Senin, 20 Juni 2016

Hidup dan Mati, bagai Adzan dan Iqomah

Malaikat kini sedang memayungi sang empunya jasad. Silih berganti berdoa memohon safaat untuk sang mayat.

Sayap-sayap teduh dalam irama doa ta'ziah berpendar bagai cahaya yang tak kasap mata.

Satu hikmah yang tercurah dalam siang yang haru ini. Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.

Saat raga tak bisa lagi bergerak, nyawa yang terbang meninggalkan jasad. Mulut terkunci dan tangan kaki tak bisa meronta melawan takdir. Saat itu pula Allah satu-satunya tempat kembali.

Mungkin roh melihat gurat kesedihan, dari sanak keluaraga dan sahabat. Tapi tak ada lagi yang bisa di lakukan. Bahkan untuk mandi dan bersuci pun harus di mandikan.

Terbesit pertanyaan diri. Kemana hartamu? Kemana anak-anakmu? Kemana istri/ suamimu? Bisakah ia merasakan sakitnya sakaratul maut, yang orang yang paling suci pun Rasulullah SAW mengeluh akan sakitnya.

Dimana rumahmu? Dimana pekerjaanmu? Saat tempat terakhir yang kau tau hanya lubang kecil dan di tutup tanah. Alangkah gelapnya. Alangkah sempitnya. Tidak kah sesak? Tidak kah pengap?

Aku jadi teringat kisah Abu Hurairah saat berada pada sakaratul mautnya. Dia menangis sejadi-jadinya. Bukan karena dia mencintai dunia. Ketika ia sakit menjelang kewafatannya, tampak ia amat sedih dan menangis, sehingga orang-orang menanyakan sebab kesedihannya tersebut. Abu Hurairah berkata, “Aku menangis bukan karena sedih akan berpisah dengan dunia ini. Aku menangis karena perjalananku masih jauh, perbekalanku sedikit, dan aku berada di persimpangan jalan menuju ke neraka atau surga, dan aku tidak tahu di jalan mana aku berada?

Ketika banyak sahabat yang menjenguknya dan mendoakan kesembuhan baginya, segera saja Abu Hurairah berkata, “Ya Allah, sesungguhnya aku telah rindu bertemu dengan-Mu, semoga demikian juga dengan Engkau….!

Semua hal yang di kejar saat di dunia pada akhirnya harus di tinggal. Hanya tiga perkara yang benar-benar membantu suatu perjalanan. Yaitu Amal ibadah, ilmu yang betmanfaat, serta anak yang soleh.

Sudah cukupkah bekal itu? Sudah berapa banyak amal soleh yang kau kerjakan. Amal tanpa balas perhatian manusia. Amal tanpa rasa ujub dan riya? Sudah yakinkah bahwa amal mu akan di terima Sang Empunya Agenda Dunia?

Sampai dimana kau menyiarkan ilmu mu untuk masyarakat? Sampai dimana ilmu mu membuat orang merasa bahwa itu akan bermanfaat? Ketika kau selalu membangkan kepintaran otakmu, tapi kau lupa kepintaran hatimu untuk peka  terhadap apa yang ada di sekitarmu.

Apa kau yakin ilmu yang kau kejar mati-matian itu akan menjadi ilmu bermafaat yanh akan menyelamatkanmu dari azab kubur?

Dimana anak yang selama ini kau manja dan kau didik dengan urusan dunia? Bisakah ia membacakan doa untuk ayah dan ibunya? Ingatkan dia saat sepeninggalmu?

Atau bagaimana dengan kita? Sudah merasa pantaskah di sebut anak soleh dan solehah. Penerang jalan gelap di akhirat untuk ayah dan bunda?

Saat lisan selalu membentak. Saat perintah selalu di tolak. Saat kebohongan menjadi hal yang lumrah. Apa yakin kita bisa memberikan bantuan dari apa yang kita lakukan?

Ini hanya sebuah kisah. Curahan perasaan dari seorang hamba yang jahil yang ilmunya masih sedikit. Yang lisannya masih suka menyakiti hati dan perilakunya masih dzolim.

Tapi Allah sebaik-baiknya tempat kembali. Allah sebaik-baiknya yang mengetahui isi hati. Semoga kita selalu pada jalanNya. Meski sulit dan sering terjatuh semoga kita tetao istiqomah. Karena jarak hidup dan kematian bagai adzan dan iqomah. Sangat dekat. Semoga jadi pembelajaran yang berharga. Aamiin.

Untuk yang di tinggalkan semoga di beri kesabaran dan ketabahan. Aamiin.

-Hana Latasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar