Kamis, 09 Juni 2016

Mr.Kumis

Dia menatapku lewat mata bulatnya. Meyakinkan aku bahwa tidak sedang baik-baik saja.

Kaos hijau toska yang berkibar di terpa angin sore membuatnya tampak gagah. Rambutnya masih sepundak dan berkumis tipis.

Belum pernah hatiku bergetar seperti ini lagi, di saat aku yakin pasti ada sesuatu yang tidak baik. Pipiku pun bersemburat merah seperti matahari sore ketika dia menatap ku lama.

Dia hanya tertawa mengejek rona merah pada pipiku dan menyentil keningku. Kebiasaan buruknya yang selalu aku cela.

"Kamu masih belum bisa move on?" Dia berdiri menatap lurus ke jalan. Entah kenapa kata-kata itu tiba-tiba muncul dari mulutnya.

"Manusia introvert yang gak peduli sama orang lain tumben nanya gitu?" Kataku yang duduk di pinggir gedung lantai 2 sambil mengoyang-goyangkan kaki.

"Bisa gak sih, kalo orang nanya itu di jawab jangan di tanya balik."

"Oke, Mr.Kumis oke."

"Kamu maunya aku jawab apa?" Lanjutku.

"Jujur."

"Sudah."

"Kenapa kamu masih menulis soal dia? Kamu masih sayang kan?"

"Hahaha. Apa Taylor Swift menulis lagu untuk Joe Jonas karena dia masih sayang?"

"Jangan sependek itulah pikiranmu." Kataku sambil melemparkan kertas ke arahnya.

"Semua yang di abadikan pastilah berarti." Katanya yang kembali menatap lurus ke jalan.

"Iya dia berarti. Dia membuat luka yang parah lebih dari siapa pun. Aku mengabadikannya supaya aku tau, bahwa aku jangan sampai kembali padanya."

Dia hanya tersenyum getir. Sepertinya dia masih saja tidak percaya dengan kata-kataku. Memang sulit meyakinkan hal ini, tapi jika dia cinta dia harus percaya.

"Aku hilang akal jika sudah membahas masa lalu mu Han."

"Kenapa? Dia sudah tertinggal jauh di belakang, apa yang perlu kau khawatirkan."

"Yang masih aku khawatirkan. Hatimu juga masih tertinggal di sana."

"Kalau hatiku masih disana. Bukan kamu yang aku pilih untuk menemaniku saat ini. Mungkin sekarang aku masih mengejar-ngejarnya."

"Aku ragu."

"Tapi selama ini kamu diam dan tidak protes?"

"Karena aku malas berdebat Han, aku pikir kamu akan paham dengan sendirinya."

"Jadi selama ini kau bermanin dengan dugaanmu saja?"

"Bukan dugaan tapi kenyataan."

"Bagaimana kau tau itu nyata, sedangkan aku sebagai objeknya menyangkalnya?"

Dia masih diam. Sepertinya dia marah. Aku bisa melihat perubahaan air mukanya.

"Kenapa kamu begini?"  Kataku.

"Kamu harusnya paham!" Dia meninggikan suaranya dari pada yang dia inginkan.

"Bagaimana bisa aku paham jika kamu tidak memberi tau. Allah tidak memberiku kemampuan telepati. Pikirkanlah."

Dia masih diam. Pertemuan laki-laki introvert dan perempuan tidak peka benar-benar bencana.

Dia mulai duduk di sampingku. Ikut mengoyang-goyangkan kaki menendang udara di balkon lantai 2 kampus.

"Aku merasa saat aku di sampingmu kau tidak ada di sana. Imajinasimu selalu menuntunmu pada masa lalumu. Itu selalu membuatku sakit."

"Tapi saat kau di sampingku. Aku tau masa lalu hanya sekedar imajinasi dan kau yang sekarang bersama ku di masa depan." Kataku sambil menatap wajahnya.

Mungkin aku tidak sepeka wanita pada umumnya. Tapi aku sadar, aku telah melukai hati laki-laki di sampingku yang selalu terlihat baik-baik saja.

Dia masih menatap jalan dan engan melihat wajahku. Sedikit geli dan takut. Aku mengenalnya sebagai laki-laki yang introvert dan tak peduli pada masalah orang lain.

Tapi kini dia duduk di sampingku sambil membicarakan masa laluku. Begitu serius hingga aku tak tahan untuk tidak tersenyum.

Dia tampaknya kesal. Aku pun mencoba bicara lagi padanya.

"Bukannya dulu pernah aku katakan padamu sebelum kau bilang kau mencintaiku. Aku tidak sama seperti wanita pada umumnya. Kau tidak akan pernah bisa menyentuhku walau sekedar tangan. Kita tidak akan bisa foto berdua seperti pasangan pada umumnya..."

"Aku terima itu." Katanya memutus perkataanku.

"Yang aku belum bisa terima kau masih mengenangnya. Hilangkan ingatanmu darinya."

"Kalau begitu kau harus membuatku kecelakaan parah supaya aku jadi amnesia. Manusia tidak bisa dengan sengaja menghilangkan ingatan. Kecuali kau memukulku keras dan ingatanku hilang." Kataku sambil sedikit tersenyum di ujung bibirku.

" Apa yang kamu takutkan? Aku mencintaimu. Apa itu masih kurang?" Lanjutku.

Akhirnya dia berani menatap wajahku. Dia tersenyum lebih ikhlas dari senyumnya yang sebelumnya.

"Aku hanya takut kau pergi Han."

"Haha aku bukan tipe orang yang mudah pindak kelain hati."

"Itu hanya teorimu."

Aku mengembungkan pipiku sebal.

"Sekarang aku yang bertanya." Kataku.

"Aku malas menjawabnya." Katanya sambil memasang muka meledek yang menyebalkan.

"Kenapa kamu memilih aku dari sekian banyak pilihan yang baik."

"Karena dari sekoan banyak pilihan yang baik itu. Kamu yang terbaik."

Muka ku bersemburat merah lagi. Dia senang jika aku seperti itu dan tak henti-hentinya mengejekku.

"Itu hanya teorimu." Kataku membalikan kata-katanya yang tadi.

"Kamu perempuan yang paling tidak peka, sembarangan, berantakan, apa adanya, dan menyebalkan. Itu yang membuat aku suka."

"Apa itu sebuah pujian?" Kata ku sambil mengerenyit.

"Yang paling penting. Kamu bisa merasakan perasaan orang lain. Ikut sedih saat orang lain sedih dan bahagia saat orang lain bahagia. Itu yang membuat manusia baik."

"Itu kata-kata di stand by me doraemon." Kataku mencela.

Aku terkekeh. Dia itu pendiam dan sangat aneh jika dia banyak bicara seperti ini. Entahlah kita pasangan paling aneh sedunia. Aku bahagia memilikinya.

M.F.G (Mr.Kumis)

-Hana Larasati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar