Selasa, 27 September 2016

Museum Wayang

Aku memandanginya yang sedang berpose di dekat sepasang ondel-ondel dengan aneh. Dia sadar dan langsung memarahiku.

"Hana! Fotoin ah!"

Lalu dia lanjut berpose kembali. Kali ini dengan satu kaki yang diangkat ke atas layaknya anak kecil yang ikutan little miss Indonesia.

Aku pun mengerutu sembari mengeluarkan handphone

"Malu-maluin tau gak sih Ncuk!" Ujarku memprotes.

"Tau." Katanya mantap.

"Makanya cepetan." Lanjutnya yang masih berpose seperti itu.

Aku pun menjepret 4 foto sekaligus. Dia berjalan menghampiri.

"Bagus gak?" Katanya

"Iya. Bagus." Jawabku sekenanya.

"Mau di fotoin juga gak?"

Aku pun menggeleng. Dalam hati berkata -lebih baik enggak karena fix gue masih waras dan gak mau jadi tontonan pengunjung lain.

Aku dan dia pun berjalan menelusuri museum wayang yang tidak terlalu ramai.

"Banyak ya wayangnnya."

"Iyalah ini kan museum. Kalo banyak cabe gua bingung." Katanya mengejek.

Aku hanya melirik sinis ke arahnya.

"Ini wayang dari jawa tengah, namanya wayang kulit. Nah kalo ini dari toraja." Katanya sambil menunjuk wayang-wayang yang tergantung di dinding.

"Oh.. gua kira wayang cuma ada di jawa sama sunda aja."

"Ya enggaklah. Makanya main sama anak komplek biar tau." Katanya terkekeh.

"Sejak kapan lu tau beginian?" Kataku yang mulai menatapnya.

"Kalo sejarah gua mah jago."

"Matrix ngulang." Kataku mengejek.

"Iya matrix ngulang." Dia tertawa. Tawa favorit ku dengan sepasang lesung pipi.

Aku masih terus mengikutinya dari belakang. Kita sekarang berjalan ke arah area wayang daerah jawa barat. Museum ini terliat agak kurang di perhatikan. Cat temboknya kusam dan penerangannya kurang.

"Kalo di museum wayang emang kaya gini. Banyak yang bilang bagusan museum fatahilah." ujarnya.

Aku mulai curiga dia bisa membaca pikiranku.

"Kumis."

"Apa?"

Aku baru saja ingin mengajukan pertanyaan, apa dia masih satu keturunan dengan Ki Joko Bodo? Tiba-tiba aku teringat om Ahmad.  Ayahnya yang ramah dan humoris, lengkap dengan kumisnya yang tebal. Aku berani bertaruh  70 % gennya itu mengikuti ayahnya. Karena mereka benar-benar mirip.

"Apaaan?" Ucapnya sekali lagi.

"Emmm... lu paranormal ya?"

"Bukanlah. Sial. Ngasal." Katanya terkekeh.

Aku pun ikut tertawa

"Lagian dari kemarin lu kaya tau apa yang lagi gua pikirin." Lanjutku.

"Emang ya?" Dia menoleh dan melempar sebuah senyum.

Aku menganguk dan kami memutuskan untuk tidak membahas hal itu. Kita berjalan semakin ke dalam. Aku sibuk melihat-lihat isi museum. Semakin siang pengunjung semakin bertambah.

Ada anak-anak kecil yang merengek pada ibunya agar keluar dari museum karena mereka takut dengan salah satu wayang yang bentuknya seram.

Ada turis-turis asing yang sedang membaca keterangan di bawah wayang daerah bali.

Ada beberapa anak sekolah yang sedang mencatat perihal wayang tersebut.

Dan ketika aku berbalik, ada dia yang sedang tersenyum menatapku.

"Kenapa sih?" Kataku bingung

Dia hanya tersenyum dan terus menatapku.
"Mikir jorok lu ya!!" Kataku memvonis

Sekarang dia malah tertawa dan berjalan mendekatiku.

"Gua emang bisa baca pikiran lu, Na." Katanya tiba-tiba, yang membuat aku terperanjat.

Kelar idup gue. Terus dia tau kalau aku selalu mikirin dia?

"Coba pikirin sesuatu." Perintahnya.

Aku memutuskan untuk memikirkan project UAS yang harus di kumpulkan minggu depan.

"Mikirin tugas ya?" Katanya langsung membuatku terkejut.

"Ah, hoki aja lu!"

"Bener?" Dia pun tergelak memamerkan tawa yang membahagiakan.

Aku pun menganguk.

"Itu tadi gua cuma nebak doang kok. Tenang aja."

"Yaiyalah. Ya kali beneran." Ucapku di ikuti dengan hati yang mulai berangsur-angsur lega.

-Sumpah, kalo di kampus ada mata kuliah tebak-pikiran-gue pasti nilai lu A semua. Batinku.

Setelah puas berkeliling di museum wayang. Kami pun memutuskan untuk ke museum Fatahilah.

"Yang gini-gini nih yang gua suka." Kataku saat kami memasuki bangunan beraksen lampau.

"Emang dasar anak IPA mental  IPS." Katanya mengejek.

Aku hanya mengerenyit sinis ke arahnya.

"Kan udah gua bilang, gua tau tempat-tempat bagus." Katanya.

"Enggak, gua lebih berterima kasih sama google maps." Kataku

Dia tertawa. Karena memang dari tadi kami hanya mengandalkan google maps untuk sampai sini. Si keras kepala itu ternyata memang tidak tau jalan dari bogor ke jakarta kota.

Museum Fatahilah ini isi bagus banget. Tapi sayang masih banyak yang buang sampah sembarangan.

"Sedih ya, ngeliatin tempat bersejarah kaya gini." Kataku kepadanya yang sedang asik melihat foto.

"Iya, padahal kalo kejaga makin bagus loh."

"Mereka tuh gak menghargai bangsanya sendiri apa gimana sih?" 

Dia menoleh.

"Shhh. Gak boleh ngejudge orang sembarangan."

"I don't know. I just find it kind a ironic."

"Yang pasti, tanamin aja dalam diri sendiri. Buang sampah sembarangan itu gak asik bro." Katanya sambil mengikuti gaya Marshall Sastra.

"Ya tapikan gak boleh seenaknya kaya gitu." Kataku masih tetap tidak setuju.

Seakan sudah paham dengan tabiatku dia pun menuntunku ke ruangan lainnya.

Aku rasa dia sudah hatam dengan perilakuku selama tiga tahun ini. Dia selalu tau pemikiran-pemikiranku, dan bagaimana caraku mengkritis sesuatu.

Dan dia selalu punya cara untuk menanggapi itu. Kami suka berdiskusi. Dia adalah salah satu orang yang bisa aku ajak berbicara secara proper.

For me, he has such a smart and beautiful mind.

"Kapan-kapan gini lagi yuk Han." Katanya ketika kami sampai di depan lukisan Bung Karno.

"Gini gimana?" Kataku.

"Ke museum. Tapi yang di sekitaran Jakarta aja."

"Kok gua agak gak yakin ya yang namanya 'kapan-kapan' itu bakal beneran ada." Kataku.

Dia hanya tersenyum menatapku.

"Keras kepala." Katanya sambil memukul kepala dengan botol air mineral yang kosong.

"Kumisss." Kataku sambil ingin membalasnya. Tapi dia berlari menjauh dan kami pun berkejar-kejaran di dalam museum.

Hal yang gila tapi entah untuk alasan apa aku sangat bahagia.

Ins : Dekat

-Hana Larasati

Kamis, 22 September 2016

Suka, Mie Ayam

Sore ini dia datang dengan motornya ke rumahku. Dengan kaos warna hijau toska dan levis hitam dia muncul dengan senyum kesukaanku.

Jaketnya di sampirkan pada pundaknya. Sedangkan tangannya mencoba melepas helm dari kepalanya. Entah untuk alasan apa dia suka muncul tiba-tiba.

"Assalamualaikum, jangan?"

"Waalaikumusalam." Kataku sambil menyuruhnya duduk.

Dia merebahkan badannya di kursi teras sambil merapikan isi tasnya, yang dengan sengaja aku intip.

"Mau main futsal?"

"Udah pulang."

"Dimana?"

"Bintaro."

"Parung- Bintaro jaraknya gak main-main loh."

"Aku mah udah tau duluan sebelum kamu."

"Lah terus ngapain ke sini?"

"Oh jadi gak boleh?" Katanya sambil bersiap bangkit dari kursinya.

"Kalo baper, kumisnya rontok luuu."

"Hahaha." Dia pun tertawa dan melemparku dengan tisue yang habis dia pakai mengelap keringatnya.

"Air di rumah kering Han?"

"Enggak. Kenapa?"

"Bisa kali minum. Air putih kek. Perjalanan jauh nih."

"Hahaha sebentar."

Aku pun masuk dan mengambilkannya minum.

"Wah airnya berwarna." Katanya seolah seperti manusia yang belum pernah melihat sirup.

"Jangan norak." Kataku.

"Padahal aku mintanya air putih doang loh."

"Gapapa."

"Sekalian mie ayam nya mba." Katanya seperti memesan pada pelayan.

"Heh!"

"Hahahahahaha."

Lalu aku pun duduk di hadapannya.

"Tadi kalah apa menang?"

"Kalah Han."

"Berapa-berapa?"

"4-1"

"Dih, itu mah bukan kalah. Tapi di bantai haha."

"Jahat."

"Haha habis sampai 4-1."

"Tim aku mah kalah gara-gara pemain andalannya gak main."

"Emang siapa pemain andalannya?"

"Si Rio."

"Oh. Kenapa dia gak main?"

"Lagi cedera dia."

"Cedera apa?"

"Pilek."

Aku pun tertawa dan melemparnya dengan tisue.

"Itu mah bukan cedera. Tapi sakit."

"Sama ajalah."

Kemudian kita terdiam beberapa saat.

"Eh jalan yuk." Katanya.

"Kemana?"

"Kemana kek."

"Yaudah tunggu aku ganti baju dulu." Kataku.

Kemudian aku pun bersiap berganti pakaian.

"Udah siap nih ayok." Kataku sambil sedikit merapikan jilbabku dan menenteng helm.

"Oke." Katanya, sambil beranjak dari kursi.

Anehnya dia tidak membawa helm dan tasnya pun di tinggal.

Kita berjalan menuju motornya yang di parkir tepat di depan rumahku. Aku masih belum curiga.

Lalu dia melewati saja motornya dan berjalan lurus. Aku yang sudah menenteng helm pun keheranan.

"Kita gak naik motor?" Kataku yang bodohnya mengikutinya sambil tetap menenteng helm.

"Kan judulnya jalan-jalan. Kalo pake motor bukan jalan-jalan, tapi motor-motoran."

"Kumisssss!!!!!!!!!" Kataku kesal.

"Apaaaaaaa."

"Aku mau pulang ah." Kataku sambil menghentikan langkah seketika.

"Ngapain?"

"Mau naroh helm."

"Biarin aja sih."

"Gak mau ah kaya orang oon ini. Cuma jalan tapi bawa-bawa helm."

"Tenang aja perempuan itu selalu benar. Jadi bebas."

Aku hanya mendengus sebal. Lalu di tengah perjalanan, hal yang aku khawatirkan terjadi.

Saat itu kita melintasi rumah warga yang penghuninya sedang duduk di depan rumahnya. Mereka melihatku dengan tatapan yang aneh.

Dan dia tanpa intruksi langsung berbicara pada para warga itu.

"Misi bu."

"Iya A."

"Itu teh Hana kok bawa-bawa helm." Kata seorang ibu. Dan sebelum aku sempat berbicara dia sudah menyahut lebih dulu

"Iya udah saya bilangin, kita cuma jalan doang. Gak usah bawa helm eh dia ngeyel."

"Iya atuh teh kalo jalan doang mah gak usah pake helm."

"Tuh dengerin." Katanya yang aku tau dia sedang menahan tawa.

Ingin sekali aku menjambaknya saat itu. Namun yang aku lakukan hanya tersenyum memohon maklum atas ketidak warasaanku karena ulahnya.

Kita pun  meberuskan perjalan hingga akhirnya sampai pada tempat mie ayam langanan kita.

"Kamu tau gak kenapa aku suka mie ayam?" Katanya sambil mengaduk mie dalam mangkuknya.

"Kan yang suka mie ayam aku, bukan kamu."

"Itu! aku suka mie ayam karena aku suka kamu."

"Makasih." Kataku dengan mulut penuh dengan mie.

"Kamu suka gak?" Tanyanya.

"Mie ayam?" Kataku sambil mengelap mulut dengan tisue.

"Bukan."

"Terus?"

"Aku."

"Suka." Kataku dengan mulut penuh mie.

Lalu dia pun berteriak pada bapak penjual mie nya.

"Pak Hana suka sama saya pakkkk!!" Katanya.

Seketika aku pun mendongak dan menyuruhnya berhenti.

"Heh...heh.. malu!" Kata ku panik karena seisi warung melihat ke arah kami.

"Duh beneran pake helm nih gua." Kataku merunduk.

"Haha." Dia hanya tertawa.

Lalu sehabis kita makan dengan rusuh. Dia pun bilang ke pada bapak penjual mie-nya saat mau membayar.

"Pak, cantik ya?" Katanya sambil melirik ke arahku.

"Iya A. Cantik."

"Bapak jangan suka." Katanya meledek.

"Enggak A, saya mah udah punya istri." Kata bapaknya polos.

"Cocok gak sama saya?"

"Cocok A. "

"Doa in langeng ya pak."

"Aamiin."

Aku pun langsung menariknya menjauh dan memukulnya lembut dengan helm.

"Aduhh." Katanya.

"Biarin."

"Gapapa lah yang penting kamu suka."

Kami pun menyusuru sore dengan gembira dan sisa-sisa malu pada orang-orang.

-Hana Larasati

Puncak Mahameru

Pagi ini dengan segulum senyum aku memandangi fotomu. Di keadaan yang masih tergeletak di tempat tidur, aku meneliti senyummu, yang selalu menjadi kesukaanku.

Sayangnya aku bukan pendaki. Jadi aku tidak tau di pos keberapa kamu mengambil gambar itu. Tapi kau tetap tampan, dengan stelan coklat yang pas dengan badanmu.

Di foto itu, rambutmu tak kau biarkan tergerai seperti biasanya. Kali ini dia kau ikat dengan rapi. Membuat garis wajahmu semakin jelas terlihat.

Kau tau? Aku selalu tersenyum, saat terbayang ekspresi wajahmu ketika kau menceritakan bahwa Mahameru sedang erupsi. Aku suka ekspresimu yang dengan serius bercerita padaku.

Aku mendengarkan dengan baik, setiap kata yang keluar dari mulutmu dan memperhatikan dengan seksama setiap gerakan yang kau lakukan.

Aku juga suka, waktu kau bercerita di tanjakan cinta kau menyebut namaku ketika menanjaknya.

Dan kau benar-benar tak mau menoleh walaupun kawananmu meneriaki bahwa bajumu jatuh saat menanjak di tanjakan itu.

Atau yang ini, saat kau solat subuh di ranukumbolo dan kau bilang kau meminta pada Tuhan agar kau bisa pulang dengan sehat seperti permohonanku.

Aku suka semua ceritamu. Dan dari semua hal baik yang kau ceritakan, aku paling suka di bagian aku sadar kau tak pernah melupakan Tuhan dan aku.

Pagi ini langit-langit kamar benar-benar hanya berisi wajahmu dan semua gelak tawamu. Mari kita tutup lamunan ini dengan satu harapan. Harapan kecil dari gadis pingitan.

Suatu hari aku pasti bisa ke puncak itu. Puncak Mahameru yang menjadi kesukaanmu. Menakhlukannya dan membawa cerita baru.

Tapi nanti, saat tangganmu sudah bisa ku genggam. Saat bahuku sudah bisa kau rangkul. Dan di saat itu juga Tuhan tidak punya alasan untuk marah pada kita.

Iya waktu itu pasti tiba, entah seberapa lamanya.

-Hana Larasati

Curahan Hati.

Aku selalu tersenyum jika resonasi kenangan itu tiba-tiba muncul. Walau hanya dengan senyuman dan tatapan hangat semuanya seolah berkontribusi untuk membuatku bahagia.

Ini adalah tulisannya. Tulisan laki-laki yang selalu aku sanjung namanya. Aku tidak menyangka, di balik tampang berandalannya dia juga suka menulis.

Mari sama-sama kita baca hasil karya tulisnya :

"Dia tidak suka rokok. Makanya, saat aku menjemput perempuan itu aku tidak menyentuh rokokku sama sekali.

Jadi, dengan debaran jantung yang iramanya berantakan, aku menunggu gadis yang aku cintai diam-diam selama tiga tahun di depan rumahnya.

Aku hanya bermodal parfum yang sering aku gunakan dan rambut yang aku rapikan lebih rapi dari biasanya.

Mobilku juga aku bersihkan sebersih mungkin. Tidak ada jersey futsal, tidak ada sepatu futsal, tidak berserakan handuk keringat habis futsal. Intinya, aku rasa, semua sempurna.

Aku sangat rapi. Mungkin, itu yang membuatnya terus menatapku dengan wajah keheranan. Aku tidak mengerti mengapa dia terus menatapku sedalam itu.

Dia masih terus menatapku bahkan hingga kami sampai di gedung bioskop. Tatapan itu terus berlanjut hingga kami masuk ke dalam teater bioskop. Dia terus menatapku hingga film diputar.

Apa mungkin dia sedang mengintrogasi senyumku yang setengah-setengah ini? Andai aku bisa jujur bahwa sore ini sungguh aku gerogi setengah mati.

Ada banyak kata-kata yang bersarang di kepalaku. Tapi, mulutku tidak bisa diajak kerja sama. Padahal, aku hanya ingin mengucapkan satu kalimat saja. Hari ini aku sungguh bahagia.

Aku tidak mengerti mengapa hari ini dia begitu cantik. Secantik ketika aku pertama kali bertemu dengannya dalam sebuah perpustakaan. Tempat yang aneh yang aku namakan keajaiban.

Dia adalah keajaibanku. Aku tidak peduli jika dia menganggap kencan ini adalah kutukan. Tapi, bagiku, ini adalah sebuah keajaiban.

Seandainya Tuhan mengizinkan, aku hanya ingin pertemuan kami tidak sebatas kencan. Mengapa? Aku tidak ingin kehilangan dia untuk yang kedua kalinya.

Entah bagimana perasaan dia. Aku juga tidak berani bertanya, karena aku yakin jawaban perempuan hanya akan membuatku semakin bertanya-tanya.

Jadi, yang bisa aku temukan dari dalam dirinya, dia tetap gadis yang sama seperti tiga tahun lalu. Manis, menggemaskan, serta memesona. Ah, aku jatuh cinta. 

Aku tidak mengerti mengapa aku sangat ingin membawa dia ke dalam pelukanku. Aku tidak mengerti mengapa setiap detik yang kami lewati sore ini terasa begitu menyenangkan.

Aku tidak mengerti mengapa aku melakukan ini semua. Padahal, aku sungguh tahu, mencintai gadis itu adalah hal yang sangat dibenci siapapun. Karena aku sadar banyak yang menginginkannya dan aku penyebab patah hati semua orang. Terutama sahabatku.

Demi Tuhan. Ini menyakitkan."

Posted by@DwitasariDwita at21:15 

Selasa, 20 September 2016

Pemilik mata bening.

Ini tentang si pemilik mata bening. Yang sekarang sedang berlari-lari kecil mengejar waktu.

Tingkahnya yang antik membuat seisi bumi ingin tersenyum.

Bibir mungilnya setiap hari mencoba melantunkan ayat-ayat Allah.

Walaupun hasilnya terbata tapi semangatnya tak pernah patah.

Setiap sore, ketika datang mengaji dia selalu bernyanyi, menyerukan namaMu. Matanya semakin berbinar saat itu. Betapa ia begitu mencintai Mu.

Bukan hanya sekali aku terpana, melainkan setiap hari. Berinteraksi dengan mereka. Menjadi bagiannya dan juga teman dekatnya.

Aku jadi ingat tentang seseorang. Seseorang yang suka bertanya banyak hal padaku.

"Allah itu dimana?" Tanyanya kepadaku.

"Di Arsy." Ku tunjukku ke dadaku.

"Apa Allah sayang aku?" Matanya mulai berbinar-binar saat itu.

"Tentu."

"Bagaimana bisa dia sayang aku, aku suka lalai?"

"Karena dia maha pengasih, lagi maha penyayang." Sambil ku usap kepalanya.

"Jika aku berbuat salah?"

"Dia akan mengampunimu selama kau meminta ampun."

"Jika aku ulaingi lagi setelah memohon ampun."

"Dia akan terus mengampuni mu selama kau meminta ampun."

"Sampai kapan Dia akan terus mengampuniku?"

"Sampai kau berhenti meminta ampun padanya."

"Dia sangat baik."

"Maka dari itu Dia adalah Tuhannya dan kita adalah hambaNya."

"Apa bisa aku bertemu dengannya nanti?"

"Pasti, tapi setiap harapan harus di barengi usaha."

"Bagaimana usahanya?"

"Kejar cintaNya."

"Caranya?"

"Taati perintahNya dan jauhi laranganNya."

-Hana Larasati

#30DWC DAY 6

Sama-sama Saling Menyakiti

Pagi ini entah kenapa menjadi sangat kelabu, saat semua pesanmu dengan tidak sengaja aku buka ulang.

Tersimpan air mata di sudut mataku. Ini tentang cerita yang berlalu. Yang karamnya dengan hal yang sampai detik ini tidak aku tau.

Entah aku atau kamu yang terlalu bodoh, karena kita berdua tidak mengerti bagaimana cara mencintai seseorang. Atau entahlah apa penyebabnya.

Hari ini, aku bersiap untuk melihat penampilanmu. Hanya ingin tau, dan mungkin sedikit rindu.

Aku ikut melihatmu di deretan penonton yang juga ingin tau. Kau bergelantungan di dinding itu. Dengan cekatan dan sigap kau mengambil langkah untuk sampai di atasnya.

Aku ikut bangga sama seperti yang lainnya, ketika juri bilang kau mampu menakhlukan tembok itu dalam waktu kurang dari 2 menit.

Mataku masih tertuju pada sosokmu. Sosok yang dua tahun lalu selalu menjadikan aku yang nomer satu. Sosok yang pernah mendekatiku dengan cara yang tidak wajar dan sosok yang selalu berusaha supaya tidak menyakitiku.

Kau sadar dengan hadirku. Matamu tepat menatap mataku. Kau tersenyum saat itu. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama aku melihat senyum itu lagi.

Senyum dari pria kurus berahang kokoh yang dulu, selalu jadi favorite ku. Namun aku tidak membalasnya. Aku hanya diam.

Betapa ingin aku membalas senyummu, tapi kau tau, bekas luka ini masih menahan bibirku walau hanya sekedar tersenyum ke arahmu.

Kau berjalan menjauh. Menuju belakang tembok itu. Kakiku seolah mengajaku untuk  mengikuti mu, hingga aku lihat di depan mataku kau merangkul seorang gadis.

Gadis cantik dengan mata sipit dan kulit yang agak kecoklatan. Tidak munafik dadaku masih merasakan sesak saat melihat pemandangan itu.

Kau merangkulnya erat, dan sangat jelas terlihat kebahagiaan di wajahmu. Padahal saat kita bertengkar dan aku menginginkan perpisahan kau selalu bilang "Kamu nyuruh aku bilang gak suka sama kamu, tapi kamu gak tau gimana perasaan aku sama kamu kan?!"

Apa ini yang waktu itu kau deskripsikan kepadaku berjudul 'perasaanmu'? Tidak ada tangis hari ini. Tidak ada. Karena aku yakin di sudut hatimu masih tersimpan aku dengan baik.

Kalau aku sudah jauh tertinggal kenapa sampai detik ini, kata-kata perpisahaan tak pernah terucap dari bibirmu?

Dalam perasaan yang entah aku tidak tau bagaimana. Aku mencari handphoneku dan menelpon seseorang.

"Kamu dimana?" Kata suara di dalam telepon.

"Di belakang papan wall climbing. "

"Aku kesana." Kata suara dalam telepon itu.

Beberapa detik kemudian dia ada di sampingku. Dengan kemeja kotak kotak dan rambut yang di gerai sebahu.

"Gimana penampilanku?" Katanya.

"Bagus. Keren." Kataku dengan segulum senyum.

"Jangan di sini ngobrolnya, ayo ke sana. Aku kenalin sama teman-temanku yang lain." Katanya sambil menarik tangganku dan berjalan ke arah laki-laki yang dari tadi aku perhatikan dengan sangat.

Jantungku berdegup dengan kencangnnya saat dia membawaku ke tempat laki-laki itu.

Dia pun bersalaman dan berbincang dengan sosok yang sering aku kutuk dalam ratapanku.

"Tadi penampilan lu bagus. Kurang dari dua menit ya sampai atas." Katanya kepada laki-laki itu.

Di saat itu aku hanya diam dan menunduk. Aku enggan menatapnya apa lagi berbicara padanya.

"Lu juga bagus. " Kata laki-laki itu dingin.

Aku bisa lihat dari sudut mataku. Dia agak kaku dan sedikit terkejut mungkin.

Kemudian dia mengenalkan ku pada laki-laki itu.

"Ini Nirina, dia temen gua." Katanya kepada mereka berdua.

Aku tersentak kaget. Dan dengan sedikit kaku aku menyalami mereka berdua. Saat aku menatap matanya, matanya tajam menyorot ke mataku.

Kemudian perempuan yang ada di sampingnnya berkata.

"Temen apa temen?" Kata perempuan itu.

"Temen. Temen Hidup." Katanya sambil tersenyum ke arahku.

Mata laki-laki itu jadi semakin tajam saat, dia berbicara seperti itu.

"Dia itu penulis loh. " Pamernya kepada mereka berdua sambil memegang pundakku.

"Wah keren." Kata perempuan itu.

Aku bisa melihat matanya semakin tajam menatapku. Dan hawa kegelisahan mengelayuti perasaannya.

Setelah berbincang kami pun memutuskan untuk pamit. Di saat itu aku merasakan jadi pemenang. Atau kami berdua yang jadi pemenang dalam kontes; sama-sama saling menyakiti.

FIKSI!

-Hana Larasati

Jangan Tinggalkan

Aku memandangi wajahmu dengan rasa rindu yang mungkin hanya aku dan Tuhan pahami.

Kamu yang sejak tadi kupandangi hanya tersenyum jahil berharap pandanganku tidak lagi mengarah padamu.

Dalam hitungan jam, kita sudah berbincang banyak hal, namun mengapa aku masih belum bosan untuk mengalihkan padanganku kepada yang lain?

Aku sangat merindukanmu setelah empat hari kita tidak bertemu.

Ternyata, kita memang butuh jarak dan waktu, untuk menjaga dan mencari tahu, siapa yang paling tidak tahan untuk mengusahakan sebuah pertemuan.

Dan, ya, kamu selalu kalah. Selalu kamu yang meminta sebuah pertemuan. Dengan begini, kamu akan tahu, perempuan adalah mahluk paling gengsi nomor satu.

Perempuan adalah mahluk yang tidak ingin memulai segalanya lebih dulu. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, sebenarnya dia ingin menatapmu, berbincang denganmu, dan turut membebaskan kekangan rindu di dadanya.

Kamu selalu kalah untuk tidak mengajakku bertemu lebih dulu, sementara aku selalu kalah untuk tidak menunjukan betapa aku rindu kamu dan ingin menghabiskan sisa waktu kita sambil menatap dan berbincang denganmu.

"Bagaimana Semeru?" Kataku memulai percakapan.

"Gak mau nanya bagaimana kabarku?" Katanya sedikit mengerutkan dahi.

"Kamu pasti baik. Kamu kan kuat."

"Gak akan kuat, kalau lama pisah dari kamu."

Aku hanya tertawa.

"Gomball." Kataku.

Dia pun tertawa. Tapi aku merasakan sesuatu yang beda. Percakapan kali ini yang aku rasa beda. Air mukanya redup dan aku bisa melihat itu.

"Ada apa?"

Dia hanya tertawa.

"Malah ketawa bukannya jawab."

Kemudian dia membenahi duduknya sambil terus tersenyum menatapku.

"Kamu ajaib." Katanya.

Saat dia mengatakan itu aku bisa melihat barisan giginya yang rapi dan putih bersih.
"Ajaib?" tanyaku.

"Iya." Kali ini dia menyingkap rambutnya yang sebahu ke belakang telingannya.

"Ajaibnya?"

"Kamu bisa tau, sebelum aku kasih tau."

"Tau apa?"

Dia mengelus hidungnnya yang mancung. Kemudian memasang ekspresi muka yang serius.

"Tau....." katanya.

Aku menunggunya dengan harap harap cemas.

".....bulet, di goreng dadakan di atas mobil cuma lima ratus. Gope.. gope.. di tawar.. di tawarr.." itu lanjutan kalimatnya. 😡

Aku pun mengacak rambutnya.

Dia masih tersenyum menatapku. Kemudian dia menghela nafas.

"Aku mau ngambil S2 di Jogja." Katanya.

Aku pun menatapnya dalam.

"Cuma dua tahun. Gak lama."

"Kenapa harus Jogja?"

Entah kenapa hatiku menjadi sesak. Rasanya seperti ada yang menghantamnnya dengan keras. Dari sekian banyak kota, kenapa dia harus memilih Jogja?

"Karena Teknik Informatika di sana bagus."

Aku terus menatapnya dengan mata yang berair. Ingin aku meledak dan berteriak. Jangan Jogja lagi, aku mohon. Aku belum siap kehilangan di saat yang membahagiakan seperti ini.

Dia yang sadar dengan keadaanku pun menyeka mataku dengan tangannya.

"Gak semua orang itu sama dan gak semua kejadian yang berulang itu akhirnya akan sama. "

Aku masih diam.

"Apa yang kamu takutin?" Katanya.

Tak ada jawaban. Hanya isakan takut kehilangan, yang terdengar nyaring saat ini.

"Jangan nangis." Katanya lembut.

Tapi aku terus mengeluarkan buliran air mata ku.

Baru aku merasa siang ini, adalah saat yang terindah dalam hidupku. Saat menyambutnya datang dengan perasaan rindu yang mengebu.

Kini dia membawa kabar bahwa dia harus pergi ke kota itu. Kota di mana pertama kalinya aku kehilangan kekasihku.

Tuhan, Kau tau kan aku belum siap untuk mengakhiri cerita yang baru mulai ini. Aku takut akan kehilangan dia dari hidupku selamanya.

Sungguh aku tak ingin, hatiku jadi milik yang lain. Ku bersumpah, dia adalah sosok yang tak mungkin bisa ku temukan lagi.

Dia terus menatap ku.

"Kita akan baik-baik aja. Jangan takut." Katanya.

"Yang sebelumnnya juga bilang gitu." Kataku.

"Dia bukan aku. Dan aku bukan dia." Suaranya sangat menentramkan.

"Maafin aku."

"Gak usah minta maaf ndut." Katanya sambil tersenyum.

"Aku egois."

"Enggak." Katanya.

Kemudian aku menatapnya.

"Kamu sayang. Jadi kamu takut. "

Aku hanya tersenyum. Entah kenapa dia selalu bisa membuat percakapan kita menjadi selalu berakhir baik.

"Makasih." Kemudian katanya.

"Buat?"

"Udah bisa sayang sama aku."

"Sama-sama." Kataku.

Kita pun menghabiskan siang dengan canda dan tawa. Tidak ada ketakutan atau air mata.

Ins : Dwitasari

-Hana Larasati

Minggu, 18 September 2016

Empat Mawar

Mungkin paket kiriman pagi ini salah. Atau aku yang bingung dan terperangah.

Pagi ini aku mendapati 4 bunga mawar di depan pintu rumahku.

Mereka tergeletak dengan indah. Putih, merah, pink, dan satu lagi aku lupa.

Aku hanya tersenyum dan sesekali mencium wanginya. Di saat yang bersamaan handphone ku berbunyi.

Kalian pasti tau siapa pelakunya.

"Senang melihatmu bahagia." Ucapnya.

"Senang juga tau kamu baik-baik saja."

"Haha, aku sudah baca tulisanmu. Jangan sedih, Semeru tidak menyiksaku di sini." Katanya

"Iyah." Kataku tersipu.

"Oh iya sudah ku sampaikan salam mu pada Semeru, katanya dia ingin bertemu denganmu." Katanya.

Aku hanya tertawa. Dari sekian banyak hal yang ku ingat. Senyumnya adalah bagian yang paling aku hafal.

Secepat itukah resonasi kenangangan hingga seluruh gambaran wajahnya terlihat jelas di mataku.

Aku pengemarnya. Pengemar seseorang, yang mencintaiku tanpa banyak ucap, namun dengan tindakan yang nyata.

"Eh kamu, KRS-an udah?" Katanya tiba-tiba memecah lamunanku.

"Belom."

"Kalo UTS?"

"Ya belom lah."

"Kalo sarapan udah belom?"

Aku hanya tersipu.

"Gitu ya, kalo lagi bahagia. Di tanya udah sarapan apa belom malah gak jawab." Katanya meledek.

"Iyah." Kataku.

"Senyum gak?"

"Iyah."

"Ucapin selamat pagi dong."

"Pengen banget?"

"Yaudah aku gak mau ngedip sebelum di ucapin selamat pagi.

"Biarin.

"Jadi gak ngucapinnya?" Katanya.

Aku hanya terkikik.

"Kalo enggak aku mau ngedip dulu." Lanjutnya.

Aku hanya tertawa.

"Tega bikin aku gak ngedip-ngedip." Sekarang dia memakai intonasi permohonan.

"Kan udah banyak yang ngucapin. Adik kelas itu~" Ledek ku.

"Mana? Aduh mata ku perih." Katanya sekarang seolah sedang kesakitan.

"Kenapa?"

"Kalo gak di ucapin selamat pagi aku gak mau ngedip."

"Selamat pagi."

"Selamat pagi juga!" Katanya bersemangat.

"Yes hahahha!" Lanjutnya dengan nada kemenangan.

"Minta di ucapin selamat pagi sih maksa. Hih!" Kataku sambil tertawa.

"Biarin. Siapa suruh jadi orang cuek."

"Eh iya. Makasih bunganya." Kataku.

"Bunga?"

"Iya."

"Bunga apa?"

"Jangan pura-pura gak tau."

"Emang gak tau."

"Bunga mawar. Kamu kan yang ngirim?"

"Bukan, kan aku lagi di Malang."

"Lah terus ini dari siapa?"

"Ya enggak tau."

"Gak lucu ah."

"Emang lagi gak ngelucu."

"Terus ini dari siapa?"

"Dari orang yang sayang sama kamu kali. Tapi gak berani bilang."

"Itumah kamu."

"Wah berarti dari aku!" Katanya bersemangat.

"Hih!"

"Suka gak?"

"Gimana cara ngirimnya?"

"Jawab dulu suka gak?"

"Suka."

"Aku?"

"Bukan. Bunganya."

"Gapapa deh. Hari ini bunganya, besok aku ya." Katanya sambil tertawa.

"Makasih ya. Gimana pun cara ngirimnya."

"Sama-sama."

Lalu kami terdiam beberapa saat.

"Kamu kapan pulang?" Kata ku membuka percakapan.

"Lusa, atau minggu mungkin. Masih belum tau."

"Hati-hati."

"Iyah."

"Jangan gatel."

"Yah udah lagi."

"Hih!"

"Di sini banyak nyamuk. Jadi gatel."

"Hahahahah."

Rabu, 14 September 2016

Pendaki ku.

Selamat pagi pendaki. Aku harap setangkap rinduku telah di sampaikan oleh alam untukmu. Atau kalau tidak, biarkan Tuhan saja yang menyampaikan rinduku padamu.

Hai pendaki, bagaimana kabarmu? Ramahkah semeru pada tubuh kecilmu?  Baikah kau di alamnya? Dia tak  buat badanmu menggigilkan, atau kepanasan?

Jangan buat dia terlalu menderita Semeru. Walaupun dia sudah pernah menakhlukan Rinjani, Merbabu, bahkan puncak Himalaya aku tetap ragu.

Aku tau dia kuat, tapi bagaimana dengan badai dan hujan. Masihkah dia sekuat itu?

Dia selalu bilang. "Jangan takut, ketakutan hanya sebatas pemikiranmu saja." Aku hanya menganguk. Dia itu yang selalu menentramkan saat aku mulai ketakutan.

Biasanya dia yang menjamin keselamatanku. Kali ini siapa yang menjaminnya? Hanya Tuhan yang bisa menjaganya di alam terbuka.

Semeru, titip dia dan para sahabatnya. Hari ini pendakiannya di mulai. Aku harap dia selalu baik di alammu.

-Hana Larasati

Selasa, 13 September 2016

Idul Adha Tahun Lalu

Di bawah rimbunnya pohon yang memayungiku dari terik. Aku berkaca pada siang. Betapa lamanya perjalanan yang aku lalui ini.

Kau tau kan , selain menulis aku paling suka merenung. Saat ini, hal itu sedang ku lakukan. Dan dalam setiap renunganku aku selalu tersenyum. Entah untuk hal yang pahit atau manis.

Karena kau bilang, kita harus banyak bersyukur. Agar nikmat-Nya selalu di tambahkan.

Tak terasa ini sudah satu tahun semenjak aku di selamatkan olehmu. Tepat di hari raya idul adha tahun lalu. Kau datang kerumahku ketika mata ku sedang sangat sembab.

Saat itu kau tidak memelukku atau memujiku. Kau hanya berkata.

"Ikut gua yuk. Pakai gamis sama kaos kaki ya."

"Mau kemana?"

"Kampus gua."

Aku pun menurut. Kita pergi dengan sepeda motormu yang berwarna putih. Saat itu tampilanku jauh dari taqwa.

Sesampainya di kampusmu yang sangat teduh. Kau mengajakku duduk di sebuah pelataran. Kita sedikit bercengkrama.

"Hana tau gak kenapa ayu bawa ke sini?"

"Enggak."

"Cuma mau ngasih tau. Masih banyak laki-laki baik di sini." Katamu lembut. Sambil menoleh ke kerumunan para mahasiswa yang mengolah daging kurbannya.

Aku hanya tersenyum. Lalu kau berkata lagi.

"Tapi, yang baik harus di dapat dengan cara yang baik juga. Yang baik sama yang baik." Katamu.

Kemudian kau mengajakku untuk bergabung dengan mereka. Tapi aku sempat menolak.

"Kerudung gua gini yu."

"Gua bawa kerudung lagi. di dobel ya."

Aku selalu tersenyum jika mengingat kejadian itu. Tepat satu tahun yang lalu.
Ada lagi kejadian yang baru kemarin kita bahas.

Dulu aku belum terlalu peduli tentang foto yang tidak mengenakan hijab. Bagiku hijab ya di depan saja. Di foto kan gapapa. Tapi sahabatku yang satu itu selalu istiqomah untuk mengingatkan.

"Hana jilbabnya mana?"

Jujur aku sempat sebal haha. Banyak pertanyaan..

"Kenapa sih? Kan cuma di foto doang."

Tapi dia terus mengingatkan. Hingga akhirnya batu yang keras pun luluh karena air yang terus menjatuhinya.

Sampai pada suatu hari aku tau alasannya kenapa dia selalu mengingatkan.

"Ya sedih aja ngeliat orang yang deket sama kita terus masih foto kaya gitu. Gak pake kerudung. Kan itu aurat. "

Buatku sahabat bukan sekedar orang yang membenarkan kata-katamu. Bukan juga yang selalu memujimu.

Tapi sahabat orang yang mau membantumu keluar dari kubangan kesalahan. Menopangmu saat kau terjatuh dan menunjukan jalan yang benar kepadamu.

-Hana Larasati

Minggu, 11 September 2016

Perempuan Takbir

Gema takbir masih riuh di sini. Aku salah satu orang yang menyakini bahwa takbir itu adalah tanda kemenangan.

Sudah lama aku ingin menulis ini. Tapi jika temanya soal kamu. Aku selalu bingung harus memulai dengan kata apa.

Karena saat terbayang, begitu banyak kata-kata takjub yang akan keluar. Hingga aku sulit mengaturnya.

Ini tentang wanita yang memiliki mata indah. Yang meyakini bahwa takdir bisa di ubah jika ada kemauan.

Tidak melulu harus orang yang pintar dan kaya yang bisa memainkan takdirnya dengan leluasa.

Anak miskin seperti kita pun bisa. Walau biaya seadanya, ilmu sepunyanya, tapi jangan ragukan kemauan kita.

Aku suka saat dia tertawa. Walaupun begitu jelas aku lihat bayangan masalah di matanya.

Satu yang ia yakini hingga saat ini. Selama kita punya Tuhan, kita tidak akan sendirian. Karena Allah lebih dekat dari urat nadi kita.

Jika ada yang bilang dia adalah pelangi. Maka aku orang pertama yang akan menyangkalnya.

Dia bukan pelangi, tapi matahari. Pusat orbit yang di kelilingi oleh deretan planet-planet lain.

Perempuan yang buka sekedar indah di pandang. Tapi mampu menundukan sebelum sempat memandang.

Khadijah semoga sukses dengan segala harapanmu. Kami, akan selalu mendukungmu. Jangan sungkan, kita ada untukmu.

Kelak kami akan jadi orang yang pertama menyelamatimu saat takbir hidupmu berkumandang. Dan aku akan selalu menantikan saat itu. Khadijah kami. 😊

-Hana Larasati

Kamis, 08 September 2016

Selamat Tinggal.

Setiap keputusan yang di ambil selalu berat. Karena setiap keputusan akan melahirkan resiko.

Aku tau, ini sulit. Aku tidak menyangkalnya. Di saat aku yakin kamu yang terbaik dan tidak munafik hatiku pun sudah lama tertaut.

Tidak salah jika kamu marah. Keputusan tiba-tiba yang aku ambil ini, mungkin membuatmu terkejut.

Jika kamu membaca ini, kamu akan tau jawabannya. Jika tidak biar Allah saja yang memberi tau seiring berjalannya waktu. Tapi aku tau, kau akan membaca ini.

Kau tau, betapa banyak pertanyaan yang ingin ku sampaikan.Tapi...

Aku hanya ingin kau yang menjawab. Di waktu senggang antara ashar dan senja.

Aku teramat yakin, kamu akan menjawab. Namun, sang pemilik hati membisikan yang lain.

Bagaimana jika kamu Aku sandingkan dengan yang lain?

Lantas...

Siapa yang akan jawab pertanyaanku?

Aku tau setiap insan di perbolehkan berharap. Bahkan Dia pun menyuruh kita untuk selalu berharap padaNya.

Seperti yang pernah sahabatku sampaikan. Doa itu menganulir takdir.

Tidak ada salahnya diam-diam berdoa. Masalah nanti di bersamakan dengan siapa. Itu terserah padaNya.

Karena Dia yang Maha tau segala yang baik untuk hambaNya.

Tapi di sisi hati yang lain menjawab. Masalah nanti di bersamakan dengan siapa memang terserah padaNya.

Jika yang membersamai bukan yang disebut dalam doa, apa yang harus dirasakan?

Kiranya memang wajib aku menyimpan rasanya.Karena aku sudah terlalu sayang dari sekarang. Bahkan walau belum tau siapa dia.

Hingga tak ingin aku menyakitinya, dengan memendam rasa kepada lelaki siapa siapa.

Aku selalu menanamkan ini ketika jatuh cinta. Kita hanya punya dua pilihan. Memilih ciptaanNya atau Penciptanya.

Aku tau bagaimana perasaanmu padaku. Bagaimana kerasnya perjunganmu untuk membuatku selalu bahagia. Hingga terkadang kau harus mengalah.

Aku juga tau, kuatnya usahamu hanya untuk sekedar memastikan aku aman, dan tidak ada yang bisa menyakitiku.

Aku hargai semuanya. Tapi, sekali lagi sekuat-kuatnya cinta manusia pasti lebih kuat cinta Allah kepada hambaNya.

Jika ada yang berkata rugi. Iya, aku akui aku rugi memilih jalan ini. Di saat semua wanita iri pada posisi ku yang selalu di angungkan kamu.

Tapi, itu hanya dalam sudut pandang dunia. Mungkin di mata orang lain, wajar.  Tapi dari sudut pandang agama itu sudah keluar jalur.

Terima kasih, untuk kau yang tak hentinya membuatku tertawa. Tidak ada yang bisa ku janjikan saat ini. Semua hanya bisa aku doakan. Semoga apa yang menjadi harap terlaksana. Jika tidak? Allah tau yang lebih baik.

Perpisahan.

Pagi itu Niru datang dengan tergesah-gesah. Di tengah kepulan asap teh hangatku mukanya memerah dan penuh tanya.

"Assalamualaikum." Ucapnya.

"Waalaikumusalam."

Dia menatapku dingin.

"Ayo duduk. Kita nge-teh dulu."

"Iyah. Tidak usah repot-repot Han. Aku hanya sebentar."

"Aku yakin topik pembicaraanmu tidak akan sebentar."

Dia hanya diam. Wajahnya masih wajah bertanya-tanya.

Sambil aku menuangkan teh, dia memulai pembicaraan.

"Apa benar kamu dan Andro berpisah?" Katanya sambil mengigit bibir.

Aku mendongak dan menegakkan dudukku.

"Oh. Kabar itu, aku gak nyangka cepat sekali tersiar." Kataku sambil tersenyum.

"Jadi benar?"

"Iya."

"Apa salah Andro, Han."

"Tidak ada."

"Terus kenapa?"

Aku terdiam.

"Kamu punya yang lain? Apa Andro gak cukup Han. Dia itu sangat baik. Kamu tau itu. Dia itu selalu...."

"Berusaha bikin aku bahagia." Kataku memotong ucapannya.

"Iya."

"Memang karena ada yang lain aku pergi dari Andro."

Dia terbelalak

"Siapa? Bisa saja dia tidak lebih baik dari Andro."

"Dia sangat lebih baik dari Andro."

"Siapa?" Tuntutnya.

"Allah."

Dia terdiam.

"Terdengar idealis mungkin. Tapi ini menjadi pilihanku. "

"Hubungan kalian masih dalam batas wajar Han. Allah tidak akan marah."

"Wajar dalam sisi umumkan, dalam sisi kaidah agama bagaimana?"

"Kalian tidak bersentuhan."

"Apa ada yang bisa menjamin pikiran ku dan pikiran Andro tak mengelana. Karena bukan hanya jarak yang di jaga tapi jiwa juga. "

Dia diam.

"Demi Allah, aku sangat mencintai Andro. Tapi, aku sadar saat kita jatuh cinta. Kita di hadapkan oleh 2 pilihan. Penciptanya atau ciptaanNya."

"Tapi apa kamu tidak memikirkan bagaimana Andro? Saat ini Andro sangat kacau, Han."

"Aku juga. Wajar, ini adalah masa peralihan. Seiring berjalannya waktu, dia pasti akan tau dan berterima kasih karena aku telah memilih jalan ini. Dia laki-laki baik aku tidak ada bayangan dia akan melakukan hal yang bodoh."

"Kalau dia baik, kenapa kamu menyakitinya dengan pilihanmu?"

"Karena dia baik, jadi aku menjaganya. Kau tau, betapa pedihnya aku jika nanti Allah akan menyiksanya karena perlakuan kami."

"Aku selalu memikirkan itu. Kau tau ungkapan dari Hatim Al Asham beliau berkata 'Aku telah memperhatikan semua makhluk. Kudapati setiap orang memiliki kekasih, tapi jika sampai kuburnya kekasih itu meninggalkannya. Oleh karena itu, aku jadikan kekasihku amal-amal baikku. Agar dia di alam kubur bersamaku.'" Lanjutku.

"Han, apa kamu tidak menyesal?"

"Setiap insan akan di uji dengan sesuatu yang di cintai. Mungkin ini saatnya."

Dia tiba-tiba terdiam. Ekspresi wajahnya kaget. Aku pun heran dengan gesture tubuhnya.

"Ada apa?" Kataku sambil menoleh kebelakang.

Ku dapati sosok yang sangat aku kenal. Andro. Dia berdiri di halaman. Tampangnya masam, rambutnya yang sebahu biasanya tertata rapi kini berantakan.

Niru benar. Andro sangat kacau. Segera aku mengarahkan pandanganku ke Niru, dan Niru menatap ku dengan tatapan permohonan yang aku tau maksudnya.

Aku pun berjalan ke halaman. Menghampiri Andro yang berdiri terdiam di sana.

"Assalamualaikum." Sapaku.

Andro terdiam sesaat, sebelum akhirnya membalas salamku.

"Waalaikumusalam."

"Ikut gabung yuk di kantin, ada Niru."

"Gak usah."

"Yasudah, aku tidak memaksa." Kataku lembut.

Tapi dia masih diam. Di tengah tatapan kosongnya. Matanya mulai memerah dan berkaca-kaca.

"Ada apa Andro?"

"Tidak apa-apa!" Bentaknya.

Aku teresentak. Baru kali ini Andro membentakku. Dan di tengah para mahasiswa baru.

"Maafkan aku." Kataku bergetar.

Dia yang sadar dengan perlakuannya langsung ber-istighfar.

"Astagfirullah." Katanya. Sekarang matanya mulai mau dia alihkan ke arahku.

Aku yang masih kaget dan malu akhirnya memutar badan untuk pergi, karena semua tatapan mahasiswa baru tertuju padaku.

"Hana, aku tunggu jam 10: 00 di rooftop."

Aku tetap berjalan. Terlihat gurat penyesalan di wajah manisnya saat itu.

"Hana." Dia berlari mengejarku. Tapi aku teruskan langkahku.

"Maafkan aku." Katanya. Aku pun berhenti.

"Iyah." Kataku sambil memberikan segulum senyum.

"Andro, ayo kita bicara." Lanjutku.

Dia hanya diam. Kemudian dia berkata.

"Aku masih harus mengurusi mahasiswa baru, Han. Kalau jam 10:00 in shaa Allah aku bisa. "

"Iyah." Kataku.

Tepat jam 10:00 kita bertemu di rooftop. Andro mulai sedikit terlihat rapi. Kita tidak berdua, ada Niru. Tapi dia memilih menunggu di tempat yang agak jauh. Katanya supaya aku dan Andro bisa bebas berbicara.

"Niru sudah memberitau semuanya." Kata Andro langsung.

"Baguslah dia sudah menceritakannya."

"Dia tidak bercerita, tapi memberikan rekaman percakapan kalian berdua tadi pagi." Kata Andro.

"Hahaha. Anak itu." Kata ku tertawa.

"Hana, aku pikir kamu pergi karena ada yang lain."

"Memang karena yang lain." Kataku tersenyum.

"Bukan, laki-laki lain maksudnya."

Aku hanya tertawa.

"Sekarang semuanya sudah jelas." Katanya lebih berseri.

"Syukurlah. Jangan jadi kacau. Aku tetap mau kau jadi Androku."

"Aku janji, aku juga akan berubah."

"Janji pada diri sendiri saja dulu."

"Aku sayang kamu karena Allah, Han."

"Bilang yang seperti itu nanti saja di depan bapakku." Kataku terkekeh.

Itu adalah percakapan terakhirku dengan Andromeda. Percakapan berdua lebih tepatnya.

Kita berdua sama-sama sepkat untuk memperbaiki diri. Dan semakin jarang bertemu (memang seharusnya begitu.).

Andro sibuk dengan muridnya dan jadwal kuliahnya. Aku, aku sibuk mengurusi tulisan dan in shaa Allah buku yang mau terbit.

Andro sangat mendukungku dalam hal apa pun. Katanya selagi itu baik dan membuatku senang dia akan selalu mendukung.

Sempat aku bercerita tentang seseorang yang protes di blogku dan Andro selalu sigap mendengarkan. Walaupun aku tau dia tidak begitu suka, karena itu menyangkut masa lalu.

Andro selalu jadi pendengar yang baik, pemberi solusi yang emm... aku rasa lumayan lah ya. Dan penghibur yang sangat menyenangkan.

Dia selalu mengodaku saat aku mulai sebal jika sudah membahas masa lalu. Katanya muka ku lucu jika sudah begitu.

Kita sangat jarang bertengkar dan sangat sering tertawa. Entah untuk hal apa pun. Andro selalu bisa membuat semuannya baik.

Dan untuk kamu, yang bertanya-tanya Andromeda itu nama samaran (jelaslah).

-Hana Larasati


Rabu, 07 September 2016

Taman Buah Mangunan.

Di tengah hujan yang menguyur Bogor, rinduku hanyut di dalamnya. Tak berani bicara. Begitulah aku.

Biarkan saja doa yang bermain dan Allah yang menyampaikannya kepadamu.

Di tengah lamunan ku bersama teh manis hangat, handphone ku berdering. Ternyata kau yang akan berbicara di dalamnya. Dengan segulum senyum aku mengangkatnya.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

"Baru bangun ya?"

"Iyah."

"Kamu kalo baru bangun tidur jangan di biasain ngucek mata."

"Emang kenapa?"

"Nanti pelanginnya rusak."

"Hahahha."

"Aku lagi di Mangunan nih."

"Katanya mau ke Semeru?"

"Mampir dulu ke Jogja."

"Ngapain?"

"Mau ngeliat matahari terbit di taman buah Mangunan."

"Udah liat?"

"Belum."

"Emang jam segini matahari belum waktunya terbit."

"Iyah. Aku pikir yang terpagi itu matahari. Ternyata bukan. Tapi ingatan soal kamu. Orang-orang bilang itu rindu."

Aku hanya tersenyum.

"Makasih." Kataku.

"Senyum gak?"

"Iyah."

"Udah gosok gigi?"

"Udahlah."

"Kok bau belerang ya?"

"Mulut kamu kedeketan sama hidung."

"Hahahhahahaha."

"Ketawa lagi bukannya mikir." Kataku sambil tertawa.

"Aku mau ke daerah Maguoharjo ah."

"Mau ke stadion-nya ya?"

"Mau ketemu mantan kamu."

"Ngapain? Gak usah macem-macem deh kumis."

"Mau kenalan doang."

"Gak usah!"

"Yaudah mau laporan."

"Laporan apa?"

"Mantan-nya dia udah bahagia. Tapi masih galak."

"Apaan sih." Kataku menahan tawa.

"Tuh kan."

"Tau ah."

"Tuh, sebentar lagi keluar taring nih, lima menit lagi keluar bulu di semua badannya, 10 menit kemudian udah ada di atas pohon. Makan pisang." Katanya meledek.

Aku hanya tertawa. Jika saja dia dekat sudah aku jambak rambutnya.

"Eh kamu udah di Mangunan?" Kataku mengganti topik.

"Udah. Tapi gak tau ini di mananya."

"Lah kamu gimana. Tanya ibu-ibu sana."

"Gak ada ibu-ibu, adanya bapak-bapak."

"Yaudah sana tanya. Siapa kek."

"Gak usahlah. Aku pake google maps aja."

"Heh! Terserah."

"Tadi aku solat subuh di alam dong." Pamernya.

"Alam apa? Alam liar apa alam gaib?"

"Alam temenku. Wah parah kamu ngatain dia. Aku bilangin loh. Lam.. Hana ngatain kamu masa!!" Katanya sambil berteriak kepada seseorang.

"Heh, heh.. gak gitu maksudnya. Habis bahasa kamu ambigu." Kataku.

Tapi dia terus saja berteriak meldek ku seakan-akan melapor pada temannya.

"Udah aku bilangin Alam."

"Biarin."

"Alam mau ngomong sama kamu."

Belum sempat temannya berbicara handphonennya buru-buru dia ambil. Karena terdengar suara grasak grusuk.

"Kok gak jadi?" Kataku.

"Janganlah. Nanti dia suka." Katanya

"Biarin aja." Kataku meledek.

"Yaudah." Lalu dia memberikan handphonenya pada temannya.

"Hei, ini Alam ya? Maafin kelakuan Andro ya dia emang begitu. " kataku langsung.

"Iya iya udah maklum." Katanya sambil tertawa.

Kemudian terdengar suara Andro yang berbisik pada temannya. Ceritanya agar aku tidak tau. Tapi, berhubung dia berbisik di kuping temannya yang ada handphonennya, maka suaranya sukses terdengar olehku.

"Itu, yang lagi ngomong namanya Hana. Gua suka sama dia. Tapi malu mau bilangnnya." Katanya berbisik ke temannya.

"Itu udah bilang Ndro." Kata temannya heran.

"Kan bilangnnya ke elu bukan ke dia." Katanya masih memakai intonasi berbisik.

"Lah tapi kan dia denger. " Kata temannya menahan tawa.

"Iya semoga dia suka juga. Doain ya." Katanya kepada temannya.

"Aamiin." Kata temannya.

Aku hanya tertawa. Heran. Itu saja yang ada di pikiranku. Kemudian tanpa menghiraukan Andro, aku bertanya pada temannya.

"Kalian udah di taman buah mangunan?"

"Udah Han, dari jam setengah 6 kurang."

"Hih, si gelo mah. Katanya kalian nyasar."

"Iya tadi sempet nyasar tapi gak jauh."

"Udah terbit mataharinya?"

"Udah, tapi ketutup kabut."

"Si Andro lagi ngapai?"

"Biasa, jeprat jepret pakai kamerannya."

"Oh, titip Andro ya. Jangan sampai hilang. Udah langka yang kaya begitu." Kataku terkekeh.

"Iya iya." Kata temanya ikut tertawa.

Tak lama, suara orang yang di dalam telephone berganti.

"Hallo." Katanya dengan nanda sopran.

"Ah, kok kamu." Kataku kepada Andro.

"Bosen?"

"Iya ih."

"Yaudah." Katanya datar.

"Jangan ngambek. Nanti pelangi dimatamu rusak."

"Gak ada pelangi. Adanya belek." Katanya.
"Hahahhaha. Yaudah jaga diri baik-baik."

"Iyah. Kamu juga. Sebentar lagi aku mau memdaki. Gak ada sinyal."

"Terus?"

"Gak bisa ngucapin selamat tidur. Tapi percaya aja, aku selalu bilang selamat tidur dari jauh. Kamu gak akan denger."

"Iya iya inget. Bye. Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Jangan iri ya. Kebahagian itu bisa kamu dapat kalau kamu mau menerima. Kaya kita.

-Hana Larasati

Jumat, 02 September 2016

Balasan Luka Penulis

Kau tau ungkapan ini kan?

Jangan pernah melukai hati seorang penulis, atau kau akan abadi dalam karyanya.

Itulah manisnya balasan, ketika kau melukai hati seorang penulis. Dia tidak akan melakukan apa yang pernah kamu lakukan tergadapnya.

Atau membalas semua perbuatan yang pernah kau perlakukan padanya. Tapi dia akan menjadikamu objek di setiap tulisannya.

Melampiaskan semua emosi, rasa sakit, kekecewaan dalam setiap tulisannya. Dan ceritamu akan selalu larut dalam kisah itu.

Kau tidak bisa menolak atau menyuruhnya berhenti. Karena itu sudah nalurinya.

Dia tidak akan menyentuhmu di dunia nyata. Tapi di imajinasinya kau adalah targetnya.

Kau tak perlu merasa terganggu. Karena dia tidak menggangumu. Dia hanya berekspresi dari setiap rasa sakitnya.

Dan kau harus menghargai itu. Jika kau tak mau, silahkan untuk menutup buku dan berhenti membaca setiap karyanya.

Sekali lagi. Dia tidak akan menggangumu jika tak kau ganggu. Dan tak akan pernah menyakitimu.

Saat lukanya sembuh dan dia sudah bahagia. Jangan datang lagi. Entah untuk alasan apa pun. Dia pun berhak untuk bahagia.

Kau juga harus menghargainya.