Kamis, 22 September 2016

Puncak Mahameru

Pagi ini dengan segulum senyum aku memandangi fotomu. Di keadaan yang masih tergeletak di tempat tidur, aku meneliti senyummu, yang selalu menjadi kesukaanku.

Sayangnya aku bukan pendaki. Jadi aku tidak tau di pos keberapa kamu mengambil gambar itu. Tapi kau tetap tampan, dengan stelan coklat yang pas dengan badanmu.

Di foto itu, rambutmu tak kau biarkan tergerai seperti biasanya. Kali ini dia kau ikat dengan rapi. Membuat garis wajahmu semakin jelas terlihat.

Kau tau? Aku selalu tersenyum, saat terbayang ekspresi wajahmu ketika kau menceritakan bahwa Mahameru sedang erupsi. Aku suka ekspresimu yang dengan serius bercerita padaku.

Aku mendengarkan dengan baik, setiap kata yang keluar dari mulutmu dan memperhatikan dengan seksama setiap gerakan yang kau lakukan.

Aku juga suka, waktu kau bercerita di tanjakan cinta kau menyebut namaku ketika menanjaknya.

Dan kau benar-benar tak mau menoleh walaupun kawananmu meneriaki bahwa bajumu jatuh saat menanjak di tanjakan itu.

Atau yang ini, saat kau solat subuh di ranukumbolo dan kau bilang kau meminta pada Tuhan agar kau bisa pulang dengan sehat seperti permohonanku.

Aku suka semua ceritamu. Dan dari semua hal baik yang kau ceritakan, aku paling suka di bagian aku sadar kau tak pernah melupakan Tuhan dan aku.

Pagi ini langit-langit kamar benar-benar hanya berisi wajahmu dan semua gelak tawamu. Mari kita tutup lamunan ini dengan satu harapan. Harapan kecil dari gadis pingitan.

Suatu hari aku pasti bisa ke puncak itu. Puncak Mahameru yang menjadi kesukaanmu. Menakhlukannya dan membawa cerita baru.

Tapi nanti, saat tangganmu sudah bisa ku genggam. Saat bahuku sudah bisa kau rangkul. Dan di saat itu juga Tuhan tidak punya alasan untuk marah pada kita.

Iya waktu itu pasti tiba, entah seberapa lamanya.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar