Sabtu, 16 Januari 2016

Radiasi Bintang III

"Tawamu adalah alasan ku disini. Gadis pengeluh dan naif. Aku cinta kau."

Bukit bintang dan tawamu menjadi pemandangan indah yang Tuhan izinkan aku untuk melihatnya. Sahabat 6 tahun ku. Belum pernah ku lihat kau sehancur ini. Aku melihat mu sebagai sosok yang ceria, kuat, dan keras kepala. Semenjak kau mengenal laki-laki itu hidup mu berubah. Kau menjadi lemah dan pemurung. Kau jadi mudah untuk di takhlukan.

Aku masih melihat kehancuran di mata beningmu. Mata yang dulu selalu terlihat ceria dan bahagia. Gadis yang dulu aku nilai angkuh, kini menjadi sahabat baik ku. Gadis naif yang selalu mengangap semua orang baik. Dasar bodoh. Sering ku memakinya dalam hati. Gadis yang terlalu baik, di dunia yang terlalu jahat untuknya.

Tawanya adalah kebahagian untukku. Gadis pengeluh dan naif ini, sukses mengobrak-abrik pertahanan hatiku. Dari dulu aku tak pernah peduli hatinya untuk siapa. Yang penting hatiku selalu terjaga untuknya. Aku tak mau tau cintanya ada dimana. Yang aku mau tau dia tertawa lepas tanpa sekat, dan aku menjadi alasannya untuk tertawa. Entah sampai kapan, atau berapa lama aku seperti. Aku akan terus menyimpannya dengan rapat. Hingga akhirnya dia sadar bahwa akulah rumah yang nyaman untuknya kembali pulang.

Ketika tangisnya pecah di alun-alun keraton tadi. Aku ingin memaki diriku sendiri karena tidak ada yang bisa aku lakukan selain menatapnya. Terbesit pemikiran untuk memeluknya. Tapi apa aku gila, perempuan itu masih punya agama.

Taukah dia bahwa ada hati yang sakit ketika melihatnya terluka. Taukah dia masih banyak yang ingin melihatnya tertawa bahagia. Sadarkah dia bahwa air matanya terlalu mahal untuk menangisi hal yang seperti itu.

Sebagai sahabat selain membuatnya tertawa aku hanya bisa berdoa semoga dia mendapatkan yang terbaik di hidupnya. Tidak munafik memang aku mencintainya sejak pertama kali dia melpar buku ke mukaku. Gadis aneh yang susah mengendalikan emosinya. Anak tunggal yang jauh dari kata manja.

Aku selalu mendoakan kebahagianmu. Dengan siapa pun kau menghabiskan sisa hidupmu. Aku selalu berdoa itu yang terbaik dari Allah untukmu. Aku mencintaimu. Tidak munafik aku pun ingin bersamamu. Tapi jika Tuhan tidak mengizinkan, aku bisa apa? Aku hanya mengharap ridho Tuhan ku karena aku ingin bersama mu, tidak hanya di dunia tapi sampai di surga.

Kau pun tau aku selalu menjaga pandanganku, sama sepertimu menjaga pandanganmu. Aku selalu menyimpan tanganku, sama seperti kau menyimpan tanganmu untuk mengengam orang pertama yang sudah halal untukmu. Aku selalu menjaga hatiku untuk mencintaimu, wanita pertama yang sukses mengobrak-abrik pertahanan hatiku. Bukan kah kau selalu bilang bahwa "wanita-wanita yang baik itu untuk laki-laki yang baik Mar, dan wanita-wanita yang keji untuk laki-laki yang keji." Lalu kenapa wanita baik seperti mu, mendapat laki-laki keji sepertinya?

Aku tidak akan mengumbarnya seperti kebanyakan laki-laki di luar sana. Cintaku pun tidak ku simpan di dalam hati, tapi  aku akan menyimpannya di dalam doa. Karena hati manusia itu sifatnya berbolak-balik, tapi jika doa, doa itu akan di catat di langit.

"Ayo pulang Mar."

"Ngapain, gak nunggu pagi sekalian?"

"Dasar sakit. Di sini dingin."

"Yaudah ayo pulang. Udah jam 8 malam juga."

"Gak mau makan dulu. Laper Mar."

"Lah bukannya tadi udah makan? Makan atii hahahaha."

"Amarrrrrrrr."

Kita pun berlari-lari di bukit bintang. Saling berkejaran seperti anak kecil. Ini yang aku inginkan. Tawa lepas yang keluar dari mulutmu. Ini yang membuatku bahagia, melihat kau tertawa tanpa sekat di ujungnya. Malam ini tawamu sukses membuatku teradiasi  di bukit bintang gunung kidul Jogjakarta. Aku mencintaimu Han. Semoga Allah menyampaikan cintaku padamu.

                                 *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar