Rabu, 22 Juni 2016

Ar- Rahman dan Al-Qur'an Coklat

Aku mengintipnya dari sudut mataku. Dia duduk tepat di depanku. Kali ini dia mengenakan koko coklat.

Rambutnya yang biasanya tergerai sebahu, kali ini dia ikat rapi. Aku terus menatapnya. Tak terasa sesunging senyum terlontar untuknya.

Dia berjalan dengan tegap keluar kelas, ketika pergantian mata kuliah. Aku masih saja mengintipnya dari bangku.

Ingin sekali mulutku mencegahnya pergi. Tapi... ah lancang sekali lisan ini. Jadi aku memutuskan untuk merunduk lagi.

Dari tiap detik yang berpendar hanya dia yang melekat dalam ingatan. Membuat senyum terkembang dengan lebar.

Tiba akhir jam mata kuliah, dan mataku terus mencari sosoknya. Dalam derap langkah para mahasiswa yang keluar dari kelasnya. Mataku tak lepas mencari dimana dia?

"Nyari siapa non?" Suara yang aku kenal betul siapa orangnya. Aku pun memejamkan mata malu dan berbalik berharap tebakan ku salah.

Dia sudah berdiri gagah di hadapanku. Seakan dari tadi menungguku keluar pintu. Seketika terlihat semburat merah jambu di pipiku.

Aku mencoba menenangkan debar ini saat berpapasan dengannya. Tapi dia seolah memiliki telepati ke otakku hingga selalu tau bahwa aku sedang meredam perasaanku.

"Gak nyari siapa-siapa." Kataku singkat.

"Mana mungkinnnnn." Katanya mengejek. Dia benar-benar menyebalkan jika sudah begini.

Aku pun berlalu pergi. Usaha yang jitu untuk menetralisir detak nadiku. Tapi dia mengikutiku seperti Tinkerbell dengan Pater Pan.

Aku pun melangkah kan kaki dengan sedikit berlari. Dia masih saja mengikutiku di belakang. Hingga kita berpisah di suatu lorong. Dia masuk ke salah satu kelas di sana. Aku pun menghela nafas lega.

Dia pria pendiam yang hanya mengamatiku lewat senyum dan tatapan mata. Entah kenapa akhir-akhir ini dia menjadi agak menyebalkan.

Muncul tiba-tiba, tanpa suara dan selalu mengagetkan. Aku pun duduk di pinggir taman. Membuka halaman perhalaman bukuku. Mencoba mengerjakan tugas-tugas yang aku rasa baru bisa menyelesaikan semua tugas ini ketika lulus.

"Mau di bantuin gak?" Suara itu lagi. Benar kan kataku, dia selalu datang tiba-tiba bagai hantu.

"Enggak." Kata ku singkat.

"Kenapa? gua bisa kok ngajarin lu." Dia sekarang duduk di sampingku.

"Karena, lu bukan ngajarin gua, tapi ngerjain tugas gua. Gimana gua mau bisa kalo gitu terus?" Kataku yang masih sibuk menghitung rumus fuzzy.

Dia hanya mengangkat bahunya kemudian menyisir rambutnya dengan jari-jari tangannya.

Kita terdiam cukup lama. Hanya suara angin dan deru kendaraan yang membuat suasana tak begitu sunyi.

"Mantan masih ngehubungin?" Katanya yang langsung membuka percakapan tanpa basa basi.

"Enggak kok, terakhir dia cuma ngehubungin pas awal puasa." Kataku yang masih saja menulis.

"Apa?" Matanya mulai fokus padaku.

"Dia bilang gua suruh ngelupain dia." 

"Haha. Orang mah bulan puasa dateng minta maaf, ini minta di lupain. Antik." Dia tertawa mengejek.

"Gak taulah. Setelah 2 tahun ngilang tanpa kabar, dateng-dateng cuma bilang minta di lupain. "

"Lah udah kaya film AADC."

Dia mulai mendekatkan letak duduknya denganku. Dan berbisik pelan di kupingku.

"Bilangin dia Han. Kurang-kurangin yang kaya begitu." Lanjutnya

"Sudi!"

Dia tertawa mengejek. Tersemat lesung pipi pada kedua pipinya. Aku suka jika sudah begitu. Wajahnya benar-benar sangat manis.

"Lu sakit hati gak Han? Atau kesel gitu?" Katanya.

"Sakit hati buat masalah kaya gitu? Lu bercanda? Banyak yang harus di pikirin."

"Tapi perlakuannya."

"Ya dia begitu mungkin karena emang gua salah dari sudut pandangnya." Kataku santai.

"Lu masih sayang ya Han?" Katanya yang sekarang mulai mendekatkan mukanya ke binderku. Meneliti rumus-rumus yang aku gunakan dalam mengerjakan tugasku.

"Ada gitu hubungannya? Itu cuma pemikiran gua aja." Kali ini aku menutup bukuku tepat di depan mukanya yang ingin tau.

"Tapi itu lu ngebela." Katanya tak mau kalah. Sekarang dia benar-benar sangat menyebalkan.

"Harus ya setiap kita ketemu, masa lalu yang harus di bicarain?!"

"Ya.. karena gua masih aja rancu."

"Kita gak mau ngomongin soal kita?" Kataku yang membuat matanya menyorot ke mataku.

"Kita?"

"Iya. Gimana tilawahnya? Yang janjiin surah Ar-Rahman apa kabar ya?" Aku menatapnya mengejek. Dia sedikit salah tingkah dan aku suka.

"Em... baru hafal 5 ayat Han." Katanya malu.

"Semangat ya." Kataku.

Dia hanya tersenyum simpul dan langsung membacakan 5 ayat yang berhasil dia hafal.

"Ar Rahman. Allamal qur'an. Khalaqal insān. Allamahul bayān. Asy syamsu wal qamaru bihusbān."

Aku hanya tersenyum menatapnya menghafal. Dengan mata tertutup, hanya bibir yang mengantup-antup membuat kumisnya yang tipis bergoyang mengumamkan ayat suci Al-qur'an.

Mungkin dia bukan laki-laki dengan tipe penampilan anak masjid. Walaupun dia selalu berusaha begitu. Tapi usahanya selalu saja membuatku terkikik.

Walaupun begitu dia selalu menjauhi hal-hal yang dilarang selama hidupnya berkat nasihat ayahnya. " Sebelum kamu melakukan sesuatu, ingat kamu menyandang nama Muhammad."

Aku masih saja menatapnya. Dia masih tertunduk membuka aplikasi Al-qur'an dalam handphonenya. Bibirnya masih mengantup-antup mengumamkan ayat-ayat yang ada di dalamnya.

"Jangan ngeliatin nanti batal puasanya." Katanya yang sukses membuat aku jadi salah tingkah.

"Fa bi'ayyi ala'i rabbikuma tukazziban." Kataku membalasnya.

"Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan?" Aku mengerling ke arahnya dan mulai menatap jalan lagi.

Dia hanya tersipu malu. Dan bergumam pelan.

"Makasih kamu mau mengenalkan aku pada Tuhanku dan Tuhanmu."

"Aku tidak mengenalkan hanya sedikit mengajak mu menjadi teman perjalanan. Dan dalam perjalanan aku sedikit bercerita tentang tempat tujuan kita. Alhamdulillah kamu mau tau, dan akhirnya jatuh cinta pada tempat tujuanmu."

"Terima kasih." Katanya yang masih mengengam Al-Qur'an coklat hadiah ulang tahun ke 21 nya yang aku berikan beberapa bulan yang lalu.

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar