Selasa, 20 September 2016

Jangan Tinggalkan

Aku memandangi wajahmu dengan rasa rindu yang mungkin hanya aku dan Tuhan pahami.

Kamu yang sejak tadi kupandangi hanya tersenyum jahil berharap pandanganku tidak lagi mengarah padamu.

Dalam hitungan jam, kita sudah berbincang banyak hal, namun mengapa aku masih belum bosan untuk mengalihkan padanganku kepada yang lain?

Aku sangat merindukanmu setelah empat hari kita tidak bertemu.

Ternyata, kita memang butuh jarak dan waktu, untuk menjaga dan mencari tahu, siapa yang paling tidak tahan untuk mengusahakan sebuah pertemuan.

Dan, ya, kamu selalu kalah. Selalu kamu yang meminta sebuah pertemuan. Dengan begini, kamu akan tahu, perempuan adalah mahluk paling gengsi nomor satu.

Perempuan adalah mahluk yang tidak ingin memulai segalanya lebih dulu. Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, sebenarnya dia ingin menatapmu, berbincang denganmu, dan turut membebaskan kekangan rindu di dadanya.

Kamu selalu kalah untuk tidak mengajakku bertemu lebih dulu, sementara aku selalu kalah untuk tidak menunjukan betapa aku rindu kamu dan ingin menghabiskan sisa waktu kita sambil menatap dan berbincang denganmu.

"Bagaimana Semeru?" Kataku memulai percakapan.

"Gak mau nanya bagaimana kabarku?" Katanya sedikit mengerutkan dahi.

"Kamu pasti baik. Kamu kan kuat."

"Gak akan kuat, kalau lama pisah dari kamu."

Aku hanya tertawa.

"Gomball." Kataku.

Dia pun tertawa. Tapi aku merasakan sesuatu yang beda. Percakapan kali ini yang aku rasa beda. Air mukanya redup dan aku bisa melihat itu.

"Ada apa?"

Dia hanya tertawa.

"Malah ketawa bukannya jawab."

Kemudian dia membenahi duduknya sambil terus tersenyum menatapku.

"Kamu ajaib." Katanya.

Saat dia mengatakan itu aku bisa melihat barisan giginya yang rapi dan putih bersih.
"Ajaib?" tanyaku.

"Iya." Kali ini dia menyingkap rambutnya yang sebahu ke belakang telingannya.

"Ajaibnya?"

"Kamu bisa tau, sebelum aku kasih tau."

"Tau apa?"

Dia mengelus hidungnnya yang mancung. Kemudian memasang ekspresi muka yang serius.

"Tau....." katanya.

Aku menunggunya dengan harap harap cemas.

".....bulet, di goreng dadakan di atas mobil cuma lima ratus. Gope.. gope.. di tawar.. di tawarr.." itu lanjutan kalimatnya. 😡

Aku pun mengacak rambutnya.

Dia masih tersenyum menatapku. Kemudian dia menghela nafas.

"Aku mau ngambil S2 di Jogja." Katanya.

Aku pun menatapnya dalam.

"Cuma dua tahun. Gak lama."

"Kenapa harus Jogja?"

Entah kenapa hatiku menjadi sesak. Rasanya seperti ada yang menghantamnnya dengan keras. Dari sekian banyak kota, kenapa dia harus memilih Jogja?

"Karena Teknik Informatika di sana bagus."

Aku terus menatapnya dengan mata yang berair. Ingin aku meledak dan berteriak. Jangan Jogja lagi, aku mohon. Aku belum siap kehilangan di saat yang membahagiakan seperti ini.

Dia yang sadar dengan keadaanku pun menyeka mataku dengan tangannya.

"Gak semua orang itu sama dan gak semua kejadian yang berulang itu akhirnya akan sama. "

Aku masih diam.

"Apa yang kamu takutin?" Katanya.

Tak ada jawaban. Hanya isakan takut kehilangan, yang terdengar nyaring saat ini.

"Jangan nangis." Katanya lembut.

Tapi aku terus mengeluarkan buliran air mata ku.

Baru aku merasa siang ini, adalah saat yang terindah dalam hidupku. Saat menyambutnya datang dengan perasaan rindu yang mengebu.

Kini dia membawa kabar bahwa dia harus pergi ke kota itu. Kota di mana pertama kalinya aku kehilangan kekasihku.

Tuhan, Kau tau kan aku belum siap untuk mengakhiri cerita yang baru mulai ini. Aku takut akan kehilangan dia dari hidupku selamanya.

Sungguh aku tak ingin, hatiku jadi milik yang lain. Ku bersumpah, dia adalah sosok yang tak mungkin bisa ku temukan lagi.

Dia terus menatap ku.

"Kita akan baik-baik aja. Jangan takut." Katanya.

"Yang sebelumnnya juga bilang gitu." Kataku.

"Dia bukan aku. Dan aku bukan dia." Suaranya sangat menentramkan.

"Maafin aku."

"Gak usah minta maaf ndut." Katanya sambil tersenyum.

"Aku egois."

"Enggak." Katanya.

Kemudian aku menatapnya.

"Kamu sayang. Jadi kamu takut. "

Aku hanya tersenyum. Entah kenapa dia selalu bisa membuat percakapan kita menjadi selalu berakhir baik.

"Makasih." Kemudian katanya.

"Buat?"

"Udah bisa sayang sama aku."

"Sama-sama." Kataku.

Kita pun menghabiskan siang dengan canda dan tawa. Tidak ada ketakutan atau air mata.

Ins : Dwitasari

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar