 komentar:

  1. Masih teka teki ya mbak, jadi ngambang :D . hehe bagus cuma terlalu teka teki mbak antara mikail ini apanya hana, mantan kah atau cuma pendam perasaan.

    BalasHapus
  2. Iya emang masih bersambung. Ada lanjutannya di Bogor dan Calom Imam

    BalasHapus